Greweng dan Perayaan Orang Hilang
Sebelum ingatan saya soal Greweng
yang baik memudar, mari kita bicarakan hal ini sebentar.
Beberapa minggu yang amat lalu, hari kamis
sore, setelah mendengar bahwa kelas industri kreatifnya mas made libur, saya
langsung mengepak beberapa kaos dan celana, sandal japit, perlengkapan mandi, kerudung
paris, air minum literan tiga botol, kain-kain panjang dan hangat, serta
printilan-printilan lain ke dalam ransel, lalu mengendarai motor menuju
Janabadra untuk bertemu dengan teman-teman. Kami, orang-orang yang sedang
merasakan krisis ketenangan, telah merencanakan perjalanan spiritual paling
dinanti-nanti; menuju Gunungkidul, membangun tenda di dekat pantai, hidup
santai sejenak sambil menghirup udara-udara yang masih enak.
Ide bagus. Kapan lagi saya bisa
kabur dari sesaknya kota Jogja? Sudah lama juga saya nggak menjalankan ritual
tiap akhir pekan saya untuk beribadah menyusuri alam semesta. Sudah lama sekali
saya terus-terusan berkutat dengan hidup-hidup yang terkonstruksi tanpa
membebaskan diri saya sendiri untuk mengambil jeda. Lalu berkat doa-doa baik
yang mewujud, saya kemudian memutuskan untuk leren! Saya mau istirahat dan saya nggak mau diganggu orang-orang.
"Saya mohon, sampai akhir minggu
saja." setidaknya begitu, saya bicara sendiri ketika melewati gang-gang
berkelok di belakang PKBI.
Lalu sehabis ashar menguar dan
matahari mulai menghangat, saya bersama kak galuh, kak aan, kak yuga, dan kak
rara kemudian siap untuk melaju menuju arah selatan Jogja, arah paling selatan,
menuju batas antara daratan dan perairan laut. Saya berdebar-debar sendiri
memikirkan bagaimana rasanya ketika saya menyentuh mereka nanti. Laut adalah
satu dari sekian banyak hal di alam ini yang membuat saya merinding. Tidak
pernah tidak.
Langit sudah gelap ketika kami
semua sampai di desa Jepitu, Gunungkidul. Motor-motor yang kami kendarai
kemudian kami parkirkan di sebuah warung yang pada sekitar pukul tujuh itu
masih menyala di antara warung-warung lain yang sudah tutupan. "Sedang ada
wayangan di balai desa." kata bapak penjaga parkir ketika saya tanyai. Sambil
mencekal senter, beliau lalu mengantar kami menuju jalan kecil yang akan kami
lalui untuk menuju Greweng, kemudian melepaskan kami setelah menjelaskan rute
singkatnya.
Kami melewati setapak-setapak di
pinggir pematang sawah yang berbatu dan sedikit terjal, melewati lahan-lahan
kebun dan kandang ternak milik warga. Tidak ada penerangan apapun selama kami
berjalan, bahkan malam pun jadi ikut-ikutan gelap total karena bulan dan
bintang sama sekali nggak terlihat —langit mendung kalau kata orang—, sehingga
kami harus membuat penerangan sendiri dengan menyalakan senter di ponsel
masing-masing. Udara saat itu juga untungnya terasa sangat enak, kami jadi
nggak kelelahan karena harus menempuh jarak satu kilo dengan berjalan kaki,
sementara di sana berlimpah udara-udara baik yang ketika dihirup langsung
menciptakan perasaan tenang!
Malahan, anjing pedesaan yang
sewaktu di parkiran tadi hanya glesoran
di lantai semen juga mengikuti kami sekaligus jadi teman berjalan. Dia mengendus-ngendus
di sisi rerumputan sambil berlagak mengarahkan kami. Begitu kaki kami memijak
pasir-pasir pantai dan mulai terdengar debur ombak yang sayup-sayup, anjing
tadi kemudian berhenti sebentar lalu berbalik dan pergi entah ke mana, mungkin
kembali ke lantai semen yang dipakainya untuk berbaring tadi. Kami melanjutkan
langkah dan mendekati bibir pantai dengan perasaan lega, akhirnya sampai. Saya mendesah senang sekali sambil melepaskan
sepatu, mengganti alas kaki saya dengan pasir pantai yang lembut dan hangat. Uh, saya merinding lagi diterpa hawa
dingin pukul delapan malam.
