Rabu, Desember 13, 2017

The Seen and Unseen: 'Magical Belief' yang Menyihir

Tantri yang artistik

    Berbekal penasaran karena melongok trailer film ini dan membaca beberapa review menarik di internet, sore harinya saya memutuskan untuk bertandang ke JAFF yang digelar di Empire, menuju meja media center dan menuliskan nama beserta instansi saya, lalu mendapat satu tiket masuk tanpa mengocek uang lima belas ribu dan susah payah ikut antrian penonton. Enak kan uripku?

    Ketika saya selesai mengurus registrasi dan menerima bonus kartu pers, salah seorang teman yang juga menjadi panitia divisi ticketing berseru sebelum saya berlari ke ruang bioskop (karena pemutaran sudah mau dimulai), “Bikin liputan yang bagus ya!” Hehe, iya, saya datang sebagai orang media partner untuk liputan screening. Kan lumayan, ya, bekerja sambil bersenang-senang.

    ‘The Seen and Unseen’ yang diputar dalam program Asean Feature Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2017 menyoroti kisah Tantra dan Tantri, kembar buncing yang memiliki relasi khusus dan saling melengkapi. Mereka hidup di sebuah pedesaan Bali yang religius dengan latar berupa hamparan sawah dan ladang-ladang hijau. Kembar buncing adalah istilah Bali untuk mendefinisikan anak kembar dengan jenis kelamin yang berbeda, yakni seorang laki-laki (Tantra) dan seorang perempuan (Tantri). Kembar buncing oleh masyarakat lokal Bali dianggap sebagai simbol keseimbangan dalam hidup.

    Simbol keseimbangan tersebut diwakilkan lewat beberapa adegan seperti Tantra yang hanya mau makan kuning telur dan Tantri yang juga menyukai putih telur. Keduanya merekah beriringan sebelum Tantra kemudian jatuh sakit dan dirawat inap selama berhari-hari. Kondisi tersebut membuat Tantri menjadi layu dan dihinggapi perasaan kosong. Tantri sering melongok saudara laki-lakinya di rumah sakit, memandangi Tantra yang tergolek lemas di atas ranjang dengan tatapan menerawang. Tantri seperti diselimuti banyak pertanyaan, tentang mengapa tubuh Tantra ada di sana dan mengapa ia tak kunjung bangun. Mengapa Tantra terus diam?

    Kamila Andini selaku penulis dan sutradara film dalam sesi Q&A menuturkan bahwa The Seen and Unseen merupakan sebuah filosofi Bali yakni Sekala Niskala, yang berarti sesuatu yang terlihat (Sekala) dan tidak terlihat atau gaib (Niskala). “Hidup itu terdiri dari 2 hal tadi, antara yang kasat mata maupun tidak, dan ini mendefinisikan bukan hanya pada masyarakat Bali, tapi juga masyarakat di Indonesia. Kita tahu bahwa masyarakat kita sangat mempercayai hal-hal seperti itu.” imbuhnya.

    Ayu Laksmi yang berperan sebagai Ibu dari Tantra dan Tantri juga ikut menjelaskan tentang kepercayaan masyarakat Bali terhadap hal-hal yang tidak tampak. “Setiap hari ketika kita terjaga dari tidur, hal yang kita lakukan adalah berupa penghormatan kepada Yadnya untuk Tuhan, maupun Yadnya untuk Bhuta atau alam semesta. Karena masyarakat Bali punya konsep Tri Hita Karana.” ujarnya dalam balutan kebaya Bali putih. Konsep Sekala Niskala, menurut Ayu Laksmi, diartikan sebagai wujud lain dari bentuk penghormatan kepada yang tidak tampak.

