misuh-misuh bersama Pengabdi Setan #ulasan
by
Mima
- September 28, 2017
sebenarnya saya paling malas dan sengit banget nek disuruh menonton film dengan genre horror. saya mending nonton tutur tinular atau sinetron indosiar yang rebut-rebutan harta kekayaan daripada harus nonton film yang seram-seram. selain karena saya takut setan wkwkwkwk saya juga anaknya nggak suka nek sedikit-sedikit harus kaget apalagi yang kagetnya mencekam, jantung saya lemah soalnya, dan jadi capek sendiri saya nantinya. tapi bukan berarti saya nggak pernah nonton horror sih, kalau beberapa teman mengajak sambil nawarin gratisan, biasanya saya iyain, tapi tergantung film dan pemainnya juga, pokoknya jadi 97% pemilih banget lah saya kalau soal horror. tapi sesungguhnya, i would prefer not to. mending kita main bekel saja yuk di pelataran rumah nenek daripada harus menjadi tegang di depan layar bioskop.
kemudian Pengabdi Setan membuat saya berpikir seribu kali. masa iya nggak mau nonton filmnya joko anwar? padahal belio adalah salah satu sutradara panutan saya selain riri riza, mira lesmana, garin nugroho, ifa isfansyah, angga dwimas sasongko (filkopnya terutama!!!), mas bw purba dan yang lain-lain (alias bingung mau menyebut siapa lagi). apalagi, di film barunya ini, bang joko menampilkan tara basro dan dedek endy arfian yang sekarang sudah tumbuh besar dan menjadi mas-mas maco. terus film ini juga hasil remake dari sutradara sisworo gautama putra dengan judul yang sama (atau Satan’s Slave kalau diinggriskan) di tahun 1980. haaah, bikin nambah penasaran to? jadinya ya sudah, sambil berdoa semoga saya diberi kekuatan dan nggak tewas di dalam bioskop, sore pukul setengah lima saya meluncur ke empire urip sumoharjo dan resmi nonton pengabdi setan bersama teman saya.
hari pertama film ini dirilis ternyata beberapa deret kursi bioskop di bagian depan kosong melompong, saya kira orang-orang bakal excited dan memenuhi studio, tapi nggak tau juga sih untuk nanti malam. saya lalu duduk, di sebelah teman saya, berdebar-debar sendiri sambil menurunkan lintingan lengan baju karena kedinginan, dan bersamaan dengan itu, lampu studio kemudian dimatikan dan saya menahan diri untuk nggak misuh-misuh, padahal yo filme mulai aja belom.
Pengabdi Setan dimulai dengan cerita tokoh si ibu (ayu laksmi) yang dulunya berprofesi sebagai seniman (penyanyi), tapi kemudian mengalami sakit keras selama tiga tahun dan hanya bisa berbaring di kasur, nggak dirawat di rumah sakit karena terkendala biaya. Ibu nggak bisa bergerak dan bicaranya tertatih, jadi cara dia memanggil anak-anaknya kemudian adalah dengan membunyikan lonceng (yang kata bang joko usia loncengnya sudah 100 tahun lebih). tiap kali loncengnya berbunyi, suaranya jadi terdengar sayup-sayup sekaligus jelas begitu lho teman-teman, sumpah seram. ketika rini, atau toni (endy arfian) menghampiri panggilan ibunya, saya juga jadi suka misuh-misuh sendiri, soalnya penampilan mbak ayu laksmi itu benar-benar bikin deg-degan, gaun panjang terusan warna putih dan rambut panjang yang digerai, ditambah posisi ibu yang selalu berbaring, hssssssssssssh nggak ngerti lagi. tapi kemudian, si ibu akhirnya meninggal dunia dan scene yang menceritakan ibu meninggal ini benar-benar bikin saya sebentar-sebentar misuh asu bajingan lho karena seram banget!!! nggak lama setelah ibu dikebumikan, bapak yang diperankan oleh bront palarae itu lalu memutuskan untuk pergi keluar kota untuk mencari rupiah, dan meninggalkan 4 orang anaknya; rini, toni, bondi (nazar anis), dan ian si gemas (m. adhiyat), serta nenek yang mobilisasinya dibantu kursi roda. by the way, kalian akan berkenalan dengan ian, tokoh paling kecil yang paling sering bikin tertawa, anak ini diceritakan sebagai tunawicara dan harus saya akui, karakter yang dia mainkan sungguh-sungguh baik. kayaknya saya jadi berpindah hati deh dari tara basro ke adik m. adhiyat ini, dia seperti jadi kunci lahirnya kehangatan-kehangatan rasa kekeluargaan di film Pengabdi Setan. tonton sendiri, yak.
