Senin, Oktober 30, 2017

Mengkritisi Seni Rupa lewat Pertunjukan Teater ‘Gambar Kecu’

    Jam setengah delapan lebih beberapa menit ketika saya dan Pije memadati pelataran PKKH yang malam itu sudah disesaki banyak orang. Untung belum mulai, ujar saya lega setelah melihat panggung pertunjukan yang masih melompong meski penonton sudah siap sedia di tempatnya masing-masing. Ada sebuah tonil yang dipasang menyerupai backdrop dan sepertinya dijadikan properti utama, tonil tersebut (yang mirip hasil lukisan manual) dipakai untuk memberikan suasana setting latar dan tempat pada sebuah lakon. Di atasnya, tertulis ‘Kelompok Sedhut Senut’, sebuah name tag untuk mengenalkan identitas pelaku pertunjukan kepada publik.

    Selang beberapa menit kemudian, seorang perempuan berkebaya memasuki panggung dan memulai pertunjukan dengan menjadi biduan. Dia menyanyikan lagu dangdut era kini dari grup musik hip hop campur dangdut bernama NDX –kalau saya nggak keliru. Sambil menikmati lelaguan, saya bisa menebak kalau konsep pertunjukan ini sepertinya akan diusung dengan sangat santai.

    Pertunjukan teater yang diberi judul “Gambar Kecu” tersebut disutradarai oleh Ibnu Gundul Widodo dan naskah yang ditulis oleh Elyandra Widharta. “Gambar Kecu” adalah upaya Kelompok Sedhut Senut membaca persoalan relasi antara seniman dan artisan di dunia seni rupa. Gagasan ini rupanya juga berkorelasi dengan salah satu tema yang dicetuskan oleh Festival Arsip (19 Sept-1 Okt) tentang wacana seputar praktik komodifikasi seni, dan mengenai apa yang sering disebut sebagai praktik pemalsuan lukisan.

    Pertunjukan dengan konsep sandiwara berbahasa Jawa ini bermula dari penampilan Mbah Gun, pelukis senior dan seorang guru seni rupa, dan istrinya yang tengah mengangkati jemuran di pelataran rumah. Istri Mbah Gun lalu sambat mengenai kondisi ekonomi mereka yang selalu melarat. Istri Mbah Gun bahkan meminta Mbah Gun untuk menjual lukisan-lukisan yang dikoleksinya, tetapi Mbah Gun dengan idealismenya menolak hal itu, Mbah Gun menganggap seni rupa yang dilakoninya bukan hanya sekadar persoalan materi, lebih dari itu, Mbah Gun menekankan nilai-nilai estetika dan ‘ruh’ kesenian itu sendiri. Istri Mbah Gun sampai kesal sendiri bicara pada suaminya, sebaliknya, Mbah Gun malah menuduh kalau istrinya itu tidak paham soal seni.

    Selain itu, ada pula tokoh Juragan Ngabdul, seniman lukis kondang dan kaya raya yang dulunya merupakan bekas murid Mbah Gun. Ngabdul juga membawahi beberapa artisan, satu di antaranya adalah Sugeng, yang telah berhenti dan beralih profesi menjadi tukang parkir karena merasa mendapat kekangan selama menjadi murid Juragan Ngabdul. Sugeng digambarkan sebagai laki-laki yang berpendirian dan idealismenya kuat, kehidupan yang bisa dibilang mapan karena menjadi artisan Juragan rela dia tinggalkan karena Sugeng tidak mendapatkan kemerdekaannya di sana, Sugeng tidak pernah bebas ketika melukis, selalu ada sekat-sekat dan intervensi dari Juragan ketika dia melukis. Baginya, menjadi artisan Juragan Ngabdul sama saja seperti menjadi babunya.

