Tampilkan postingan dengan label Ibu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ibu. Tampilkan semua postingan

Selasa, Oktober 09, 2018

buat ibu

bu, belakangan ini aku sakit-sakitan
kalau ibu sedang telpon dan bertanya kabar
kadang aku cuma ketawa-ketawa sambil balik menanyai ibu
menanyai adik, tanaman di rumah, kambing-kambing milik bapak
lalu diam-diam mataku pasti merah
kenapa ya bu, jadi sering sekali menangis begini
tiap malam dadaku sesak dan bergetar
kepalaku pusing dan berdentum
kemarin-kemarin hidungku sempat berdarah
perutku melilit menahan nyeri
aku mau bilang kalau aku sedang jatuh dan terjerembab
aku mau bilang pada ibu, kalau aku sedang patah dan terseok
aku sedang tenggelam bu,
tapi mendengar suara ibu saja darahku berdesir
aku takut menyakiti ibu
soalnya perasaan sakit itu sungguh ngilu

ibu semakin berumur, tapi semoga tetap cantik dan harum
aku pingin terus bisa melihat ibu
aku pingin terus ada di sekitar ibu,
aku suka bau ibu dan dengkuran napas ibu kalau lagi tidur
bu, tau nggak… sewaktu aku tiba-tiba meminta jemput di stasiun?
dan yang pertama dilontarkan ibu adalah “ada apa kok tiba-tiba pulang?”
ibu seperti tangan Tuhan yang terulur 
dan di situ aku sudah pingin teriak bu,
cuma karena sedang ada banyak orang, aku cuma mengusap pipi
soalnya mataku sudah basah dan hatiku gusar sekali
sebenarnya, aku butuh ibu untuk meredakan sakitku

ibu, selamat ulang taun
maaf karena aku masih sering menangis
aku akan pelan-pelan mengatasi ini semua, bu
jangan khawatir


Rabu, Februari 28, 2018

Aku hari ini; ingin dirawat Ibu


Semalam aku di luar sampai pukul satu pagi 
Lalu tau-tau hujan berisik, sampai jalanan menggenang 
Tempat makan yang aku singgahi menyetel lagunya Arie Koesmiran 
Aku ingat bapak, dan sound speakernya yang baru dibelinya bulan lalu 
Terus sudah melamun saja, padahal ada artikel sulit yang harus aku baca 
Mana pelipisku berdenyut, sistem kekerabatan orang Batak Karo sepusing ini ya? 
Tidak bisa tenang, tidak bisa diam, pikiranku terbang-terbang 
Suara Arie Koesmiran 
Suara hujan deras 
Suara temanku yang mulai bertanya aneh-aneh, ‘mim, kamu merokok ya?’ 
Semua saling meredam, aku bingung 
Jadilah pulang setelah aku ingat aku harus pergi ke pasar pagi-pagi buta 
Bangun-bangun pun aku cemas 
Apakah aku demam? 
Kepalaku seperti ditindih karung 
Dahiku panas 
Terus perutku terasa dipelintir 
Sial, badanku lemas lagi 
Aku beranjak ke meja rias dan melihat wajahku 
Menyedihkan 
Kantung mataku seperti kandungan 9 bulan, anak rambutku mencuat ke mana-mana, hidungku berkeringat, dan aku tampak begitu layu 
Seperti tumbuhan tidak disiram seminggu 
‘Jangan mati dulu, jangan mati dulu’ 
Aku menepuk-nepuk dadaku dan menyambar air mineral 
Lalu menenggaknya bersama obat pereda pusing 
Tidur, bolos tiga mata kuliah, tidak keluar kos, tidak bertemu siapapun, dan tidak mau melirik ponsel (aku takut ditanyai orang-orang) 
Siangnya terbangun karena lapar 
Lalu terseok-seok menuju dapur dan memasak apapun 
Bagaimanapun juga aku harus makan 
Ternyata melegakan, rasanya tidak sesakit sebelumnya 
Pencernaanku membaik, cuma kepalaku yang masih suka berdentum 
Sisa hari aku pakai untuk meracau 
‘Kenapa terus merasa gelisah?’ 
Untuk beberapa hal, aku masih suka membohongi diri 
Tidak hidup dan menghirup dengan baik, tidak tumbuh dan meretas dengan baik 
Apa ini sebabnya jadi sakit? 
Malamnya aku menelpon Ibu, bertanya sedang apa 
Ibu sedang memijat Bapak, semoga Bapak tidak sedang sakit 
Tiba-tiba mencium bau minyak tawon yang sering dipakai Bapak 
Ngilu, suara Ibu terasa jelas di telinga 
Kalau boleh tidak bersekolah 
Kalau boleh tidak pergi jauh dari rumah 
Kalau boleh tidak mengenyam pendidikan 
Kalau boleh tidak memenuhi konstruksi sosial 
Aku ingin hidupku hanya bersama Ibu, 
Didekap Ibu 
Dirawat Ibu 
Lalu sembuh 
Tapi mustahil 

Kamis, September 14, 2017

selamat ulang tahun, hal baikku

dua dini hari dan dalam perjalanan pulang. udara ringkih dan dingin menelusup kulit. malam larut, langit mendung, dan sepeda motor saya membelah jalan kaliurang bersama ketenangan ketenangan aneh.

hari ini ibu saya ulang tahun dan rasa-rasanya saya ingin sekali menangis. saya ingin mendekap perempuan itu sampai saya kesulitan bernafas. saya ingin mengunci rapat ingatan soal ibu dan melupakan segala yang kalut-kalut.

ibu adalah hal paling baik yang Tuhan ciptakan di dunia ini. kalau Tuhan adalah dzat dengan maha segala cinta, maka ibu adalah pusat dari cinta-cinta milik Tuhan yang terlahir.