nah, ketegangan di film ini muncul setelah ibu meninggal. sehabis si bapak pergi jauh, satu persatu kejadian janggal dan aneh mulai terjadi. lonceng yang dulu kerap dipakai ibu mendadak sering terdengar lagi (asu pas bagian iki aku misuh-misuh lagi, siapa coba yang membunyikan?), radio milik toni yang tiba-tiba memutar lagu ibu (lagune sakjane enak didengar lho, sumpah, coba sih), sampai nenek yang meninggal dengan cara mengerikan (jatuh ke lubang sumur –njuk jadi ingat lubang buaya G30S/PKI hhh malah metu bahasan) dan bondi yang setelah memergoki meninggalnya nenek di sumur jadi pendiam dan sering demam. anak-anak kemudian jadi menganggap kalau si ibu datang lagi, karena baik rini, toni, maupun bondi, beberapa kali melihat penampakan ibunya (asuuuuuuuuuu di bagian ini juga saya misuh-misuh paling kenceng) tapi si ian malah nggak pernah melihat hantu ibunya, setelah nenek meninggal, justru sang neneklah yang menampakkan diri di depan ian, sementara di hadapan kakak-kakaknya enggak. dan kedatangan ibunya itu sama sekali nggak membuat anak-anak menjadi bahagia (ya iyalah ha wong bentukane medeni ngono) tapi mereka malah dirundung ketakutan (nek saya sih takut banget) karena ternyata si ibu kembali dengan membawa pengaruh yang jahat.
alur selanjutnya adalah soal rahasia si ibu semasa beliau sehat dahulu yang kemudian mengantarkan rini bertemu dengan pria tua di kota (profesinya adalah penulis majalah klenik) dan memberitahu rini kalau ibunya dulu adalah seorang pengabdi setan. mulai dari situ, cerita dijabarkan dengan pelan tapi tetap terasa mencekam dan wujud si ibu jadi sering muncul dan mengganggu anak-anak. atmosfir tegangnya dihadirkan konsisten dari awal sampai akhir cerita, tapi porsinya jadi lebih sedikit banyak dan sumpah… bikin jantungmu sesak sendiri.
banyak juga unsur religi yang joko anwar sisipkan di film ini. kaya prosesi pemakamannya, acara tahlilan di rumah, sampai nasehat seorang tokoh ustadz yang meminta rini untuk sholat dan memohon perlindungan kepada Allah. dialog yang diucapkan si ustadz juga lumayan bikin saya tergelitik sekaligus berpikir opo iyo? pak ustadz bilang kalau rumah yang penghuninya jarang sholat memang rentan dimasuki roh-roh jahat. njuk habis itu, tara basro tenanan mengambil air wudu dan sholat malam, njuk ya ngono lah… lagi-lagi wujud si ibu muncul ketika rini sedang membasuh mukanya (samar-samar tapi tetap kelihatan seram), pas lagi sujud, pas lagi I’tidal, pas lagi rukuh, njuk aku jadinya takut sendiri nek nanti aku sholat gimanaaaaaaaaaaa, terus habis rini selesai sholat dan bilang amin begitu si ibu malah makin menampakkan dirinya dengan cara yang sumpah iki tenanan asu banget njupuk gambare. dah, pokmen kalian nonton sendiri saja nanti.
hal yang saya sukai dari film ini selain tokoh ian si kecil, adalah setting tempat dan propertinya yang old-fashioned banget ala 80an, gaya rumah yang sebenarnya sangat estetik dan vintage kalau nggak dipakai untuk syuting horror, wardrobe yang dikenakan setiap tokoh dengan ‘pas’ (baju-bajunya tara basro lucuk), interior kamar si ibu –kasur kelambu, lemari kaca satu pintu, piringan hitam, dll yang sangat jadul, tone film yang juga lembut dan komposisinya senada –lampu rumah kuning redup dan setting suasana siang yang nggak kebanyakan brightness, juga scoring musik latar yang jooooos, lagu-lagu selectednya yang enak banget didengar (tembang-tembang 80an). secara artistik, pengabdi setan sudah sangat cantik.
ah ya, ada fachri albar juga yang ganteng di akhir scene, tapi saya nggak mudeng dengan peran dia itu ngapain di sana, bapak ustadznya juga, soalnya habis itu masa dia dibunuh coba. terus juga saya nggak suka sama jalan cerita akhirnya karena ian diambil ibunya cobaaaaaaa dan lama-lama dia jadi anak yang menyeramkan (ada adegan di mana dia tiba-tiba bisa bicara sambil ketawa haha hehe terus aku asu bajingan kok jadi seram kamu dik sumpah waton banget medeni lur). tapi keseluruhan dan melihat secara holistik (asu bahasaku), pengabdi setan sangat worth it untuk kalian tonton. KAPAN LAGI HORROR INDONESIA PUNYA KUALITAS SEBAGUS INI? sudah cukuplah esek-esek yang nggak konkrit, dengan munculnya pengabdi setan, ini adalah awal yang bagus untuk perfilman di jurusan setan-setanan di indonesia setelah framing horror di era 80-90an meredup. makanya nonton ya, bantu support dengan datang ke bioskop dan beli tiketnya. ingat, nda boleh mainan insta stories di dalam studio atau nanti kamu bakal kena sanksi hukum, tapi kalau mau misuh-misuh kayak saya boleh sekali lah untuk mengekspresikan perasaan-perasaan takut yang mencekik.
