Kamis, Juli 27, 2023

Journal 5: sekarat

bangun dalam keadaan lelah setengah mati. kalau nggak salah pukul enam lebih seperempat, atau malah pukul tujuh lebih seperempat? pandanganku buram, kepalaku berdentum-dentum, dan perutku melilit tak karuan. periode menstruasi memang menyakitkan sekali. kalau aku bisa nggak bekerja, aku mau berbaring dua belas jam lamanya sambil sesekali minum obat pereda nyeri dan mengompres perut. tapi nyatanya, yang ku lakukan di pagi hari yang suram itu adalah beranjak dari kasur dan mandi dengan depresi. aku merasa kehabisan bensin dan tak punya daya untuk melanjutkan apa-apa. rasanya seperti mogok. tapi bagaimana lagi, habis mandi aku malah bersiap dan membubuhi gincu tebal untuk menolong wajah pucatku. ku oleskan sedikit perona untuk mengaburkan mata sayuku. lalu parfum supaya setidaknya aku bisa hidup sekurang-kurangnya 40℅. sisa baterai akan aku isi di perjalanan nanti. 

sambil mengemasi isi tas, ku putar What Was I Made For-nya Billie Ellish pelan-pelan. lagu pengiring film Barbie ini sungguh depresif dan bikin pilu. tak kusangka, ketika sedang merapikan kotak pensil dan hendak memasukannya ke dalam tas, mataku basah dan air mataku menggenangi pipi. bateraiku yang cuma 40% tiba-tiba merosot sampai tersisa 20%, atau mungkin 10%, lalu merosot lagi, karena aku jadi merasa lowbat. mendadak aku ingin sekali tenggelam ke lautan dalam sampai badanku lenyap, tapi yang ku lakukan saat itu hanyalah mematung, aku kesulitan untuk merespons situasi. mataku terus berair dan di dadaku tertanam kesedihan yang rasanya besar sekali sampai aku merasa akan tertimbun olehnya. aku lalu memutuskan untuk menangis sampai aku merasa sedikit lebih tenang. sungguh pagi yang sentimentil. 

I used to float, now I just fall down
I used to know but I'm not sure now
What I was made for
What was I made for?

dalam keadaan baterai yang seperti mau sekarat itu, aku susah payah menjaga keadaanku supaya tetap stabil. aku harus bekerja dan hari ini akan jadi hari yang sangat panjang. maka dengan segala kemampuanku untuk bangkit, aku pelan-pelan memunguti diriku yang tercecer seperti sampah dan hampir terurai bersama pupuk kompos, lalu turun ke lantai satu untuk menjalani segala kemungkinan hidup yang sudah ada di depan mata. 

"sek yo mim, makaryo sek mim..." ucapku tragis pada diriku sendiri. 


bubur ayam yang berkontribusi menyelamatkan pagi hariku

Senin, April 10, 2023

Journal 4: Quick Life Update for Y'all

aku habis kesrempet motor, babi memang. di antara kusutnya hidup dan hari-hari yang melelahkan ini, mengapa ya aku selalu punya kesialan-kesialan yang seperti mengantre dan tak kunjung habis? aku jadi muak, merasa tolol, sedih dan kesepian, karena kayaknya hidup orang-orang pada menyenangkan semua. kakiku lecet dan nggak berdarah, tapi rasa sakitnya sampai bikin aku nangis dua jam lamanya, di satu sisi aku juga merasa bete banget dengan diriku sendiri! :-(

bulan ini aku juga sedang menyusun banyak keputusan besar. aku sering ngajak diskusi banyak orang untuk mendengar pandangan mereka soal beberapa hal, tapi selepas ngobrol malah jadi bingung dan bikin aku panik; hari-hari terus bergulir dan ternyata aku masih punya banyak kebimbangan. mendadak aku takut waktuku akan habis dan hal-hal buruk akan datang untuk menyerangku. gara-gara kecemasan ini, belakangan aku jadi suka tidur 12 jam lamanya kaya orang teler. kalian kalau ketemu aku bisa lihat langsung lewat kantung mataku.

aku juga lumayan sibuk. selain mumet nggarapi konten-konten edukasi untuk museum (dan tentu saja pekerjaan utamaku ngomyang kebudayaan masih menyita hampir 70% waktuku), aku juga sedang tertarik untuk meriset soal hantu-hantuan. pemicunya adalah sebuah film pendeknya mbak Gianni Fajri yang berjudul Gedang Renteng yang kutonton di openingnya JAFF 2022 kemarin, terus kumpulan cerpennya Intan Paramadhita yakni Sihir Perempuan, literatur korea berjudul Cursed Bunny karya Bora Chung, Where the Wild Ladies Are karya penulis perempuan jepang Aoko Matsuda, buku Folklore Indonesia-nya James Danandjaja jaman aku kuliah dulu, dan beberapa referensi sejenis yang sedang aku kumpulkan. oh, tentu saja, kalau kalian punya rekomendasi (buku/film/musik) yang berkaitan dengan hantu (kalau bisa hantu perempuan dan di Asia), please let me know!!!