tolong; pada Tuhan yang murah hati; tolong buat ibu saya baik selalu. tolong berkatilah perempuan itu selalu. tolong rawatlah hal-hal lelahnya menjadi pijakan supaya dia kuat selalu. tolong angkat duka-duka citanya selalu. tolong hiduplah Engkau selalu bersama deru napas ibu saya.

selamat merayakan hidup bu, semoga dengkuran ibu ketika tidur tetap terus terdengar tenang, semoga bau badan ibu tetap terus tercium harum, semoga senyum lebar ibu tetap terus mengalir hangat, semoga peluk erat ibu tetap terus terasa sesak, semoga ibu berbinar-binar dan hidup baik selalu. maaf kalau saya jadi brengsek, tapi saya janji, nggak akan pernah mati untuk alasan apapun terhadap segala sesuatu di bumi ini.

saya akan hidup bersama ibu, mengisi sel-sel tubuh saya dengan sel-sel tubuh ibu, saya akan hidup di darah ibu, dan ibu akan hidup di darah saya.

bu, sehat-sehat terus ya...

Selasa, September 12, 2017

Hari Radio dan Kenangan Saya Soal Radio

Hari ini, 11 September 2017, diperingati sebagai hari radio nasional. Momentum tersebut sekaligus juga jadi perayaan hari kelahiran Radio Republik Indonesia (RRI) yang didirikan pada 11 September 1945. Hal itulah yang mendasari mengapa peringatan hari radio kerap disebut sebagai harinya RRI. Sama seperti hari lahirnya saya yang bertepatan dengan hari hak asasi binatang, hehe. Serentak namun tak senada.

    Saya nggak akan berbicara soal sejarah radio nasional di tulisan kali ini, karena saya nggak punya kecakapan untuk menjelaskan hal tersebut, tapi teman-teman bisa lho membuka catatan sejarah radio lewat laman-laman terkait di internet. Bagaimana radio tersebut bisa muncul dan berkembang di Indonesia, menjadi media penyebaran informasi jaman paska kemerdekaan, ngetren seiring dengan usianya mengudara di tanah air; ajang titip salam dan request lagu, serta banyak hal lainnya.

    Awal perkenalan saya dengan radio adalah ketika saya masih mengenyam bangku taman kanak-kanak, mungkin sekitar usia lima tahun. Almarhumah Eyang putri saya yang tinggal bersama di rumah, suka menyetel lagu-lagu bertembang kenangan (atau mungkin yang genrenya lebih jadul lagi) dan mendengarkan siaran berita dari benda persegi panjang berwarna hitam-abu dengan tongkat antena yang panjang, yang ketika ditarik ke atas mungkin bisa menjulang hingga dua meter. Benda yang kemudian saya ketahui bernama radio itu masih menggunakan batu baterai sebagai penghantar energinya, cara supaya radio tersebut bisa menyala. Barulah ketika saya masuk SD, Bapak membeli radio kabel kira-kira selebar tangan orang dewasa, yang bisa dimasuki kaset pita, yang bisa ditancapkan mikrofon untuk karaoke, yang jumlah tombolnya ada banyak sekali, dan yang jelas, radio milik Bapak ini suaranya lebih jernih ketimbang radio milik Eyang yang harus geser-geser antena sampai tangan keram untuk mencari frekuensi radio yang bersih. Dari radio milik Eyang maupun Bapak yang seperti beda generasi itu, saya tetap menyukai satu hal menyenangkan dari media elektronik tersebut; radio nggak pernah tidur. Kalaupun ada satu dua saluran yang mati, pasti selalu ada saluran-saluran lain yang masih mengudara, entah sedang memutar lengger atau menyiarkan berita dunia, kita cuma perlu mengganti salurannya saja. Saya juga suka bagaimana radio bisa jadi teman ketika kita sedang bersama hal lain. Seperti Bapak yang sibuk membetulkan mesin rusak sambil mendengarkan radio berbicara soal pupuk kandang atau obat herbal tradisional. Ibu yang sedang memasak sambil menyanyi campur sari dari track list di radio. Atau semudah Eyang, yang cuma berbaring santai di tempat tidurnya sambil menunggu program favoritnya mulai di radio. Radio seolah-olah mengiringi sekaligus jadi teman berjalan.

    Tapi hal itu nggak berlangsung lama, sampai kemudian Eyang menghadap Tuhan dan radio milik Bapak dicuri maling karena keteledoran saya. Saya lupa tepatnya tahun berapa, tapi saya ingat saya masih SD saat itu. Bapak dan Ibu kebetulan sedang tidak ada di rumah, begitu pun dengan kakak dan adik saya yang entah sedang main ke mana. Sehabis ashar, saya diajak Nenek (dari garis keturunan Ibu, sedang Eyang dari garis keturunan Bapak) menonton pertunjukan wayang di lapangan bola dekat balai desa, saya melonjak senang dan langsung meluncur ke rumah Nenek menaiki sepeda, tentunya setelah mengunci pintu rumah dan memastikan semua telah aman. Malamnya sekitar pukul sebelasan, saya pulang dijemput Bapak dan Ibu karena sudah mengantuk berat. Sesampainya di rumah, kami semua terheran-heran karena pintu rumah dalam keadaan terbuka, dan ketika kami masuk ke dalam, tidak ada siapapun di sana. Ibu sampai ke rumah Nenek dan bertanya apakah Nenek sempat masuk ke dalam rumah dan lupa menutup pintu, dan bertanya pada tetangga sekitar kali saja ada yang bertamu. Semua jawaban adalah tidak, lalu Bapak menyimpulkan satu hal yang membuat Ibu berteriak saat itu juga: kami barusan dimaling. Radio kabel milik Bapak di ruang kamar hilang, semua pintu ruangan terbuka dan lemari-lemari milik Ibu juga menganga, beberapa baju dan kertas nampak berhamburan di lantai. Ibu berlari ke halaman depan rumah sambil berteriak ‘maling, maling’ berharap si tersangka masih di dekat jangkauan dan bisa tertangkap, meskipun kami semua tidak tahu pada jam berapa kami telah kecolongan. Saya menengok ke pintu depan dan tercenung, usia saya saat itu masih kecil tapi saya tau kebodohan apa yang baru saja saya lakukan; saya meninggalkan kunci rumah di gagang pintu. Malamnya saya menangis tersedu-sedu di kamar, tidak jadi tidur padahal mata mengantuk sekali. Tapi untung, sebab hanya radio yang dimaling, rupanya barang-barang berharga milik Ibu yang lain disimpan di tempat yang tidak tertebak, sehingga maling pun tidak akan bisa mengambilnya. Meskipun begitu, saya tetap merasa bodoh sewaktu itu, tingkat kebodohan paling tinggi di mana saya mengunci pintu tapi membiarkan kunci tersebut terus tercantel di gagangnya.

