Rabu, Desember 13, 2017

The Seen and Unseen: 'Magical Belief' yang Menyihir

Tantri yang artistik

    Berbekal penasaran karena melongok trailer film ini dan membaca beberapa review menarik di internet, sore harinya saya memutuskan untuk bertandang ke JAFF yang digelar di Empire, menuju meja media center dan menuliskan nama beserta instansi saya, lalu mendapat satu tiket masuk tanpa mengocek uang lima belas ribu dan susah payah ikut antrian penonton. Enak kan uripku?

    Ketika saya selesai mengurus registrasi dan menerima bonus kartu pers, salah seorang teman yang juga menjadi panitia divisi ticketing berseru sebelum saya berlari ke ruang bioskop (karena pemutaran sudah mau dimulai), “Bikin liputan yang bagus ya!” Hehe, iya, saya datang sebagai orang media partner untuk liputan screening. Kan lumayan, ya, bekerja sambil bersenang-senang.

    ‘The Seen and Unseen’ yang diputar dalam program Asean Feature Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2017 menyoroti kisah Tantra dan Tantri, kembar buncing yang memiliki relasi khusus dan saling melengkapi. Mereka hidup di sebuah pedesaan Bali yang religius dengan latar berupa hamparan sawah dan ladang-ladang hijau. Kembar buncing adalah istilah Bali untuk mendefinisikan anak kembar dengan jenis kelamin yang berbeda, yakni seorang laki-laki (Tantra) dan seorang perempuan (Tantri). Kembar buncing oleh masyarakat lokal Bali dianggap sebagai simbol keseimbangan dalam hidup.

    Simbol keseimbangan tersebut diwakilkan lewat beberapa adegan seperti Tantra yang hanya mau makan kuning telur dan Tantri yang juga menyukai putih telur. Keduanya merekah beriringan sebelum Tantra kemudian jatuh sakit dan dirawat inap selama berhari-hari. Kondisi tersebut membuat Tantri menjadi layu dan dihinggapi perasaan kosong. Tantri sering melongok saudara laki-lakinya di rumah sakit, memandangi Tantra yang tergolek lemas di atas ranjang dengan tatapan menerawang. Tantri seperti diselimuti banyak pertanyaan, tentang mengapa tubuh Tantra ada di sana dan mengapa ia tak kunjung bangun. Mengapa Tantra terus diam?

    Kamila Andini selaku penulis dan sutradara film dalam sesi Q&A menuturkan bahwa The Seen and Unseen merupakan sebuah filosofi Bali yakni Sekala Niskala, yang berarti sesuatu yang terlihat (Sekala) dan tidak terlihat atau gaib (Niskala). “Hidup itu terdiri dari 2 hal tadi, antara yang kasat mata maupun tidak, dan ini mendefinisikan bukan hanya pada masyarakat Bali, tapi juga masyarakat di Indonesia. Kita tahu bahwa masyarakat kita sangat mempercayai hal-hal seperti itu.” imbuhnya.

    Ayu Laksmi yang berperan sebagai Ibu dari Tantra dan Tantri juga ikut menjelaskan tentang kepercayaan masyarakat Bali terhadap hal-hal yang tidak tampak. “Setiap hari ketika kita terjaga dari tidur, hal yang kita lakukan adalah berupa penghormatan kepada Yadnya untuk Tuhan, maupun Yadnya untuk Bhuta atau alam semesta. Karena masyarakat Bali punya konsep Tri Hita Karana.” ujarnya dalam balutan kebaya Bali putih. Konsep Sekala Niskala, menurut Ayu Laksmi, diartikan sebagai wujud lain dari bentuk penghormatan kepada yang tidak tampak.

    Dia juga menambahkan, Bali dipilih sebagai setting tempat karena tradisi tersebut masih dirawat di kota-kota besar maupun di desa-desa yang terpencil, dan hal itu terlihat sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, film yang menjalani proses produksi selama 5 tahun ini juga mengangkat kepercayaan (deep connection) masyarakat Bali terhadap bulan, di mana mereka juga memakai siklus bulan untuk mengatur perhitungan kalendernya. Sistem kepercayaan itulah yang kemudian dijadikan elemen utama sekaligus kekuatan dalam film The Seen and Unseen ini.