    Artisan yang lain adalah Jarno, yang justru masih setia kepada Juragan Ngabdul meskipun dirinya menyadari bahwa Juragannya itu kadang cukup pelit dalam hal memberikan upah. Konflik perlahan muncul ketika Yatmi, pembantu Juragan Ngabdul, berusaha menembak (dalam konteks asmara) Jarno, namun ditolak karena Jarno sudah menganggap Yatmi seperti adiknya sendiri. Jarno kemudian mengaku bahwa dirinya telah menyukai Retno, yang merupakan pacar Sugeng. Sugeng yang mencuri dengar kabar tersebut dari warung Bu Darmi (yang merupakan muara dari berbagai rerasanan antar tokoh) tidak terima dengan hal itu. Sugeng lalu mendatangi Jarno dan mengajaknya berkelahi. Yatmi, yang juga dirundung cemburu dan kemarahan akibat ditolak, kemudian merencanakan niat jahat bersama Sugeng. Mereka ingin memalsukan lukisan Nyai Roro Kidul milik Juragan Ngabdul yang akan dipamerkan di luar negeri, lalu menjualnya kepada makelar yang akan dijualnya kembali pada seseorang dengan harga selangit.

    Di tengah kepelikan tersebut, Yatmi kemudian menuduh Jarno sebagai tersangkanya. Juragan Ngabdul semakin pusing dan hal itu memperparah keadaan tubuhnya yang sedang sakit-sakitan. Di situasi sekarat karena tidak mampu lagi menahan derita, Yatmi berlutut di depan Juragan dan mengakui kesalahannya sambil menangis. Juragan yang sudah kecewa dengan kasus pemalsuan lukisannya, ditambah sakit keras yang dialami dan pengkhianatan pembantunya itu akhirnya meninggal dunia. Mbah Gun dan istrinya yang saat itu datang ke tempat Juragan Ngabdul untuk menjadi dalang pertunjukan di pembukaan pameran pun kalut karena Juragan meninggal dan projeknya gagal.

    Pemain yang berperan dalam pertunjukan ini adalah Gundul, Nurul, Elyandra, Kukuh, Ninit, Nanik, Wawan, Haryo, Dafa, Joko, dan Teteh. Durasi yang dimainkan juga lumayan lama, yakni sekitar dua jam, tapi kok saya sama sekali nggak merasa bosan ya? Tebakan saya kalau pertunjukan ini akan diusung dengan santai ternyata betul juga. Alur cerita lakon ini bagus, semua tokoh mampu merepresentasikan karakternya sehingga konstruksi cerita bisa dibangun secara utuh, dan saya rasa, mereka telah menyampaikan lakon dengan baik. Satu hal lagi yang saya sukai dari pertunjukan yang dihelat untuk menutup rangkaian agenda di Festival Arsip ini adalah; bumbu-bumbu humor yang berlimpah tapi disajikan dengan porsi yang pas. Entah sudah berapa ribu kali saya dan penonton lain tertawa sampai pingin menangis ketika melihat adegan Mbah Gun dengan istrinya, Jarno dengan Yatmi, Sugeng dan Retno, percakapan-percakapan di warung Bu Darmi dan tokoh anak kecil yang juga menghibur (kabarnya dia sudah bermain lakon sejak umur tujuh tahun), serta beberapa adegan lain yang secara terangan-terangan mencoba satir terhadap kondisi hidup saat ini. Gambar Kecu menjadi ajang kritik sosial terhadap berbagai hal jelek di dunia; kesombongan, kebobrokan, kecurangan, dengki dan iri hati, kepalsuan, ambisi berlebih, kecacatan, keluh kesah, dan sejawatnya. Menyadari saya dan penonton lain tertawa sangat keras, rasanya seperti sedang menertawakan diri sendiri yang tak ayal juga dipenuhi hal-hal jelek tadi. Dari segi penokohan dan jalan cerita, saya sangat menikmati dari awal pengadegan hingga babak terakhir selesai. Permainannya halus, ada cacat sedikit langsung bisa diimprov.