    Dia juga menambahkan, Bali dipilih sebagai setting tempat karena tradisi tersebut masih dirawat di kota-kota besar maupun di desa-desa yang terpencil, dan hal itu terlihat sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, film yang menjalani proses produksi selama 5 tahun ini juga mengangkat kepercayaan (deep connection) masyarakat Bali terhadap bulan, di mana mereka juga memakai siklus bulan untuk mengatur perhitungan kalendernya. Sistem kepercayaan itulah yang kemudian dijadikan elemen utama sekaligus kekuatan dalam film The Seen and Unseen ini.

    Bagi saya, film ini adalah film yang sungguhan merepresentasikan anak-anak sesuai porsinya mereka. Kita, orang-orang dewasa, diajak masuk menyelami dunia imajinernya anak-anak, membawa kita pada pengalaman spiritual dan hubungan emosional anak-anak, yang bagi kita mungkin terlihat sangat aneh dan mustahil, tapi entah kenapa rasanya jadi begitu magis. Sinematografinya saja cantik sekali, banyak unsur lokalitas Bali yang diusung, saya seperti sungguhan bisa menghirup aroma dupa dan menjejakkan kaki di lahan sawah di sana. Wardrobe yang dipakai Tantra dan Tantri, koreografi pada setiap adegan lekukan tubuh, pemilihan dialog, bahkan sampai hal-hal sedetil piring seng yang dijadikan properti, bagi saya semua itu terpampang sangat indah. Kamila Andini beserta teman-teman kru lain, saya kira sudah cukup berhasil mengemas The Seen and Unseen menjadi sajian yang manis dan hangat. Pantas saja kalau film ini berkesempatan diputar perdana di ajang Toronto International Film Festival (TIFF) 2017.

    Dunia anak selalu dicitrakan dengan hal-hal bernuansa menyenangkan dengan tone warna cerah dan ceria, tapi Kamila Andini menampik hal tersebut dalam menggarap filmnya. Kematian dan jam malam adalah dua topik yang asing dengan anak-anak, untuk itu, Kamila mencoba menuturkan hal-hal tersebut lewat visual yang menyihir. Melihat Tantra dan Tantri dalam The Seen and Unseen, rasanya seperti sedang merayakan kesedihan dengan cara yang begitu memikat. Perasaan itu larut seiring dengan geliat Tantri yang menyadari kehidupan kembarnya, Tantra, lama-lama memudar. Tantri bercengkerama dengan imajinasinya soal Tantra, melalui malam-malam dingin dan temaram purnama, lalu menjadi beku kembali ketika siangnya Tantri ternyata masih mendapati Tantra berbaring di kasur rumah sakit.

“This situation opens up something in Tantri’s mind: she keeps waking up in the middle of the night from a dream and seeing Tantra. The night becomes their playground. Under the full moon, Tantri dances—about her home, about her feelings. As the moon dims and is replaced by the sun, Tantri’s becoming a woman eclipses Tantra’s fading life.” - JAFF 2017.

    Terima kasih sekali mbak Kamila Andini, untuk perspektif baru mengenai hidup yang sangat segar! Sukses untuk pemutaran di bioskop komersil 2018 mendatang!

Ibu dan Tantri

Menjadi Sibuk di Saat Anak-Anak Ini Tumbuh dengan Gemas

  Saya sudah lupa kapan terakhir kali menyempatkan diri untuk berkunjung ke shelter dan menemui teman-teman kecil saya di sana, di Badran belakang komplek PKBI. Mungkin satu atau dua bulan yang lalu, atau malah entah kapan –sudah tidak ingat lagi.

