Tampilkan postingan dengan label Film. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Film. Tampilkan semua postingan

Rabu, Desember 13, 2017

The Seen and Unseen: 'Magical Belief' yang Menyihir

Tantri yang artistik

    Berbekal penasaran karena melongok trailer film ini dan membaca beberapa review menarik di internet, sore harinya saya memutuskan untuk bertandang ke JAFF yang digelar di Empire, menuju meja media center dan menuliskan nama beserta instansi saya, lalu mendapat satu tiket masuk tanpa mengocek uang lima belas ribu dan susah payah ikut antrian penonton. Enak kan uripku?

    Ketika saya selesai mengurus registrasi dan menerima bonus kartu pers, salah seorang teman yang juga menjadi panitia divisi ticketing berseru sebelum saya berlari ke ruang bioskop (karena pemutaran sudah mau dimulai), “Bikin liputan yang bagus ya!” Hehe, iya, saya datang sebagai orang media partner untuk liputan screening. Kan lumayan, ya, bekerja sambil bersenang-senang.

    ‘The Seen and Unseen’ yang diputar dalam program Asean Feature Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2017 menyoroti kisah Tantra dan Tantri, kembar buncing yang memiliki relasi khusus dan saling melengkapi. Mereka hidup di sebuah pedesaan Bali yang religius dengan latar berupa hamparan sawah dan ladang-ladang hijau. Kembar buncing adalah istilah Bali untuk mendefinisikan anak kembar dengan jenis kelamin yang berbeda, yakni seorang laki-laki (Tantra) dan seorang perempuan (Tantri). Kembar buncing oleh masyarakat lokal Bali dianggap sebagai simbol keseimbangan dalam hidup.

    Simbol keseimbangan tersebut diwakilkan lewat beberapa adegan seperti Tantra yang hanya mau makan kuning telur dan Tantri yang juga menyukai putih telur. Keduanya merekah beriringan sebelum Tantra kemudian jatuh sakit dan dirawat inap selama berhari-hari. Kondisi tersebut membuat Tantri menjadi layu dan dihinggapi perasaan kosong. Tantri sering melongok saudara laki-lakinya di rumah sakit, memandangi Tantra yang tergolek lemas di atas ranjang dengan tatapan menerawang. Tantri seperti diselimuti banyak pertanyaan, tentang mengapa tubuh Tantra ada di sana dan mengapa ia tak kunjung bangun. Mengapa Tantra terus diam?

    Kamila Andini selaku penulis dan sutradara film dalam sesi Q&A menuturkan bahwa The Seen and Unseen merupakan sebuah filosofi Bali yakni Sekala Niskala, yang berarti sesuatu yang terlihat (Sekala) dan tidak terlihat atau gaib (Niskala). “Hidup itu terdiri dari 2 hal tadi, antara yang kasat mata maupun tidak, dan ini mendefinisikan bukan hanya pada masyarakat Bali, tapi juga masyarakat di Indonesia. Kita tahu bahwa masyarakat kita sangat mempercayai hal-hal seperti itu.” imbuhnya.

    Ayu Laksmi yang berperan sebagai Ibu dari Tantra dan Tantri juga ikut menjelaskan tentang kepercayaan masyarakat Bali terhadap hal-hal yang tidak tampak. “Setiap hari ketika kita terjaga dari tidur, hal yang kita lakukan adalah berupa penghormatan kepada Yadnya untuk Tuhan, maupun Yadnya untuk Bhuta atau alam semesta. Karena masyarakat Bali punya konsep Tri Hita Karana.” ujarnya dalam balutan kebaya Bali putih. Konsep Sekala Niskala, menurut Ayu Laksmi, diartikan sebagai wujud lain dari bentuk penghormatan kepada yang tidak tampak.

    Dia juga menambahkan, Bali dipilih sebagai setting tempat karena tradisi tersebut masih dirawat di kota-kota besar maupun di desa-desa yang terpencil, dan hal itu terlihat sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, film yang menjalani proses produksi selama 5 tahun ini juga mengangkat kepercayaan (deep connection) masyarakat Bali terhadap bulan, di mana mereka juga memakai siklus bulan untuk mengatur perhitungan kalendernya. Sistem kepercayaan itulah yang kemudian dijadikan elemen utama sekaligus kekuatan dalam film The Seen and Unseen ini.

    Bagi saya, film ini adalah film yang sungguhan merepresentasikan anak-anak sesuai porsinya mereka. Kita, orang-orang dewasa, diajak masuk menyelami dunia imajinernya anak-anak, membawa kita pada pengalaman spiritual dan hubungan emosional anak-anak, yang bagi kita mungkin terlihat sangat aneh dan mustahil, tapi entah kenapa rasanya jadi begitu magis. Sinematografinya saja cantik sekali, banyak unsur lokalitas Bali yang diusung, saya seperti sungguhan bisa menghirup aroma dupa dan menjejakkan kaki di lahan sawah di sana. Wardrobe yang dipakai Tantra dan Tantri, koreografi pada setiap adegan lekukan tubuh, pemilihan dialog, bahkan sampai hal-hal sedetil piring seng yang dijadikan properti, bagi saya semua itu terpampang sangat indah. Kamila Andini beserta teman-teman kru lain, saya kira sudah cukup berhasil mengemas The Seen and Unseen menjadi sajian yang manis dan hangat. Pantas saja kalau film ini berkesempatan diputar perdana di ajang Toronto International Film Festival (TIFF) 2017.

