Tampilkan postingan dengan label Pertunjukan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pertunjukan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, Mei 11, 2019

Menyelami Pertunjukan: While You’re Away - Studio Batu

Rasanya sudah lama sekali nggak berpergian untuk melihat sebuah pertunjukan (apalagi yang inisiatornya cukup kondang di lingkup pertunjukan Jogja). Maka ketika kesempatan untuk itu betulan hadir, tepatnya di awal april yang sedang musim gerimis, saya jadi sungguh-sungguh dan bersemangat sekali untuk turut andil dalam pertunjukan tersebut –tentunya sebagai tukang apresiasi alias penonton.

Pertunjukan yang enerjinya saya curahkan betul-betul itu judulnya While You’re Away, sebuah pementasan visual yang dikerjakan oleh teman-teman dari Studio Batu. Mereka adalah sekumpulan penggiat seni kolektif asli Yogyakarta, latar belakang anggotanya beragam; seni rupa, film, musik, arsitek, dan sepertinya masih ada yang lain. Studio Batu juga aktif mengeksplorasi karya film dan produksi film-film pendeknya memenangkan beberapa penghargaan di tingkat internasional; Prenjak di Cannes dan Lembusura di Berlin, familiar dengan judul-judulnya?

While You’re Away (judulnya saja sepilu itu) berkisah tentang seniman era 1990-an bernama Iyok Suntari. Iyok memiliki kekasih bernama Vita, seorang pemain orkestra yang meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat di Sumatra. Dalam perjalanannya, Iyok kemudian berusaha menghadirkan kenangan akan kekasihnya dalam bentuk rangkaian karya. Ia membuat instrument untuk memutar piringan hitam yang berisi lagu-lagu lama Indonesia. Tapi proyek seni yang dikerjakannya tak selesai lantaran Iyok menderita asam lambung hingga membuatnya meninggal. Studio Batu kemudian menemukan karya yang tak rampung tersebut, menggenapinya, lantas membagikannya untuk dinikmati publik. Tentu saja, tokoh Iyok dan kekasihnya dalam cerita ini hanyalah fiktif belaka.

Elemen-elemen yang tampil dalam pertunjukan ini cukup kompleks; video mapping yang nampak nyata, seni instalasi yang terkonstruk dengan indah, teater bayangan yang bikin termangu, musik latar yang komposisi lagunya enak-enak banget, dan kesemuanya berhasil membangun narasi jadi lebih utuh, bikin perasaan meluruh, dan yang jelas, saya nangis nontonnya.

While You’re Away adalah upaya merawat ingatan dan juga perjalanan soal kenangan. Tentang pertemuan, perpisahan, cinta dan harapan –yang meski akhirnya pupus dan hangus. Memori-memori ini hadir dan direpresentasikan melalui lagu-lagu lawas Indonesia yang terputar lewat piringan hitam; Serunai Malam-nya Bing Slamet, Lukisan Malam-nya Sam Saimun, Kisah Cinta-nya Lilis Suryani, Senja di Wajah-nya Ayu Titiek Puspa, dan beberapa lagu aransemen Studio Batu yang belum dirilis secara resmi. Aduhai Tuhan… saya ingin menonton lebih banyak pertunjukan seperti ini, yang mampu membuat hati menghangat dan memaki asu secara bersamaan saking takjubnya!

Tabik untuk Studio Batu yang mengagumkan!

main shadow puppet 

Minggu, April 29, 2018

Kena sihir 'Cerita Anak' milik Papermoon

Rasanya kalau mengingat-ngingat konsep pertunjukan yang dihelat oleh Papermoon pada akhir april kemarin, perasaan saya langsung jadi bergemuruh; karena senang, takjub, sekaligus merinding. Saya pernah bilang sebelumnya, menonton teater sama dengan membantumu untuk berefleksi, tapi kalau konsep teater itu bagus, kamu bukan hanya bisa berefleksi saja, tapi kamu juga akan dihantarkan pada banyak perasaan-perasaan yang meluap, meluber, sampai kamu sendiri kesulitan menampungnya.

“Cerita Anak” adalah bentuk teater interaktif yang didesain untuk anak usia 2-8 tahun (tentu dengan dampingan orangtua). Pementasan ini digawangi oleh Papermoon Puppet Theatre (komunitas teater boneka dari jogja) dan Polyglot Theatre dari Australia sebagai bagian dari pembukaan pameran seni ArtJog 2018. Cerita Anak juga ternyata pernah dipentaskan di Melbourne, tentunya dengan versi yang berbeda. Jalan cerita di dalam pertunjukan ini sebenarnya sangat sederhana. Seorang anak TK yang menonton pasti bisa dengan mudah menceritakannya di hadapan teman-teman mereka. Tapi bagaimana kemudian alur tersebut dieksekusi dan dibungkus dengan sedemikian indah, adalah poinnya.

Cerita Anak berlatar di sebuah perairan laut luas. Dilansir dari website ArtJog, tema pertunjukan ini mengenai sejarah maritim dan kisah nyata seorang anak Srilangka yang menjadi salah satu pencari suaka di Australia. Panggung teaternya dibuat berkelambu, dan ada kapal besar sebagai properti utama yang ditaruh di tengahnya. Tiga orang dewasa yang berperan sebagai awak kapal kemudian masuk dan memulai petualangan, disusul rombongan anak-anak manis bersama orang tua mereka yang juga memainkan cerita. Menariknya, anak-anak tadi benar-benar diterjunkan tanpa arahan sutradara, mereka bebas bermain dengan berbagai properti laut yang ada di panggung. Ketika air ombak yang divisualkan lewat kain biru tipis saling bergulung, mereka langsung lompat dan ikut bergelung di dalamnya. Ketika awak kapal menyuruh mereka untuk masuk ke dalam kapal karena air ombak semakin tinggi, mereka kemudian menjerit-jerit dan langsung menaiki kapal. Ketika kapal masuk ke wilayah laut lepas dan mulai muncul banyak ikan-ikan, mereka kemudian diajak untuk memancing dengan alat pancing mainan. Ketika kapal tenggelam setelah menerjang badai ombak yang liar, mereka lalu mencengkeram tangan orang tua mereka karena ketakutan. Sepanjang pertunjukan, anak-anak kecil itu tertawa, terperangah, kaget, berteriak, menggumam, dan berbagai emosi mereka ikut saya rasakan, membuat saya tersenyum lebar melihatnya. Sangat lebar sampai saya sendiri nggak sadar kalau saya sedang tersenyum.