    Beberapa pekerjaan jelas menguras waktu dan tenaga saya yang harusnya bisa saya luangkan untuk mereka. Padahal, dulu saya pernah berjanji pada diri sendiri, bahwa teman-teman kecil saya itu adalah hal-hal yang harus selalu saya perhatikan, bahwa mereka adalah hal-hal dalam hidup yang tidak boleh saya abaikan. Teman-teman kecil saya adalah penyembuh nomor satu di Jogja, begitu ujar saya saat pertama kali mengenal mereka, saking senangnya mendapat teman baru di sela-sela berisiknya hidup saat itu. Tapi sekarang, melongok ke shelter pun sudah tak pernah, apalagi menyambangi mereka dan mengajak bermain? Saya seperti sedang disergap kehidupan yang runyam, dan sangat chaos. Setiap hari mengurusi dateline, setiap hari pergi ke rapat-rapat, setiap hari bicara hal-hal serius –sampai spaneng dan lupa bagaimana caranya tertawa. Sudah jarang ibadah seni, sudah jarang wisata religi, sudah jarang berkontemplasi, sudah jarang mengarungi diri, dan satu-satunya wujud ‘jadi hidup’ yang saya punya adalah perjalanan pulang ke kos-kosan dengan penuh rasa syukur, menghirup udara-udara tenang pukul dini hari, sambil berdoa kalau semua yang baik di dunia ini akan terus baik-baik saja. 

    Saya juga banyak berdoa pada Dzat yang paling ajaib di alam ini, untuk terus melimpahkan rasa-rasa indah, sesuatu yang hangat dan manis pada teman-teman kecil saya itu. Dalam satu dua hal barangkali mereka tak bisa menikmati hidup seperti yang orang lain miliki, tapi saya selalu berharap, mereka akan punya banyak kebaikan yang menuntun mereka untuk tumbuh menjadi anak-anak yang mengagumkan.

I love you, maaf kalau kakak sibuk, besok-besok kita main lagi ya! :)

Minggu, Desember 10, 2017

Tentang Cita-Cita Punya Gedung Pertunjukan

    Saat itu saya dan Mbak Devi sedang duduk di dalam ruang pertunjukan Societet Militair TBY (Taman Budaya Yogyakarta). Kami hanya berdua di ruang yang lengang tersebut, ngaso sebentar sambil menunggu teman-teman komunitas film yang tengah menyantap makan siang di teras luar.

   Saya dan Mbak Devi tengah menjalankan pekerjaan kami sebagai panitia divisi hospitality dalam suatu festival film yang digelar oleh Dinas Kebudayaan DIY. Sebuah divisi yang sekaligus menyublim menjadi LO. Kami melayani dan mengakomodasi seluruh kebutuhan peserta festival, dari transportasi sampai masalah penginapan di hotel, mengingatkan mereka untuk sarapan sampai menawarkan obat-obatan kalau-kalau ada yang sakit, mengabsen mereka satu-satu di setiap pergerakan menuju venue festival sampai hal-hal remeh seperti ditanyai peserta “apakah mbak seorang panitia?” saking tidak yakinnya melihat anak kecil seperti saya mengalungi co-card panitia, menenteng tumpukan kertas-kertas penting, dan hobi lari ke sana-sini untuk mengurus banyak hal. Dengan jumlah peserta yang hampir mencapai 100an orang, saya bersyukur saya ditemani oleh Mbak Devi, yang sabar dan mau bekerja bersama saya yang sedikit-sedikit suka panik. Nggak kebayang rasanya kalau hanya ada saya seorang, mungkin saya sudah jadi batu bata yang siap dilumuri adonan semen, memilih untuk dibuat tembok saja.

 Di dalam ruang pertunjukan yang melompong itu, saya mengangkat kaki ke atas kursi penonton berwarna merah dan menyenderkan badan saya dengan nyaman. Mbak Devi sedang bermain ponsel. Saya menyusuri ruangan lebar itu lekat-lekat lalu berujar lirih, “Aku pingin deh punya gedung pertunjukan alternatif, yang aku kelola sendiri, bukan milik pemerintah.”

 Mbak Devi melonjak dan tiba-tiba menyahut, “Iya sama, aku juga!”