    Hari itu adalah hari bersejarah karena sejak saat itu, Bapak nggak lagi membeli radio, dan kegiatan mendengar siaran radio yang selalu mengisi sayup-sayup udara di rumah kami jadi menghilang. Barang-barang elektronik lain kemudian masuk; televisi, komputer dengan CPU besarnya, salon speaker untuk menyetel musik, dan VCD player dengan kaset CD isi lagu-lagu rock alternative jamannya Bee Gees, Mr. Big, Offspring, The Beatles, dan lain-lain. Rumah tetap berisik dengan suara-suara yang menguar itu, hanya medianya saja yang sudah berganti. Nggak ada lagi radio seperti jaman-jaman dahulu kala.

    Tapi itu nggak membuat saya lantas berhenti mendengarkan radio. Masuk SMP, saya bisa mengakses frekuensi radio tersebut lewat hape nokia dengan menyambungkan kabel headset. RRI, Paduka, Yasika, dan stasiun lain bisa saya nikmati siarannya ketika saya pulang sekolah sampai malam hari ketika mengerjakan pr. Ketika ada program request lagu dan salam-salaman lewat fitur sms, saya langsung meminta diputarkan lagu-lagu tertentu (biasanya band-band keren jaman SMP; Letto, Peterpan, Naif, Sheila On 7) dan mengirim banyak salam entah untuk siapapun. Hal-hal kecil seperti itu ternyata membuat saya senang, dan kegiatan mendengarkan radio itu selalu mengantar saya sampai tertidur, sampai lengger-lengger jawa kemudian diputar di sisa acara sampai subuh menggema.

    Lewat radio juga, saya sempat punya cita-cita untuk jadi penyiar radio, bekerja di dunia penyiaran, dan kuliah di jurusan Komunikasi demi bisa belajar broadcasting. Di SMA pun, saya beberapa kali ikut pelatihan penyiar dan sempat juga merasakan atmosfir studio penyiaran secara langsung di Sonora FM Purwokerto. Saya dan Aini, teman duduk saya waktu itu, mengisi program acara mingguan bertajuk Putih Abu-Abu. Kami berdua mengudara lewat mikrofon radio dan suara kami didengar oleh teman-teman lewat frekuensi 99,8 fm. Satu impian saya terwujud saat itu; menjadi penyiar radio. Meski dengan durasi kurang lebih 60 menit dan saya hanya dua kali mengisi program acara tersebut. Setidaknya, I really did it, berbicara di balik mikrofon dan orang-orang mendengarnya.

    Tapi things change, people change, feelings change too. Saya bukan berarti nggak mencintai radio lagi, di Jogja pun ketika saya punya waktu selo, saya selalu menyempatkan diri untuk menyetel radio, mendengarkan lagu-lagu popular diputar di track list dan berita-berita terkini disiarkan oleh penyiar. Malahan, program-program acara di radio sekarang nggak kalah bagusnya dengan program-program di televisi, karena baik radio maupun televisi, mereka punya platformnya sendiri untuk menyampaikan informasi kepada audiens. Bahkan teman saya, si Aini itu, partner siaran di Sonora jaman SMA dulu, sekarang sudah jadi penyiar sungguhan di stasiun radio yang sama. Kecintaannya pada radio ternyata membawanya langsung menuju apa yang dia mimpikan. Saya turut senang banget, soalnya jaman masih sekelas, ketika sedang nganggur dan nggak ada kerjaan, kami berdua suka putar radio dari ponsel jadul kami pakai headset, sampai kirim-kirim salam sambil minta request lagu padahal sedang ada guru yang mengajar di kelas. Sekarang pun ketika saya punya waktu libur di Purwokerto, saya suka main ke kantor Sonora dan menemaninya siaran dari balik mikrofon. Sungguh pun, berada di sana selalu mengingatkan saya soal mimpi-mimpi yang dulu pernah saya amini, kalau dulu saya pernah lho punya keinginan untuk jadi seperti itu. Dan sekarang, cita-cita saya tersebut sudah nggak begitu saya idam-idamkan, mungkin keinginan untuk bekerja di radio masih ada, tapi rasanya sudah nggak begitu menggiurkan seperti jaman saya SMP-SMA dulu. Saya juga nggak kepingin lagi kuliah di jurusan Komunikasi, soalnya sekarang saya sudah di Antropologi Budaya dan kajian belajar saya sudah sangat luas –mungkin malah bisa juga merambah ke dunia broadcasting, pakai teori Antropologi Media Massa atau Antropologi Digital­–. Tapi kalau saya diberi kesempatan untuk bekerja dan belajar di bidang penyiaran, ngurusin iklan dan strategi pemasaran, operator atau teknisi radio, jadi programmer, atau jadi penyiar itu sendiri, saya akan merentangkan tangan selebar-lebarnya sebagai bentuk kemauan saya sih. Saya mau banget lah! Sama halnya seperti teater, film, antropologi –atau hal-hal baik lainnya, radio juga jadi hal baik yang akan selalu saya apresiasi.

