Merawat ingatan: tempat-tempat paling intim di Kalimantan (bagian satu)

by - Agustus 30, 2018

Saya selalu percaya, beberapa tempat yang pernah kita singgahi pasti melahirkan makna dan kesan-kesan yang terikat dengan sisi emosional kita. Tempat-tempat tersebut mungkin saja akan mengantarkan kita pada perasaan-perasaan tertentu, pada ingatan-ingatan tertentu, atau pada orang-orang tertentu. Lalu untuk tempat-tempat yang sebelumnya tak pernah terbesit sedikit pun di pikiran, saya akan melontarkan pertanyaan: mengapa hal-hal yang awalnya asing dan jauh, bisa terasa begitu erat dan dekat?

Teras di rumah sub unit 4
Di minggu pertama kedatangan saya di Kalimantan, teras depan menjadi tempat pertama yang sering saya tongkrongi. Rumah berwarna biru tua ini berbentuk rumah panggung dengan bahan pokok kayu. Tinggi panggungnya pendek, sekitar setengah meter dari permukaan tanah. Awalnya teras rumah ini bersih dari barang-barang, lantainya cuma dipakai untuk menaruh sepatu saja. Tapi di hari berikutnya, kursi-kursi dan meja kaca kecil yang ada di dalam rumah dipindahkan di teras depan. Sejak saat itu, saya dan beberapa anak yang memang hobi nongkrong (karena nggak punya pekerjaan) suka sekali duduk-duduk di sana. Maskeran, gonjrang genjreng gitar, ngalamun, menelpon orang, makan, menyeruput es, atau cuma sekadar menemani Sheila merokok. Paling enak sih, naik ke atas pagar teras dan duduk menyender di tiang kayunya, hehe.


Halaman belakang di rumah sub unit 4
Sama seperti di teras, bedanya aktifitas yang saya lakukan di sini lebih menenangkan. Halaman belakang rumah milik bapak Panji Agung ini berhadapan langsung dengan semak belukar dan pekarangan liar, karena menjadi ruang terbuka, sirkulasi udara di sini pun terasa silir. Di minggu pertama saya tinggal di rumah ini, saya sering sekali menarik kursi (yang entah disediakan oleh siapa) lalu menghadapkannya ke arah pekarangan sembari menyantap makan siang. Kalau pagi, saya juga duduk di sana dan menyeduh teh hangat. Sorenya, saya ada di sana lagi sambil melakukan macam-macam. Kadang ditemani satu dua orang (sepertinya kursi yang ada di belakang rumah berjumlah empat), kadang juga cuma sendiri. Kalau sudah sendirian, pasti akan ada yang memekik dari dapur, “ngapain, mim?” yang kemudian biasa saya timpali dengan “lagi kontemplasi”. Salah seorang teman bahkan sempat ada yang menganggap saya kesambet karena mendapati saya duduk sendirian jelang maghrib di halaman belakang. Hihihi. Padahal, kebiasaan nongkrong di belakang itu cuma karena suasana tempat itu enak. Anginnya sepoi-sepoi, dan tak banyak orang yang suka mengumpul di sana.


Kamar cewek di rumah sub unit 1
Ya jelas lah. Cuma di kamar ini saya bisa menanggalkan kerudung dan identitas lain yang melekat di tubuh saya. Cuma di kamar ini, saya, Rara, Intan, dan Tetti bisa membicarakan hal-hal yang sifatnya personal dan rahasia, pinjam meminjam alat-alat make up kami (eye linernya Intan, maskernya Rara, liptint Mima, aloe veranya Tetti), lempar melempar bantal ke kasur dan dinding kamar sambil mbengak-mbengok akibat kesal dengan beberapa hal, dan juga menikmati tidur malam kami yang nyenyak akibat terpaan mesin air kondisioner yang tersanding di kamar, hahaha. Kasur kamar ini juga menjadi tempat favorit saya untuk roll depan, kayang dan sikap lilin setiap saya disergap pikiran gelisah. Saya nggak akan mendapat lirikan heran dari cewek-cewek di sub unit 1, soalnya mereka pasti tahu kalau saya sedang nggak oke. Malahan, mereka jadi ikut-ikut saya atraksi di atas kasur, dan si Rara lah yang paling semangat dan jago kalau sudah diminta roll belakang.