Semua adegan dalam Cerita Anak tentu sangat emosional, dan saya tidak bisa menuliskan detil bagaimana perasaan-perasaan tersebut menguras saya. Ada pula beberapa adegan yang saking emosionalnya, mata saya langsung berkaca-kaca menahan tangis.

Salah satunya adalah ketika melihat properti teater berbentuk hewan laut super besar yang diperagakan menggunakan lampu warna-warni, saat itu saya refleks mencengkeram tangan Pije (teman nonton saya waktu itu) dan kami memekik bersama. This is just so beautiful, mata saya berair dan menghangat. Saya nggak punya kosa kata lagi untuk menggambarkan betapa ‘Cerita Anak’ ini begitu indah. Saya seperti disihir, oleh anak-anak yang bermain dengan polos (spontan dan tanpa skrip), tata lampu, proyeksi video, properti panggung, setting suara, plot cerita, dan semua kombinasi yang membuat pertunjukan itu sangat kontemplatif. Cerita Anak seperti menghidupkan kembali imajinasi dan dinamika anak-anak yang sederhana dan begitu menyenangkan, pada kami orang-orang dewasa yang menonton.

magissssss

Malam itu saya berterimakasih banyak pada Mbak Ria Papermoon dan seluruh kru yang telah menyajikan pentas teater seapik itu. Saya pulang dengan perasaan bahagia berkali-kali lipat, sambil menyeka mata dan bertepuk tangan tak habis-habis.


sumber foto: instagram papermoon puppet theater

Minggu, April 01, 2018

Self-healing abad kontemporer: duduk di kursi teater

    Jadi sudah belakangan ini saya merasa nggak enak badan, pikiran, dan juga perasaan. Hawanya jadi uring-uringan melulu. Mungkin efek tugas-tugas kuliah yang sangat membebani pundak kali ya. Tapi selain itu, saya sebenarnya sadar satu hal akan kondisi saya sekarang ini; saya lagi bosan banget! Semester enam ini saya sudah lepas dari segala bentuk penyematan jabatan, saya nggak lagi rapat sehabis kelas, nggak lagi ngevent di fakultas tiap malam minggu (saking seringnya fib bikin acara), nggak lagi nongkrong di hall teater ngomongin proyekan sampai jam dua pagi, nggak lagi ribet ngurusin keuangan dan bikin proposal program kerja, nggak lagi cari-cari kerjaan di luar kampus (magang, ikut kepanitiaan, cari duit), nggak lagi wara-wiri cari penghidupan di seantero jogja sampai lupa kuliah lupa makan lupa mandi lupa harus tetap tenang.

    Kalau dipikir-pikir, semester enam ini sudah jadi bebas banget, dan saya kira saya bakal lega sampai paru-paru, tapi rupanya nggak lega-lega amat. Saya kira saya akan menjalani hidup dengan damai, tapi ternyata nggak damai-damai amat. Saya jujur aja, tapi kok rasanya malah pusing ya? Pusing karena saya nggak punya kehektikan apapun. Hidup saya sekarang jadi cuma perihal kuliah, dan kalian tahu lah kerjaan di antro itu ngapain; baca jurnal, review, baca jurnal, review, baca jurnal, dan sumpah kegiatan itu tuh sebenarnya sangat membosankan. Pengetahuan akan isu-isu baru di dalam artikel memang jadi nambah sih, tapi ya sudah cuma sampai itu, saya nggak punya banyak pengalaman di lapangan. Suka heran juga saya, kenapa jadi jarang riset ke lapangan ya? Padahal ini modalnya anak antro. Sudah tiga tahun ini saya melakoninya, tapi rasa-rasanya baru kali ini ngempet banget di pikiran, kaya muak sampai ubun-ubun tapi nggak bisa ngapa-ngapain setelahnya. Nggak paham lagi lah dengan hidup ini, kadang jalur lintasannya memang bisa bikin pingsan.

     Maaf saya jadi marah-marah satu paragraf panjang begitu. Intinya, di saat kondisi bosan saya sungguh-sungguh ingin meledak, saya mulai merutinkan kembali ibadah rohani yang dulu sering saya lakukan untuk menyeimbangkan hormon saya; cari festival, nonton screening film, ke pameran, naik kereta, jalan-jalan sore, dateng konser, dan salah satunya adalah menonton pertunjukan teater!

    Sebenarnya niat terselubung di balik nonton teater adalah; saya pingin banget duduk di kursi penonton sebuah gedung pertunjukan yang besar. Sebutlah kalau di Jogja itu berarti concert hall-nya TBY. Kalian boleh menyebut saya aneh atau nggak masuk akal, tapi saya memang akan jadi baik-baik saja kalau sudah duduk di kursi penonton itu. Senderan sambil menyangga dagu, melihat berderet-deret kursi lain di sekitar, merasakan atmosfir pertunjukan lewat lighting redup, panggung megah, aktor yang mungkin tiba-tiba muncul dari samping, setting musik yang disetel padu, tata artistik yang seolah jadi hidup ketika disorot lampu, dan segala komponen lain yang menyatu dalam sebuah pertunjukan.