    Dunia anak selalu dicitrakan dengan hal-hal bernuansa menyenangkan dengan tone warna cerah dan ceria, tapi Kamila Andini menampik hal tersebut dalam menggarap filmnya. Kematian dan jam malam adalah dua topik yang asing dengan anak-anak, untuk itu, Kamila mencoba menuturkan hal-hal tersebut lewat visual yang menyihir. Melihat Tantra dan Tantri dalam The Seen and Unseen, rasanya seperti sedang merayakan kesedihan dengan cara yang begitu memikat. Perasaan itu larut seiring dengan geliat Tantri yang menyadari kehidupan kembarnya, Tantra, lama-lama memudar. Tantri bercengkerama dengan imajinasinya soal Tantra, melalui malam-malam dingin dan temaram purnama, lalu menjadi beku kembali ketika siangnya Tantri ternyata masih mendapati Tantra berbaring di kasur rumah sakit.

“This situation opens up something in Tantri’s mind: she keeps waking up in the middle of the night from a dream and seeing Tantra. The night becomes their playground. Under the full moon, Tantri dances—about her home, about her feelings. As the moon dims and is replaced by the sun, Tantri’s becoming a woman eclipses Tantra’s fading life.” - JAFF 2017.

    Terima kasih sekali mbak Kamila Andini, untuk perspektif baru mengenai hidup yang sangat segar! Sukses untuk pemutaran di bioskop komersil 2018 mendatang!

Ibu dan Tantri

Sabtu, Desember 09, 2017

Juno: Potret 'Teen Pregnancy' yang Jujur



“A comedy about growing up… and the bumps along the way”


    Ketika saya selesai  menonton film Juno di program screening bulanan yang digalakkan oleh klub film saya di kampus, saya langsung mengumpat pada diri sendiri, kenapa saya baru nonton film sebagus ini sekarang?  Lalu geleng-geleng kepala saking tidak habis pikir saya dibuatnya.

    Juno adalah film bergenre drama komedi yang diproduksi tahun 2007 dan disutradarai oleh Jason Reitman. Film ini menyoroti kisah Juno MacGuff (Ellen Page) remaja perempuan usia enam belas tahun yang dihadapkan dengan kehamilan di luar rencana bersama teman sekelasnya, Paulie Bleeker (Michael Cera). Juno dan Bleeker adalah remaja SMA yang berteman dekat dan sering nge-band bersama, dan ya... dua remaja yang juga punya keingintahuan dan dorongan yang besar akan seksualitas.

    Perasaan bingung dan resah jelas muncul pada scene awal ketika Juno mengetahui kehamilannya lewat test pack yang dibelinya di sebuah toko. Juno yang masih sangat belia itu tidak tahu harus melakukan apa, sementara kandungannya mulai menginjak usia 2 bulan dan perutnya semakin besar. Juno kemudian memberi tahu Leah (Olivia Thirlby), sahabat dekatnya, tentang kehamilannya. “It’s probably just a food baby. Did you have a big lunch?” tanya Leah yang membuat Juno memutar bola matanya.

    Juno lalu bersiap mengumumkan kabar kehamilannya kepada ayahnya (J. K. Simmons) dan ibu tirinya, Brenda (Allison Janney). Mereka diminta duduk di kursi tamu dan mendengarkannya bicara. Melihat gelagat Juno yang nampak begitu serius, Brenda menebak kalau mungkin saja Juno barusan dikeluarkan dari sekolah akibat mengonsumsi narkoba. Tapi kemudian Juno mengatakan dengan cepat, “I’m Pregnant.” yang membuat Mac MacGuff, ayahnya, melontar “Oh, God.” dan respon Brenda yang menghibur, “I didn’t even know that you were sexually active.” Meskipun awalnya memang sangat terkejut, orang tua Juno kemudian mencoba bersikap bijak, mereka membantu menyelesaikan masalah tersebut dan memberi dukungan moril kepada Juno. Ibunya bahkan memberi tahu hal-hal apa saja yang harus dilakukan Juno ketika dirinya sedang hamil, seperti harus rutin pergi ke dokter, meminum vitamin, dll.

Mac dan Brenda

    Berbagai solusi dicari untuk mengatasi kasus kehamilan Juno yang tidak direncanakannya itu, sampai kemudian pilihan aborsi sempat terbesit di pikiran Juno. Tetapi hal itu ia urungkan setelah melihat seorang perempuan muda tengah melakukan protes di depan klinik aborsi sambil mencekal papan bertuliskan ‘no babies like murdering’. Juno lalu berinisiatif memberikan anaknya kelak untuk diadopsi kepada keluarga yang membutuhkan atau pasangan gay/lesbian yang menginginkan anak.

    Dibantu ayahnya, Juno kemudian menemui pasangan muda yang belum dikaruniai anak, adalah Mark (Jason Bateman) dan Vanessa (Jennifer Garner), a yuppie couple with a huge house in sub urbs. Vanessa adalah wanita karir, sedangkan Mark merupakan seorang komposer. Setelah melakukan perjanjian, pasangan tersebut bersedia mengadopsi anak yang dikandung Juno.

    Hari-hari Juno dilalui dengan biasa, ia masih pergi ke sekolah dengan seragamnya meskipun perutnya semakin membuncit. Teman-teman di sekolahnya juga gemar memandangi perut Juno, tapi hanya sekadar itu, tidak ada adegan mencemooh atau menuduh. Sementara itu, hubungannya dengan Bleeker malah menjadi renggang. Meskipun Bleeker sempat beberapa kali menemui Juno, Juno merasa tidak perlu lagi menemui Bleeker. Bahkan ketika Bleeker meminta Juno untuk datang ke prom bersamanya, Juno menolak dan malah menyuruh Bleeker untuk pergi dengan gadis lain.