    Selamat hari radio bagi seluruh pendengar di jagat Indonesia! Semoga media komunikasi dan informasi ini akan terus mengudara sampai akhir hayat nanti. 



hobi siaran radio jaman SMA (dokumentasi pribadi)

Jumat, Juli 28, 2017

kontemplasi

andai boleh tidak bersekolah dan pergi jauh dari rumah, aku mau di dekapan ibu saja

Senin, Juli 24, 2017

Hamima yang Urakan versus Bapak yang Konservatif

    Judul postingan kali ini bisa kita refleksikan langsung pada persoalan krusial yang mendera hampir semua anak perempuan di rumah; jam malam, jam yang mana kita sudah harus berada di rumah.
  
    Bapak adalah tipe yang sangat konservatif. Dia akan mencekoki saya –anak perempuannya– dengan tatanan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat untuk membentuk saya menjadi perempuan yang benar –benar menurut standar beliau. Tidak urakan, tidak begajulan, tidak sembrono, tidak ngawur, dan salah satunya adalah tidak pulang terlalu malam.

    Dulu jaman saya ketika masih SMA, baru sampai di rumah saat maghrib saja, bapak sudah bertanya macam-macam. Habis dari mana, ngapain saja, kenapa baru pulang, kenapa hapenya mati, sampai terheran-heran karena melihat kaki saya yang berbalut sandal japit –padahal yang ini hanya soal kebiasaan, saya yang nggak betah pakai sepatu selalu bawa sandal japit ke mana-mana. Tapi hanya sebatas pertanyaan tadi, bapak nggak akan memperpanjang masalah, lalu kami akhirnya sama-sama lupa.

    Itu biasa, soalnya setiap saya pulang maghrib –entah karena urusan ekskul, tugas, atau main– pertanyaan bapak selalu jadi langganan. Tapi satu hal yang perlu dicermati, bahwa bapak sama sekali nggak menolerir segala bentuk keterlambatan pulang, apalagi di atas jam sembilan malam. Dan parahnya, saya beberapa kali, mungkin sering, melewati jam malam aturan bapak tersebut, bahkan sampai masih mengenakan seragam sekolah alias nggak pulang sedari pagi. Lalu kalian bisa menebak bagaimana kelanjutan ceritanya, iya, saya dimarahi habis-habisan.

    Pernah juga, saat proses pembuatan buku tahunan di sekolah yang menyita waktu sampai larut malam, saya berulang kali ditelpon bapak untuk pulang, mungkin saat itu sudah jam sebelas atau duabelas –lupa, dan sesi pemotretan di kelas saya belum rampung. Saya terus-terusan mendesak bapak untuk mencoba mengerti situasi, tapi bapak juga nggak habis-habisnya memaksa saya untuk pulang. Bahkan saya nego, akan menginap di kost teman yang lokasinya di belakang sekolah, tapi bapak bersikeras menolak. Kami sama-sama keras kepala dan nggak mau mengalah. Puncaknya bapak beneran marah dan berniat akan menjemput ke sekolah, saya sampai harus ke luar kelas dan menuju lapangan karena mata saya sudah merah menahan tangis. Satu jam berikutnya, saya betulan disamper orang rumah, sedikit lega karena itu bukan bapak melainkan abang saya. Sambil mengemasi barang bawaan, saya lalu pamit pada teman-teman karena sudah harus pulang, lalu di perjalanan menuju rumah, saya terisak hebat, tersedu-sedu, sampai mata kering karena tersapu angin malam. Lalu teman-teman boleh menebak lagi bagaimana kelanjutan ceritanya, iya, lagi-lagi bapak tidak terima, beliau marah, tapi nggak berlangsung lama karena sepertinya kasihan melihat saya yang sudah sembap dan bengkak duluan.

    Kejadian pulang terlambat lalu kena marah itu akhirnya jadi makanan sehari-hari saya selama SMA. Soalnya saya memang nggak bisa menahan diri untuk tidak pulang terlambat. Pasti selalu ada urusan, selalu ada kerjaan, selalu ada hal-hal yang memaksa saya untuk tinggal lebih lama di sekolah. Dan herannya, bapak juga sama sekali nggak pernah berhenti memarahi saya tiap saya pulang terlambat. Jam malam yang dibuatnya seolah-olah hanya kamuflase, saya nggak menganggap aturan tersebut ada untuk ditaati, saya cuma perlu berhati-hati saja. Kadang harus menggunakan akal cerdik untuk mengelabui bapak, membuat keadaan di mana beliau tidak akan tahu kalau saya pulang larut malam, entah dengan cara apapun. Beberapa berhasil, dan beberapa hancur lebur, lalu ya begitu, kena marah lagi.