    Kayak kemarin ini, ketika saya diajak teman untuk nonton teater lakon Jawa Barat di concert hall TBY, langsung menjerit-jerit mau lah saya, apalagi tiket masuknya gratis. Saya sih nggak berekspektasi apa-apa terkait konsep pertunjukannya, asal saya bisa duduk di kursi penonton concert hall aja saya sudah lega banget lah. Saya akan meluruhkan segala beban di kepala, pundak, maupun lutut kalau sudah duduk di kursi penonton. Rasa-rasanya jadi kaya sedang menjalani pengobatan altenatif, untuk menyembuhkan penyakit-penyakit yang mendera dalam kehidupan usia dua puluhan. Asli lah, nggak bohong saya.

    Tapi meskipun nggak berekspektasi apapun terhadap teaternya, saya akan tetap memperhatikan jalan cerita dan setting lain yang dibangun oleh kru. Soalnya kalau saya nggak serius nonton, ya nggak dapet lah atmosfirnya! Apalagi kalau selesai pertunjukan dan ada curtain call setelahnya, rasanya pingin banget tepuk tangan paling lama dan paling keras –yang mana adalah bentuk apresiasi ter melegakan di atas panggung. Pulang-pulang, bahagia lahir batin lah saya, dan kalau pas kebetulan konsep teaternya bagus parah, bahagia saya jadi berlipat bertingkat-tingkat, sampai kadang saya nggak bisa berkata-kata dan cuma mampu menangis. Contoh kasus yang ini adalah pertunjukannya teater Tamara (tak mudah menyerah) berjudul Gejolak Makam Keramat, yang dimainkan oleh ibu-ibu penyintas tragedi 65 yang pernah lalu-lalang masuk-keluar camp penahanan akibat peristiwa politik berdarah tersebut. Rasanya selesai menyaksikan pertunjukan mereka, saya seperti punya keberanian baru untuk hidup. Saya nggak pernah tahu sebelumnya kalau menonton teater bisa jadi semagis itu. Kalau dengan menonton teater, saya bisa berkontemplasi tentang banyak hal dan bersyukur karenanya.

    Teman-teman yang lagi pusing banget sampai pingin muntah, bilang saya ya, nanti saya ajak duduk di kursinya gedung teater.


prosesi curtain call setelah pertunjukan selesai

Minggu, Desember 10, 2017

Tentang Cita-Cita Punya Gedung Pertunjukan

    Saat itu saya dan Mbak Devi sedang duduk di dalam ruang pertunjukan Societet Militair TBY (Taman Budaya Yogyakarta). Kami hanya berdua di ruang yang lengang tersebut, ngaso sebentar sambil menunggu teman-teman komunitas film yang tengah menyantap makan siang di teras luar.

   Saya dan Mbak Devi tengah menjalankan pekerjaan kami sebagai panitia divisi hospitality dalam suatu festival film yang digelar oleh Dinas Kebudayaan DIY. Sebuah divisi yang sekaligus menyublim menjadi LO. Kami melayani dan mengakomodasi seluruh kebutuhan peserta festival, dari transportasi sampai masalah penginapan di hotel, mengingatkan mereka untuk sarapan sampai menawarkan obat-obatan kalau-kalau ada yang sakit, mengabsen mereka satu-satu di setiap pergerakan menuju venue festival sampai hal-hal remeh seperti ditanyai peserta “apakah mbak seorang panitia?” saking tidak yakinnya melihat anak kecil seperti saya mengalungi co-card panitia, menenteng tumpukan kertas-kertas penting, dan hobi lari ke sana-sini untuk mengurus banyak hal. Dengan jumlah peserta yang hampir mencapai 100an orang, saya bersyukur saya ditemani oleh Mbak Devi, yang sabar dan mau bekerja bersama saya yang sedikit-sedikit suka panik. Nggak kebayang rasanya kalau hanya ada saya seorang, mungkin saya sudah jadi batu bata yang siap dilumuri adonan semen, memilih untuk dibuat tembok saja.

 Di dalam ruang pertunjukan yang melompong itu, saya mengangkat kaki ke atas kursi penonton berwarna merah dan menyenderkan badan saya dengan nyaman. Mbak Devi sedang bermain ponsel. Saya menyusuri ruangan lebar itu lekat-lekat lalu berujar lirih, “Aku pingin deh punya gedung pertunjukan alternatif, yang aku kelola sendiri, bukan milik pemerintah.”

 Mbak Devi melonjak dan tiba-tiba menyahut, “Iya sama, aku juga!”

   Saya lebih terkejut lagi menyadari kalau ternyata ada juga orang yang bercita-cita sama seperti saya; punya gedung pertunjukan sendiri. Entah sudah berapa kali saya bilang hal yang serupa kepada teman saya dan hanya ditanggapi dengan ah oh ah oh biasa, beberapa bahkan malah menyuruh saya kerja di XXI atau bioskop mall lain, kan bikin sebal. Padahal bukan seperti itu maksud saya.

    “Kalau bisa yang jumlah kursinya nggak banyak-banyak amat, kayak di sini juga nggak apa, 200an kursi.” saya bicara lagi, sambil menaikkan kaki ke punggung kursi di depan saya, mengikuti gaya duduk Mbak Devi. "Yang bisa dipakai untuk nonton beragam pertunjukan; teater, film, konser. Kalau bisa juga yang aksesnya mudah dan bisa dijangkau kelompok menengah ke bawah. Soalnya selama ini, bioskop, gedung teater, dan ruang pertunjukan sejenis selalu punya privilej untuk masyarakat kelas atas. Padahal hiburan pertunjukan itu kan harusnya jadi hak setiap orang.”

    “Dulu pas Ziarah diputar di tengah-tengah masyarakat Gunungkidul pakai konsep layar tancap, aku seneng banget bisa lihat antusias mereka nonton bergelar tikar anyam dan wedang hangat malam-malam. Dari situ jadi mulai punya keinginan untuk menghadirkan pertunjukan-pertunjukan lain kepada warga lokal, memberikan mereka akses semudah-mudahnya untuk mengonsumsi pertunjukan. Pasti bakal seru.”