    Menjelang usia kehamilannya yang semakin besar, Juno justru dihadapkan pada kenyataan bahwa Mark ingin menceraikan Vanessa. Untuk beberapa alasan, Mark merasa belum siap untuk memiliki anak dan menjadi ayah,  he has some things he still wants to do –kira-kira begitu ujarnya. Mark juga merasa Juno datang dengan begitu cepat menawarkan bayi setelah Mark dan Vanessa mengiklankan diri sebagai pengadopsi. Rasa kepercayaan Juno yang dibangun untuk pasangan tersebut sebagai keluarga utuh yang akan mampu merawat bayinya seketika berubah menjadi kecewa.

    Juno lalu menemui Ayahnya. Melihat banyak orang menjadi terluka lewat pernikahan, baik yang dialami oleh Ayahnya, maupun pada Vaneesha dan Mark, membuat Juno merasa seperti kehilangan harapan dan kepercayaan pada orang-orang, termasuk soal relationship. Juno beranggapan bahwa rasanya  sulit bagi dua orang untuk bisa tinggal dan stay happy forever. Ayahnya lalu menimpali, “Well, it's not easy, that's for sure. Now, I may not have the best track record in the world, but I have been with your stepmother for 10 years now and I'm proud to say that we're very happy.”  yang membuat Juno diam dan tercenung.

    Mac kemudian berbicara lagi, “the best thing you can do is find a person who loves you for exactly what you are. Good mood, bad mood, ugly, pretty, handsome, what have you, the right person is still going to think the sun shines out your ass. That's the kind of person that's worth sticking with.”


    Mendengar penuturan dari Ayahnya, Juno kemudian merasa telah menemukan orang yang dimaksud ayahnya. Dari sini, kita bisa menebak kalau pada akhirnya Juno kembali menemui Bleeker dan mengungkapkan perasaannya pada teman satu kelasnya itu.


i love this line
 

    Mendekati usia persalinannya, Juno memutuskan untuk tetap memberikan bayinya pada Vanessa, setelah melihat ketulusan Vanessa dan ikatan emosional yang kuat dengan bayinya. Juno juga merasa kalau Vanessa masih menjadi best parenting option for the baby, meski pada akhirnya Mark tidak lagi mendampingi Vanessa.

    Ide cerita yang diangkat jujur cukup sensitif, tapi Jason Reitmen berhasil mengemasnya dengan ringan serta menyertakan bumbu-bumbu komedi dalam porsi yang pas, sehingga pesan yang ingin disampaikan film ini sebenarnya bisa dengan mudah diresapi oleh penonton.

    Saya juga sangat mengagumi karakter Juno. Dia begitu hidup meskipun perutnya sedang membesar dan orang-orang di lingkungan sekolahnya selalu melempar pandangan heran ke arahnya. Juno tetap menjalani harinya seperti remaja-remaja lain.

    Saya juga bisa melihat film ini turut mengantarkan sisi kedewasaan Juno menjadi lebih baik. 9 bulan dilalui Juno dengan penuh ups and downs. Di usianya yang masih belia, Juno dihadapkan dengan realita-realita yang membentuk dirinya menjadi bijaksana dan lebih bertanggungjawab atas hidupnya –termasuk hidup si jabang bayi.  Oh, just out dealing with things way beyond my maturity level.” adalah contoh kelakar Juno  ketika mendapat pertanyaan ‘dari mana’ oleh Ayahnya. Jawaban yang ringan tapi merepresentasikan keadaan Juno dengan tepat.

    Sikap terbuka dengan kasus kehamilan yang tidak direncanakan (KTD) di dalam film Juno sama sekali terlihat kontras dengan apa yang terjadi di Indonesia. Mereka yang mengalami KTD masih dilekati dengan stigma dan ketakutan-ketakutan di lingkungan sosialnya. Padahal dukungan moril adalah hal yang paling dibutuhkan oleh para perempuan yang mengalami KTD. Umumnya, keluarga dengan kasus KTD akan merasa malu dan seperti menanggung aib yang besar, sehingga seringkali jalan yang ditempuh untuk menyelesaikan masalah hanya bersifat sepihak tanpa berusaha memahami posisi sang ibu. Di dalam film Juno, saya sangat suka bagaimana orangtua Juno merespon berita kehamilan Juno dengan sangat pretty well. Reaksi kedua orangtuanya memang terkejut, tapi mereka tetap mencoba bijaksana dengan menunjukan sikap terbaiknya untuk mendukung anak mereka. Hal yang sepertinya jarang sekali ditemui di Indonesia. Kultur dan cara bersikap masyarakat Indonesia dalam menghadapi isu KTD adalah showing how someone DOES react to teen pregnancy rather than how someone SHOULD react to teen pregnancy. 

    Film Juno memberikan persepektif yang berbeda tentang seksualitas remaja dan menyikapi KTD, tentu dengan bumbu humor yang luas, dialog yang ringan, tone film yang cantik –setting suasana 90an, Ellen Page yang sangat baik dalam memainkan peran, serta tentu saja soundtrack film yang easy listening! Menjadikan film ini tidak terlalu berat tapi masih dapat dinikmati bersama keluarga. Bahkan memasuki akhir cerita ketika Juno melakukan persalinan, I cried just because I saw Juno’s struggle gave birth to a baby. Juno merupakan perempuan baik hati, memiliki rasa tanggung jawab dan kesadaran penuh atas resiko yang telah ditimbulkannya sendiri. She is a strong teenager. Really.

heeeeeei, kamu tu keren lho Mbak Jun!!!