Beberapa dari kami kemudian
mendirikan tenda di dekat rimbunan pohon pandan laut. Saya yang sama sekali
nggak punya kecakapan apapun soal aktivitas camping akhirnya cuma bisa menyalakan
senter dan menerangi mereka, sebuah upaya alias supaya mereka nggak salah
menancapkan atau melukai sesuatu. Setelah tenda berdiri, giliran saya untuk
unjuk kecakapan saya yang lain; masak mi pakai kompor lapangan, campur kornet
segar, dan butiran-butiran pasir yang kehadirannya tak ayal lagi —merupakan
keniscayaan dan tak bisa ditampik—.
Selesai mengurus perihal perut, kami
lalu membenahi tas-tas dan barang bawaan ke dalam tenda. Saya mengambil kain
panjang untuk membalut tubuh saya sendiri. Lalu berbaring di atas pasir
dan bergabung bersama teman-teman,
mengobrol banyak hal, percakapan-percakapan yang boleh dan tidak boleh, serta beberapa di
antaranya yang cukup tabu, tapi bukan berarti dilarang, bukan?
Malam itu saya terjaga sampai
pukul sebelas malam, kira-kira, karena ponsel saya sudah dalam keadaan mati. Saat
itu saya sama sekali nggak mau menyalakan perangkat elektronik apapun, saya
nggak mau nantinya momen ritus saya tersentuh intervensi dari hal-hal duniawi,
malas banget. Orang-orang mungkin nggak tahu betapa sebenarnya saya ingin
sekali leren dan bernapas pelan-pelan
menyusuri hidup, betapa sebenarnya saya muak sekali diganggu dan dipaksa untuk
bekerja dengan sistem. Saya ingin begini saja, dijalari perasaan-perasaan
tenang dan senyap, merinding dan berdebar-debar, wujud-wujud kontemplasi yang
nggak bisa saya dapatkan di sembarang tempat.
“Kalau besok saya dilahirkan
kembali, saya mau minta dilahirkan sebagai malam saja deh.” bisik saya parau
sambil mengubur telapak kaki di kedalaman pasir. Kalut sekaligus sebal.
Saya mengalihkan perhatian menuju
arah laut yang dihempas angin dan berbunyi debur lirih. Udara jadi semakin
dingin, saya merekatkan balutan kain dan terbengong seorang diri, satu hal
karena saya lupa membawa sleeping bag, hal lain karena urusan-urusan memuakkan.
Teman-teman saya masih bicara macam-macam, obrolan mereka entah sudah terbang
ke mana, tapi saya mulai disergap kantuk sekaligus perasaan ingin melamun. Padahal
kalau sedang di jogja, jam-jam itu adalah jamnya saya masih menggerayangi
jalanan dan orang-orang kota, orang-orang proyek.
Saya kemudian beranjak menjauhi
teman-teman, menghampiri hammock yang tadi dipasang di dekat tenda dan menaruh
tubuh reyot saya di atasnya. Kain yang saya pakai lalu saya ulurkan sehingga
seluruh tubuh saya tertutup. Sambil menggigil karena dirasuk hawa dingin, saya mulai
memperhatikan langit malam yang mendung (cuma ada bulan yang terlihat
samar-samar) dan mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati lingkungan saya
tinggal. Kak aan dan kak yuga lalu mencari ranting pohon dan kayu-kayu bekas
untuk dibakar menjadi unggun, saya nggak bantu apa-apa meskipun sebenarnya saya
butuh sekali perapian untuk menghangatkan diri. Saya juga nggak mengerti kenapa
selalu seperti ini, kenapa saya kedinginan tapi malah nggak beranjak ke
mana-mana. Habis itu saya malah melamun mencari-cari jawabannya, sementara
teman-teman yang tadi menyulut api sudah capek duluan karena kayu-kayu yang
mereka kumpulkan dalam kondisi basah dan angin malam terus-terusan meniup usaha
mereka untuk membuat api unggun. Saya tertidur di hammock sambil mendengarkan
binatang-binatang aneh berbunyi brisik, sementara teman-teman yang lain entah,
beberapa dari mereka mungkin malah sudah terlelap di atas pasir tadi. Beralas dan
beratap semesta alam raya.