    Setting propertinya sendiri sederhana dan realis. Tonil yang dipasang di belakang itu dipakai untuk mengganti latar tempat ketika cerita berganti ke babak selanjutnya, caranya adalah dengan menarik tali tonil di sisi panggung. Kendala mungkin terjadi di bagian teknis, di mana tali kerekan itu sempat macet sehingga kain tonil berlukiskan tempat-tempat tertentu tadi tidak bisa dibentangkan sempurna.

    Tata lampu yang digunakan juga oke, yakni halogen kuning redup dengan komposisi warnanya yang senada. Lampu-lampu tersebut diletakkan di atas tiang (atau apa ya namanya? Saya nggak tahu tapi pemasangan lampu teater ini keren juga, saya jadi bertanya-tanya bagaimana cara kerjanya) dan menyerong menghadap kanan-kiri panggung. Latar musik yang dipakai untuk mengiringi pertunjukan ini berupa tabuhan tradisional Jawa seperti gamelan (tapi nggak seperangkat, hanya kendang-kendangan, suling, dan sepertinya saron?), ada penyanyi sindennya juga kalau enggak salah. Konsepnya jadi mirip ketoprak Jawa gitu, ya?

    Oh ya, sekadar membagi pengetahuan, Kelompok Sedhut Senut merupakan grup teater atau sandiwara, yang menggunakan bahasa Jawa sebagai media komunikasi atau dialognya, dan sering melakukan aktivitas pentas keliling dari kampung ke kampung. Kelompok Sedhut Senut tersebut, merupakan nama baru dari grup lama Komunitas Sego Gurih. Kelompok ini selalu mencoba menghadirkan suasana baru dalam setiap pementasannya dengan menghindari jenis panggung konvensional dan menggunakan tonil sebagai properti utamanya. Dan sungguh, sehabis menonton pertunjukan mereka, rasanya saya lega sekali, seperti habis menimba banyak pengalaman baik. Gambar Kecu memberikan saya pemahaman soal hidup dan substansi di dalamnya, yang kemudian menjadi bahan reflektif dan kontemplasi saya sendiri.

    Wangun, mas, mbak! Kapan-kapan saya mau lihat kalian manggung lagi!


mengambil gambar setelah pertunjukan selesai, duh, habisnya pas masih main, saya serius nonton e jadi nggak sempat foto-foto. nda papa lah ya...

Jumat, Oktober 27, 2017

Greweng dan Perayaan Orang Hilang


Sebelum ingatan saya soal Greweng yang baik memudar, mari kita bicarakan hal ini sebentar.

Beberapa minggu yang amat lalu, hari kamis sore, setelah mendengar bahwa kelas industri kreatifnya mas made libur, saya langsung mengepak beberapa kaos dan celana, sandal japit, perlengkapan mandi, kerudung paris, air minum literan tiga botol, kain-kain panjang dan hangat, serta printilan-printilan lain ke dalam ransel, lalu mengendarai motor menuju Janabadra untuk bertemu dengan teman-teman. Kami, orang-orang yang sedang merasakan krisis ketenangan, telah merencanakan perjalanan spiritual paling dinanti-nanti; menuju Gunungkidul, membangun tenda di dekat pantai, hidup santai sejenak sambil menghirup udara-udara yang masih enak.

Ide bagus. Kapan lagi saya bisa kabur dari sesaknya kota Jogja? Sudah lama juga saya nggak menjalankan ritual tiap akhir pekan saya untuk beribadah menyusuri alam semesta. Sudah lama sekali saya terus-terusan berkutat dengan hidup-hidup yang terkonstruksi tanpa membebaskan diri saya sendiri untuk mengambil jeda. Lalu berkat doa-doa baik yang mewujud, saya kemudian memutuskan untuk leren! Saya mau istirahat dan saya nggak mau diganggu orang-orang.

"Saya mohon, sampai akhir minggu saja." setidaknya begitu, saya bicara sendiri ketika melewati gang-gang berkelok di belakang PKBI.