Kamis, September 28, 2017

misuh-misuh bersama Pengabdi Setan #ulasan

    sebenarnya saya paling malas dan sengit banget nek disuruh menonton film dengan genre horror. saya mending nonton tutur tinular atau sinetron indosiar yang rebut-rebutan harta kekayaan daripada harus nonton film yang seram-seram. selain karena saya takut setan wkwkwkwk saya juga anaknya nggak suka nek sedikit-sedikit harus kaget apalagi yang kagetnya mencekam, jantung saya lemah soalnya, dan jadi capek sendiri saya nantinya. tapi bukan berarti saya nggak pernah nonton horror sih, kalau beberapa teman mengajak sambil nawarin gratisan, biasanya saya iyain, tapi tergantung film dan pemainnya juga, pokoknya jadi 97% pemilih banget lah saya kalau soal horror. tapi sesungguhnya, i would prefer not to. mending kita main bekel saja yuk di pelataran rumah nenek daripada harus menjadi tegang di depan layar bioskop.

    kemudian Pengabdi Setan membuat saya berpikir seribu kali. masa iya nggak mau nonton filmnya joko anwar? padahal belio adalah salah satu sutradara panutan saya selain riri riza, mira lesmana, garin nugroho, ifa isfansyah, angga dwimas sasongko (filkopnya terutama!!!), mas bw purba dan yang lain-lain (alias bingung mau menyebut siapa lagi). apalagi, di film barunya ini, bang joko menampilkan tara basro dan dedek endy arfian yang sekarang sudah tumbuh besar dan menjadi mas-mas maco. terus film ini juga hasil remake dari sutradara sisworo gautama putra dengan judul yang sama (atau Satan’s Slave kalau diinggriskan) di tahun 1980. haaah, bikin nambah penasaran to? jadinya ya sudah, sambil berdoa semoga saya diberi kekuatan dan nggak tewas di dalam bioskop, sore pukul setengah lima saya meluncur ke empire urip sumoharjo dan resmi nonton pengabdi setan bersama teman saya.

    hari pertama film ini dirilis ternyata beberapa deret kursi bioskop di bagian depan kosong melompong, saya kira orang-orang bakal excited dan memenuhi studio, tapi nggak tau juga sih untuk nanti malam. saya lalu duduk, di sebelah teman saya, berdebar-debar sendiri sambil menurunkan lintingan lengan baju karena kedinginan, dan bersamaan dengan itu, lampu studio kemudian dimatikan dan saya menahan diri untuk nggak misuh-misuh, padahal yo filme mulai aja belom.

    Pengabdi Setan dimulai dengan cerita tokoh si ibu (ayu laksmi) yang dulunya berprofesi sebagai seniman (penyanyi), tapi kemudian mengalami sakit keras selama tiga tahun dan hanya bisa berbaring di kasur, nggak dirawat di rumah sakit karena terkendala biaya. Ibu nggak bisa bergerak dan bicaranya tertatih, jadi cara dia memanggil anak-anaknya kemudian adalah dengan membunyikan lonceng (yang kata bang joko usia loncengnya sudah 100 tahun lebih). tiap kali loncengnya berbunyi, suaranya jadi terdengar sayup-sayup sekaligus jelas begitu lho teman-teman, sumpah seram. ketika rini, atau toni (endy arfian) menghampiri panggilan ibunya, saya juga jadi suka misuh-misuh sendiri, soalnya penampilan mbak ayu laksmi itu benar-benar bikin deg-degan, gaun panjang terusan warna putih dan rambut panjang yang digerai, ditambah posisi ibu yang selalu berbaring, hssssssssssssh nggak ngerti lagi. tapi kemudian, si ibu akhirnya meninggal dunia dan scene yang menceritakan ibu meninggal ini benar-benar bikin saya sebentar-sebentar misuh asu bajingan lho karena seram banget!!! nggak lama setelah ibu dikebumikan, bapak yang diperankan oleh bront palarae itu lalu memutuskan untuk pergi keluar kota untuk mencari rupiah, dan meninggalkan 4 orang anaknya; rini, toni, bondi (nazar anis), dan ian si gemas (m. adhiyat), serta nenek yang mobilisasinya dibantu kursi roda. by the way, kalian akan berkenalan dengan ian, tokoh paling kecil yang paling sering bikin tertawa, anak ini diceritakan sebagai tunawicara dan harus saya akui, karakter yang dia mainkan sungguh-sungguh baik. kayaknya saya jadi berpindah hati deh dari tara basro ke adik m. adhiyat ini, dia seperti jadi kunci lahirnya kehangatan-kehangatan rasa kekeluargaan di film Pengabdi Setan. tonton sendiri, yak.

    nah, ketegangan di film ini muncul setelah ibu meninggal. sehabis si bapak pergi jauh, satu persatu kejadian janggal dan aneh mulai terjadi. lonceng yang dulu kerap dipakai ibu mendadak sering terdengar lagi (asu pas bagian iki aku misuh-misuh lagi, siapa coba yang membunyikan?), radio milik toni yang tiba-tiba memutar lagu ibu (lagune sakjane enak didengar lho, sumpah, coba sih), sampai nenek yang meninggal dengan cara mengerikan (jatuh ke lubang sumur –njuk jadi ingat lubang buaya G30S/PKI hhh malah metu bahasan) dan bondi yang setelah memergoki meninggalnya nenek di sumur jadi pendiam dan sering demam. anak-anak kemudian jadi menganggap kalau si ibu datang lagi, karena baik rini, toni, maupun bondi, beberapa kali melihat penampakan ibunya (asuuuuuuuuuu di bagian ini juga saya misuh-misuh paling kenceng) tapi si ian malah nggak pernah melihat hantu ibunya, setelah nenek meninggal, justru sang neneklah yang menampakkan diri di depan ian, sementara di hadapan kakak-kakaknya enggak. dan kedatangan ibunya itu sama sekali nggak membuat anak-anak menjadi bahagia (ya iyalah ha wong bentukane medeni ngono) tapi mereka malah dirundung ketakutan (nek saya sih takut banget) karena ternyata si ibu kembali dengan membawa pengaruh yang jahat.