*
Jam-jam subuh, saya sudah sadar
kembali dalam keadaan tersentak, nggak tahu karena apa. Udara sudah nggak
begitu dingin tapi air laut malah terlihat semakin menjauh. Saya memicingkan
mata untuk mencermati, kali saja pandangan saya yang kabur, tapi ternyata
benar, sepertinya memang sedang surut. Saya lalu menyingkap kain, berjalan
mendekati bibir pantai, lalu menyentuh permukaan air di sela-sela karang yang
terlihat dari tepi dengan kaki telanjang saya.
Hangat, sekaligus dingin.
Uh, lagi-lagi saya merinding karena hal-hal semacam ini.
Saya nggak berniat untuk
menceburkan diri saya ke dalamnya atau paling nggak membuat kaki saya basah,
sehabis itu, saya justru kembali ke tenda, memasak makanan apa saja yang bisa
dimakan, lalu kembali ke bibir pantai dan duduk di depannya. Menikmati sarapan di
jagat kosmos penuh ketenangan, sambil menyaksikan langit yang menyongsong
dirinya sendiri menuju pagi hari. Saya nggak bisa lihat matahari terbit karena
Greweng ini dipeluk dua bukit tinggi di kanan kiri yang menghalangi datangnya
sinar surya itu. Tep wangun sih pokoke.
Habis itu aktivitas kami sampai
siang adalah layah-leyeh. Kami sama sekali terputus dari koneksi dunia digital.
Segala jenis perangkat modern kami lenyapkan dan sebagai gantinya, kami
menghilangkan diri di dataran Greweng ini. Saya mengucap syukur berkali-kali
lipat karena bisa menghindari hiruk-pikuk kehidupan dan menolak dihubungi
orang-orang, andai bisa seperti ini terus, seolah-olah kami jadi penduduk lokal
Greweng betulan.
Terimakasih hidup, terimakasih hidup, saya mengulang kata-kata
yang sama sampai posisi matahari tepat di atas kepala. Setelah itu cuma
tidur-tiduran, membakar singkong, bermain pasir, mengobrol, melinting rokok, tidur
lagi, sampai stok makanan habis dan kami kebingungan mencari cara untuk survive (setelah semua tanaman di
sekitar tenda kami jadikan eksperimental pangan). Sore harinya, kami pun
berkemas dan memutuskan untuk pulang. Nggak
baik hilang lama-lama, saya mengangguk-ngangguk setuju meskipun dalam hati agak
berat juga untuk melepaskan Greweng yang memabukkan.
Kami lalu pulang membawa energi
baik sekaligus perasaan sedih. Lama saya menatap Greweng yang pada sore itu air
lautnya sudah kembali naik. Kapan-kapan, saya mau berkunjung ke sini lagi untuk
menikmati kesenyapan sekaligus jadi ajang perayaan orang hilang. Sambil mencekal
satu kresek besar isi sampah milik kami, saya melambaikan tangan pada dataran
Greweng kemudian meninggalkannya dengan mengheningkan cipta. Dengan seluruh angkasa raya memuji…
Selesai.
*
p.s: sampai jogja saya langsung
pusing lagi!!! ponsel saya menyala dan setelah itu saya langsung digilas
habis-habisan oleh orang-orang. saya dimarahi, beberapa menelpon tapi nggak
terjawab, dan pesan-pesan yang masuk ke aplikasi chatting saya ada banyak
sekali! sampai teler saya lihatnya. betapa saya ingin berubah jadi tumbuhan
saja kalau begini, jadi pohon jeruk atau bunga kamboja kuburan juga nggak
apa-apa.
surut, seperti yang sudah saya bilang
ngopi dan ngelinting
Greweng dan hal-hal yang enggak masuk akal
ngalamun
0 Comments