Lalu sehabis ashar menguar dan matahari mulai menghangat, saya bersama kak galuh, kak aan, kak yuga, dan kak rara kemudian siap untuk melaju menuju arah selatan Jogja, arah paling selatan, menuju batas antara daratan dan perairan laut. Saya berdebar-debar sendiri memikirkan bagaimana rasanya ketika saya menyentuh mereka nanti. Laut adalah satu dari sekian banyak hal di alam ini yang membuat saya merinding. Tidak pernah tidak.

Langit sudah gelap ketika kami semua sampai di desa Jepitu, Gunungkidul. Motor-motor yang kami kendarai kemudian kami parkirkan di sebuah warung yang pada sekitar pukul tujuh itu masih menyala di antara warung-warung lain yang sudah tutupan. "Sedang ada wayangan di balai desa." kata bapak penjaga parkir ketika saya tanyai. Sambil mencekal senter, beliau lalu mengantar kami menuju jalan kecil yang akan kami lalui untuk menuju Greweng, kemudian melepaskan kami setelah menjelaskan rute singkatnya.

Kami melewati setapak-setapak di pinggir pematang sawah yang berbatu dan sedikit terjal, melewati lahan-lahan kebun dan kandang ternak milik warga. Tidak ada penerangan apapun selama kami berjalan, bahkan malam pun jadi ikut-ikutan gelap total karena bulan dan bintang sama sekali nggak terlihat —langit mendung kalau kata orang—, sehingga kami harus membuat penerangan sendiri dengan menyalakan senter di ponsel masing-masing. Udara saat itu juga untungnya terasa sangat enak, kami jadi nggak kelelahan karena harus menempuh jarak satu kilo dengan berjalan kaki, sementara di sana berlimpah udara-udara baik yang ketika dihirup langsung menciptakan perasaan tenang!

Malahan, anjing pedesaan yang sewaktu di parkiran tadi hanya glesoran di lantai semen juga mengikuti kami sekaligus jadi teman berjalan. Dia mengendus-ngendus di sisi rerumputan sambil berlagak mengarahkan kami. Begitu kaki kami memijak pasir-pasir pantai dan mulai terdengar debur ombak yang sayup-sayup, anjing tadi kemudian berhenti sebentar lalu berbalik dan pergi entah ke mana, mungkin kembali ke lantai semen yang dipakainya untuk berbaring tadi. Kami melanjutkan langkah dan mendekati bibir pantai dengan perasaan lega, akhirnya sampai. Saya mendesah senang sekali sambil melepaskan sepatu, mengganti alas kaki saya dengan pasir pantai yang lembut dan hangat. Uh, saya merinding lagi diterpa hawa dingin pukul delapan malam.

Beberapa dari kami kemudian mendirikan tenda di dekat rimbunan pohon pandan laut. Saya yang sama sekali nggak punya kecakapan apapun soal aktivitas camping akhirnya cuma bisa menyalakan senter dan menerangi mereka, sebuah upaya alias supaya mereka nggak salah menancapkan atau melukai sesuatu. Setelah tenda berdiri, giliran saya untuk unjuk kecakapan saya yang lain; masak mi pakai kompor lapangan, campur kornet segar, dan butiran-butiran pasir yang kehadirannya tak ayal lagi —merupakan keniscayaan dan tak bisa ditampik—.

Selesai mengurus perihal perut, kami lalu membenahi tas-tas dan barang bawaan ke dalam tenda. Saya mengambil kain panjang untuk membalut tubuh saya sendiri. Lalu berbaring di atas pasir dan  bergabung bersama teman-teman, mengobrol banyak hal, percakapan-percakapan yang boleh dan tidak boleh, serta beberapa di antaranya yang cukup tabu, tapi bukan berarti dilarang, bukan?