    Bagi saya, film ini adalah film yang sungguhan merepresentasikan anak-anak sesuai porsinya mereka. Kita, orang-orang dewasa, diajak masuk menyelami dunia imajinernya anak-anak, membawa kita pada pengalaman spiritual dan hubungan emosional anak-anak, yang bagi kita mungkin terlihat sangat aneh dan mustahil, tapi entah kenapa rasanya jadi begitu magis. Sinematografinya saja cantik sekali, banyak unsur lokalitas Bali yang diusung, saya seperti sungguhan bisa menghirup aroma dupa dan menjejakkan kaki di lahan sawah di sana. Wardrobe yang dipakai Tantra dan Tantri, koreografi pada setiap adegan lekukan tubuh, pemilihan dialog, bahkan sampai hal-hal sedetil piring seng yang dijadikan properti, bagi saya semua itu terpampang sangat indah. Kamila Andini beserta teman-teman kru lain, saya kira sudah cukup berhasil mengemas The Seen and Unseen menjadi sajian yang manis dan hangat. Pantas saja kalau film ini berkesempatan diputar perdana di ajang Toronto International Film Festival (TIFF) 2017.

    Dunia anak selalu dicitrakan dengan hal-hal bernuansa menyenangkan dengan tone warna cerah dan ceria, tapi Kamila Andini menampik hal tersebut dalam menggarap filmnya. Kematian dan jam malam adalah dua topik yang asing dengan anak-anak, untuk itu, Kamila mencoba menuturkan hal-hal tersebut lewat visual yang menyihir. Melihat Tantra dan Tantri dalam The Seen and Unseen, rasanya seperti sedang merayakan kesedihan dengan cara yang begitu memikat. Perasaan itu larut seiring dengan geliat Tantri yang menyadari kehidupan kembarnya, Tantra, lama-lama memudar. Tantri bercengkerama dengan imajinasinya soal Tantra, melalui malam-malam dingin dan temaram purnama, lalu menjadi beku kembali ketika siangnya Tantri ternyata masih mendapati Tantra berbaring di kasur rumah sakit.

“This situation opens up something in Tantri’s mind: she keeps waking up in the middle of the night from a dream and seeing Tantra. The night becomes their playground. Under the full moon, Tantri dances—about her home, about her feelings. As the moon dims and is replaced by the sun, Tantri’s becoming a woman eclipses Tantra’s fading life.” - JAFF 2017.

    Terima kasih sekali mbak Kamila Andini, untuk perspektif baru mengenai hidup yang sangat segar! Sukses untuk pemutaran di bioskop komersil 2018 mendatang!

Ibu dan Tantri

Menjadi Sibuk di Saat Anak-Anak Ini Tumbuh dengan Gemas

  Saya sudah lupa kapan terakhir kali menyempatkan diri untuk berkunjung ke shelter dan menemui teman-teman kecil saya di sana, di Badran belakang komplek PKBI. Mungkin satu atau dua bulan yang lalu, atau malah entah kapan –sudah tidak ingat lagi.

    Beberapa pekerjaan jelas menguras waktu dan tenaga saya yang harusnya bisa saya luangkan untuk mereka. Padahal, dulu saya pernah berjanji pada diri sendiri, bahwa teman-teman kecil saya itu adalah hal-hal yang harus selalu saya perhatikan, bahwa mereka adalah hal-hal dalam hidup yang tidak boleh saya abaikan. Teman-teman kecil saya adalah penyembuh nomor satu di Jogja, begitu ujar saya saat pertama kali mengenal mereka, saking senangnya mendapat teman baru di sela-sela berisiknya hidup saat itu. Tapi sekarang, melongok ke shelter pun sudah tak pernah, apalagi menyambangi mereka dan mengajak bermain? Saya seperti sedang disergap kehidupan yang runyam, dan sangat chaos. Setiap hari mengurusi dateline, setiap hari pergi ke rapat-rapat, setiap hari bicara hal-hal serius –sampai spaneng dan lupa bagaimana caranya tertawa. Sudah jarang ibadah seni, sudah jarang wisata religi, sudah jarang berkontemplasi, sudah jarang mengarungi diri, dan satu-satunya wujud ‘jadi hidup’ yang saya punya adalah perjalanan pulang ke kos-kosan dengan penuh rasa syukur, menghirup udara-udara tenang pukul dini hari, sambil berdoa kalau semua yang baik di dunia ini akan terus baik-baik saja. 

    Saya juga banyak berdoa pada Dzat yang paling ajaib di alam ini, untuk terus melimpahkan rasa-rasa indah, sesuatu yang hangat dan manis pada teman-teman kecil saya itu. Dalam satu dua hal barangkali mereka tak bisa menikmati hidup seperti yang orang lain miliki, tapi saya selalu berharap, mereka akan punya banyak kebaikan yang menuntun mereka untuk tumbuh menjadi anak-anak yang mengagumkan.