    “Ah iya, poster-poster pertunjukan juga pinginnya dibuat secara manual, pakai cara-cara yang masih tradisional, kayak dilukis pakai tangan di atas kain belacu, dibikin spanduk sebesar gaban, atau dicetak di papan kayu kemudian ditempel di dinding gedung halaman depan. Begitu juga dengan tiket dan sistem promosinya. Pokoknya pingin buat konsep gedung pertunjukan yang ramah, semacam bioskop alternatif yang terjangkau, mudah untuk semua kalangan serta vibe-nya jadul sebelum era digital.”

    Tanpa sadar, saya bicara sendiri selama itu. Saya nggak nyangka rasanya semenyenangkan ini bicara soal cita-cita dengan orang yang juga bercita-cita hal yang sama. Cerita-cerita tadi kemudian jadi bayangan yang menarik, yang kadang bikin saya senyam-senyum sendiri.

    Kemarin-kemarin saya juga menemui satu orang lagi yang punya cita-cita sama; Sari di film A Copy of My Mind yang diperankan oleh Tara Basro. Di film tersebut, perempuan yang menggilai film sampai membuatnya berani mencuri kaset-kaset vcd itu menuturkan impiannya di depan kekasihnya, Alek (Chico Jericho), bahwa ia ingin punya home theatre yang layarnya besar dan audionya keras. Sari berbicara dengan yakin soal mimpinya sambil tersenyum lebar. Melihat adegan itu, saya seperti disuntik dopamin, saya senang dan langsung punya kepercayaan yang besar. Percaya kalau suatu hari nanti, saya pasti akan punya gedung pertunjukan itu, yang bisa menampung hajat orang banyak untuk beribadah seni pertunjukan; film, teater, tari, musik, atau ragam bentuk pertunjukan lain. 

    Selain itu, saya juga ingin sekali keliling ke berbagai tempat dan mencicipi gedung-gedung pertunjukan di sana. Merasakan atmosfir magis ketika duduk di kursi penonton dan menghadap ke  panggung besar. Saya ingin sekali jadi bagian pertunjukan-pertunjukan yang megah, meskipun lewat kursi penonton. Seperti di Jakarta, lewat Kineforum, Kinosaurus, Paviliun 28, Taman Ismail Marzuki, Gedung Kesenian Jakarta, Teater Salihara, Wayang Orang Barata, Ciputra Artpreneur Theatre, Miss Tjitjih Theatre, Sinematek Indonesia, sampai ke Teater Utan Kayu. Mungkin juga di Solo, Bandung, Semarang, dan kota lain yang punya gedung-gedung pertunjukan bagus. Soalnya hampir semua tempat di Jogja sudah pernah saya sambangi: Concert Hall di TBY, Societet Militair, IFI LIP di Sagan, Teaternya Garasi, PSBK, Kedai Kebun Forum, Ramayananya Prambanan, Sangkring Art, Pendopo Art, Langgeng Art, Auditnya kampus-kampus seperti ISI, UNY, UGM, PKKH, dan entah apalagi saking banyaknya Jogja menggelar banyak pertunjukan.

    Saya menyusuri sekali lagi ruangan lebar di depan saya itu dengan pandangan menelisik, lalu menghirup partikel udara banyak-banyak dan membungkusnya ke dalam paru-paru. Saya kemudian beranjak dari kursi dan berjalan ke arah depan. Meraih sebuah kursi yang lain, mendudukinya, lalu menghadap ke belakang, ke arah Mbak Devi. “Mbak, tolong fotoin aku dari situ dong.” ujar saya sambil meringis.

sistem promosi film bioskop dengan berkeliling menggunakan mobil pick up yang ditempeli penuh poster-poster, di kota saya Purwokerto.

gedung pertunjukan di Magelang jaman baheula. sumber: GNFI

difoto oleh Mbak Devi

Kamis, November 23, 2017

Annang Performance: antara Tradisi Lokal dan Transgresi Sosial

Masyarakat Annang


    Ketika membaca artikel berjudul Masking Youth: Transformation and Transgression in Annang Performance, saya kira, Annang yang dimaksud di situ adalah nama dari sebuah pertunjukan, tapi rupanya bukan. Annang merupakan kelompok etnis yang menghuni provinsi Calabar di Nigeria Tenggara, tepatnya di sebelah selatan Sungai Cross. Masyarakat Annang menggunakan bahasa Ibibio dalam komunikasinya sehari-hari, dan mereka dianggap sebagai orang-orang yang paling artistik di daerah Sungai Cross. Hal itu mereka wujudkan dalam kegiatan berkesenian dan budaya di lingkungan setempatnya.

    Kehidupan sosial masyarakat suku Annang diatur oleh organisasi bersifat rahasia (secret society), dianggap rahasia karena melibatkan unsur-unsur mistis, yang menggabungkan topeng ke dalam upacara ritual tahunan mereka. Upacara tersebut diwujudkan dalam bentuk pertunjukan masquearade, atau dengan istilah lain ‘pesta topeng’. Satu hal yang menarik dalam pertunjukan tersebut adalah adanya keikutsertaan roh leluhur (yang kemudian disebut Ekpo) yang kehadirannya diwakili sekaligus direpresentasikan oleh sebuah topeng.

    Pertunjukan tersebut dilakukan setelah masa panen ubi kayu dan menandai kunjungan roh leluhur (nenek moyang/ancestral spirits), atau Ekpo. Ekpo juga merupakan nama sebuah asosiasi pria yang pernah memiliki pengaruh besar di kalangan kelompok Ibibio. Asosiasi Ekpo ini hanya diperuntukkan bagi anggota masyarakat laki-laki yang beranjak dewasa, dan proses penerimaan anggota ini dilalui lewat rangkaian acara bernama inisiasi dengan melibatkan anak-anak muda suku Annang. Dalam hal ini, anggota masyarakat Ekpo dikatakan bertindak sebagai utusan leluhur dan hanya laki-laki yang bisa bergabung, yakni laki-laki yang masih dalam fase pubertas mereka. Perempuan sama sekali tidak diijinkan untuk bergabung ke dalam ritual pertunjukan tersebut. Ini juga menjadi alasan mengapa tatanan sosial pada masyarakat Annang itu kemudian menjadi sangat patriarkal.