   Saya lebih terkejut lagi menyadari kalau ternyata ada juga orang yang bercita-cita sama seperti saya; punya gedung pertunjukan sendiri. Entah sudah berapa kali saya bilang hal yang serupa kepada teman saya dan hanya ditanggapi dengan ah oh ah oh biasa, beberapa bahkan malah menyuruh saya kerja di XXI atau bioskop mall lain, kan bikin sebal. Padahal bukan seperti itu maksud saya.

    “Kalau bisa yang jumlah kursinya nggak banyak-banyak amat, kayak di sini juga nggak apa, 200an kursi.” saya bicara lagi, sambil menaikkan kaki ke punggung kursi di depan saya, mengikuti gaya duduk Mbak Devi. "Yang bisa dipakai untuk nonton beragam pertunjukan; teater, film, konser. Kalau bisa juga yang aksesnya mudah dan bisa dijangkau kelompok menengah ke bawah. Soalnya selama ini, bioskop, gedung teater, dan ruang pertunjukan sejenis selalu punya privilej untuk masyarakat kelas atas. Padahal hiburan pertunjukan itu kan harusnya jadi hak setiap orang.”

    “Dulu pas Ziarah diputar di tengah-tengah masyarakat Gunungkidul pakai konsep layar tancap, aku seneng banget bisa lihat antusias mereka nonton bergelar tikar anyam dan wedang hangat malam-malam. Dari situ jadi mulai punya keinginan untuk menghadirkan pertunjukan-pertunjukan lain kepada warga lokal, memberikan mereka akses semudah-mudahnya untuk mengonsumsi pertunjukan. Pasti bakal seru.”

    “Ah iya, poster-poster pertunjukan juga pinginnya dibuat secara manual, pakai cara-cara yang masih tradisional, kayak dilukis pakai tangan di atas kain belacu, dibikin spanduk sebesar gaban, atau dicetak di papan kayu kemudian ditempel di dinding gedung halaman depan. Begitu juga dengan tiket dan sistem promosinya. Pokoknya pingin buat konsep gedung pertunjukan yang ramah, semacam bioskop alternatif yang terjangkau, mudah untuk semua kalangan serta vibe-nya jadul sebelum era digital.”

    Tanpa sadar, saya bicara sendiri selama itu. Saya nggak nyangka rasanya semenyenangkan ini bicara soal cita-cita dengan orang yang juga bercita-cita hal yang sama. Cerita-cerita tadi kemudian jadi bayangan yang menarik, yang kadang bikin saya senyam-senyum sendiri.

    Kemarin-kemarin saya juga menemui satu orang lagi yang punya cita-cita sama; Sari di film A Copy of My Mind yang diperankan oleh Tara Basro. Di film tersebut, perempuan yang menggilai film sampai membuatnya berani mencuri kaset-kaset vcd itu menuturkan impiannya di depan kekasihnya, Alek (Chico Jericho), bahwa ia ingin punya home theatre yang layarnya besar dan audionya keras. Sari berbicara dengan yakin soal mimpinya sambil tersenyum lebar. Melihat adegan itu, saya seperti disuntik dopamin, saya senang dan langsung punya kepercayaan yang besar. Percaya kalau suatu hari nanti, saya pasti akan punya gedung pertunjukan itu, yang bisa menampung hajat orang banyak untuk beribadah seni pertunjukan; film, teater, tari, musik, atau ragam bentuk pertunjukan lain. 