I love you, maaf kalau kakak sibuk, besok-besok kita main lagi ya! :)

Minggu, Desember 10, 2017

Tentang Cita-Cita Punya Gedung Pertunjukan

    Saat itu saya dan Mbak Devi sedang duduk di dalam ruang pertunjukan Societet Militair TBY (Taman Budaya Yogyakarta). Kami hanya berdua di ruang yang lengang tersebut, ngaso sebentar sambil menunggu teman-teman komunitas film yang tengah menyantap makan siang di teras luar.

   Saya dan Mbak Devi tengah menjalankan pekerjaan kami sebagai panitia divisi hospitality dalam suatu festival film yang digelar oleh Dinas Kebudayaan DIY. Sebuah divisi yang sekaligus menyublim menjadi LO. Kami melayani dan mengakomodasi seluruh kebutuhan peserta festival, dari transportasi sampai masalah penginapan di hotel, mengingatkan mereka untuk sarapan sampai menawarkan obat-obatan kalau-kalau ada yang sakit, mengabsen mereka satu-satu di setiap pergerakan menuju venue festival sampai hal-hal remeh seperti ditanyai peserta “apakah mbak seorang panitia?” saking tidak yakinnya melihat anak kecil seperti saya mengalungi co-card panitia, menenteng tumpukan kertas-kertas penting, dan hobi lari ke sana-sini untuk mengurus banyak hal. Dengan jumlah peserta yang hampir mencapai 100an orang, saya bersyukur saya ditemani oleh Mbak Devi, yang sabar dan mau bekerja bersama saya yang sedikit-sedikit suka panik. Nggak kebayang rasanya kalau hanya ada saya seorang, mungkin saya sudah jadi batu bata yang siap dilumuri adonan semen, memilih untuk dibuat tembok saja.

 Di dalam ruang pertunjukan yang melompong itu, saya mengangkat kaki ke atas kursi penonton berwarna merah dan menyenderkan badan saya dengan nyaman. Mbak Devi sedang bermain ponsel. Saya menyusuri ruangan lebar itu lekat-lekat lalu berujar lirih, “Aku pingin deh punya gedung pertunjukan alternatif, yang aku kelola sendiri, bukan milik pemerintah.”

 Mbak Devi melonjak dan tiba-tiba menyahut, “Iya sama, aku juga!”

   Saya lebih terkejut lagi menyadari kalau ternyata ada juga orang yang bercita-cita sama seperti saya; punya gedung pertunjukan sendiri. Entah sudah berapa kali saya bilang hal yang serupa kepada teman saya dan hanya ditanggapi dengan ah oh ah oh biasa, beberapa bahkan malah menyuruh saya kerja di XXI atau bioskop mall lain, kan bikin sebal. Padahal bukan seperti itu maksud saya.

    “Kalau bisa yang jumlah kursinya nggak banyak-banyak amat, kayak di sini juga nggak apa, 200an kursi.” saya bicara lagi, sambil menaikkan kaki ke punggung kursi di depan saya, mengikuti gaya duduk Mbak Devi. "Yang bisa dipakai untuk nonton beragam pertunjukan; teater, film, konser. Kalau bisa juga yang aksesnya mudah dan bisa dijangkau kelompok menengah ke bawah. Soalnya selama ini, bioskop, gedung teater, dan ruang pertunjukan sejenis selalu punya privilej untuk masyarakat kelas atas. Padahal hiburan pertunjukan itu kan harusnya jadi hak setiap orang.”

    “Dulu pas Ziarah diputar di tengah-tengah masyarakat Gunungkidul pakai konsep layar tancap, aku seneng banget bisa lihat antusias mereka nonton bergelar tikar anyam dan wedang hangat malam-malam. Dari situ jadi mulai punya keinginan untuk menghadirkan pertunjukan-pertunjukan lain kepada warga lokal, memberikan mereka akses semudah-mudahnya untuk mengonsumsi pertunjukan. Pasti bakal seru.”

    “Ah iya, poster-poster pertunjukan juga pinginnya dibuat secara manual, pakai cara-cara yang masih tradisional, kayak dilukis pakai tangan di atas kain belacu, dibikin spanduk sebesar gaban, atau dicetak di papan kayu kemudian ditempel di dinding gedung halaman depan. Begitu juga dengan tiket dan sistem promosinya. Pokoknya pingin buat konsep gedung pertunjukan yang ramah, semacam bioskop alternatif yang terjangkau, mudah untuk semua kalangan serta vibe-nya jadul sebelum era digital.”