    Kelompok suku Annang juga mengukir topeng dengan ciri aneh dan fantastis. Penulis artikel ini, David Pratten, menjelaskan bahwa setiap topeng itu unik karena diukir secara individual, meski karakteristik umum sering digabungkan; berwarna hitam atau warna-warna gelap, sering memiliki pipi menonjol, tanduk dan ciri-ciri yang menyimpang (dikatakan menggambarkan gangosa, penyakit wajah).

    Topeng dianggap sebagai perwujudan leluhur, dan oleh sebab itu, penggolongan jenis topeng pun dibagi menjadi 2, yakni mfon dengan sifat-sifat baiknya, yang mewujudkan semangat indah, dipakai pada pertunjukan di pasar, dan menggambarkan wajah dalam bentuk manusia yang menekankan kesuburan. Topeng ini juga memperlihatkan serangkaian wajah anak-anak kecil yang diukir di dahi. Jenis yang kedua adalah idiok sebagai perwujudan segala sifat yang buruk, dianggap berbahaya dan hanya bisa dilihat oleh anggota Ekpo, serta mewakili roh jahat. Ciri-ciri yang melekat seperti gigi bergerigi, dan terkadang mewakili penyakit menular.

Penggunaan topeng menyangkut transformasi yang menandai pergerakan dari satu alam ke alam lain melalui proses metamorfosis yang menegosiasikan hubungan manusia dengan alam dan orang mati (Kasfir 1989, Fardon 1991).

    Hal-hal yang dibahas dalam artikel ini berupa proses transgresi dan transformasi pertunjukan Ekpo masyarakat Annang yang terjadi pada masa misionaris dan kolonial. Unwelcomed, anchronistic, kemudian ada political labeling. Saat masuknya agama Kristen ke daerah tersebut, missionaries menganggap hal-hal yang terlalu supranatural itu hanyalah sebagai imajinasi. Ekpo juga dianggap mengandung kekerasan sehingga praktik pertunjukan yang menggabungkan ritual adat itu kemudian dilarang oleh pemerintah dan menjadi ilegal. Menyiasati hal tersebut, pertunjukan Ekpo akhirnya dilakukan secara diam-diam dan jauh dari daerah pemerintahan. Tapi meskipun begitu, pelaku Ekpo masih sering dicari, karena anggotanya dianggap sebagai dukun (penyembuh dan peramal).

    Ada tiga hal lain yang ditekankan penulis dalam pergeseran Ekpo performance ini, di antaranya adalah Ekpo sebagai end of year parade, karena dilangsungkan pada saat Natal dan menjelang akhir tahun dan diikuti oleh anak-anak muda dari masing-masing desa. Selain itu ada pula praktik Vigilante punishment atau legitimasi kekerasan main hakim sendiri terhadap pelaku tindak kriminal. Setelah ditangkap atau dinyatakan bersalah oleh vigilante groups, pencuri dilucuti dan digosok dengan campuran arang dan minyak sawit (minyak menjadi penanda umum adanya tranforming the self). Pencuri kemudian diikat di pinggang dengan tali penyadap palem dan diarak di sekitar desa, biasanya ke pasar dan di kompleks kepala desa. Orang banyak yang berkumpul akan bernyanyi, "wooo ino adia nnok" (the thief is eating shame/si pencuri sedang memakan rasa malu/aibnya sendiri). Pencuri dalam hal ini dianggap sebagai antisosial, yang memiliki kekuatan non-manusia seperti roh jahat yang direpresentasikan oleh Ekpo.

    Secara simbolis, praktik vigilante di Ekpo performance itu memberikan penafsiran dan menghasilkan legitimasi, untuk melakukan bentuk kekerasan aktual terhadap pencuri, yakni adanya penyimpangan pada tubuh. Praktik ini masih berlanjut meskipun ada kritikan karena dianggap menghubungkan kekuatan hukum dengan sesuatu yang menyenangkan yang dilarang oleh pihak berwenang (mengarak pencuri ke hadapan publik dianggap sebagai hal yang menyenangkan oleh masyarakat Annang).

    Hal terakhir yang menarik adalah mengenai munculnya geng jalanan perkotaan atau disebut juga Agaba (a youth gang) yang berarti kenakalan suatu kelompok muda yang mengandung kekerasan. Kehadiran mereka juga dianggap sebagai ancaman terhadap struktur moral masyarakat. Tidak seperti masyarakat inisiasi tradisional Ekpo, Agaba adalah sebuah masyarakat tanpa tetua-tetua, di mana proses/konsep inisiasinya dipisahkan dari hal-hal seputar leluhur/nenek moyang. Transformasi pertunjukan Ekpo yang tradisional kemudian diwakili oleh kelompok Agaba yang lebih kontemporer. Ketika bentuk-bentuk pertunjukan topeng kontemporer tersebut oleh masyarakat lokal dianggap telah merusak makna ritus dan prestise/martabat nenek moyang, serta dituduh mendevaluasi makna dan pesan dari Ekpo performance, contoh lain justru menunjukan hal itu sebagai ungkapan (idiom) sosial yang kuat.

    Sebagai konklusi, penulis melihat adanya ‘juxtaposition’ dari Ekpo performance antara sebagai hiburan dan transgesi (transgressive aspects of the performance). Meskipun Ekpo performance hanyalah sebuah ekspresi atau simbol dari masculinity and youth di Afrika , di satu sisi, pertunjukan ini menguatkan identitas kelompok Annang dan menjaga tradisi lokal tersebut, tapi pihak-pihak seperti pemerintah dan misionaris Kristen justru menentang karena menganggap Ekpo sebagai hal yang sangat imajinatif dan mengandung banyak kekerasan.