Malam itu saya terjaga sampai pukul sebelas malam, kira-kira, karena ponsel saya sudah dalam keadaan mati. Saat itu saya sama sekali nggak mau menyalakan perangkat elektronik apapun, saya nggak mau nantinya momen ritus saya tersentuh intervensi dari hal-hal duniawi, malas banget. Orang-orang mungkin nggak tahu betapa sebenarnya saya ingin sekali leren dan bernapas pelan-pelan menyusuri hidup, betapa sebenarnya saya muak sekali diganggu dan dipaksa untuk bekerja dengan sistem. Saya ingin begini saja, dijalari perasaan-perasaan tenang dan senyap, merinding dan berdebar-debar, wujud-wujud kontemplasi yang nggak bisa saya dapatkan di sembarang tempat.

“Kalau besok saya dilahirkan kembali, saya mau minta dilahirkan sebagai malam saja deh.” bisik saya parau sambil mengubur telapak kaki di kedalaman pasir. Kalut sekaligus sebal.

Saya mengalihkan perhatian menuju arah laut yang dihempas angin dan berbunyi debur lirih. Udara jadi semakin dingin, saya merekatkan balutan kain dan terbengong seorang diri, satu hal karena saya lupa membawa sleeping bag, hal lain karena urusan-urusan memuakkan. Teman-teman saya masih bicara macam-macam, obrolan mereka entah sudah terbang ke mana, tapi saya mulai disergap kantuk sekaligus perasaan ingin melamun. Padahal kalau sedang di jogja, jam-jam itu adalah jamnya saya masih menggerayangi jalanan dan orang-orang kota, orang-orang proyek.

Saya kemudian beranjak menjauhi teman-teman, menghampiri hammock yang tadi dipasang di dekat tenda dan menaruh tubuh reyot saya di atasnya. Kain yang saya pakai lalu saya ulurkan sehingga seluruh tubuh saya tertutup. Sambil menggigil karena dirasuk hawa dingin, saya mulai memperhatikan langit malam yang mendung (cuma ada bulan yang terlihat samar-samar) dan mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati lingkungan saya tinggal. Kak aan dan kak yuga lalu mencari ranting pohon dan kayu-kayu bekas untuk dibakar menjadi unggun, saya nggak bantu apa-apa meskipun sebenarnya saya butuh sekali perapian untuk menghangatkan diri. Saya juga nggak mengerti kenapa selalu seperti ini, kenapa saya kedinginan tapi malah nggak beranjak ke mana-mana. Habis itu saya malah melamun mencari-cari jawabannya, sementara teman-teman yang tadi menyulut api sudah capek duluan karena kayu-kayu yang mereka kumpulkan dalam kondisi basah dan angin malam terus-terusan meniup usaha mereka untuk membuat api unggun. Saya tertidur di hammock sambil mendengarkan binatang-binatang aneh berbunyi brisik, sementara teman-teman yang lain entah, beberapa dari mereka mungkin malah sudah terlelap di atas pasir tadi. Beralas dan beratap semesta alam raya.

*

Jam-jam subuh, saya sudah sadar kembali dalam keadaan tersentak, nggak tahu karena apa. Udara sudah nggak begitu dingin tapi air laut malah terlihat semakin menjauh. Saya memicingkan mata untuk mencermati, kali saja pandangan saya yang kabur, tapi ternyata benar, sepertinya memang sedang surut. Saya lalu menyingkap kain, berjalan mendekati bibir pantai, lalu menyentuh permukaan air di sela-sela karang yang terlihat dari tepi dengan kaki telanjang saya.

Hangat, sekaligus dingin.

Uh, lagi-lagi saya merinding karena hal-hal semacam ini.

Saya nggak berniat untuk menceburkan diri saya ke dalamnya atau paling nggak membuat kaki saya basah, sehabis itu, saya justru kembali ke tenda, memasak makanan apa saja yang bisa dimakan, lalu kembali ke bibir pantai dan duduk di depannya. Menikmati sarapan di jagat kosmos penuh ketenangan, sambil menyaksikan langit yang menyongsong dirinya sendiri menuju pagi hari. Saya nggak bisa lihat matahari terbit karena Greweng ini dipeluk dua bukit tinggi di kanan kiri yang menghalangi datangnya sinar surya itu. Tep wangun sih pokoke.