    alur selanjutnya adalah soal rahasia si ibu semasa beliau sehat dahulu yang kemudian mengantarkan rini bertemu dengan pria tua di kota (profesinya adalah penulis majalah klenik) dan memberitahu rini kalau ibunya dulu adalah seorang pengabdi setan. mulai dari situ, cerita dijabarkan dengan pelan tapi tetap terasa mencekam dan wujud si ibu jadi sering muncul dan mengganggu anak-anak. atmosfir tegangnya dihadirkan konsisten dari awal sampai akhir cerita, tapi porsinya jadi lebih sedikit banyak dan sumpah… bikin jantungmu sesak sendiri.

    banyak juga unsur religi yang joko anwar sisipkan di film ini. kaya prosesi pemakamannya, acara tahlilan di rumah, sampai nasehat seorang tokoh ustadz yang meminta rini untuk sholat dan memohon perlindungan kepada Allah. dialog yang diucapkan si ustadz juga lumayan bikin saya tergelitik sekaligus berpikir opo iyo? pak ustadz bilang kalau rumah yang penghuninya jarang sholat memang rentan dimasuki roh-roh jahat. njuk habis itu, tara basro tenanan mengambil air wudu dan sholat malam, njuk ya ngono lah… lagi-lagi wujud si ibu muncul ketika rini sedang membasuh mukanya (samar-samar tapi tetap kelihatan seram), pas lagi sujud, pas lagi I’tidal, pas lagi rukuh, njuk aku jadinya takut sendiri nek nanti aku sholat gimanaaaaaaaaaaa, terus habis rini selesai sholat dan bilang amin begitu si ibu malah makin menampakkan dirinya dengan cara yang sumpah iki tenanan asu banget njupuk gambare. dah, pokmen kalian nonton sendiri saja nanti.

    hal yang saya sukai dari film ini selain tokoh ian si kecil, adalah setting tempat dan propertinya yang old-fashioned banget ala 80an, gaya rumah yang sebenarnya sangat estetik dan vintage kalau nggak dipakai untuk syuting horror, wardrobe yang dikenakan setiap tokoh dengan ‘pas’ (baju-bajunya tara basro lucuk), interior kamar si ibu –kasur kelambu, lemari kaca satu pintu, piringan hitam, dll yang sangat jadul, tone film yang juga lembut dan komposisinya senada –lampu rumah kuning redup dan setting suasana siang yang nggak kebanyakan brightness, juga scoring musik latar yang jooooos, lagu-lagu selectednya yang enak banget didengar (tembang-tembang 80an). secara artistik, pengabdi setan sudah sangat cantik.

    ah ya, ada fachri albar juga yang ganteng di akhir scene, tapi saya nggak mudeng dengan peran dia itu ngapain di sana, bapak ustadznya juga, soalnya habis itu masa dia dibunuh coba. terus juga saya nggak suka sama jalan cerita akhirnya karena ian diambil ibunya cobaaaaaaa dan lama-lama dia jadi anak yang menyeramkan (ada adegan di mana dia tiba-tiba bisa bicara sambil ketawa haha hehe terus aku asu bajingan kok jadi seram kamu dik sumpah waton banget medeni lur). tapi keseluruhan dan melihat secara holistik (asu bahasaku), pengabdi setan sangat worth it untuk kalian tonton. KAPAN LAGI HORROR INDONESIA PUNYA KUALITAS SEBAGUS INI? sudah cukuplah esek-esek yang nggak konkrit, dengan munculnya pengabdi setan, ini adalah awal yang bagus untuk perfilman di jurusan setan-setanan di indonesia setelah framing horror di era 80-90an meredup. makanya nonton ya, bantu support dengan datang ke bioskop dan beli tiketnya. ingat, nda boleh mainan insta stories di dalam studio atau nanti kamu bakal kena sanksi hukum, tapi kalau mau misuh-misuh kayak saya boleh sekali lah untuk mengekspresikan perasaan-perasaan takut yang mencekik.

    selamat menjerit-jerit! semoga review saya bermanfaat dan nggak menjadi sia-sia. sumpah, kalian kudu nonton.

Ian yang suka bikin jantungan

Senin, Juni 12, 2017

Merayakan Ziarah (sebuah catatan reflektif yang sangat panjang)

    Seperti sudah satu windu saya hilang dan nggak menulis apa-apa lagi, pukul setengah dua pagi ini saya akhirnya datang membawa jamuan berupa pengalaman hidup saya mengarungi Ziarah selama beberapa bulan ke belakang. Mungkin hal tsb juga jadi alasan kenapa saya jadi diam cukup lama dan berhenti bicara aneh-aneh di sini. Saya sempat pilek yang amat hebat, sampai kepala rasanya pingin dilepas saja dulu, sempat kacau dengan beberapa hidup karena terlalu tergopoh-gopoh memikul banyak hal, sempat berhenti di depan stasiun dan terbengong lama untuk membeli tiket pulang meski akhirnya cuma jadi bengong karena terbentur jam rapat, sempat jadi bison selama semalam dan menolak segala bentuk kehidupan, tapi hamima tetap lah hamima, seenggaknya perempuan itu masih hapal jalan menuju pulang dan sisa-sisa perasaan jadi orang baik, akhirnya dia cuma bisa mengulum permen karet dan minum air es untuk mendinginkan kepalanya. Siap bernapas dengan oke lagi, toh hidup itu sebenarnya enak-enak saja kok.