selamat menjerit-jerit! semoga review saya bermanfaat dan nggak menjadi sia-sia. sumpah, kalian kudu nonton.
kemudian Pengabdi Setan membuat saya berpikir seribu kali. masa iya nggak mau nonton filmnya joko anwar? padahal belio adalah salah satu sutradara panutan saya selain riri riza, mira lesmana, garin nugroho, ifa isfansyah, angga dwimas sasongko (filkopnya terutama!!!), mas bw purba dan yang lain-lain (alias bingung mau menyebut siapa lagi). apalagi, di film barunya ini, bang joko menampilkan tara basro dan dedek endy arfian yang sekarang sudah tumbuh besar dan menjadi mas-mas maco. terus film ini juga hasil remake dari sutradara sisworo gautama putra dengan judul yang sama (atau Satan’s Slave kalau diinggriskan) di tahun 1980. haaah, bikin nambah penasaran to? jadinya ya sudah, sambil berdoa semoga saya diberi kekuatan dan nggak tewas di dalam bioskop, sore pukul setengah lima saya meluncur ke empire urip sumoharjo dan resmi nonton pengabdi setan bersama teman saya.
hari pertama film ini dirilis ternyata beberapa deret kursi bioskop di bagian depan kosong melompong, saya kira orang-orang bakal excited dan memenuhi studio, tapi nggak tau juga sih untuk nanti malam. saya lalu duduk, di sebelah teman saya, berdebar-debar sendiri sambil menurunkan lintingan lengan baju karena kedinginan, dan bersamaan dengan itu, lampu studio kemudian dimatikan dan saya menahan diri untuk nggak misuh-misuh, padahal yo filme mulai aja belom.
Pengabdi Setan dimulai dengan cerita tokoh si ibu (ayu laksmi) yang dulunya berprofesi sebagai seniman (penyanyi), tapi kemudian mengalami sakit keras selama tiga tahun dan hanya bisa berbaring di kasur, nggak dirawat di rumah sakit karena terkendala biaya. Ibu nggak bisa bergerak dan bicaranya tertatih, jadi cara dia memanggil anak-anaknya kemudian adalah dengan membunyikan lonceng (yang kata bang joko usia loncengnya sudah 100 tahun lebih). tiap kali loncengnya berbunyi, suaranya jadi terdengar sayup-sayup sekaligus jelas begitu lho teman-teman, sumpah seram. ketika rini, atau toni (endy arfian) menghampiri panggilan ibunya, saya juga jadi suka misuh-misuh sendiri, soalnya penampilan mbak ayu laksmi itu benar-benar bikin deg-degan, gaun panjang terusan warna putih dan rambut panjang yang digerai, ditambah posisi ibu yang selalu berbaring, hssssssssssssh nggak ngerti lagi. tapi kemudian, si ibu akhirnya meninggal dunia dan scene yang menceritakan ibu meninggal ini benar-benar bikin saya sebentar-sebentar misuh asu bajingan lho karena seram banget!!! nggak lama setelah ibu dikebumikan, bapak yang diperankan oleh bront palarae itu lalu memutuskan untuk pergi keluar kota untuk mencari rupiah, dan meninggalkan 4 orang anaknya; rini, toni, bondi (nazar anis), dan ian si gemas (m. adhiyat), serta nenek yang mobilisasinya dibantu kursi roda. by the way, kalian akan berkenalan dengan ian, tokoh paling kecil yang paling sering bikin tertawa, anak ini diceritakan sebagai tunawicara dan harus saya akui, karakter yang dia mainkan sungguh-sungguh baik. kayaknya saya jadi berpindah hati deh dari tara basro ke adik m. adhiyat ini, dia seperti jadi kunci lahirnya kehangatan-kehangatan rasa kekeluargaan di film Pengabdi Setan. tonton sendiri, yak.
nah, ketegangan di film ini muncul setelah ibu meninggal. sehabis si bapak pergi jauh, satu persatu kejadian janggal dan aneh mulai terjadi. lonceng yang dulu kerap dipakai ibu mendadak sering terdengar lagi (asu pas bagian iki aku misuh-misuh lagi, siapa coba yang membunyikan?), radio milik toni yang tiba-tiba memutar lagu ibu (lagune sakjane enak didengar lho, sumpah, coba sih), sampai nenek yang meninggal dengan cara mengerikan (jatuh ke lubang sumur –njuk jadi ingat lubang buaya G30S/PKI hhh malah metu bahasan) dan bondi yang setelah memergoki meninggalnya nenek di sumur jadi pendiam dan sering demam. anak-anak kemudian jadi menganggap kalau si ibu datang lagi, karena baik rini, toni, maupun bondi, beberapa kali melihat penampakan ibunya (asuuuuuuuuuu di bagian ini juga saya misuh-misuh paling kenceng) tapi si ian malah nggak pernah melihat hantu ibunya, setelah nenek meninggal, justru sang neneklah yang menampakkan diri di depan ian, sementara di hadapan kakak-kakaknya enggak. dan kedatangan ibunya itu sama sekali nggak membuat anak-anak menjadi bahagia (ya iyalah ha wong bentukane medeni ngono) tapi mereka malah dirundung ketakutan (nek saya sih takut banget) karena ternyata si ibu kembali dengan membawa pengaruh yang jahat.