    Saya mencoba memahami bapak, beliau begitu otoriter karena berusaha menjaga saya sebaik-baiknya. Apalagi jarak rumah ke sekolah yang terbentang cukup jauh –sekitar lima belas kiloan– yang saya tempuh dengan sepeda motor seorang diri, membuat bapak nggak punya alasan untuk nggak mengkhawatirkan anak perempuannya ini. Dan malam selalu disebut rawan untuk hal-hal berbau kejahatan. Dua alasan ini sepertinya yang dipakai bapak untuk kemudian mengatur saya dengan jam malam. Soalnya tiap bapak marah, bapak selalu bawa-bawa kasus penculikan, kecelakaan, begal, dan tindak kriminal lain yang diberitakan media, entah untuk menakut-nakuti saya, atau memang itu caranya mengontrol saya. Memang ngeri sih kalau sudah menyangkut urusan nyawa. Tapi seharusnya bapak juga mempercayai keberanian yang saya punya. Keberanian untuk pulang malam dan berkendara seorang diri. Betapa saya ingin sekali bapak menyambut saya setiap pulang terlambat dengan kalimat ‘wah mbak, kamu berani banget pulang jam segini,’ ketimbang marah-marah dan saling ngotot –soalnya kalau bapak sedang marah, saya suka ikutan jadi sewot. Tapi kalian tahu enggak? Kalimat ‘wah mbak, kamu berani banget pulang jam segini,’ itu selalu dicetuskan oleh ibu tiap melihat saya turun dari sepeda motor dan melepas helm, ibu sama sekali nggak pernah mengomentari kebiasaan saya pulang malam, habis bicara begitu, paling-paling ibu bertanya ‘habis main ke tempat siapa’ atau ‘sudah makan apa belum’, dan dari ibulah, saya kemudian merasa kalau beliau percaya dengan apa yang saya lakukan, ibu menaruh kepercayaan itu di kedua pundak saya, ibu percaya… kalau saya ini sudah cukup besar dan berhak menentukan apapun keputusan di dalam hidup, termasuk soal pekerjaan-pekerjaan saya yang membuat saya sampai harus pulang terlambat. Ibu melihat esensi dari pulang malam itu, hal yang tidak dilakukan oleh bapak.

    Sampai kemudian saya memasuki masa di mana saya harus pergi merantau untuk kuliah, di Jogja. Semakin terbentanglah jarak di antara saya dan bapak, beratus-ratus kilometer jauhnya. Saya bahkan sudah siap dengan segala resiko yang harus saya terima ketika bapak memilihkan saya kost-kostan, pasti yang ada jam malamnya, pasti yang ibu kosnya galak, pasti yang bersebelahan dengan rumah pak rt, pasti yang depannya poskamling, dan dugaan-dugaan lain yang mengarah ke sikap otoriter bapak. Saya sudah siap membayangkan kemungkinan itu, dan kemungkinan-kemungkinan lain yang akan saya gunakan untuk melawan aturan tersebut. Di SMA saja saya pulang sampai jam sepuluh, mana mungkin ketika sudah kuliah saya bisa ikut aturan jam malam di kost? Begitu pikir saya, agak sedikit licik tapi tetap tampil sopan.

    Yang mencengangkan berikutnya adalah, saya salah banyak! Mungkin kalau sedang ikut ujian, belum dikoreksi pun saya langsung dinyatakan enggak lolos. Bagaimana bisa? Bapak yang sangat konservatif apalagi terhadap hidup seorang anak perempuan itu ternyata memilihkan kost-kostan tanpa aturan jam malam, tidak dijaga oleh siapa pun, rumah pak rt-nya lumayan jauh, dan bukan poskamling yang berada di depan, melainkan kost-kostan cowok! Seperti tersambar geluduk, saya menatap bapak heran, tapi bapak enggak bicara banyak dan seolah yakin pilihannya adalah yang terbaik. Ini mah bukan terbaik lagi, tapi sudah kategori keren bangettt.

    Kalau sebelumnya saya masih dalam tahap mencoba memahami bapak, sepertinya kali ini saya sudah memahami beliau dan terjun langsung ke dalam setiap pikirannya. Bapak, seperti ibu, menaruh kepercayaan yang beliau miliki di kedua pundak saya, berharap saya nggak akan menjatuhkannya dan membuatnya hancur. Mengekang saya ke dalam aturan bapak sementara si pembuat aturan tidak berada di sekeliling saya, nampaknya bukan solusi yang tepat untuk menjaga putri bapak ini yang akan hidup jauh di kota orang. Soalnya dengan sifat saya yang begini, bisa saja saya kabur dan tidur di jalan, membuat onar sampai bikin pusing semua orang, atau mungkin membawa masuk teman cowok ke dalam kamar di depan penglihatan ibu kost. Jadi akhirnya diculke (dilepaskan) sekalian saya sambil menenteng kepercayaan milik Bapak dan Ibu yang meskipun nggak berbentuk apa-apa, tapi terasa berat dan sungguh-sungguh, kepercayaan mereka lah yang kemudian menjadi kontrolku di Jogja. Kontrol untuk nggak bertindak srampangan dan membuat keributan. Padahal ya saya nggak akan gitu-gitu amat kok, lha wong perempuan lemah lembut begini masa ditakutkan akan membuat onar, hehe.

    Lalu setelah saya beneran jadi anak kuliah yang memang nggak bisa diatur dengan jam malam –soalnya urusan organisasi, tugas, kerjaan, dan tetek bengek lain sama sekali nggak bisa dikompromi– saya beneran jadi sering pulang larut malam bahkan sampai pagi. Dengan kondisi long distance relationship seperti ini, bukan berarti bapak jadi nggak pernah marah-marah terkait kebiasaan saya pulang larut ini, kadang kalau pukul sebelas atau duabelas saya masih di luar dan bapak menelpon, saya suka beranjak dari orang-orang lalu mencari tempat yang sepi dan bilang kalau saya sudah berada di kost, kurangajar memang, tapi kalau kadang-kadang pingin dengar bapak mengomel, ya sudah, tinggal bilang saja kalau saya masih di luar, berhahahehe bersama teman, pasti lah habis itu saya disembur habis-habisan. Saya memang kadang-kadang jadi kangen dimarahi bapak, soalnya makanan sehari-hari saya ketika di rumah itu mendadak berhenti dan hilang. Kini, semua tak lagi sama~