    Satu bulan yang lalu, saya meng-attach CV saya menuju email film Ziarah yang saat itu sedang membuka lowongan internship untuk mencari tim distribusi film. Jujur, sesungguhnya saya belum pernah sama sekali menonton film besutan sutradara BW Purba Negara itu. Saya juga ketinggalan pemutaran Ziarah di festival film JAFF karena enggak kebagian seat, saking ramainya antusias penonton. Tapi saya sudah niat sekali ingin melamar ke sana dan punya keyakinan kalau Ziarah pasti akan membuat saya merinding. Tokoh utama film itu adalah Ponco Sutiyem, perempuan tua usia 95 tahun. Kabarnya, Mbah Ponco ini bukanlah seorang aktris atau pemain teater, beliau hanya petani dan penduduk asli Pagerjurang, Gunungkidul. Selain itu, saya sebenarnya juga punya kekaguman sendiri dengan nenek-nenek, siapapun mereka. Saya suka aura para lansia, kadang mereka punya karakter yang menghanyutkan meski cuma bertatapan sejenak. Mereka seperti punya magis yang bisa menarik saya untuk menjabat tangan rentanya serta berbicara banyak hal. Dan hal itu kemudian mengantarkan saya pada Ziarah, film alternatif yang membuat saya terbelalak ketika tahu dia akan dirilis ke bioskop pada tanggal 18 Mei 2017.

    Beberapa hari kemudian, saya dipanggil untuk interview di sanggar Ziarah, tempat para tim di balik layar bekerja dan menyalurkan energinya untuk Ziarah. Anak bawang dan bau kencur seperti saya ini kemudian berkunjung ke sana selepas ashar, membawa perasaan gugup dan cemas akan beberapa hal seperti takut salah bicara atau tiba-tiba jatuh tersandung kaki sendiri. Saya lalu bertemu dengan Mbak Ridla, co produser Ziarah yang pembawaannya sungguh ramah dan santai, membuat saya akhirnya ketularan jadi tenang, nggak berdegap-degup seperti sebelumnya.

    Mbak Ridla cerita banyak soal Ziarah, meski hanya di permukaan. Dia juga menambahkan beberapa hal tentang internship di Ziarah yang akan saya dan kawan-kawan lain jalani kurang lebih beberapa bulan ke depan. Soal para manusia yang bergotong-royong secara militan dalam proses Ziarah, mulai dari produksi hingga sampai pada tahap distribusi film ke bioskop. Semua yang terlibat di dalamnya sungguhan mencurahkan energi dan cintanya untuk Ziarah. Dari film alternatif yang hanya discreeningkan pada layar-layar tertentu dan terbatas, keluar masuk festival film dalam dan luar negeri sampai menyabet banyak penghargaan, hingga akhirnya bisa dinikmati di dalam ruang bioskop yang lebih popular.

    Lalu diijinkanlah saya jadi bagian mereka, menyublim jadi anak magang Ziarah yang mengurus promosi dan marketing film lewat sosial media. Saya nggak mengira ini akan mudah karena ketika saya menganggap ini mudah, justru bukan mudah betulan yang terjadi, kemungkinan besar adalah saya akan menyepelekannya. Jadi kemudian saya mendoktrin pikiran kalau ini akan jadi sangat menyenangkan, sehingga saya bisa merasakan perasaan senang betulan ketika menjalaninya, sebab senang diyakini dapat mengantarkan pada hal-hal yang baik. Saya juga enggak mungkin akan tenggelam ke dalam Ziarah kalau saya sendiri enggak menyukai hal-hal di dalam Ziarah, soal simbah-simbah yang saya kagumi dan bau-bau perfilman yang sedari kecil saya amini.

    Di Ziarah rasanya seru sekali. Saya dapat banyak pengalaman soal distribusi film dan hal-hal seputar bioskop, kalau ternyata lama enggaknya sebuah film tayang di bioskop itu ditentukan oleh penonton, apakah jumlah mereka memenuhi seat studio atau enggak, hal yang sebelumnya blasssssss nggak pernah saya ketahui (karena tahunya cuma antri tiket dan nonton doang). Kenal teman-teman dari Jogja belahan mana-mana yang ternyata juga temannya teman kita. Mas mbak produser yang ternyata juga mengurus publicist film lain kayak Filosofi Kopi dan Bukaan 8, mas mbak kru lain yang ternyata juga panitia dan orang-orang di belakang festival film jogja kayak JAFF, FFD, FKY, dan festival-festival di luar kota, serta masih banyak hal lain yang membuat saya sedikit-sedikit ber “hah? sumpah?” karena saking kagetnya mengetahui fakta baru.