Habis itu aktivitas kami sampai siang adalah layah-leyeh. Kami sama sekali terputus dari koneksi dunia digital. Segala jenis perangkat modern kami lenyapkan dan sebagai gantinya, kami menghilangkan diri di dataran Greweng ini. Saya mengucap syukur berkali-kali lipat karena bisa menghindari hiruk-pikuk kehidupan dan menolak dihubungi orang-orang, andai bisa seperti ini terus, seolah-olah kami jadi penduduk lokal Greweng betulan.

Terimakasih hidup, terimakasih hidup, saya mengulang kata-kata yang sama sampai posisi matahari tepat di atas kepala. Setelah itu cuma tidur-tiduran, membakar singkong, bermain pasir, mengobrol, melinting rokok, tidur lagi, sampai stok makanan habis dan kami kebingungan mencari cara untuk survive (setelah semua tanaman di sekitar tenda kami jadikan eksperimental pangan). Sore harinya, kami pun berkemas dan memutuskan untuk pulang. Nggak baik hilang lama-lama, saya mengangguk-ngangguk setuju meskipun dalam hati agak berat juga untuk melepaskan Greweng yang memabukkan.

Kami lalu pulang membawa energi baik sekaligus perasaan sedih. Lama saya menatap Greweng yang pada sore itu air lautnya sudah kembali naik. Kapan-kapan, saya mau berkunjung ke sini lagi untuk menikmati kesenyapan sekaligus jadi ajang perayaan orang hilang. Sambil mencekal satu kresek besar isi sampah milik kami, saya melambaikan tangan pada dataran Greweng kemudian meninggalkannya dengan mengheningkan cipta. Dengan seluruh angkasa raya memuji

Selesai.

*

p.s: sampai jogja saya langsung pusing lagi!!! ponsel saya menyala dan setelah itu saya langsung digilas habis-habisan oleh orang-orang. saya dimarahi, beberapa menelpon tapi nggak terjawab, dan pesan-pesan yang masuk ke aplikasi chatting saya ada banyak sekali! sampai teler saya lihatnya. betapa saya ingin berubah jadi tumbuhan saja kalau begini, jadi pohon jeruk atau bunga kamboja kuburan juga nggak apa-apa.

surut, seperti yang sudah saya bilang

ngopi dan ngelinting

Greweng dan hal-hal yang enggak masuk akal

ngalamun

Selasa, Oktober 24, 2017

#20 Menjamu Duapuluh

    Saya selalu memaknai hari lahir saya sebagai peringatan yang sakral. 15 Oktober adalah perayaan yang pasti membuat saya berdebar. Di hari itu, saya selalu punya pikiran tentang beberapa hal; bagaimana cara Ibu memandang saya pertama kalinya setelah saya lahir, perasaan Bapak merengkuh badan mungil saya untuk diadzani, keheranan kakak laki-laki saya melihat bayi perempuan yang sedang menangis sebagai adiknya, saya terus mengulang bayangan itu sampai saya terus tumbuh dan jadi besar, beberapa hal tadi kemudian menjalar ke hal-hal lain; bagaimana rasanya jadi 1 tahun, jadi 5 tahun, 8 tahun, menuju ke 10, 14, 17, 18, 19, hingga saya betulan memasuki usia ke 20. Kontemplasi yang seperti itu kadang-kadang membuat saya gemetar sendiri, saya telah hidup selama bertahun-tahun, merasakan dan ditempa banyak hal, mungkin masih tergolong awam untuk dapat disebut manusia utuh, tapi saya selalu merasa Tuhan terus-terusan menjadi baik pada saya. Tuhan melingkupi saya secara menyeluruh. Saya tak pernah dibiarkannya meregang seorang diri, Tuhan selalu hadir di saat-saat saya dalam keadaan duka maupun sentosa.