    Tapi sebenarnya apa yang membuat saya terus-terusan melawan aturan bapak itu? Bukankah jam malam memang baik untuk keberlangsungan hidup kita? Apalagi untuk perempuan yang melekat dengan stereotip kalau pulang pagi berarti perempuan yang nggak-nggak, yang nggak-nggak-nya itu gimana ya juga nggak ngerti. Jauh di dalam lubuk hati saya, saya kepingin sekali mengenyahkan stigma-stigma jelek tersebut yang selalu menggondol punggung-punggung perempuan. Kenapa harus dikata perempuan yang nggak-nggak sih alih alih bilang kalau di jalanan itu saat malam hari memang rawan kejahatan. Kenapa yang laki-laki nggak dikata laki-laki yang nggak-nggak kalau mereka juga pulang pagi? Bukannya sama-sama pulang pagi, lewat aturan jam malam yang diberlakukan masyarakat? Kadang, ada banyak pekerjaan yang memang nggak bisa dikompromikan dengan aturan-aturan tertentu. Coba, daripada meneriaki kami sebagai perempuan yang nggak-nggak cuma karena pulang larut malam, kenapa nggak mencoba mengantar kami pulang, membuat kami aman di perjalanan pulang, membuat kami selamat sampai di rumah, karena untuk menciptakan perasaan aman itu, kami perlu orang-orang yang mau membantu kami, bukan orang-orang yang meletakan stigma pada kami.

    Dan satu lagi yang ternyata luput saya perhatikan. Cara bapak membuat saya merasa aman, adalah dengan menjadi konservatif terhadap hal-hal tertentu, salah satunya jam malam. Saya mungkin nggak mengerti semua alasan bapak, kenapa beliau sampai harus marah-marah tiap kali saya pulang larut malam, pun tiap kali saya ngawur dalam bertindak. Tapi saya tahu betul, itulah cara beliau. Sama seperti ibu yang nggak banyak bicara dan mengalihkan masalah dengan hal lain –untuk membuatnya reda. Baik bapak maupun ibu punya caranya sendiri. Dan cara mereka adalah bentuk mereka menjaga saya, untuk tetap aman, untuk tetap hidup. Mereka adalah orang-orang itu, orang-orang yang membantu kami –kaum perempuan– untuk bisa terus aman di lingkungan kami tinggal.

    Duh, Gusti, semoga bapak ibuku sehat-sehat selalu.

Sabtu, Juni 17, 2017

Tujuh Hal; Bicara yang Baik-Baik

Saya dulu pernah berdoa, “Tuhan, kapan-kapan ijinkan saya untuk hidup di Jogja.” lalu saya betulan ke sana dan tinggal di Caturtunggal kecamatan Depok. Saya juga dulu pernah berdoa, “Tuhan, kalau cocok waktunya nanti, ijinkan saya belajar antropologi di sana.” lalu Tuhan betulan kasih jurusan tersebut dan saya sungguh-sungguh jadi anak antro. Betapa Tuhan sangat murah hati menjadikan alam raya Jogja seperti sesak oleh kebaikan-kebaikan.

Kebaikan-kebaikan.

Ramadhan di Jogja pun dilalui dengan menjalankan ibadah UAS, hal yang konkrit untuk mengakhiri tetek-bengek kuliah semester empat. Saya nggak cukup semangat untuk menjelaskan prosesi itu, tentang bagaimana saya lembur tiap malam sampai sahur untuk bikin paper, ke sana-sini cari tinjauan pustaka untuk bahan artikel (dan ketakutan baca jurnal akibat topik paper adalah tentang hantu), baru tidur sehabis subuh dan kelabakan pukul sepuluh pagi karena harus ke ruang ujian, ya apalagi kalau bukan soal itu-itu terus, kalian saja bosan dengarnya, lah gimana saya yang ngejalanin?

Lalu terbayang masa tua…

Bagaimana dengan ide bersantai bersama cucu-cucu, merajut di teras rumah sambil mendengarkan lagu-lagu keroncong? Atau mencari danau-duduk di tepian-memberi makan kucing ketika akhir pekan, lalu menanam jeruk di sepetak lahan kecil belakang rumah ketika sore hari, sisanya membuat kue dan mengundang tetangga-tetangga untuk mampir dan mencicipi?

Tapi belum tahu juga sih, mungkin tua nanti saya masih melakukan proyek penelitian di komunitas pedalaman tertentu, hidup berbulan-bulan bersama penduduk lokal di sana, tidak merayakan lebaran bersama, tidak ada perayaan ulang tahun, tidak mengenal malam tahun baruan, tidak menyentuh sinyal seluler dan alat elektronik (kecuali mungkin perekam suara dan radio antena) serta tinggal sangat jauuuuuuuuuuuuuuuuuuuh dari tempat keluarga berada.

Menarik...

Ketika Jogja sungguhan jadi alam raya yang baik, dan datang bulan Ramadhan yang penuh kebaikan, rasa-rasanya selama hidup itu saya nggak perlu deh bersedih-sedih dan menjadi murung. Tagline hidup saya ‘jangan lupa bersedih’ kemudian saya pause sejenak, buat kapan-kapan lagi saja, pikir saya habis itu. Soalnya sayang sekali kalau dua kombinasi kebaikan itu enggak saya hayati dan resapi baik-baik. Jadi selama awal Ramadhan saya di Jogja, saya baptiskan diri untuk terus hidup dengan hal-hal baik, apapun itu, meski sebenarnya kening saya sedang minta terus-terusan dipijat karena pusing kepala sebelah, hahaha.