    Selain itu, saya juga ingin sekali keliling ke berbagai tempat dan mencicipi gedung-gedung pertunjukan di sana. Merasakan atmosfir magis ketika duduk di kursi penonton dan menghadap ke  panggung besar. Saya ingin sekali jadi bagian pertunjukan-pertunjukan yang megah, meskipun lewat kursi penonton. Seperti di Jakarta, lewat Kineforum, Kinosaurus, Paviliun 28, Taman Ismail Marzuki, Gedung Kesenian Jakarta, Teater Salihara, Wayang Orang Barata, Ciputra Artpreneur Theatre, Miss Tjitjih Theatre, Sinematek Indonesia, sampai ke Teater Utan Kayu. Mungkin juga di Solo, Bandung, Semarang, dan kota lain yang punya gedung-gedung pertunjukan bagus. Soalnya hampir semua tempat di Jogja sudah pernah saya sambangi: Concert Hall di TBY, Societet Militair, IFI LIP di Sagan, Teaternya Garasi, PSBK, Kedai Kebun Forum, Ramayananya Prambanan, Sangkring Art, Pendopo Art, Langgeng Art, Auditnya kampus-kampus seperti ISI, UNY, UGM, PKKH, dan entah apalagi saking banyaknya Jogja menggelar banyak pertunjukan.

    Saya menyusuri sekali lagi ruangan lebar di depan saya itu dengan pandangan menelisik, lalu menghirup partikel udara banyak-banyak dan membungkusnya ke dalam paru-paru. Saya kemudian beranjak dari kursi dan berjalan ke arah depan. Meraih sebuah kursi yang lain, mendudukinya, lalu menghadap ke belakang, ke arah Mbak Devi. “Mbak, tolong fotoin aku dari situ dong.” ujar saya sambil meringis.

sistem promosi film bioskop dengan berkeliling menggunakan mobil pick up yang ditempeli penuh poster-poster, di kota saya Purwokerto.

gedung pertunjukan di Magelang jaman baheula. sumber: GNFI

difoto oleh Mbak Devi

Sabtu, Desember 09, 2017

Juno: Potret 'Teen Pregnancy' yang Jujur



“A comedy about growing up… and the bumps along the way”


    Ketika saya selesai  menonton film Juno di program screening bulanan yang digalakkan oleh klub film saya di kampus, saya langsung mengumpat pada diri sendiri, kenapa saya baru nonton film sebagus ini sekarang?  Lalu geleng-geleng kepala saking tidak habis pikir saya dibuatnya.

    Juno adalah film bergenre drama komedi yang diproduksi tahun 2007 dan disutradarai oleh Jason Reitman. Film ini menyoroti kisah Juno MacGuff (Ellen Page) remaja perempuan usia enam belas tahun yang dihadapkan dengan kehamilan di luar rencana bersama teman sekelasnya, Paulie Bleeker (Michael Cera). Juno dan Bleeker adalah remaja SMA yang berteman dekat dan sering nge-band bersama, dan ya... dua remaja yang juga punya keingintahuan dan dorongan yang besar akan seksualitas.

    Perasaan bingung dan resah jelas muncul pada scene awal ketika Juno mengetahui kehamilannya lewat test pack yang dibelinya di sebuah toko. Juno yang masih sangat belia itu tidak tahu harus melakukan apa, sementara kandungannya mulai menginjak usia 2 bulan dan perutnya semakin besar. Juno kemudian memberi tahu Leah (Olivia Thirlby), sahabat dekatnya, tentang kehamilannya. “It’s probably just a food baby. Did you have a big lunch?” tanya Leah yang membuat Juno memutar bola matanya.

    Juno lalu bersiap mengumumkan kabar kehamilannya kepada ayahnya (J. K. Simmons) dan ibu tirinya, Brenda (Allison Janney). Mereka diminta duduk di kursi tamu dan mendengarkannya bicara. Melihat gelagat Juno yang nampak begitu serius, Brenda menebak kalau mungkin saja Juno barusan dikeluarkan dari sekolah akibat mengonsumsi narkoba. Tapi kemudian Juno mengatakan dengan cepat, “I’m Pregnant.” yang membuat Mac MacGuff, ayahnya, melontar “Oh, God.” dan respon Brenda yang menghibur, “I didn’t even know that you were sexually active.” Meskipun awalnya memang sangat terkejut, orang tua Juno kemudian mencoba bersikap bijak, mereka membantu menyelesaikan masalah tersebut dan memberi dukungan moril kepada Juno. Ibunya bahkan memberi tahu hal-hal apa saja yang harus dilakukan Juno ketika dirinya sedang hamil, seperti harus rutin pergi ke dokter, meminum vitamin, dll.