alur selanjutnya adalah soal rahasia si ibu semasa beliau sehat dahulu yang kemudian mengantarkan rini bertemu dengan pria tua di kota (profesinya adalah penulis majalah klenik) dan memberitahu rini kalau ibunya dulu adalah seorang pengabdi setan. mulai dari situ, cerita dijabarkan dengan pelan tapi tetap terasa mencekam dan wujud si ibu jadi sering muncul dan mengganggu anak-anak. atmosfir tegangnya dihadirkan konsisten dari awal sampai akhir cerita, tapi porsinya jadi lebih sedikit banyak dan sumpah… bikin jantungmu sesak sendiri.
banyak juga unsur religi yang joko anwar sisipkan di film ini. kaya prosesi pemakamannya, acara tahlilan di rumah, sampai nasehat seorang tokoh ustadz yang meminta rini untuk sholat dan memohon perlindungan kepada Allah. dialog yang diucapkan si ustadz juga lumayan bikin saya tergelitik sekaligus berpikir opo iyo? pak ustadz bilang kalau rumah yang penghuninya jarang sholat memang rentan dimasuki roh-roh jahat. njuk habis itu, tara basro tenanan mengambil air wudu dan sholat malam, njuk ya ngono lah… lagi-lagi wujud si ibu muncul ketika rini sedang membasuh mukanya (samar-samar tapi tetap kelihatan seram), pas lagi sujud, pas lagi I’tidal, pas lagi rukuh, njuk aku jadinya takut sendiri nek nanti aku sholat gimanaaaaaaaaaaa, terus habis rini selesai sholat dan bilang amin begitu si ibu malah makin menampakkan dirinya dengan cara yang sumpah iki tenanan asu banget njupuk gambare. dah, pokmen kalian nonton sendiri saja nanti.
hal yang saya sukai dari film ini selain tokoh ian si kecil, adalah setting tempat dan propertinya yang old-fashioned banget ala 80an, gaya rumah yang sebenarnya sangat estetik dan vintage kalau nggak dipakai untuk syuting horror, wardrobe yang dikenakan setiap tokoh dengan ‘pas’ (baju-bajunya tara basro lucuk), interior kamar si ibu –kasur kelambu, lemari kaca satu pintu, piringan hitam, dll yang sangat jadul, tone film yang juga lembut dan komposisinya senada –lampu rumah kuning redup dan setting suasana siang yang nggak kebanyakan brightness, juga scoring musik latar yang jooooos, lagu-lagu selectednya yang enak banget didengar (tembang-tembang 80an). secara artistik, pengabdi setan sudah sangat cantik.
ah ya, ada fachri albar juga yang ganteng di akhir scene, tapi saya nggak mudeng dengan peran dia itu ngapain di sana, bapak ustadznya juga, soalnya habis itu masa dia dibunuh coba. terus juga saya nggak suka sama jalan cerita akhirnya karena ian diambil ibunya cobaaaaaaa dan lama-lama dia jadi anak yang menyeramkan (ada adegan di mana dia tiba-tiba bisa bicara sambil ketawa haha hehe terus aku asu bajingan kok jadi seram kamu dik sumpah waton banget medeni lur). tapi keseluruhan dan melihat secara holistik (asu bahasaku), pengabdi setan sangat worth it untuk kalian tonton. KAPAN LAGI HORROR INDONESIA PUNYA KUALITAS SEBAGUS INI? sudah cukuplah esek-esek yang nggak konkrit, dengan munculnya pengabdi setan, ini adalah awal yang bagus untuk perfilman di jurusan setan-setanan di indonesia setelah framing horror di era 80-90an meredup. makanya nonton ya, bantu support dengan datang ke bioskop dan beli tiketnya. ingat, nda boleh mainan insta stories di dalam studio atau nanti kamu bakal kena sanksi hukum, tapi kalau mau misuh-misuh kayak saya boleh sekali lah untuk mengekspresikan perasaan-perasaan takut yang mencekik.
selamat menjerit-jerit! semoga review saya bermanfaat dan nggak menjadi sia-sia. sumpah, kalian kudu nonton.