*

Jujur, artikel ini susah banget. Kosakata yang dipakai penulis nggak langsung mengarah ke artinya, tapi perlu dicocokkan lagi ke dalam konteks. Banyak istilah lokal yang pemaknaannya nggak disertakan di tulisan, jadi, saya harus mencari definisinya lewat mesin pencari di kanal lain. Literasi yang terkait dengan ritual Ekpo ini juga sedikit diteliti oleh ahli, padahal kalau mau browsing tentang topeng di Nigeria (khususnya pada masyarakat Annang) akan ada banyak sekali referensi gambar, tapi ya gitu, nggak ada penjelasan sosio-kulturnya. Pokoknya, untuk tipikal anak seperti saya –yang sebentar-sebentar suka bingungan– artikel ini jadi tantangan baru, tapi juga sekaligus menyusahkan, soalnya perlu waktu berhari-hari untuk menyelesaikan satu bacaan. Prosesnya pun nggak berjalan dengan lancar macam jalanan jakal pukul empat pagi, sekali duakali ketika saya coba garap di gelanggang dan beberapa tempat, saya sampai stress karena terdistrak banyak hal, rasa-rasanya susah sekali untuk fokus dan memahami isi bacaan, sampai semua orang yang saya temui selama satu pekan itu selalu saya banjiri dengan sambatan-sambatan soal artikel ini. Kenapa bisa sampai selebay itu? Begitu kali ya anggapan teman-teman? Saya saja nggak ngerti, kenapa cuma masalah artikel pusingnya kelimpungan nggak karuan. Tapi saya mengakui sih kalau minggu kemarin adalah minggu yang hectic bagi saya, kayak segala urusan di dunia ini tumpah dan ruah pada satu minggu itu,. Saya nggak punya cukup waktu untuk leren dan bernapas tenang, rasanya seperti diburu-buru sesuatu, mungkin kespanengan inilah yang kemudian menjalar ke urusan-urusan yang lain, termasuk bahan bacaan tentang ritual masking pada Annang performance ini.

Sampai artikel ini selesai dipresentasikan di kelas Kajian Transgresi Sosial kemarin siang pun, saya masih merasa ada beberapa hal yang belum saya mengerti soal ritus sakral tersebut. Ini lagi-lagi jadi bahan refleksi saya, betapa sebenarnya susah juga mencoba paham dan menyelami sistem kebudayaan kelompok lain, apalagi kalau tinjauan pustakanya pakai literatur-literatur asing dan punya sistem bahasanya sendiri yang kompleks. Artikel tadi mungkin cuma selebar daun kelor, soalnya scopenya masih bisa saya jamah dan saya diskusikan bersama teman dan dosen di kelas, tunggu saja sampai saya dapat literatur bahasa ibrani dan pakai aliran pemikiran partikularisme historis, evolusionisme klasik, materialism dialektik, etnosains, antropologi kognitif, strukturalishasyyyyyyyyy uopo wi. Makasih juga deh untuk Saras, Sekar, dan Galuh yang sudah jadi satu kelompok dan membedah-bedah artikel ini bersama di perpus antro, entah akan jadi apa kepingan pengetahuan saya soal Ekpo kalau nggak disatukan dengan kalian, hihi.

Senin, Oktober 30, 2017

Mengkritisi Seni Rupa lewat Pertunjukan Teater ‘Gambar Kecu’

    Jam setengah delapan lebih beberapa menit ketika saya dan Pije memadati pelataran PKKH yang malam itu sudah disesaki banyak orang. Untung belum mulai, ujar saya lega setelah melihat panggung pertunjukan yang masih melompong meski penonton sudah siap sedia di tempatnya masing-masing. Ada sebuah tonil yang dipasang menyerupai backdrop dan sepertinya dijadikan properti utama, tonil tersebut (yang mirip hasil lukisan manual) dipakai untuk memberikan suasana setting latar dan tempat pada sebuah lakon. Di atasnya, tertulis ‘Kelompok Sedhut Senut’, sebuah name tag untuk mengenalkan identitas pelaku pertunjukan kepada publik.

    Selang beberapa menit kemudian, seorang perempuan berkebaya memasuki panggung dan memulai pertunjukan dengan menjadi biduan. Dia menyanyikan lagu dangdut era kini dari grup musik hip hop campur dangdut bernama NDX –kalau saya nggak keliru. Sambil menikmati lelaguan, saya bisa menebak kalau konsep pertunjukan ini sepertinya akan diusung dengan sangat santai.

    Pertunjukan teater yang diberi judul “Gambar Kecu” tersebut disutradarai oleh Ibnu Gundul Widodo dan naskah yang ditulis oleh Elyandra Widharta. “Gambar Kecu” adalah upaya Kelompok Sedhut Senut membaca persoalan relasi antara seniman dan artisan di dunia seni rupa. Gagasan ini rupanya juga berkorelasi dengan salah satu tema yang dicetuskan oleh Festival Arsip (19 Sept-1 Okt) tentang wacana seputar praktik komodifikasi seni, dan mengenai apa yang sering disebut sebagai praktik pemalsuan lukisan.

    Pertunjukan dengan konsep sandiwara berbahasa Jawa ini bermula dari penampilan Mbah Gun, pelukis senior dan seorang guru seni rupa, dan istrinya yang tengah mengangkati jemuran di pelataran rumah. Istri Mbah Gun lalu sambat mengenai kondisi ekonomi mereka yang selalu melarat. Istri Mbah Gun bahkan meminta Mbah Gun untuk menjual lukisan-lukisan yang dikoleksinya, tetapi Mbah Gun dengan idealismenya menolak hal itu, Mbah Gun menganggap seni rupa yang dilakoninya bukan hanya sekadar persoalan materi, lebih dari itu, Mbah Gun menekankan nilai-nilai estetika dan ‘ruh’ kesenian itu sendiri. Istri Mbah Gun sampai kesal sendiri bicara pada suaminya, sebaliknya, Mbah Gun malah menuduh kalau istrinya itu tidak paham soal seni.