Mac dan Brenda

    Berbagai solusi dicari untuk mengatasi kasus kehamilan Juno yang tidak direncanakannya itu, sampai kemudian pilihan aborsi sempat terbesit di pikiran Juno. Tetapi hal itu ia urungkan setelah melihat seorang perempuan muda tengah melakukan protes di depan klinik aborsi sambil mencekal papan bertuliskan ‘no babies like murdering’. Juno lalu berinisiatif memberikan anaknya kelak untuk diadopsi kepada keluarga yang membutuhkan atau pasangan gay/lesbian yang menginginkan anak.

    Dibantu ayahnya, Juno kemudian menemui pasangan muda yang belum dikaruniai anak, adalah Mark (Jason Bateman) dan Vanessa (Jennifer Garner), a yuppie couple with a huge house in sub urbs. Vanessa adalah wanita karir, sedangkan Mark merupakan seorang komposer. Setelah melakukan perjanjian, pasangan tersebut bersedia mengadopsi anak yang dikandung Juno.

    Hari-hari Juno dilalui dengan biasa, ia masih pergi ke sekolah dengan seragamnya meskipun perutnya semakin membuncit. Teman-teman di sekolahnya juga gemar memandangi perut Juno, tapi hanya sekadar itu, tidak ada adegan mencemooh atau menuduh. Sementara itu, hubungannya dengan Bleeker malah menjadi renggang. Meskipun Bleeker sempat beberapa kali menemui Juno, Juno merasa tidak perlu lagi menemui Bleeker. Bahkan ketika Bleeker meminta Juno untuk datang ke prom bersamanya, Juno menolak dan malah menyuruh Bleeker untuk pergi dengan gadis lain.

    Menjelang usia kehamilannya yang semakin besar, Juno justru dihadapkan pada kenyataan bahwa Mark ingin menceraikan Vanessa. Untuk beberapa alasan, Mark merasa belum siap untuk memiliki anak dan menjadi ayah,  he has some things he still wants to do –kira-kira begitu ujarnya. Mark juga merasa Juno datang dengan begitu cepat menawarkan bayi setelah Mark dan Vanessa mengiklankan diri sebagai pengadopsi. Rasa kepercayaan Juno yang dibangun untuk pasangan tersebut sebagai keluarga utuh yang akan mampu merawat bayinya seketika berubah menjadi kecewa.

    Juno lalu menemui Ayahnya. Melihat banyak orang menjadi terluka lewat pernikahan, baik yang dialami oleh Ayahnya, maupun pada Vaneesha dan Mark, membuat Juno merasa seperti kehilangan harapan dan kepercayaan pada orang-orang, termasuk soal relationship. Juno beranggapan bahwa rasanya  sulit bagi dua orang untuk bisa tinggal dan stay happy forever. Ayahnya lalu menimpali, “Well, it's not easy, that's for sure. Now, I may not have the best track record in the world, but I have been with your stepmother for 10 years now and I'm proud to say that we're very happy.”  yang membuat Juno diam dan tercenung.

    Mac kemudian berbicara lagi, “the best thing you can do is find a person who loves you for exactly what you are. Good mood, bad mood, ugly, pretty, handsome, what have you, the right person is still going to think the sun shines out your ass. That's the kind of person that's worth sticking with.”


    Mendengar penuturan dari Ayahnya, Juno kemudian merasa telah menemukan orang yang dimaksud ayahnya. Dari sini, kita bisa menebak kalau pada akhirnya Juno kembali menemui Bleeker dan mengungkapkan perasaannya pada teman satu kelasnya itu.


i love this line
 

    Mendekati usia persalinannya, Juno memutuskan untuk tetap memberikan bayinya pada Vanessa, setelah melihat ketulusan Vanessa dan ikatan emosional yang kuat dengan bayinya. Juno juga merasa kalau Vanessa masih menjadi best parenting option for the baby, meski pada akhirnya Mark tidak lagi mendampingi Vanessa.