Ian yang suka bikin jantungan
beberapa hal enak yang harus kalian coba
by
Mima
- September 28, 2017
*menyapa orang asing di jalan
*jalan kaki sambil payungan ketika hujan
*naik motor gapake helm (jangan ke jalan raya tapi)
*beli jus buah sehabis kuliah 4 sks
*ke pasar tradisional pagi pagi buta
*datang ke konser cuma untuk teriak-teriak meskipun enggak tahu siapa band yang sedang main
*ngebut (kalau jalan lagi sepi dan udah jago naik motor tapi)
*duduk minum es kopi sampai subuh bersama teman-teman, padahal ga ngapa-ngapain
*maki-maki orang goblok
*ngobrol sama ibu-ibu di perjalanan kereta
*kesasar di suatu pedesaan bernama entah (ga mau pas malem-malem tapi)
*jalan kaki di Gondomanan pas sore hari (tempat lain yang juga menarik dikunjungi; Prawirotaman, Mangkuyudan, Kotagede)
*makan es batu
*nyetel radio kabel
*mampir toko kaset di Jakal, meskipun ga beli apa-apa karena ga punya dvd player di kosan
*sepedaan jelang sandekala
*ngobrol sama mas-mas gondrong di kantin bonbin
*ngalamun
*ke museum, tempat-tempat bersejarah, melakukan wisata religi dan historis
*selonjoran di rerumputan hijau
*senderan ke bahu orang
*mendengarkan orang jogja misah misuh
*nonton basket dan duduk di tribun paling atas
*ngendus ngendus bau ibu
*sandal japitan
*pakai tote bag
*pakai baju dimasukin ke dalam celana
*pakai perona pipi di bawah mata
*beli soda dinginnnnnnnnnn
*lihat lihat walkman di toko elektronik, ngajak ngobrol yang jual panjang lebar, terus nanya barang yang gak ada, habis itu cabut
*bikin pesan singkat pakai sticky notes kalau habis makan rame-rame di restoran, isinya seruan semangat buat mas mbak pegawe yang akan bersih bersih meja
*kasih uang parkir lebih kalau tukang parkirnya adalah ibu-ibu
*tumpuk di tengah kalau habis makaaaaaan woyyyy
*beli dupa terus pasang di kamar
*beli kembang terus kasih ke temen
*berkebun, meskipun nggak punya lahan
*mancing ikan (jangan emosi)
*peluk temen kalau habis nongkrong terus mau pulang
*KLAKSON YANG KENCENG KALAU ADA YANG SERAMPANGAN NAIK MOTOR DI JALAN
*makan kwetiaw
*beli banyak buku, tumpuk sampai tinggi di kosan, meskipun gatau mau dibaca kapan
*beli koran di perempatan lampu bangjo
*lihat kapal, naiknya kapan-kapan
*pake jaket kuning (bukan UI)
*naik bus kota
*ketawa sampai kebelet pipis
*bersedih sampai kepala pindah ke dengkul
*berada di ruangan yang pakai lampu sorot warna kuning
*memaki bangsat dalam hati kalau lihat orang berkelakuan seperti hewan
*ngeblog
*bolos kelas dan klayapan
*ngerokok (ga deng)
gerimis halus mengunci ingatan orang-orang
by
Mima
- September 25, 2017
Sembuhkan lukamu yang membiru
Serpihan hatimu yang berdebu
Pagimu yang terluka
Malammu yang menyiksa
Hal yang ingin kau lupa
Justru semakin nyata
orang-orang mengikuti ritme musik. saya menelan ludah. kanan-kiri saya kena senggol lengan orang-orang yang bergerak. sementara pandangan saya mengabur. orang-orang ikut bernyanyi, menelusup keras lewat kulit telinga. lalu saya diam sebentar.
meskipun sudah saya tahan mati-matian untuk tidak mematung, kenyataannya saya malah bengong di tempat. di saat orang-orang berisik, saya justru melamun. entah persetan apa yang melingkupi saya malam itu, saya merasa ada beberapa hal yang menonjok tepat di ulu hati, lalu meninggalkan lebam yang anehnya, sama sekali tidak berasa. saya tidak kesakitan, tapi lebam itu justru membuat kubangan yang besar, yang nyaris melompong, yang saya sendiri... tidak mengerti. saya mendongak dan memicing ke langit yang dibaur gerimis halus. rasanya sudah lama sekali tidak menyentuh air hujan seperti itu.
Sembuhkan lukamu yang membiru
Serpihan hatimu yang berdebu
lirik itu dilantunkan lagi, kali ini saya malah jadi merinding, seperti kerasukan sesuatu. Saya melirik ke laki-laki yang berdiri di belakang bahu saya, memastikan dia tidak memergoki saya telah berubah menjadi arca parwati yang bertangan empat --dengan dua tangan depan bertemu di atas pusar. kalau tangan kanan belakang dewi parwati memegang tasbih (aksamala) dan tangan kiri belakang membawa kebut lalat (camara), maka dua tangan di belakang saya telah bersemayam kekosongan-kekosongan dan tanya-tanya yang saya sendiri tak pernah menemukan jawabannya.
saya melemparkan pandangan pada orang-orang yang terhampar di pelataran jcm, pada siapa pun, atau entah pada siapa
'sudah lama sekali, kamu apa kabar ya?'