    Sanggar Ziarah sendiri lokasinya berada di kampung Minggiran, Jogja bagian utara daerah Jalan Bantul. Setiap selesai maghrib, saya dan teman-teman magang lain berkumpul di sana, duduk di meja bundar berhadap-hadapan, membuka laptop dan tenggelam pada pekerjaan kami masing-masing. Saya menyiapkan rencana konten dan revisi untuk sosial media berkali-kali dengan Mas Bagus yang juga co produser Ziarah. Teman-teman content writer sibuk mengirim pers rilis kepada ratusan media partner lewat email satu per-satu. Partnership sibuk mengurus merchandise dan tetek bengek penjualan, serta harus sabar dihubungi dan menghubungi banyak media partner untuk jadwal interview, airing radio, diskusi film, dan lain-lain. Bagian activation mengawal jalannya gala premier Ziarah di Gunungkidul bersama warga setempat. Distributor sibuk mondar-mandir mengirim DCP film ke berbagai bioskop dan memastikan semua hal terpasang oke (poster film di display bioskop, trailer film sebelum pemutaran regular, dsb). Desainer dan editor mendapat banyak orderan untuk membuat poster, rilis nobar, video testimoni, dddddsssbbbbb. Serta masih banyak lagi pekerjaan teman-teman di Ziarah dari hal besar seperti live streaming Mbah Ponco bersama stasiun-stasiun tv sampai sedetil menempel poster film di tembok-tembok perempatan lampu bangjo, hahaha. Hal-hal di atas kami lakukan bersama-sama, sampai suntuk pukul dua belas malam, lalu beramai-ramai memesan makanan karena kelaparan, dan baru menuju pulang sekitar satu atau dua pagi. 

    Karena saya siangnya masih harus kuliah dan berkegiatan di kampus, pekerjaan-pekerjaan di Ziarah baru bisa saya lakukan ketika petang sehabis maghrib. Sebelum pada malamnya saya meluncur menuju Minggiran, saya biasanya selalu mewanti-wanti diri untuk membawa; parka atau jaket tebal, kacamata, kaus kaki, dan masker. Benda-benda tersebut sama sekali tidak boleh saya lewatkan, karena Minggiran terlalu jauh, dan Jogja berubah jadi sangat dingin ketika malam hari. Saya menghabiskan kurang lebih setengah jam alias tiga puluh menit di perjalanan dari daerah tempat saya hidup, Jakal, menuju jalan Bantul di utara itu. Saya memang anaknya bandel soal ketertiban. Contoh saja untuk masalah berkendara, saya sering sekali cuma pakai sandal japit, nggak ada balutan kaus kaki apalagi dipakaikan sepatu, dan pakaian yang tanpa rangkapan jaket atau baju tebal. Hal demikian pernah saya coba selama dua hari saya bolak-balik Jakal-Minggiran, tapi ketika menuju pulang pukul dini hari, saya menggigil di jalanan karena udara sungguhan dingin, dan kalian perlu tahu Jogja ketika satu pagi itu mirip orang mati, senyap dan lengang, bikin kepala saya jadi pusing dan perasaan-perasaan ingin jatuh. Apalagi ketika muka saya terus-terusan dipapar angin malam, kalau tidak muntah, ya saya pasti akan menangis di sepanjang perjalanan. Tapi kemudian dengan saya mencoba jadi tertib pakai baju hangat, kacamata dan masker, serta alas kaki yang sedikit tertutup, saya bisa pelan-pelan mengurangi kekacauan hidup seorang hamima dan berkendara dengan tenang, sambil nyanyi kidung jawa supaya mata saya tetap melek di sepertiga malam saya menuju kost-kostan. Huhuhu.

    Ziarah juga selalu hadir dengan kesederhanaan yang membuat perasaan saya selalu hangat. Dari penyebutan nama ‘sanggar’ ketimbang sebuah kantor kerja, ‘ziarawan dan ziarawati’ daripada para penonton, ‘teman-teman’ daripada anak magang, sampai gala premier yang bukan diselenggarakan di bioskop sekelas XXI, tapi justru di Pagerjurang Gunungkidul sebuah dataran tinggi paling selatan jogja, yang jauh dari hiruk-pikuk keriuhan kota. Lokasi tersebut dipilih karena tiga tahun yang lalu, Ziarah memulai karyanya di sana. Mbah Ponco merupakan warga asli dusun Pagerjurang, dan mas-mbak kru juga mengambil setting latar di wilayah tersebut. 
    
    Saya sendiri berangkat menuju Gunungkidul bersama rombongan media partner dari berbagai tempat (tidak hanya Jogja saja) dengan bus pariwisata berisi sekitar 60 orang. Menempuh perjalanan kurang lebih dua sampai tiga jam lalu ketika sampai, kami disambut sore serta hamparan hijau tanah Gunungkidul. Udaranya saja bikin mabuk, harum dan menenangkan, berbeda dengan udara sekitaran jakal tempat saya bernapas sehari-hari. Kami semua lalu diantar ke bukit Gunung Gambar, untuk dipersilahkan menyaksikan matahari terbenam sampai selesai maghrib. Sungguh baiknya Ziarah ini, membuat perasaan saya lagi-lagi meleleh.

    Pukul enam sore sepertinya, ketika saya dan teman-teman lain sudah sampai di sebuah pendopo tua yang berada di puncak bukit, menghadap langsung ke Gunung Gambar yang tengah merah merona diterpa matahari yang hendak tenggelam. Indah, terus saya kepingin menangis. Kapan terakhir kali saya melihat sesuatu seperti itu? Di sana dingin, sungguh, anginnya terbang dengan kencang. Satu lapis jaket tebal dan kerudung panjang yang saya kenakan sama sekali nggak bisa menepis perasaan menggigil itu. Di depan alam raya itu, saya menekuk lutut sambil masih terus bernapas pelan-pelan. Saya enggak berani sambat, suasana di sana sangat sakral, saya nggak berhak melumurinya dengan ucapan-ucapan tidak pantas. Lalu sedang khusyunya saya diam, mas mbak Ziarah kemudian menyajikan satu tremos teh hangat, kopi panas yang mengepul, sego kucing bersama ubi rebus, serta kudapan angkringan lainnya, yang jadi sesajen sebagai sarana menghangatkan sekaligus menyatukan teman-teman di sana. Mas BW kemudian datang, membawa serulingnya yang berjumlah beberapa dan sukarela memainkan alat tersebut di hadapan kami. Hening seperti beribadah, semua menjadi tenang di pendopo tua itu, seolah-olah sedang berziarah. Semburat warna merah itu kemudian hilang pelan-pelan, diganti warna biru gelap, dan lampu-lampu kecil mulai terlihat dari atas kami berada. Angin malam masih berhembus dengan brutal, sampai saya lalu digondol pilek dan dua minggu setelahnya, hidung saya masih bermasalah. Puji tuhan…