aku juga sedang membayangkan bagaimana kalau aku mulai merintis sebuah side job sebagai book influencer/bookstagram? kayaknya keren dan seperti memberikanku harapan hidup. aku merasa terbantu banget dengan aktivitas membaca yang seperti sedang meditasi. sebenarnya aku nggak membaca biar aku pinter atau biar aku berwawasan luas (soalnya aku masih pekok aja nih), tujuanku rutin baca buku awalnya karena aku butuh mendistraksi pikiranku yang mowat-mawut. aku butuh melatih fokus, butuh sesuatu untuk menenangkan diriku, butuh coping-mechanism. tapi ternyata proses membacaku juga jadi prosesku mengalami hal-hal seru; aku kenalan dengan banyak orang baru, terhubung dengan berbagai jaringan di dalam ekosistem buku yang sedang ramai belakangan ini, jadi rajin nulis juga karena aku juga suka bikin catatan dan ulasan dari buku yang habis aku baca. rasanya senang dan puas ketika melakukan itu semua. hidupku jadi sedikit ada artinya, hahaha.

ngomong-ngomong nulis, aku juga habis bikin klub menulis blog dengan temanku si Echak. di jaman yang dipenuhi oleh konten-konten visual ini, menemukan orang dengan kegemaran ngeblog rasanya kayak lagi nahan kangen, alias susah! ketika waktu itu kami merilis pengumuman berupa ajakan bergabung ke klub menulis, kami nggak nyangka dan agak panik karena ternyata yang daftar ada banyak banget! momen ini sungguh bikin kami berdebar-debar tapi juga bersemangat. ketemu sama orang yang energinya sama memang wonderful feelings...

yang lain-lain; aku lagi rutin decluttering —mulai berbesar hati untuk membuang barang-barang pribadi yang sudah nggak terpakai dan nggak spark joy. kupikir ini juga jadi metode yang bagus untuk merapikan hidupku dan menata kembali apa-apa yang perlu ditata. tahun ini aku masuk usia 26 tahun, aku masih menyimpan ketakutan dan keresahan akan banyak hal; soal pekerjaan, hubungan asmara, isu keluarga, soal traumaku yang terkadang bikin aku kesulitan. aku pingin bisa pelan-pelan membereskan itu semua. dalam hati, aku pingin menjalani hidup dengan nggak terus-menerus bersedih, nggak terus-menerus merasa bersalah, dan nggak terus-menerus kesepian. 

kayaknya aku lagi capek, karena jadi oversharing begini. aku juga baru sadar kalau terakhir aku pulang ke rumah itu sudah satu tahun yang lalu. pantes aku merasa gila. 

gimana kalau aku rehat dari ini semua, ambil cuti lalu jalan-jalan ke tempat yang sangat jauh? 




yogyakarta, 9 april 2023

Rabu, Januari 11, 2023

Journal 3: modar o

sedih rasanya, terkadang, aku punya hari-hari yang seperti tai kucing ketika sedang bekerja di museum… 

misalnya seperti yang terjadi di beberapa hari yang lalu. ada seorang bapak-bapak tua, yang sepanjang tur museum selalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana —gestur yang kurang sopan dan bossy sebenarnya. setiap kali aku bicara, laki-laki bongkotan kurang ajar itu selalu menyela percakapanku dan tak mendengarku bicara sampai utuh. dia tahu namaku (karena aku memperkenalkan diri dan menggunakan name tag) dan berulang kali ia mempermainkan namaku dengan sangat tidak sopan. ku dapati dalam beberapa kesempatan ia mendominasi ruang gerakku dan di saat itu pula aku akan mengambil langkah untuk menjauh dan terus bicara menerangkan koleksi kepada pengunjung yang lain.

laki-laki bongkotan kurang ajar ini terus melakukan hal-hal tersebut sambil tetap memasukkan tangan ke saku celananya dengan sangat angkuh. gestur tubuh yang sebenarnya sangat tidak aku suka karena terkesan sangat menyepelekkan (kecuali kalau tanganmu kedinginan dan kamu butuh menghangatkan tanganmu di dalam saku celana). 

