Minggu, Agustus 24, 2025

Journal 9: A long-long-long life update—resign dan naik gunung (bagian 1)

Aku datang kembali dan akan membagikan life update-ku selama lima bulan terakhir kepada khalayak sekalian hahaha! Lima bulan terakhir yang cukup gedebag-gedebug tapi juga menyenangkan! Soal beberapa peristiwa besar maupun kecil yang menandai transisi hidupku, sekaligus mengapresiasi keberanianku karena sudah berproses sejauh dan sekeren ini. Di tengah rezim yang bobrok dan ekonomi yang kacau-balau ini, hidup masih layak untuk dijalani kok, ges. Pelan-pelan aja… (sambil menyumpahi pemerintah).

Mungkin mulai dari hal besar dulu kali ya yang mengubah hampir keseluruhan rutinitas dan nyawa hidupku:

1. Aku sudah resign dari pekerjaan di museum
Nggak nyangka juga ternyata aku bisa bertahan di industri ini selama lima tahun. Jadi edukator museum itu bukan rencana awalku, tapi entah gimana Tuhan kemudian kasih jalan ini sekaligus memilihkan museum sebagai pekerjaan pertamaku setelah lulus kuliah. Aku sebenarnya sudah suka museum sejak pindah ke Jogja dan kuliah di Antropologi Budaya. Museum selalu jadi tempat menarik untuk dieksplor ketika jalan-jalan ke tempat baru. Cuma aku memang nggak kepikiran bakal jadi mbak-mbak museum yang hobi flexing koleksi seni dan mengedukasi orang-orang soal warisan pendahulu mereka, jadi ketika tawaran itu datang (apalagi ini salah satu museum terbaik di Indonesia), aku happy banget tapi juga bingung. Bisa survive nggak ya? Eh, ternyata bisa kok, sampai lima tahun lagi WAKAKAKAKAK.

Lima tahun itu juga terlalui dengan jungkir-balik yang menyenangkan sekaligus melelahkan. Namanya bekerja, di sektor pariwisata lagi, dari fase muak, burnout, kelelahan akut (dan ternyata ada istilah khususnya; museum fatigue), sampai depresionista seperti sudah jadi makanan sehari-hari. Situasi itu bisa mereda kalau pas ketemu pengunjung museum yang baik hati dan tidak songong, atau ketika hujan lebat dan orang-orang malas masuk museum (kami jadi tidak bekerja). Tapi perasaan ingin meletus itu muncul kembali kalau sudah menuju weekend dan kunjungan padat, lalu semakin parah ketika mulai peak season dan museum dibanjiri lautan manusia. Aku (dan juga teman-teman edukator lain) rasanya ingin berubah jadi wit pelem atau umbi-umbian. Lama-lama jiwaku seperti terkikis, ditambah satu-dua issue internal yang kacau, alasan-alasan personal lain, dan mimpi baru yang ingin aku kejar… aku lalu memutuskan berhenti, berganti jalur, dan pelan-pelan mengarungi lembah kehidupan yang lain. Di umurku yang sudah tuek ini, resign dari pekerjaan yang menemaniku dari 0 adalah sebuah keputusan besar dannn bijaksana, karena aku bersyukur sekali :’) thanks ya Mima, makasih sudah bekerja keras selama ini! :’)

Tentu dengan berakhirnya masa kerjaku di museum, itu tidak menghilangkan rasa senangku pada museum. Soalnya aku masih punya mimpi pengen plesir dan mengunjungi museum di seluruhhhh duniaaaaa! Tentu kita mulai dengan keliling museum di Jogja dan kota-kota sekitarnya dulu yang dekat.


2. Untuk merayakan resignku, aku nyoba naik gunung (untuk pertama kalinya) ke Bismo dan Prau
Langsung dua gunung, cuy! Kalau bukan stress, apa namanya? Soalnya ini adalah naik gunung perdanaku! Seingatku dalam menjalani hidup, aku sepertinya nggak pernah menuliskan naik gunung sebagai bucket list-ku, tapi entah kenapa, ketika sedang merencanakan keputusan untuk resign, aku tiba-tiba kepikiran naik gunung untuk merayakannya. Kemungkinan karena aku teracuni konten-konten healing mbak-mbak tiktok yang menemukan ketenangan batin setelah naik gunung, kemungkinan kedua karena aku ingin nge-tes sejauh apa badanku ini bisa diajak berpetualang, dan kemungkinan lain karena aku kangen jalan-jalan dan ketemu orang baru! Jadi lima hari setelah resign, aku langsung berangkat ke Dieng bersama teman-teman baru dalam suatu open tripliterally yang aku bawa cuma diriku sendiri dan carrier untuk aku bertahan hidup.