    Tanpa sadar, saya bicara sendiri selama itu. Saya nggak nyangka rasanya semenyenangkan ini bicara soal cita-cita dengan orang yang juga bercita-cita hal yang sama. Cerita-cerita tadi kemudian jadi bayangan yang menarik, yang kadang bikin saya senyam-senyum sendiri.

    Kemarin-kemarin saya juga menemui satu orang lagi yang punya cita-cita sama; Sari di film A Copy of My Mind yang diperankan oleh Tara Basro. Di film tersebut, perempuan yang menggilai film sampai membuatnya berani mencuri kaset-kaset vcd itu menuturkan impiannya di depan kekasihnya, Alek (Chico Jericho), bahwa ia ingin punya home theatre yang layarnya besar dan audionya keras. Sari berbicara dengan yakin soal mimpinya sambil tersenyum lebar. Melihat adegan itu, saya seperti disuntik dopamin, saya senang dan langsung punya kepercayaan yang besar. Percaya kalau suatu hari nanti, saya pasti akan punya gedung pertunjukan itu, yang bisa menampung hajat orang banyak untuk beribadah seni pertunjukan; film, teater, tari, musik, atau ragam bentuk pertunjukan lain. 

    Selain itu, saya juga ingin sekali keliling ke berbagai tempat dan mencicipi gedung-gedung pertunjukan di sana. Merasakan atmosfir magis ketika duduk di kursi penonton dan menghadap ke  panggung besar. Saya ingin sekali jadi bagian pertunjukan-pertunjukan yang megah, meskipun lewat kursi penonton. Seperti di Jakarta, lewat Kineforum, Kinosaurus, Paviliun 28, Taman Ismail Marzuki, Gedung Kesenian Jakarta, Teater Salihara, Wayang Orang Barata, Ciputra Artpreneur Theatre, Miss Tjitjih Theatre, Sinematek Indonesia, sampai ke Teater Utan Kayu. Mungkin juga di Solo, Bandung, Semarang, dan kota lain yang punya gedung-gedung pertunjukan bagus. Soalnya hampir semua tempat di Jogja sudah pernah saya sambangi: Concert Hall di TBY, Societet Militair, IFI LIP di Sagan, Teaternya Garasi, PSBK, Kedai Kebun Forum, Ramayananya Prambanan, Sangkring Art, Pendopo Art, Langgeng Art, Auditnya kampus-kampus seperti ISI, UNY, UGM, PKKH, dan entah apalagi saking banyaknya Jogja menggelar banyak pertunjukan.

    Saya menyusuri sekali lagi ruangan lebar di depan saya itu dengan pandangan menelisik, lalu menghirup partikel udara banyak-banyak dan membungkusnya ke dalam paru-paru. Saya kemudian beranjak dari kursi dan berjalan ke arah depan. Meraih sebuah kursi yang lain, mendudukinya, lalu menghadap ke belakang, ke arah Mbak Devi. “Mbak, tolong fotoin aku dari situ dong.” ujar saya sambil meringis.

sistem promosi film bioskop dengan berkeliling menggunakan mobil pick up yang ditempeli penuh poster-poster, di kota saya Purwokerto.

gedung pertunjukan di Magelang jaman baheula. sumber: GNFI

difoto oleh Mbak Devi

Sabtu, Desember 09, 2017

Juno: Potret 'Teen Pregnancy' yang Jujur



“A comedy about growing up… and the bumps along the way”


    Ketika saya selesai  menonton film Juno di program screening bulanan yang digalakkan oleh klub film saya di kampus, saya langsung mengumpat pada diri sendiri, kenapa saya baru nonton film sebagus ini sekarang?  Lalu geleng-geleng kepala saking tidak habis pikir saya dibuatnya.

    Juno adalah film bergenre drama komedi yang diproduksi tahun 2007 dan disutradarai oleh Jason Reitman. Film ini menyoroti kisah Juno MacGuff (Ellen Page) remaja perempuan usia enam belas tahun yang dihadapkan dengan kehamilan di luar rencana bersama teman sekelasnya, Paulie Bleeker (Michael Cera). Juno dan Bleeker adalah remaja SMA yang berteman dekat dan sering nge-band bersama, dan ya... dua remaja yang juga punya keingintahuan dan dorongan yang besar akan seksualitas.