saya bertanya dalam hati
'sepertinya kamu masih baik-baik saja,'
saya bergumam lirih
Serpihan hatimu yang berdebu
Pagimu yang terluka
Malammu yang menyiksa
Hal yang ingin kau lupa
Justru semakin nyata
orang-orang mengikuti ritme musik. saya menelan ludah. kanan-kiri saya kena senggol lengan orang-orang yang bergerak. sementara pandangan saya mengabur. orang-orang ikut bernyanyi, menelusup keras lewat kulit telinga. lalu saya diam sebentar.
meskipun sudah saya tahan mati-matian untuk tidak mematung, kenyataannya saya malah bengong di tempat. di saat orang-orang berisik, saya justru melamun. entah persetan apa yang melingkupi saya malam itu, saya merasa ada beberapa hal yang menonjok tepat di ulu hati, lalu meninggalkan lebam yang anehnya, sama sekali tidak berasa. saya tidak kesakitan, tapi lebam itu justru membuat kubangan yang besar, yang nyaris melompong, yang saya sendiri... tidak mengerti. saya mendongak dan memicing ke langit yang dibaur gerimis halus. rasanya sudah lama sekali tidak menyentuh air hujan seperti itu.
Sembuhkan lukamu yang membiru
Serpihan hatimu yang berdebu
lirik itu dilantunkan lagi, kali ini saya malah jadi merinding, seperti kerasukan sesuatu. Saya melirik ke laki-laki yang berdiri di belakang bahu saya, memastikan dia tidak memergoki saya telah berubah menjadi arca parwati yang bertangan empat --dengan dua tangan depan bertemu di atas pusar. kalau tangan kanan belakang dewi parwati memegang tasbih (aksamala) dan tangan kiri belakang membawa kebut lalat (camara), maka dua tangan di belakang saya telah bersemayam kekosongan-kekosongan dan tanya-tanya yang saya sendiri tak pernah menemukan jawabannya.
saya melemparkan pandangan pada orang-orang yang terhampar di pelataran jcm, pada siapa pun, atau entah pada siapa
'sudah lama sekali, kamu apa kabar ya?'
saya bertanya dalam hati
'sepertinya kamu masih baik-baik saja,'
saya bergumam lirih
selamat ulang tahun, hal baikku
by
Mima
- September 14, 2017
dua dini hari dan dalam perjalanan pulang. udara ringkih dan dingin menelusup kulit. malam larut, langit mendung, dan sepeda motor saya membelah jalan kaliurang bersama ketenangan ketenangan aneh.
hari ini ibu saya ulang tahun dan rasa-rasanya saya ingin sekali menangis. saya ingin mendekap perempuan itu sampai saya kesulitan bernafas. saya ingin mengunci rapat ingatan soal ibu dan melupakan segala yang kalut-kalut.
ibu adalah hal paling baik yang Tuhan ciptakan di dunia ini. kalau Tuhan adalah dzat dengan maha segala cinta, maka ibu adalah pusat dari cinta-cinta milik Tuhan yang terlahir.
tolong; pada Tuhan yang murah hati; tolong buat ibu saya baik selalu. tolong berkatilah perempuan itu selalu. tolong rawatlah hal-hal lelahnya menjadi pijakan supaya dia kuat selalu. tolong angkat duka-duka citanya selalu. tolong hiduplah Engkau selalu bersama deru napas ibu saya.
selamat merayakan hidup bu, semoga dengkuran ibu ketika tidur tetap terus terdengar tenang, semoga bau badan ibu tetap terus tercium harum, semoga senyum lebar ibu tetap terus mengalir hangat, semoga peluk erat ibu tetap terus terasa sesak, semoga ibu berbinar-binar dan hidup baik selalu. maaf kalau saya jadi brengsek, tapi saya janji, nggak akan pernah mati untuk alasan apapun terhadap segala sesuatu di bumi ini.
saya akan hidup bersama ibu, mengisi sel-sel tubuh saya dengan sel-sel tubuh ibu, saya akan hidup di darah ibu, dan ibu akan hidup di darah saya.
bu, sehat-sehat terus ya...
Hari Radio dan Kenangan Saya Soal Radio
by
Mima
- September 12, 2017
Hari ini, 11 September 2017, diperingati sebagai hari radio nasional. Momentum tersebut sekaligus juga jadi perayaan hari kelahiran Radio Republik Indonesia (RRI) yang didirikan pada 11 September 1945. Hal itulah yang mendasari mengapa peringatan hari radio kerap disebut sebagai harinya RRI. Sama seperti hari lahirnya saya yang bertepatan dengan hari hak asasi binatang, hehe. Serentak namun tak senada.
Saya nggak akan berbicara soal sejarah radio nasional di tulisan kali ini, karena saya nggak punya kecakapan untuk menjelaskan hal tersebut, tapi teman-teman bisa lho membuka catatan sejarah radio lewat laman-laman terkait di internet. Bagaimana radio tersebut bisa muncul dan berkembang di Indonesia, menjadi media penyebaran informasi jaman paska kemerdekaan, ngetren seiring dengan usianya mengudara di tanah air; ajang titip salam dan request lagu, serta banyak hal lainnya.