Apa salah bersama malam dan menolak pagi?

Yang pertama adalah saya jadi sering bersentuhan dengan dini hari, mulai pukul dua belas malam hingga adzan subuh menggema. Penyebab satu adalah UAS, penyebab dua adalah saya kadang-kadang nggak suka suasana sepi di kostan, jadinya saya selalu mencari orang dan keramaian untuk mengobati diri, dan gelanggang adalah ke mana saya kemudian parkir motor. Teman-teman TGM (Teater Gadjah Mada) khususnya, seperti mematri jiwa mereka pada pondasi-pondasi, semen dan lantai ubin, langit-langit, hall teater, asbak rokok, komputer berpentium dan pes player, koneksi wifi ugm yang menakjubkan, dan obrolan-obrolan liar yang menyimpang, tapi selalu membuat hati kami kenyang. Menjelang malam mereka selalu hadir bersama jiwa-jiwa tadi dan hidup bersama semalam suntuk sampai udara berubah jadi dingin pukul tiga, lalu mencari makan sahur di jalan-jalan kaliurang dini hari yang ramai, dan kembali pada dunia mereka yang sebenarnya (kost-kostan) ketika imsak. TGM menjadi lengang ketika matahari pagi bersinar dan akan padat merayap lagi menjelang malam. Dan di sana, saya nggak perlu mengkhawatirkan soal perasaan sepi yang suka pelan-pelan mengendap di sanubari.

Hal kedua adalah saya juga mulai rutin konsumsi jamu, meski nggak serutin setiap hari, sih, tapi paling enggak selama Ramadhan di Jogja ini saya sudah minum beras kencur beberapa kali (langganan di raminten dan tukang jamu keliling di dekat pasar), temulawak meski rasanya enggak enak, sedikit jahe, dan sedikit kunir asem. Mungkin kapan-kapan saya perlu mencoba jamu dengan bahan tanaman lain, atau meracik sendiri jamu yang tinggal diseduh menggunakan air panas –soalnya ibu di rumah punya jamu rebus berupa dedaunan kering dan beberapa tanaman jamu. Jamu adalah minuman yang baik, ia tidak jahat, sebab khasiatnya sangat menyembuhkan. Dan menenangkan kalau teman-teman mau coba.

Hal ketiga adalah saya masih menyempatkan diri untuk datang ke pameran seni dari skala kecil seperti di Bentara sampai sebesar Art Jog yang temanya saja pakai bahasa Inggris –Changing Perspective, dengan harga tiket yang naik drastis dari tahun kemarin, yakni lima puluh ribu rupiah, bonus tiga ribu untuk parkir sepeda motor dan dua puluh ribu lima ratus untuk mengisi tangki bensin sampai penuh –soalnya lokasi Art Jog ada di JNM (Jogja National Museum) yang lumayan jauh dari Jakal tempat saya hidup. Seenggaknya dengan saya mengunjungi art exhibition macam-macam di Jogja, saya jadi bisa melek soal seni dan belajar memahami mereka. Syukur-syukur paham, tahu artwork-nya saja sudah bagus banget, apalagi kalau bisa sekalian berefleksi, ya tho.

Hal keempat adalah mencari menu buka puasa gratisan. Dan memelihara kekaguman tentang berapa total banyak rupiah yang dikeluarkan untuk membiayai persoalan gratisan ini. Takjil, makanan berat, belum lagi kalau lauknya adalah daging sapi yang harga sekilonya di pasar saja mencapai seratus sepuluh ribu (sekarang naik enggak sih?), ditambah kalau jumlah jamaahnya mencapai ratusan seperti di Masjid Jogokariyan daerah Krapyak. Kemarin-kemarin saya sempat ke sana bersama salah satu teman antro menjelang adzan maghrib untuk ikut menyantap menu buka gratisan. Dari jalan depan pelataran masjid saja, orang-orang sudah berbondong-bondong menggelar tikar dan menyanding piring serta gelas berisi, belum lagi yang berada di dalam masjid, di depan halaman masjid, dan di depan rumah-rumah warga sekitar masjid. Saya nggak bisa membayangkan ada berapa banyak kebaikan yang menyalur dari satu orang ke satu orang yang lain lewat piring dan gelas-gelas. Apalagi saat itu ketika saya menengok lauknya, adalah ayam broooooo yang disandingkan, dan lumayan banyak untuk ukuran menu buka puasa. Piring-piring serta gelas-gelas itu juga terus berdatangan seiring diambil satu per satu oleh orang-orang di sana. Masya Allah! Ada berapa ayam yang dipotong ya? Siapa yang nanti mencuci piring gelas bekas kami makan? Tuhan, tolong lingkupi masjid itu dan orang-orang di dalamnya dengan kebaikan selalu. Baik banget mau bantu perut saya kenyang dengan modal nol rupiah alias gretong. Mahasiswa memang hidupnya enak terus!

Hal kelima, salah satu favorit saya; saya sudah mulai merajut! Senang! Meski baru belajar dan jemari saya masih canggung untuk menyentuh jarum dan benang secara bersamaan, seenggaknya saya betulan melakukan hal ini –merajut dan membuat sesuatu, seni kerajinan yang sebenarnya saya idam-idamkan dari bulan-bulan lalu tapi baru terealisasi di Ramadhan yang baik ini. Saya belajar merajut di Poyeng Shop di daerah Palagan dekat Monjali dan bertandang ke sana saat sore hari sampai jelang waktu berbuka.