    Perasaan bingung dan resah jelas muncul pada scene awal ketika Juno mengetahui kehamilannya lewat test pack yang dibelinya di sebuah toko. Juno yang masih sangat belia itu tidak tahu harus melakukan apa, sementara kandungannya mulai menginjak usia 2 bulan dan perutnya semakin besar. Juno kemudian memberi tahu Leah (Olivia Thirlby), sahabat dekatnya, tentang kehamilannya. “It’s probably just a food baby. Did you have a big lunch?” tanya Leah yang membuat Juno memutar bola matanya.

    Juno lalu bersiap mengumumkan kabar kehamilannya kepada ayahnya (J. K. Simmons) dan ibu tirinya, Brenda (Allison Janney). Mereka diminta duduk di kursi tamu dan mendengarkannya bicara. Melihat gelagat Juno yang nampak begitu serius, Brenda menebak kalau mungkin saja Juno barusan dikeluarkan dari sekolah akibat mengonsumsi narkoba. Tapi kemudian Juno mengatakan dengan cepat, “I’m Pregnant.” yang membuat Mac MacGuff, ayahnya, melontar “Oh, God.” dan respon Brenda yang menghibur, “I didn’t even know that you were sexually active.” Meskipun awalnya memang sangat terkejut, orang tua Juno kemudian mencoba bersikap bijak, mereka membantu menyelesaikan masalah tersebut dan memberi dukungan moril kepada Juno. Ibunya bahkan memberi tahu hal-hal apa saja yang harus dilakukan Juno ketika dirinya sedang hamil, seperti harus rutin pergi ke dokter, meminum vitamin, dll.

Mac dan Brenda

    Berbagai solusi dicari untuk mengatasi kasus kehamilan Juno yang tidak direncanakannya itu, sampai kemudian pilihan aborsi sempat terbesit di pikiran Juno. Tetapi hal itu ia urungkan setelah melihat seorang perempuan muda tengah melakukan protes di depan klinik aborsi sambil mencekal papan bertuliskan ‘no babies like murdering’. Juno lalu berinisiatif memberikan anaknya kelak untuk diadopsi kepada keluarga yang membutuhkan atau pasangan gay/lesbian yang menginginkan anak.

    Dibantu ayahnya, Juno kemudian menemui pasangan muda yang belum dikaruniai anak, adalah Mark (Jason Bateman) dan Vanessa (Jennifer Garner), a yuppie couple with a huge house in sub urbs. Vanessa adalah wanita karir, sedangkan Mark merupakan seorang komposer. Setelah melakukan perjanjian, pasangan tersebut bersedia mengadopsi anak yang dikandung Juno.

    Hari-hari Juno dilalui dengan biasa, ia masih pergi ke sekolah dengan seragamnya meskipun perutnya semakin membuncit. Teman-teman di sekolahnya juga gemar memandangi perut Juno, tapi hanya sekadar itu, tidak ada adegan mencemooh atau menuduh. Sementara itu, hubungannya dengan Bleeker malah menjadi renggang. Meskipun Bleeker sempat beberapa kali menemui Juno, Juno merasa tidak perlu lagi menemui Bleeker. Bahkan ketika Bleeker meminta Juno untuk datang ke prom bersamanya, Juno menolak dan malah menyuruh Bleeker untuk pergi dengan gadis lain.

    Menjelang usia kehamilannya yang semakin besar, Juno justru dihadapkan pada kenyataan bahwa Mark ingin menceraikan Vanessa. Untuk beberapa alasan, Mark merasa belum siap untuk memiliki anak dan menjadi ayah,  he has some things he still wants to do –kira-kira begitu ujarnya. Mark juga merasa Juno datang dengan begitu cepat menawarkan bayi setelah Mark dan Vanessa mengiklankan diri sebagai pengadopsi. Rasa kepercayaan Juno yang dibangun untuk pasangan tersebut sebagai keluarga utuh yang akan mampu merawat bayinya seketika berubah menjadi kecewa.

    Juno lalu menemui Ayahnya. Melihat banyak orang menjadi terluka lewat pernikahan, baik yang dialami oleh Ayahnya, maupun pada Vaneesha dan Mark, membuat Juno merasa seperti kehilangan harapan dan kepercayaan pada orang-orang, termasuk soal relationship. Juno beranggapan bahwa rasanya  sulit bagi dua orang untuk bisa tinggal dan stay happy forever. Ayahnya lalu menimpali, “Well, it's not easy, that's for sure. Now, I may not have the best track record in the world, but I have been with your stepmother for 10 years now and I'm proud to say that we're very happy.”  yang membuat Juno diam dan tercenung.