Awal perkenalan saya dengan radio adalah ketika saya masih mengenyam bangku taman kanak-kanak, mungkin sekitar usia lima tahun. Almarhumah Eyang putri saya yang tinggal bersama di rumah, suka menyetel lagu-lagu bertembang kenangan (atau mungkin yang genrenya lebih jadul lagi) dan mendengarkan siaran berita dari benda persegi panjang berwarna hitam-abu dengan tongkat antena yang panjang, yang ketika ditarik ke atas mungkin bisa menjulang hingga dua meter. Benda yang kemudian saya ketahui bernama radio itu masih menggunakan batu baterai sebagai penghantar energinya, cara supaya radio tersebut bisa menyala. Barulah ketika saya masuk SD, Bapak membeli radio kabel kira-kira selebar tangan orang dewasa, yang bisa dimasuki kaset pita, yang bisa ditancapkan mikrofon untuk karaoke, yang jumlah tombolnya ada banyak sekali, dan yang jelas, radio milik Bapak ini suaranya lebih jernih ketimbang radio milik Eyang yang harus geser-geser antena sampai tangan keram untuk mencari frekuensi radio yang bersih. Dari radio milik Eyang maupun Bapak yang seperti beda generasi itu, saya tetap menyukai satu hal menyenangkan dari media elektronik tersebut; radio nggak pernah tidur. Kalaupun ada satu dua saluran yang mati, pasti selalu ada saluran-saluran lain yang masih mengudara, entah sedang memutar lengger atau menyiarkan berita dunia, kita cuma perlu mengganti salurannya saja. Saya juga suka bagaimana radio bisa jadi teman ketika kita sedang bersama hal lain. Seperti Bapak yang sibuk membetulkan mesin rusak sambil mendengarkan radio berbicara soal pupuk kandang atau obat herbal tradisional. Ibu yang sedang memasak sambil menyanyi campur sari dari track list di radio. Atau semudah Eyang, yang cuma berbaring santai di tempat tidurnya sambil menunggu program favoritnya mulai di radio. Radio seolah-olah mengiringi sekaligus jadi teman berjalan.
Tapi hal itu nggak berlangsung lama, sampai kemudian Eyang menghadap Tuhan dan radio milik Bapak dicuri maling karena keteledoran saya. Saya lupa tepatnya tahun berapa, tapi saya ingat saya masih SD saat itu. Bapak dan Ibu kebetulan sedang tidak ada di rumah, begitu pun dengan kakak dan adik saya yang entah sedang main ke mana. Sehabis ashar, saya diajak Nenek (dari garis keturunan Ibu, sedang Eyang dari garis keturunan Bapak) menonton pertunjukan wayang di lapangan bola dekat balai desa, saya melonjak senang dan langsung meluncur ke rumah Nenek menaiki sepeda, tentunya setelah mengunci pintu rumah dan memastikan semua telah aman. Malamnya sekitar pukul sebelasan, saya pulang dijemput Bapak dan Ibu karena sudah mengantuk berat. Sesampainya di rumah, kami semua terheran-heran karena pintu rumah dalam keadaan terbuka, dan ketika kami masuk ke dalam, tidak ada siapapun di sana. Ibu sampai ke rumah Nenek dan bertanya apakah Nenek sempat masuk ke dalam rumah dan lupa menutup pintu, dan bertanya pada tetangga sekitar kali saja ada yang bertamu. Semua jawaban adalah tidak, lalu Bapak menyimpulkan satu hal yang membuat Ibu berteriak saat itu juga: kami barusan dimaling. Radio kabel milik Bapak di ruang kamar hilang, semua pintu ruangan terbuka dan lemari-lemari milik Ibu juga menganga, beberapa baju dan kertas nampak berhamburan di lantai. Ibu berlari ke halaman depan rumah sambil berteriak ‘maling, maling’ berharap si tersangka masih di dekat jangkauan dan bisa tertangkap, meskipun kami semua tidak tahu pada jam berapa kami telah kecolongan. Saya menengok ke pintu depan dan tercenung, usia saya saat itu masih kecil tapi saya tau kebodohan apa yang baru saja saya lakukan; saya meninggalkan kunci rumah di gagang pintu. Malamnya saya menangis tersedu-sedu di kamar, tidak jadi tidur padahal mata mengantuk sekali. Tapi untung, sebab hanya radio yang dimaling, rupanya barang-barang berharga milik Ibu yang lain disimpan di tempat yang tidak tertebak, sehingga maling pun tidak akan bisa mengambilnya. Meskipun begitu, saya tetap merasa bodoh sewaktu itu, tingkat kebodohan paling tinggi di mana saya mengunci pintu tapi membiarkan kunci tersebut terus tercantel di gagangnya.