Hal keenam adalah, saya akhirnya bisa menyaksikan beberapa pertunjukan musik oleh musisi lokalan, yang namanya jarang disebut-sebut di televisi dan mungkin teman-teman juga nggak pernah mendengar, tapi lagu-lagu mereka syahdu dan menenangkan, dekat dengan hidup sehari-hari tanpa sesuatu yang dilebih-lebihkan. Di antaranya adalah Mbak Lani dari Frau (alumniku di antro wkwk) dan Sekar Sari (seniman cantik Jogja yang sepertinya bisa ngapa-ngapain; main film, teater, menari, nyanyi) yang waktu itu manggung secara sukarela alias kami datang dengan tidak membayar apa-apa di Rumah Budaya Siliran dekat Alun-Alun Kidul, lalu tiba-tiba kaget karena ada Mas Danto dari Sisir Tanah juga yang kemudian diminta untuk menyanyi, berduet dengan Mbak Lani dan membawakan Lagu Bahagia, lagu yang beneran bikin saya bahagia. 

Nyanyikanlah harapan, perjuangkan tujuan, bahagia kehidupan, bahagia kehidupan, begitu liriknya.

Lalu besoknya saya menonton Jono Terbakar (yang jadi soundtrack artist untuk film Ziarah) membawakan tiga lagu dari albumnya Dunya Akherat. Pernah kau berlari, mengejar mimpi malam tadi? Berlalu sangat cepat, terasa sungguh singkat, tak terulang lagi… salah satu lagu yang disandingkan kepada kami, puitis dan sangat sederhana. Besoknya lagi, saya kembali menonton pertunjukan dari Sisir Tanah yang dilangsungkan di Teater Garasi daerah Ngestiharjo, Bantul. Senang langung merayapi perasaan saya, begitu saya diberi kesempatan baik untuk singgah ke sanggar Teater Garasi –salah satu kelompok teater wangun di Jogja, sekaligus menyaksikan Sisir Tanah, yang sangat saya amin-amini belakangan ini karena rindu mendengarkan lagu-lagu yang bisa bikin tenang, and Sisir Tanah did it. Lagu-lagu mereka mengajak pada banyak kebaikan, tentang seruan untuk mencintai alam, mencintai diri sendiri, mencintai kesedihan, mencintai kebahagiaan, untuk berjalan, untuk bertualang. Siapakah kita ini, manusia, yang dalam diam, riuh, rapuh, dan tak mampu… dan saya tenggelam mendengar nyanyian mereka, hanyut dan terombang-ambing di permukaan.

Bertahankah kita ini, manusia
Yang dalam diam riang, ringkih, rumit, dan terhimpit
Ada bahagia, tidak bahagia
Ada di sini ada di sana
Ditikam-tikam rasa


Saya sempat jadi diam dan termenung sesuatu. Belakangan ini saya tahu kalau saya sedang dihinggapi perasaan malas pulang ke rumah, saya enggan bertemu dengan banyak orang dan hanya ingin berjalan ke sana-sini sambil meresapi banyak kehidupan. Ibu beberapa kali bertanya, ‘kapan pulang, mbak?’ dan saya selalu jawab ‘nanti bu, masih ada acara di sini.’ dan terheran-heran sendiri. Pulang dan liburan di rumah adalah hal yang ditunggu oleh teman-teman setelah bergetih-getih jadi capek selama kuliah di kota orang, tapi hal itu enggak berlaku untuk saya, saya seperti orang bingung, terus berputar-putar dan menolak segala jenis kepulangan.

Dan itu bukan hal yang baik…

Sebab ibu barangkali menginginkan saya untuk pulang.

Lalu setelah khusyuk beribadah mendengarkan Sisir Tanah, saya lalu menerpa diri dengan angin malam satu kali lagi, kemudian menelpon Ibu dan membuat keputusan, ‘Bu, aku pulang besok, ya.’

Kebaikan terakhir yang akan saya bicarakan –sekaligus jadi hal ketujuh, adalah saya bisa berbuka puasa sekaligus santap sahur bersama Bapak dan Ibu di kota Jogja, hanya kami bertiga, tidak ada kakak dan tidak ada adik. Setelah kemarin saya membicarakan perihal pulang dengan Ibu, besoknya sehabis subuh mereka berdua berangkat dari rumah untuk menjemput saya, sekaligus mengangkut beberapa barang di sini yang harus dibawa pulang. Ketika Jogja sungguhan jadi alam raya yang baik, dan datang bulan Ramadhan yang penuh kebaikan, kemudian muncul Bapak dan Ibu orang-orang yang baik, rasa-rasanya selama hidup itu saya nggak perlu deh bersedih-sedih dan menjadi murung, kutip saya lagi, mengulangi perkataan di atas.

Seumpama sedih
Hidup memang tugas manusia
Jangan ada benar
Takkan pernah ada
Tempat yang sungguh merdeka
Seumpama lelah
Masih tersisa banyak waktu
Menjelmakan mimpi, menggerakan kawan, hadirkan perubahan
Menjelmakan mimpi, menggerakan kawan, mendatangkan damai
Seumpama suka
Kau ambillah jantungku saja
Di situ ada kepastian meski degupnya tergesa,
Tapi bukan untuk bercumbu
Bakar petamu jejak baru
Bakar petamu jejak baru
Bakar petamu jejak baru
Panjang umur keberanian, mati kau kecemasan dan ketakutan
Panjang umur keberanian, mati kau ketidakadilan dan penindasan
Panjang umur keberanian, mati kau keberanian yang dipaksakan
Panjang umur…
Semangat baik… (26x)


saya dan dini hari 

mas danto dan sisir tanah 

Art Jog, ini adalah salah satu karya seni favorit saya 

TGM dan hal-hal yang lengang, empat pagi 

merajut, belajar mengendalikan diri untuk misuh 


subuh dan perjalanan pulang