    Mac kemudian berbicara lagi, “the best thing you can do is find a person who loves you for exactly what you are. Good mood, bad mood, ugly, pretty, handsome, what have you, the right person is still going to think the sun shines out your ass. That's the kind of person that's worth sticking with.”


    Mendengar penuturan dari Ayahnya, Juno kemudian merasa telah menemukan orang yang dimaksud ayahnya. Dari sini, kita bisa menebak kalau pada akhirnya Juno kembali menemui Bleeker dan mengungkapkan perasaannya pada teman satu kelasnya itu.


i love this line
 

    Mendekati usia persalinannya, Juno memutuskan untuk tetap memberikan bayinya pada Vanessa, setelah melihat ketulusan Vanessa dan ikatan emosional yang kuat dengan bayinya. Juno juga merasa kalau Vanessa masih menjadi best parenting option for the baby, meski pada akhirnya Mark tidak lagi mendampingi Vanessa.

    Ide cerita yang diangkat jujur cukup sensitif, tapi Jason Reitmen berhasil mengemasnya dengan ringan serta menyertakan bumbu-bumbu komedi dalam porsi yang pas, sehingga pesan yang ingin disampaikan film ini sebenarnya bisa dengan mudah diresapi oleh penonton.

    Saya juga sangat mengagumi karakter Juno. Dia begitu hidup meskipun perutnya sedang membesar dan orang-orang di lingkungan sekolahnya selalu melempar pandangan heran ke arahnya. Juno tetap menjalani harinya seperti remaja-remaja lain.

    Saya juga bisa melihat film ini turut mengantarkan sisi kedewasaan Juno menjadi lebih baik. 9 bulan dilalui Juno dengan penuh ups and downs. Di usianya yang masih belia, Juno dihadapkan dengan realita-realita yang membentuk dirinya menjadi bijaksana dan lebih bertanggungjawab atas hidupnya –termasuk hidup si jabang bayi.  Oh, just out dealing with things way beyond my maturity level.” adalah contoh kelakar Juno  ketika mendapat pertanyaan ‘dari mana’ oleh Ayahnya. Jawaban yang ringan tapi merepresentasikan keadaan Juno dengan tepat.

    Sikap terbuka dengan kasus kehamilan yang tidak direncanakan (KTD) di dalam film Juno sama sekali terlihat kontras dengan apa yang terjadi di Indonesia. Mereka yang mengalami KTD masih dilekati dengan stigma dan ketakutan-ketakutan di lingkungan sosialnya. Padahal dukungan moril adalah hal yang paling dibutuhkan oleh para perempuan yang mengalami KTD. Umumnya, keluarga dengan kasus KTD akan merasa malu dan seperti menanggung aib yang besar, sehingga seringkali jalan yang ditempuh untuk menyelesaikan masalah hanya bersifat sepihak tanpa berusaha memahami posisi sang ibu. Di dalam film Juno, saya sangat suka bagaimana orangtua Juno merespon berita kehamilan Juno dengan sangat pretty well. Reaksi kedua orangtuanya memang terkejut, tapi mereka tetap mencoba bijaksana dengan menunjukan sikap terbaiknya untuk mendukung anak mereka. Hal yang sepertinya jarang sekali ditemui di Indonesia. Kultur dan cara bersikap masyarakat Indonesia dalam menghadapi isu KTD adalah showing how someone DOES react to teen pregnancy rather than how someone SHOULD react to teen pregnancy. 

    Film Juno memberikan persepektif yang berbeda tentang seksualitas remaja dan menyikapi KTD, tentu dengan bumbu humor yang luas, dialog yang ringan, tone film yang cantik –setting suasana 90an, Ellen Page yang sangat baik dalam memainkan peran, serta tentu saja soundtrack film yang easy listening! Menjadikan film ini tidak terlalu berat tapi masih dapat dinikmati bersama keluarga. Bahkan memasuki akhir cerita ketika Juno melakukan persalinan, I cried just because I saw Juno’s struggle gave birth to a baby. Juno merupakan perempuan baik hati, memiliki rasa tanggung jawab dan kesadaran penuh atas resiko yang telah ditimbulkannya sendiri. She is a strong teenager. Really.

heeeeeei, kamu tu keren lho Mbak Jun!!!