Dan rasanya? Wwwuuuuhhh! Seperti terlahir kembali. Perjalanan naik gunung ini jadi seperti perjalanan spirituil-ku. Tentu saja badanku capek mampus, hidungku mampet karena dingin POL, kakiku kayak mau copot, pundakku seperti mlengse, mataku pedih, bahkan sepulang dari naik gunung aku demam batuk sampai 3 hari. Tapi aku senang lahir batin, hatiku penuh, perasaanku bergemuruh. Waktu di jalan hampir mendekati puncak Prau, aku nangis untuk alasan yang aku kurang paham. Nangis karena capek kali ya, atau karena aku sadar ternyata semua kemungkinan dalam hidup yang kecil sekaligus besar ini selalu ada. Kemungkinan itu bisa terjadi, bisa kita alami, bisa kita tuju, kalau memang mau bersungguh-sungguh. Rasanya priceless sekali :’)

Proses naik gunung juga jadi momen takzim mengamati alam semesta. Atau sindrom orang kota kali ya, semua pemandangan hijau dan keajaiban-keajaiban dunia yang terpampang selama mendaki bikin kami terbengong-bengong. Apalagi Prau via Dieng itu cantik banget viewnya, jalur track-nya bersih tanpa sampah, udaranya sejuk dan clean sekali, pohon-pohonnya yang tua tampak kokoh, teduh, dan terasa bersahaja, banyak akar-akar pohon yang membantu langkah kami tetap aman, dan sempat ketemu kocheeenggg! Setelah naik gunung, aku jadi mengharapkan bentuk kesenangan yang lain, jadi mendambakan perjalanan seru lain, jadi memimpikan keindahan hidup yang lain, supaya nggak ada waktu untuk membenci, memaki, dan menyakiti…

Ini adalah petualangan yang akan jadi core memory dan membekas di hatiku yang terdalam. Petualangan yang akan mengingatkanku untuk menghargai hidup (meski hidup lagi kaya babi), untuk mengingat setiap kesulitan selalu datang sepaket dengan kesenangan, untuk mengingat bahwa di dunia yang kecil sekaligus besar ini, selalu adaaaa haaaaal-haaaaal luuuaaarrrrr biasaaaaaa yaaaaang menaaanti kitaaaaaaa di depaaaaaaan sanaaaaaaaa!


Update-an selanjutnya aku sambung besok lagi ya, soalnya aku menulis ini di jam 2 pagi dan mataku sudah ngantuk berat rupanya hahaha.

SALAM KEBAJIKAN!

museum girls

museum girls yang lain

ini waktu di Bismo

ini di puncak ora nemu HAHA

LIHAT POHONNYA BAGUS BANGET KAN?!

cewek-cewek gokil nih

putus asa sekali kalo inget momen di sini

langit Prau yang bertaburrrrrr bintanggggggg

cantik

masyaallah tabarakallah


Minggu, Maret 30, 2025

Journal 8: Ternyata yang aku butuhkan itu meja dan kursi untuk bekerja

Ini refleksi yang tiba-tiba terlintas ketika aku sedang mengerjakan garapan copy di meja depan ruang tamu saat malam lebaran. Rasanya, wah!!! Enak juga duduk di kursi dan meja bekerja seperti ini. Apakah ini efek karena aku sedang pulang kampung (setelah setahun tidak pernah pulang)? Atau memang ini yang sebenarnya aku butuhkan tapi tidak aku sadari: meja dan kursi yang proper untuk aku bekerja. Selama di Jogja, aku selalu ngekos dengan perabotan yang seadanya: kasur, lemari pakaian, meja rias yang juga ku gunakan untuk menaruh buku-buku, rak buku yang tentu saja sudah kepenuhan, meja kecil untuk menaruh peralatan makan dan botol-botol, dan rak-rak berjejer tempat menaruh barang-barang. Tapi tidak pernah sekalipun aku punya meja beserta kursi yang proper untuk bekerja. Setiap butuh membuka laptop atau bekerja, aku selalu mencari kafe atau working space di luar kos. Kalaupun mager parah, ya biasanya aku akan nangkring di atas kasur, meskipun endingnya aku malah jadi ketiduran karena terlampau nyaman. Lalu ketika malam itu aku menaruh badanku di kursi empuk dan meja kayu di depan ruang tamu, hatiku mendadak meleleh dan terbersit perasaan senang yang muncul ketika kemudian aku bisa melipat kaki ke atas kursi dan mulai mengetik di atas keyboard dengan fokus. Rasanya satisfying!

Mungkin ke depan, jika aku akan berpindah ke rumah baru, aku akan memperhatikan satu hal penting yang akan membantu kelangsungan hidup dan kewarasanku: yaitu meja dan kursi yang proper untuk bekerja. Tidak perlu mahal dan tidak perlu terlalu canggih, yang penting ketika ku duduki di pagi hari setelah sarapan, di siang hari setelah power nap lima belas menit, atau malam hari sambil mengopi, meja dan kursi itu tetap memberikan kenyamanan dan perasaan positif bahwa semua tugas-tugasmu akan tercentang satu per satu, pekerjaanmu akan segera selesai, dan hidupmu akan baik-baik saja.