Hari itu adalah hari bersejarah karena sejak saat itu, Bapak nggak lagi membeli radio, dan kegiatan mendengar siaran radio yang selalu mengisi sayup-sayup udara di rumah kami jadi menghilang. Barang-barang elektronik lain kemudian masuk; televisi, komputer dengan CPU besarnya, salon speaker untuk menyetel musik, dan VCD player dengan kaset CD isi lagu-lagu rock alternative jamannya Bee Gees, Mr. Big, Offspring, The Beatles, dan lain-lain. Rumah tetap berisik dengan suara-suara yang menguar itu, hanya medianya saja yang sudah berganti. Nggak ada lagi radio seperti jaman-jaman dahulu kala.
Tapi itu nggak membuat saya lantas berhenti mendengarkan radio. Masuk SMP, saya bisa mengakses frekuensi radio tersebut lewat hape nokia dengan menyambungkan kabel headset. RRI, Paduka, Yasika, dan stasiun lain bisa saya nikmati siarannya ketika saya pulang sekolah sampai malam hari ketika mengerjakan pr. Ketika ada program request lagu dan salam-salaman lewat fitur sms, saya langsung meminta diputarkan lagu-lagu tertentu (biasanya band-band keren jaman SMP; Letto, Peterpan, Naif, Sheila On 7) dan mengirim banyak salam entah untuk siapapun. Hal-hal kecil seperti itu ternyata membuat saya senang, dan kegiatan mendengarkan radio itu selalu mengantar saya sampai tertidur, sampai lengger-lengger jawa kemudian diputar di sisa acara sampai subuh menggema.
Lewat radio juga, saya sempat punya cita-cita untuk jadi penyiar radio, bekerja di dunia penyiaran, dan kuliah di jurusan Komunikasi demi bisa belajar broadcasting. Di SMA pun, saya beberapa kali ikut pelatihan penyiar dan sempat juga merasakan atmosfir studio penyiaran secara langsung di Sonora FM Purwokerto. Saya dan Aini, teman duduk saya waktu itu, mengisi program acara mingguan bertajuk Putih Abu-Abu. Kami berdua mengudara lewat mikrofon radio dan suara kami didengar oleh teman-teman lewat frekuensi 99,8 fm. Satu impian saya terwujud saat itu; menjadi penyiar radio. Meski dengan durasi kurang lebih 60 menit dan saya hanya dua kali mengisi program acara tersebut. Setidaknya, I really did it, berbicara di balik mikrofon dan orang-orang mendengarnya.
Tapi things change, people change, feelings change too. Saya bukan berarti nggak mencintai radio lagi, di Jogja pun ketika saya punya waktu selo, saya selalu menyempatkan diri untuk menyetel radio, mendengarkan lagu-lagu popular diputar di track list dan berita-berita terkini disiarkan oleh penyiar. Malahan, program-program acara di radio sekarang nggak kalah bagusnya dengan program-program di televisi, karena baik radio maupun televisi, mereka punya platformnya sendiri untuk menyampaikan informasi kepada audiens. Bahkan teman saya, si Aini itu, partner siaran di Sonora jaman SMA dulu, sekarang sudah jadi penyiar sungguhan di stasiun radio yang sama. Kecintaannya pada radio ternyata membawanya langsung menuju apa yang dia mimpikan. Saya turut senang banget, soalnya jaman masih sekelas, ketika sedang nganggur dan nggak ada kerjaan, kami berdua suka putar radio dari ponsel jadul kami pakai headset, sampai kirim-kirim salam sambil minta request lagu padahal sedang ada guru yang mengajar di kelas. Sekarang pun ketika saya punya waktu libur di Purwokerto, saya suka main ke kantor Sonora dan menemaninya siaran dari balik mikrofon. Sungguh pun, berada di sana selalu mengingatkan saya soal mimpi-mimpi yang dulu pernah saya amini, kalau dulu saya pernah lho punya keinginan untuk jadi seperti itu. Dan sekarang, cita-cita saya tersebut sudah nggak begitu saya idam-idamkan, mungkin keinginan untuk bekerja di radio masih ada, tapi rasanya sudah nggak begitu menggiurkan seperti jaman saya SMP-SMA dulu. Saya juga nggak kepingin lagi kuliah di jurusan Komunikasi, soalnya sekarang saya sudah di Antropologi Budaya dan kajian belajar saya sudah sangat luas –mungkin malah bisa juga merambah ke dunia broadcasting, pakai teori Antropologi Media Massa atau Antropologi Digital–. Tapi kalau saya diberi kesempatan untuk bekerja dan belajar di bidang penyiaran, ngurusin iklan dan strategi pemasaran, operator atau teknisi radio, jadi programmer, atau jadi penyiar itu sendiri, saya akan merentangkan tangan selebar-lebarnya sebagai bentuk kemauan saya sih. Saya mau banget lah! Sama halnya seperti teater, film, antropologi –atau hal-hal baik lainnya, radio juga jadi hal baik yang akan selalu saya apresiasi.
Selamat hari radio bagi seluruh pendengar di jagat Indonesia! Semoga media komunikasi dan informasi ini akan terus mengudara sampai akhir hayat nanti.
hobi siaran radio jaman SMA (dokumentasi pribadi)
by
Mima
- September 11, 2017