    Ide cerita yang diangkat jujur cukup sensitif, tapi Jason Reitmen berhasil mengemasnya dengan ringan serta menyertakan bumbu-bumbu komedi dalam porsi yang pas, sehingga pesan yang ingin disampaikan film ini sebenarnya bisa dengan mudah diresapi oleh penonton.

    Saya juga sangat mengagumi karakter Juno. Dia begitu hidup meskipun perutnya sedang membesar dan orang-orang di lingkungan sekolahnya selalu melempar pandangan heran ke arahnya. Juno tetap menjalani harinya seperti remaja-remaja lain.

    Saya juga bisa melihat film ini turut mengantarkan sisi kedewasaan Juno menjadi lebih baik. 9 bulan dilalui Juno dengan penuh ups and downs. Di usianya yang masih belia, Juno dihadapkan dengan realita-realita yang membentuk dirinya menjadi bijaksana dan lebih bertanggungjawab atas hidupnya –termasuk hidup si jabang bayi.  Oh, just out dealing with things way beyond my maturity level.” adalah contoh kelakar Juno  ketika mendapat pertanyaan ‘dari mana’ oleh Ayahnya. Jawaban yang ringan tapi merepresentasikan keadaan Juno dengan tepat.

    Sikap terbuka dengan kasus kehamilan yang tidak direncanakan (KTD) di dalam film Juno sama sekali terlihat kontras dengan apa yang terjadi di Indonesia. Mereka yang mengalami KTD masih dilekati dengan stigma dan ketakutan-ketakutan di lingkungan sosialnya. Padahal dukungan moril adalah hal yang paling dibutuhkan oleh para perempuan yang mengalami KTD. Umumnya, keluarga dengan kasus KTD akan merasa malu dan seperti menanggung aib yang besar, sehingga seringkali jalan yang ditempuh untuk menyelesaikan masalah hanya bersifat sepihak tanpa berusaha memahami posisi sang ibu. Di dalam film Juno, saya sangat suka bagaimana orangtua Juno merespon berita kehamilan Juno dengan sangat pretty well. Reaksi kedua orangtuanya memang terkejut, tapi mereka tetap mencoba bijaksana dengan menunjukan sikap terbaiknya untuk mendukung anak mereka. Hal yang sepertinya jarang sekali ditemui di Indonesia. Kultur dan cara bersikap masyarakat Indonesia dalam menghadapi isu KTD adalah showing how someone DOES react to teen pregnancy rather than how someone SHOULD react to teen pregnancy. 

    Film Juno memberikan persepektif yang berbeda tentang seksualitas remaja dan menyikapi KTD, tentu dengan bumbu humor yang luas, dialog yang ringan, tone film yang cantik –setting suasana 90an, Ellen Page yang sangat baik dalam memainkan peran, serta tentu saja soundtrack film yang easy listening! Menjadikan film ini tidak terlalu berat tapi masih dapat dinikmati bersama keluarga. Bahkan memasuki akhir cerita ketika Juno melakukan persalinan, I cried just because I saw Juno’s struggle gave birth to a baby. Juno merupakan perempuan baik hati, memiliki rasa tanggung jawab dan kesadaran penuh atas resiko yang telah ditimbulkannya sendiri. She is a strong teenager. Really.

heeeeeei, kamu tu keren lho Mbak Jun!!!