Selamat menikmati libur lebaran! Taqaballahu minna waminkum. Mohon maaf lahir dan batin untuk siapa saja yang baca postingan ini :D

Sabtu, Maret 01, 2025

#27 tahun adalah badminton, sayur lodeh, dan misi penyelamatan hidup

    Jadi, bener nggak sih kalau makin tua kita malah kayak atlet? Mulai coba-coba semua cabang olahraga, dari yang simple seperti jalan kaki, lari, terus ke yoga dan pilates. Ada yang badminton, tenis, sepedaan, bahkan temanku ada yang mulai belajar boxing! Hahaha.

    Kemungkinannya menurutku ada 2, selain karena merasa badan kita mulai jompo dan menjadi tua renta itu melelahkan (jongkok berdiri aja lutut bunyi, bangun tidur pegal, dan makin sering merasa capek tanpa alasan jelas), kita lalu memutuskan olahraga untuk mengembalikan kebugaran fisik. Sementara kemungkinan lainnya cukup realistis dan pahit: kita semua adalah orang dewasa yang sok sibuk, dikit-dikit stress, dan jujur aja, sering kesepian. Kehidupan bekerja yang kita jalani sungguh mencekik dan membuat kita seperti mayat hidup. Hari-hari di tempat kerja yang autopilot berjalan sangat melelahkan, dan jiwa yang lelah membuat kita semakin hampa. Lalu olahraga jadi semacam escape, jadi sesuatu yang bisa kita kontrol di tengah hidup yang penuh tuntutan. Aktivitas ini sangat menyegarkan dan bantu melepas endorfin ke otak, bikin kita jadi lebih merasa bahagia, dan bermakna sebagai manusia. Olahraga ini, in the end jadi usaha bertahan hidup secara mental dan emosional.

    Selain yoga dan pilates, aku sedang menekuni cabang olahraga baru yang ternyata seru dan nggak butuh skill yang oke-oke banget (asal bisa nampok aja); yaitu badminton!!! Apalagi, permainan ini juga jadi ajang ngumpul bareng teman-teman cewekku, mereka bukan rekan kerjaku dan kami nggak akan ngomongin pekerjaan di lapangan, alhasil relasi kami jadi lebih personal dan lepas aja jadinya haha.    

    Biasanya tiap malam sehabis jam 6, sepulang kami dari kantor masing-masing, kami mengagendakan sesi badminton selama 2 jam dengan menyewa gor atau lapangan badminton dekat kampus. Kami main sampai badan pegal-pegal, sampai perut keram karena kebanyakan ketawa, tapi kami happy karena rasanya seperti sedang nge-release semua stress. Sehabis itu, sambil mendinginkan badan yang panas karena keringat, kami biasanya rokoan sambil nongkrong di depan gor, sambil ngobrol ngalor-ngidul tentang apa saja dan merasakan udara malam menyapu wajah-wajah capek kami. Rasanya plong sekali! Hahaha.

    Padahal kami nggak jago-jago amat, kami bukan atlet dan badan kami pendek-pendek. Megang raket aja kadang kami kagok, nampok kok sering fales, tapi mungkin karena kebanyakan fales, kami jadi banyak lari dan banyak ketawa. Ujung-ujungnya meski badan kami capek mampus, tapi senang yang kami rasakan juga senang mampus.

    Sama halnya seperti baca buku, dengerin musik bagus, yoga atau pilates, makan makanan enak, dan hal-hal lain yang menyelamatkan hidup, aku bersyukur di usia 27 ini, aku masih diberi kesempatan dan stamina yang oke buat main badminton wkwk. Klise sekali, tapi ini sungguh-sungguh berarti. Menjadi 27 tahun itu melelahkan bro, dan kita harus merawat hal-hal yang dapat menyelamatkan kita dari kiamat-kiamat kecil di dunia ini (HUHU). Aku menulis ini pas lagi burnout di museum, dan sesi satu jam menulis blog sambil dengerin lagu-lagunya ABBA juga jadi seperti oase di tengah teriknya hidup. Kepalaku sekarang sedang penuh banget karena banyak hal sedang aku pertimbangkan, tapi supaya nggak terlalu oversharing, aku mau fokus bicara tentang badminton saja dan bagaimana usia 27 tahun akan bisa terlewati kalau kita punya hal-hal yang bisa menyelamatkan hidup. Haha.

    Apalagi ya? Barusan aku sarapan nasi sayur lodeh dan tempe garit, jadi meskipun kepalaku sedang kebal-kebul, aku merasa cukup sehat dan waras. 27 tahun harus disiasati dengan banyak hal. Aku masih punya banyak daftar keinginan yang ingin aku coret satu-satu, tapi tenang saja, aku nggak buru-buru dan akan menikmati proses-proses kecil dan semua ini pelan-pelan. Jangan lupa minum air putih, tidur tidak lebih dari jam 12 malam, mendapatkan sinar matahari yang cukup, ngobrol dengan kekasihmu, tanyakan kabar adik-adikmu, dan mari kita jalani hidup ini dengan penuh kesadaran dan welas asih (meskipun pemerintah sedang seperti tai babi). 

    Kalau ada rekomendasi lagu atau buku bagus, bagi-bagi yaaa!