    Seusai romantisme dengan waktu maghrib tadi, kami semua lalu turun ke bawah menuju suatu halaman rumah warga untuk memulai premier film Ziarah bersama bapak-ibu mas-mbak adik-adik setempat. Sebelumnya diputar juga beberapa film pendek berbahasa jawa dari dinas kebudayaan seksi perfilman, dan ternyata antusias warga sangat meriah! Saya senang sekali hanya dengan melihat mereka menonton film beramai-ramai seperti sedang ada pasar malam, hal-hal yang sebenarnya sangat jarang mereka lakukan mengingat terbatasnya akses dalam mengonsumsi film. Terus saya jadi kepingin kapan-kapan membuka screeningan gratis di dusun-dusun bersama penduduk lokal. Menyediakan gorengan dan wedang hangat sebagai pengganti snack ala penonton masyarakat urban. Lalu mempersilahkan satu dua dari mereka untuk maju ke depan layar dan berbicara soal perasaan mereka setelah menonton film. Haduhai, membayangkannya saja saya sudah merasa terkesan!

    Lalu berhari-hari kemudian tepat sebelum Ziarah mulai diputar di bioskop, mas mbak kru mengundang kami semua yang terlibat dalam proses ini untuk datang pada malam harinya dan membawa satu dua makanan untuk dibagi bersama. Pukul satu paginya kami terus duduk melingkar, mengumpulkan bahan makanan di tengah, dan menyalakan dupa. Bau itu langsung menguar di sekitar kami, menenangkan kepala dan penciuman saya yang saat itu masih diserang pilek sejak kembalinya saya dari Gunungkidul kemarin. Beberapa orang kemudian berbicara, seperti sedang refleksi proses Ziarah ini sendiri dari awal penciptaan sampai hari ini bisa tayang di layar bioskop. Banyak kalimat pasrah yang dituturkan, seperti tengara kalau kami semua memang sudah siap untuk melepas Ziarah ke hadapan penonton dan menerima apapun hasilnya nanti. Setelah itu, kami hening cipta sebentar sambil berdoa sesuai kepercayaan, berharap semoga Tuhan memberkahi Ziarah di beberapa bioskop pulau Jawa selama-lamanya, tidak hanya empat hari (sesuai jatah yang diberikan bioskop apabila penonton tidak memenuhi seat studio).

    Selama pemutaran Ziarah di bioskop, saya jadi rutin datang ke XXI atau Cinemaxx Lippo untuk mengisi konten di sosial media meski intensitas saya di sana tidak sesering Mas BW, Mas Bagus, maupun Mbak Ridla yang hampir tiap sore dapat ditemui di bioskop. Karena setiap selesai pertunjukan, Mas BW biasanya akan masuk ke dalam studio, menyapa penonton, dan meluangkan waktu untuk berdiskusi terkait film. 

    Ziarah hanya diputar di 22 bioskop 16 kota di Indonesia, di antaranya adalah masih berada di pulau Jawa. Tapi kemudian, semangat berziarah berjamaah ini menular ke kota-kota di luar Jawa seperti Bali, Makassar, Palu, dan beberapa kota yang bergotong royong secara militan untuk menghadirkan Ziarah di bioskop kotanya seperti Kediri, Jember, Kendari, dan kota lainnya. Hingga akhirnya sampai tiga minggu berlangsung sejak 18 Mei lalu, Ziarah kemudian diturunkan dari seluruh layar bioskop dan dengan ini menyatakan bahwa pemutaran film secara regular di bioskop sudah usai. 30ribu 100ratus 80puluh 9sembilan penonton telah merayakan dan memeriahkan Ziarah di berbagai kota. Jumlah ini adalah berkat dari Tuhan mengingat dulu Mbak Ridla hanya menarget total 10ribu penonton saja. Ziarawan dan ziarawati yang telah meluangkan waktunya untuk menyaksikan perjalanan panjang Mbah Sri sungguhan telah turut berkontribusi untuk perfilman Indonesia yang lebih baik, dan semoga, Tuhan ganjarkan kebaikan-kebaikan alam raya beserta semesta kepada para penonton di segala penjuru.

    Terima kasih Ziarah, terima kasih ziarawan dan ziarawati, terima kasih seluruh elemen dan partikel yang mengalir dalam darah Ziarah, dengan rendah hati saya sebenarnya pingin sekali salim sama kalian semua, menyalurkan perasaan syukur saya kalau saya telah jadi jauuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuh lebih hidup dengan berkutat bersama kalian, menyerap banyak energi positip dan menciumi banyak bau-bau kebaikan. Panjang umur dan sentosa, ya, amin!


alam raya dari pendopo tua Gunung Gambar. Tuhan memang maha romantis!

Ziarah masuk MetroTV

minus banyak. (di Prono Jiwo, Kaliurang)

malam tenang pukul satu pagi di sanggar Ziarah, tepat sebelum Ziarah diputar di bioskop pada pagi harinya. di tengah tersanding dupa dan sesajen untuk dibagi bersama. khusyuk dan adem.

Mbah Sri dan keluasan hatinya yang membentang seperti samudera.