    Selain itu, ada pula tokoh Juragan Ngabdul, seniman lukis kondang dan kaya raya yang dulunya merupakan bekas murid Mbah Gun. Ngabdul juga membawahi beberapa artisan, satu di antaranya adalah Sugeng, yang telah berhenti dan beralih profesi menjadi tukang parkir karena merasa mendapat kekangan selama menjadi murid Juragan Ngabdul. Sugeng digambarkan sebagai laki-laki yang berpendirian dan idealismenya kuat, kehidupan yang bisa dibilang mapan karena menjadi artisan Juragan rela dia tinggalkan karena Sugeng tidak mendapatkan kemerdekaannya di sana, Sugeng tidak pernah bebas ketika melukis, selalu ada sekat-sekat dan intervensi dari Juragan ketika dia melukis. Baginya, menjadi artisan Juragan Ngabdul sama saja seperti menjadi babunya.

    Artisan yang lain adalah Jarno, yang justru masih setia kepada Juragan Ngabdul meskipun dirinya menyadari bahwa Juragannya itu kadang cukup pelit dalam hal memberikan upah. Konflik perlahan muncul ketika Yatmi, pembantu Juragan Ngabdul, berusaha menembak (dalam konteks asmara) Jarno, namun ditolak karena Jarno sudah menganggap Yatmi seperti adiknya sendiri. Jarno kemudian mengaku bahwa dirinya telah menyukai Retno, yang merupakan pacar Sugeng. Sugeng yang mencuri dengar kabar tersebut dari warung Bu Darmi (yang merupakan muara dari berbagai rerasanan antar tokoh) tidak terima dengan hal itu. Sugeng lalu mendatangi Jarno dan mengajaknya berkelahi. Yatmi, yang juga dirundung cemburu dan kemarahan akibat ditolak, kemudian merencanakan niat jahat bersama Sugeng. Mereka ingin memalsukan lukisan Nyai Roro Kidul milik Juragan Ngabdul yang akan dipamerkan di luar negeri, lalu menjualnya kepada makelar yang akan dijualnya kembali pada seseorang dengan harga selangit.

    Di tengah kepelikan tersebut, Yatmi kemudian menuduh Jarno sebagai tersangkanya. Juragan Ngabdul semakin pusing dan hal itu memperparah keadaan tubuhnya yang sedang sakit-sakitan. Di situasi sekarat karena tidak mampu lagi menahan derita, Yatmi berlutut di depan Juragan dan mengakui kesalahannya sambil menangis. Juragan yang sudah kecewa dengan kasus pemalsuan lukisannya, ditambah sakit keras yang dialami dan pengkhianatan pembantunya itu akhirnya meninggal dunia. Mbah Gun dan istrinya yang saat itu datang ke tempat Juragan Ngabdul untuk menjadi dalang pertunjukan di pembukaan pameran pun kalut karena Juragan meninggal dan projeknya gagal.

    Pemain yang berperan dalam pertunjukan ini adalah Gundul, Nurul, Elyandra, Kukuh, Ninit, Nanik, Wawan, Haryo, Dafa, Joko, dan Teteh. Durasi yang dimainkan juga lumayan lama, yakni sekitar dua jam, tapi kok saya sama sekali nggak merasa bosan ya? Tebakan saya kalau pertunjukan ini akan diusung dengan santai ternyata betul juga. Alur cerita lakon ini bagus, semua tokoh mampu merepresentasikan karakternya sehingga konstruksi cerita bisa dibangun secara utuh, dan saya rasa, mereka telah menyampaikan lakon dengan baik. Satu hal lagi yang saya sukai dari pertunjukan yang dihelat untuk menutup rangkaian agenda di Festival Arsip ini adalah; bumbu-bumbu humor yang berlimpah tapi disajikan dengan porsi yang pas. Entah sudah berapa ribu kali saya dan penonton lain tertawa sampai pingin menangis ketika melihat adegan Mbah Gun dengan istrinya, Jarno dengan Yatmi, Sugeng dan Retno, percakapan-percakapan di warung Bu Darmi dan tokoh anak kecil yang juga menghibur (kabarnya dia sudah bermain lakon sejak umur tujuh tahun), serta beberapa adegan lain yang secara terangan-terangan mencoba satir terhadap kondisi hidup saat ini. Gambar Kecu menjadi ajang kritik sosial terhadap berbagai hal jelek di dunia; kesombongan, kebobrokan, kecurangan, dengki dan iri hati, kepalsuan, ambisi berlebih, kecacatan, keluh kesah, dan sejawatnya. Menyadari saya dan penonton lain tertawa sangat keras, rasanya seperti sedang menertawakan diri sendiri yang tak ayal juga dipenuhi hal-hal jelek tadi. Dari segi penokohan dan jalan cerita, saya sangat menikmati dari awal pengadegan hingga babak terakhir selesai. Permainannya halus, ada cacat sedikit langsung bisa diimprov.

    Setting propertinya sendiri sederhana dan realis. Tonil yang dipasang di belakang itu dipakai untuk mengganti latar tempat ketika cerita berganti ke babak selanjutnya, caranya adalah dengan menarik tali tonil di sisi panggung. Kendala mungkin terjadi di bagian teknis, di mana tali kerekan itu sempat macet sehingga kain tonil berlukiskan tempat-tempat tertentu tadi tidak bisa dibentangkan sempurna.