Dapur di rumah sub unit 1
Dapur di rumah milik Pak Aswandi ini sepertinya merupakan dapur paling luas se-Kalimantan, hahaha. Selain memang menyimpan alat-alat masak layaknya fungsi dapur pada umumnya, bagian rumah ini juga menyimpan perlengkapan fotografi milik Anjar −tuan muda rumah ini, dan perkakas-perkakas lain yang sepertinya milik Pak Aswandi. Lebar ruangannya saja luas, kurang lebih tiga sampai empat meter dengan panjang sekitar sepuluh meter, mungkin juga lebih. Dapur ini menjadi tempat paling sering anak-anak sub unit 1 berkumpul dan bercengkerama, meskipun momen bersama kami di dapur hanya pada saat memasak dan jam makan tiba (serta briefing pagi yang baru intens di minggu-minggu terakhir). Saya masih bisa membayangkan bagaimana dapur berperan membentuk pola laku kami. Ketika Bang Jali mendapat jatah piket memasak, saya cuma akan bantu-bantu memotong sayur dan mencuci piring (soalnya saya nggak bisa masak hahaha). Rara dengan racikan jagungnya dan Esa dengan gelas energennya akan duduk mengobrol di meja makan. Lalu ada Intan yang sibuk menyetrika baju-baju milik siapapun yang tergeletak di samping meja makan. Reza mondar-mandir sembari menenteng ember isi cucian. Sementara Tetti akan panik dan berisik sambil duduk di kursi plastik, kepalanya dibalut handuk dan tangannya mencekal hape, kelimpungan karena petugas puskesmas menghubunginya dan meminta program tambahan. Lewat dapur ini pula, kami anak-anak sub unit 1 mungkin saja punya kesan pribadi yang nggak semua orang tahu. Mungkin Reza yang kepergok menangis di samping Intan, Esa yang diam-diam merokok di pintu dekat jemuran, Tetti yang pucat karena melihat kobra lewat di belakang dapur, perasaan sepi Bang Jali ketika memasak seorang diri di saat rumah kosong, atau obrolan rahasia antara Rara, saya, dan anak sub unit lain, Nur dan Topik ketika pukul dua pagi di meja makan sambil menyantap indomie rebus.


Rumah sub unit 2
Rumah sub unit 2 lokasinya ada di RW 02. Bentuk rumah ini bukan panggung seperti rumah-rumah di Kalimantan, lantainya sudah keramik meskipun dindingnya masih berkayu. Tapi impresi saya terhadap pondokan milik teman-teman sub unit 2 ini adalah: hangat dan menyenangkan. Mereka yang baik itu selalu menampung perut-perut kami yang kelaparan, menghibur diri-diri yang kesepian, menyimak cerita-cerita pilu dan pelik kami, serta menawarkan ruang bagi kami yang barangkali mau menangis sampai sesenggukan –kalau yang ini sepertinya cuma saya seorang sih; satu-satunya anak sub unit lain yang pernah numpang menangis di tempat ini, hehe.

Lebih detail lagi, saya punya kesan yang intim untuk mendeskripsikan bagaimana halaman teras rumah ini membuat saya jadi sangat emosional. Di teras tersebut, saya pernah bersitegang dengan seseorang, sampai saya pecah dan menangis terisak-isak, sampai seorang anak kecil bernama Vina menghampiri dan bertanya tanpa mengecilkan suaranya, ‘kak mima kenapa menangis?’ lalu saya diberinya permen cokelat, katanya supaya tangis saya mereda, tapi saya makin terisak, pasalnya anak itu kemudian masuk ke dalam rumah dan memberi tahu semua orang kalau saya sedang tersedu-sedu di teras depan. Satu jam kemudian, saya pamit dalam keadaan sembap, teman-teman sub unit 2 nggak ada yang merecoki apalagi membanjiri dengan pertanyaan aneh, mereka bersikap seperti biasa dan seolah paham, bahasa tubuh mereka seperti bilang ‘mima sedang nggak oke, dan itu oke’.