    Terimakasih hamima, sudah mau terus hidup. Begitu ucap saya, sambil meniup ruas-ruas jari dan mengusapnya ke muka, di setiap pergantian tahun itu.

    Saya juga menaruh keyakinan, kalau dalam hidup ini, tersebar banyak sekali hal-hal baik yang dipelihara lewat orang-orang di bumi. Mereka adalah sesuatu berbau harum dan menguar, yang sorot matanya hangat dan berbinar, yang senyumnya merekah dan lebar, yang jabatan tangannya saja terasa lembut dan merengkuh. Orang-orang ini menyala dan tumbuh di sekitar kita, dan kalau kita mau bergeming sebentar, maka pendar-pendar mereka bisa kita rasakan. Mereka adalah orang-orang yang menyayangi kita, yang menyimpan renjana dan perasaan tulus mereka untuk mengasihi kita.

    Dan 20 tahun saya menjadi bukti bahwa hal-hal tadi benar adanya. Orang-orang memberikan selamat, mendoakan saya ucapan yang baik-baik, memberikan bunga, memberikan hadiah, memberikan kue yang ditancapi lilin, memeluk erat dan menciumi kening, menyanyikan lagu ulang tahun, sedang yang jauh berkabar lewat video calling, pesan singkat sms, kartu ucapan berlatar dataran pulau yang indah, dan beberapa bahkan datang dari kejauhan untuk menemui dan merayakan usia baru saya. Kalau bukan hal-hal yang baik, dengan padanan kata apa lagi saya harus menyebut mereka yang penuh keindahan itu?

    Saya ingin terus-terusan begini, menjadi gegap gempita, riuh rendah dan semarak dalam mengisi sel-sel hidup, di usia saya yang berikutnya, berikutnya, berikutnya lagi, sampai Tuhan mengijinkan saya untuk mati. Akur, aman, bahagia, enak, nyaman, rukun, salam, sejahtera, tenang, dan tenteram.

    Selamat menjamu 20 tahun, mim, saya tahu betul kalau kamu memesona dan mengagumkan.

berkat (merayakan)

ekosistem yang baik

ketenangan

bau kembang

abang tian

Rabu, Oktober 11, 2017

sedang mendung


dua pagi kelaparan
tidak punya makanan kecuali bungkus bungkus indomi
lalu aku minta maaf pada badanku, aku akan makan mi lagi
terus keluar kamar menuju dapur
astaga, ternyata hujan?
pantas dingin dan bau enak

eh
masa ya, hari ini aku bolos kuliah banyak makul
aku bosan, sumpah
duduk tenang dan dengar dosen-dosen berbicara
teori, istilah asing, paradigma, aku nggak mengerti
kenapa nggak ngobrol saja sih seperti bersama teman sendiri?
atau jalan jalan, bertemu orang-orang, melihat dinamika hidup yang lain
ke pasar, berkebun, bikin kerajinan, sepedaan, makan buah
kenapa nggak begitu saja sih?
struktur itu ribet, sedangkan hal-hal menyenangkan di bumi ini berlimpah
dan aku kelayapan, melayang-layang dan meluncur
(melacur)

malam-malamku habis dengan udara dingin
kopi, kopi
asap rokok orang-orang
kadang gerimis –kan sedang musim
percakapan yang tiada henti! pokoknya bebas bicara apa saja
sampai larut, sampai udara berubah jadi beku
aku minta maaf lagi pada badanku, aku harap kamu kuat
meski jadi sering merasa nggak beres

kenapa ya, ada yang tahu enggak
belakangan ini aku suka cemas
dadaku berdebar-debar, rasanya kalau mau tarik napas itu sesak
mual, tapi nggak pingin muntah
gemetar dan kebingungan
jadi pingin dirawat ibu

sudah jam tiga pagi woy 
aku suka malam
apakah aku salah menolak pagi?
aku makan mi 
menulis ini 
dan berharap kita baik selalu


aku pingin berternak