beberapa perempuan yang juga mengikuti tur museumku tampak merasa tidak nyaman dengan gelagat si manusia tua sombong ini. dalam beberapa kesempatan ketika aku tengah menjelaskan koleksi, ia malah mengomentari sisi personalku yang sama sekali tidak berkaitan dengan materi turku. ketika hal itu terjadi, aku dengan keras langsung menegaskan bahwa komentar-komentarnya yang menyerangku secara personal adalah sebuah ketidaksopanan, dan segala pertanyaan di luar konteks (yang tidak berhubungan dengan koleksi dan juga museum) tidak akan aku layani. aku bisa lihat wajah laki-laki bongkotan itu mengeras dari balik maskernya, dan ketika aku menegurnya seperti itu, ia menatapku dengan pandangan galak. aku tidak begitu ambil pusing dan lanjut menerangkan koleksi kepada pengunjung lain yang lebih menghormati dan menghargaiku. energiku sia-sia sekali kalau harus mengurusinya.

aku sudah menyuruhnya untuk tetap kondusif dan menghargai pengunjung lain yang ingin mendengarkanku bicara, tapi sepertinya laki-laki bongkotan itu memang sombong dan begitu dungu. ia sepertinya cukup goblok untuk mengetahui bahwa hal paling dasar ketika sedang berada di tempat umum adalah sikap sopan santun —dan laki-laki bongkotan itu memang goblok untuk mengetahui hal itu.

60 menit tur museum yang menguras energiku kemudian selesai. ketika aku mengantar mereka ke area exit dan menyisakan diriku seorang diri, aku cukup muak sampai rasanya ingin muntah, dan perlu beberapa menit untuk aku kemudian bisa menenangkan diri.

berminggu-minggu yang lalu, aku juga pernah mengalami peristiwa yang sama. aku membawa rombongan anak sekolah dan beberapa guru ke dalam tur museumku. di pertengahan ketika sedang menerangkan koleksi, salah satu guru selama beberapa kali melontarkan candaan bernada sensual dan dengan sedih aku perlu memberi tahu bahwa perbuatannya mendapat sorakan dari murid-muridnya yang bukan hanya laki-laki, melainkan juga perempuan. si guru bajingan ini juga kerap kali menanyakan hal-hal di luar koleksi museum yang membuatku risih. selesai memandu mereka, aku menangis di hadapan teman-teman kerjaku, peristiwa kecil dan sepele ini (yang sebenarnya sering kami alami ketika sedang memandu) membuatku triggered dan tidak cukup kuat untuk memproses peristiwa itu. 2 hari setelahnya, aku masih menangis ketika sudah berada di kostan. sampai hari ini, ketika hal tersebut tiba-tiba terbesit di ingatan, aku pun masih gemetar dan kadang tak mampu menahan diri untuk tidak menangis. 

hari-hari berikutnya ketika aku menghadapi pengunjung dengan kekolotan dan ketidaksopanan yang sama, aku mulai pelan-pelan belajar untuk merespon dengan emosi yang berbeda. aku tidak lagi merasa ingin menangis (masih ada sih sebenarnya, tapi bisa aku kontrol), sekarang emosi yang lebih sering muncul adalah perasaan marah dan keinginan untuk memaki bangsat di hadapan laki-laki tua bongkotan itu. tapi tentu saja aku tidak bisa memaki seperti itu (atau aku bisa kena tegur bosku), tapi aku mulai bisa menghardik dan menyampaikan ketidaknyamananku secara asertif. aku juga biasanya langsung bermanuver dengan membombardir pengunjungku tentang unggah-ungguh, tata krama, dan adat-adat kesopanan yang memang menjadi nilai budaya Jawa. kalau orang tersebut masih tidak paham dan tidak menghormatiku, ya sudah, aku tidak mau berurusan banyak dengan mereka (tapi aku akan berdoa semoga kakinya terkilir atau kepalanya kejeduk sesuatu di dalam museum). aku sebenarnya tipe manusia yang sulit (dan hampir tidak pernah) mengekspresikan rasa marah, karena memang tidak terbiasa mengolah emosi ini. tapi kejadian-kejadian seperti itu kalau diakumulasikan memang lumayan berpengaruh terhadap caraku menghadapi emosi marah. di kehidupan alternatif yang lain, aku ingin sekali menghajar laki-laki tua bongkotan ini sampai dia babak-belur.

belakangan ini aku juga jadi sering berdoa, semoga aku dijauhkan dari sifat keangkuhan dan kesombongan yang memenjarakan diri, yang membuat orang lain merasa takut, tidak nyaman, tidak dihargai dan tidak dihormati. 

modar o.