Hari itu bukan kali pertama saya menangis di teras. Pernah pada suatu malam sehabis rapat, saya dan beberapa teman memutuskan untuk nongkrong di rumah sub unit 2 (ternyata bukan cuma saya yang menganggap kalau tempat ini nyaman disinggahi). Awalnya kami cuma ngobrol hal-hal sepele, bermain teka-teki, memandang langit, dan mengumpat satu sama lain, tapi makin lama obrolan kami jadi intens dan dalam. Salah seorang teman memancing saya untuk bercerita tentang suatu hal, lalu saya beberkan, karena hal tersebut cukup emosional, mata saya jadi merah dan setelahnya saya menangis. Beberapa saat kemudian, teman saya yang lain datang berkerumun dan ikut nimbrung ke depan teras. Saya yang nggak mau ketahuan langsung menyeka mata dan pura-pura tertawa seperti orang goblok. Ketika itu, saya masih belum tenang karena ada hal lain yang sebenarnya mengganjal dan membuat sesak. Awalnya saya coba tahan karena di teras ada banyak orang yang sedang berkumpul. Tapi lama-lama perasaan sesak itu seperti mau meletus, saya lalu berdiri dan langsung masuk ke dalam rumah tanpa bicara apapun. Saya mau jujur pada siapa saja yang sedang membaca ini: malam itu saya sembunyi di kamar mandi, menyalakan kran air dan menangis sambil membekap mulut. Saya nggak mau kepergok siapapun, saat itu saya kacau banget, bahkan sampai sekarang saya masih bisa mengingat perasaan sesak itu. Malam itu saya pulang tanpa pamit pada siapapun, meninggalkan orang-orang di teras yang bertanya heran.

Hal emosional lain yang saya rasakan di teras adalah ketika saya dan beberapa teman tengah dilanda urusan pelik yang menyangkut hajat orang desa. Saya nggak akan bercerita banyak soal ini, tetapi saya akan bilang kalau pada malam itu pikiran saya berkecamuk dan saya sungguh kalut. Malam itu nggak ada permainan teka-teki dan suara tawa lantang dari siapapun. Malam itu saya sudah lemas duluan, malam itu saya sudah jatuh berkeping-keping, malam itu saya sudah remuk dan redam, malam itu saya mati-matian menahan tangis. Malam itu, di teras, di depan beberapa teman, susah payah saya menahan suara parau dan mata yang sudah memburam. Saya enggan menangis, saya enggan pecah di depan mereka, saya enggan bilang pada mereka kalau saya sudah roboh, apapun caranya saya harus terlihat stabil. Maka setelah pertemuan mendebarkan itu selesai, saya dan salah satu teman langsung melarikan diri ke tempat lain, dan di sana, seperti yang bisa kalian tebak, saya menangis sesenggukan tiada henti.

Kenapa ya teras rumah tersebut seperti mengantongi atmosfir pilu tiap saya singgah ke sana?


Dapur di rumah sub unit 3

Ya ampun ternyata saya cengeng juga ya? Lagi-lagi saya menambahkan daftar tempat ke dalam tulisan ini karena tempat tersebut pernah jadi ruang saya untuk menangis. Malam itu saya berada di dapur sub unit 3, sementara teman-teman yang lain berkumpul di halaman depan. Saya duduk sendirian, menghadap meja dapur, menyanding gelas air putih dan satu kotak tisu entah milik siapa. Ponsel saya tersambung ke teman karib saya di Jogja, kami bicara panjang lebar, sampai tahu-tahu saya menangis tanpa sadar. Dapur malam itu terasa kosong dan melompong, saya masih ingat betapa hawa lengang di dapur saat itu justru seperti menekan saya pelan-pelan. Karena takut, saya lalu mengirim pesan pada Nur, bertanya sedang berada di mana, perempuan itu lalu mengirimi foto wajahnya yang pucat. Sontak saya kaget dan langsung menghampirinya di kamar. Sial lah, ternyata Nur juga sedang menangis. Saya lantas ikut berbaring di sebelahnya, diam dan tak bicara apa-apa. Kami bertolak punggung dan tenggelam pada perasaan kami sendiri. Bahkan konyolnya, setelah itu kami sempat mematut diri di kaca lemari lalu mengumpat bebarengan, wajah kami tampak menyedihkan, mata kami sembap dan hidung kami memerah. Dalam kondisi berantakan itu, kami lalu terbahak keras-keras.

Tapi, dapur tadi juga menjadi tempat yang nyaman untuk ditongkrongi. Ketika saya dan Rara berkunjung ke rumah sub unit 3, kami akan berlari ke dapur dan melakukan banyak hal. Membuat sirup, menuangkan es buah atau soda gembira, mencari-cari pengganjal perut di meja makan, membuka kulkas dan melongok isinya, menemani anak sub unit 3 makan siang atau membuat cilok, dan gonjrang-genjreng gitar sambil bernyanyi berisik.

Geng Pak Wandi

bersama Bang Jali

sisanya berlanjut di kemudian hari ya!

You May Also Like

3 Comments

  1. Dapur di rumah sub unit 1 memang memberi kesan tersendiri.
    Aku pernah bawa motornya Toha dan aku malah asik ngobrol di dapur itu, sampai si Toha ngira motornya ilang wkwk.

    BalasHapus