    Tata lampu yang digunakan juga oke, yakni halogen kuning redup dengan komposisi warnanya yang senada. Lampu-lampu tersebut diletakkan di atas tiang (atau apa ya namanya? Saya nggak tahu tapi pemasangan lampu teater ini keren juga, saya jadi bertanya-tanya bagaimana cara kerjanya) dan menyerong menghadap kanan-kiri panggung. Latar musik yang dipakai untuk mengiringi pertunjukan ini berupa tabuhan tradisional Jawa seperti gamelan (tapi nggak seperangkat, hanya kendang-kendangan, suling, dan sepertinya saron?), ada penyanyi sindennya juga kalau enggak salah. Konsepnya jadi mirip ketoprak Jawa gitu, ya?

    Oh ya, sekadar membagi pengetahuan, Kelompok Sedhut Senut merupakan grup teater atau sandiwara, yang menggunakan bahasa Jawa sebagai media komunikasi atau dialognya, dan sering melakukan aktivitas pentas keliling dari kampung ke kampung. Kelompok Sedhut Senut tersebut, merupakan nama baru dari grup lama Komunitas Sego Gurih. Kelompok ini selalu mencoba menghadirkan suasana baru dalam setiap pementasannya dengan menghindari jenis panggung konvensional dan menggunakan tonil sebagai properti utamanya. Dan sungguh, sehabis menonton pertunjukan mereka, rasanya saya lega sekali, seperti habis menimba banyak pengalaman baik. Gambar Kecu memberikan saya pemahaman soal hidup dan substansi di dalamnya, yang kemudian menjadi bahan reflektif dan kontemplasi saya sendiri.

    Wangun, mas, mbak! Kapan-kapan saya mau lihat kalian manggung lagi!


mengambil gambar setelah pertunjukan selesai, duh, habisnya pas masih main, saya serius nonton e jadi nggak sempat foto-foto. nda papa lah ya...

Selasa, Februari 28, 2017

capek hidup di jogja

selesai pentas 'kemalingan' bersama teman-temanku di teater gadjah mada pada 21 dan 22 februari kemarin di lembaga indonesia perancis, foto bersama dan membuat lingkaran perpisahan, lalu mengemasi barang barang properti dengan perasaan aneh untuk diangkut ke hall, aku kemudian pulang jam satu pagi dibonceng kawanku yang baik yang menawarkan diri mau mengantarku setelah melihat wajahku yang pucat. diterpa angin malam dan udara dingin, perasaan aneh yang sedari tadi ku rasakan masih mengendap sangat pekat sampai aku tiba di kost kostan - mencuci wajah - mematikan lampu kamar dan berbaring untuk tidur. lalu setelah itu pelan pelan aku menghembuskan napas lega, teramat banyak lega sampai sampai menghiasi angkasa, dan tiba tiba terdengar bunyi hujan berisik dan suara mesin kendaraan motor yang berhenti di depan mengantar pulang seorang mbak-mbak kost dari lantai dua.

napas lega tadi adalah sebuah kelegaan —akhirnya— yang sudah aku doakan sejak dulu-dulu kala dan kemudian mewujud menjadi sesuatu yang baru saja ku alami. sebuah kebebasan baru. proyek besar dari ukm kampus yang telah rampung dan mendapat banyak apresiasi dari penonton-penonton rela mengocek duit untuk beli tiket dan hujan-hujanan untuk datang ke lip; terimakasih banyak, perasaan-perasaan senang kami bisa tercipta karena apresiasi teman-teman yang luwarbyasah. tepuk tangan untuk kalian semua! 

sedangkan perasaan aneh yang mengendap itu adalah... kedengarannya mungkin sangat lepek untuk seorang aku yang hobinya sebentar-sebentar mengeluh capek, tapi kenapa ya.. rasanya seperti 'kemalingan' beneran setelah pentas titer ini rampunga? aku seperti kecolongan atmosfir-atmosfir selama proses produksi titer ini: melihat teman-teman latihan di hall sementara aku bingung mencari obeng di gudang dan kesulitan membuka tutup cat, mendengar teman-teman berteriak saat adegan tertentu sementara aku sibuk mencuci kuas dengan tiner dan tak sengaja melukai jariku dengan cutter, evaluasi dan baru pulang sampai pagi, guyon, guyon, sedang sisa sisanya adalah guyon sampai pingin pipis. telek, ternyata seru juga kalau dipikir pikir. dan semua perasaan itu menumpuk sekaligus pecah ketika di hari terakhir selesai pementasan, penonton sorak sorai dari tempatnya dan memberi kami tepukan tangan sangat berisik. lalu mereka turun ke panggung dan ikut selebrasi bersama kami. berisikkkkkk tapi menyenangkan sekali! lalu setelah itu.. barulah terasa hal-hal aneh yang mengganggu dan sedikit resah kalau dipikir-pikir.

btw, selain perasaan 'pasti bakal kangen' yang secara tersirat panjang lebar aku ceritakan di atas, sebenarnya aku ingin bilang makasih banyak yang tiada tara kepada diriku sendiri sampai sampai aku pingin banget peluk tubuhku dan mencium keningku sendiri karena sudah mencoba hidup dengan baik dan berusaha menjadi diriku yang keren, yang mau terus ketawa meski sebenarnya perutku lagi melilit, yang gilaaaaaaaa sampai buat diriku tercengang, yang entah gimana lagi aku merasa sangat hidup sampai-sampai aku di ambang rasa capek... merasakan betapa inginnya aku melepas semua perasaan-perasaan capek tadi, aku sampai memutuskan untuk meninggalkan semua status sosialku di kota jogja, dan balik ke rumah hanya dengan embel-3mbel seorang 'hamima'. kemudian keesokan harinya aku betulan pulang ke rumah menaiki kereta api dengan modal sandal jepit dan satu ransel, lalu melamun di perjalanan ketika sandekala, dan berpikir kalau hidup di jogja benar-benar bikin capek. 

mim, mim... kesehatanmu i lho...