Kamis, November 23, 2017

Annang Performance: antara Tradisi Lokal dan Transgresi Sosial

Masyarakat Annang


    Ketika membaca artikel berjudul Masking Youth: Transformation and Transgression in Annang Performance, saya kira, Annang yang dimaksud di situ adalah nama dari sebuah pertunjukan, tapi rupanya bukan. Annang merupakan kelompok etnis yang menghuni provinsi Calabar di Nigeria Tenggara, tepatnya di sebelah selatan Sungai Cross. Masyarakat Annang menggunakan bahasa Ibibio dalam komunikasinya sehari-hari, dan mereka dianggap sebagai orang-orang yang paling artistik di daerah Sungai Cross. Hal itu mereka wujudkan dalam kegiatan berkesenian dan budaya di lingkungan setempatnya.

    Kehidupan sosial masyarakat suku Annang diatur oleh organisasi bersifat rahasia (secret society), dianggap rahasia karena melibatkan unsur-unsur mistis, yang menggabungkan topeng ke dalam upacara ritual tahunan mereka. Upacara tersebut diwujudkan dalam bentuk pertunjukan masquearade, atau dengan istilah lain ‘pesta topeng’. Satu hal yang menarik dalam pertunjukan tersebut adalah adanya keikutsertaan roh leluhur (yang kemudian disebut Ekpo) yang kehadirannya diwakili sekaligus direpresentasikan oleh sebuah topeng.

    Pertunjukan tersebut dilakukan setelah masa panen ubi kayu dan menandai kunjungan roh leluhur (nenek moyang/ancestral spirits), atau Ekpo. Ekpo juga merupakan nama sebuah asosiasi pria yang pernah memiliki pengaruh besar di kalangan kelompok Ibibio. Asosiasi Ekpo ini hanya diperuntukkan bagi anggota masyarakat laki-laki yang beranjak dewasa, dan proses penerimaan anggota ini dilalui lewat rangkaian acara bernama inisiasi dengan melibatkan anak-anak muda suku Annang. Dalam hal ini, anggota masyarakat Ekpo dikatakan bertindak sebagai utusan leluhur dan hanya laki-laki yang bisa bergabung, yakni laki-laki yang masih dalam fase pubertas mereka. Perempuan sama sekali tidak diijinkan untuk bergabung ke dalam ritual pertunjukan tersebut. Ini juga menjadi alasan mengapa tatanan sosial pada masyarakat Annang itu kemudian menjadi sangat patriarkal.

    Kelompok suku Annang juga mengukir topeng dengan ciri aneh dan fantastis. Penulis artikel ini, David Pratten, menjelaskan bahwa setiap topeng itu unik karena diukir secara individual, meski karakteristik umum sering digabungkan; berwarna hitam atau warna-warna gelap, sering memiliki pipi menonjol, tanduk dan ciri-ciri yang menyimpang (dikatakan menggambarkan gangosa, penyakit wajah).

    Topeng dianggap sebagai perwujudan leluhur, dan oleh sebab itu, penggolongan jenis topeng pun dibagi menjadi 2, yakni mfon dengan sifat-sifat baiknya, yang mewujudkan semangat indah, dipakai pada pertunjukan di pasar, dan menggambarkan wajah dalam bentuk manusia yang menekankan kesuburan. Topeng ini juga memperlihatkan serangkaian wajah anak-anak kecil yang diukir di dahi. Jenis yang kedua adalah idiok sebagai perwujudan segala sifat yang buruk, dianggap berbahaya dan hanya bisa dilihat oleh anggota Ekpo, serta mewakili roh jahat. Ciri-ciri yang melekat seperti gigi bergerigi, dan terkadang mewakili penyakit menular.

Penggunaan topeng menyangkut transformasi yang menandai pergerakan dari satu alam ke alam lain melalui proses metamorfosis yang menegosiasikan hubungan manusia dengan alam dan orang mati (Kasfir 1989, Fardon 1991).

    Hal-hal yang dibahas dalam artikel ini berupa proses transgresi dan transformasi pertunjukan Ekpo masyarakat Annang yang terjadi pada masa misionaris dan kolonial. Unwelcomed, anchronistic, kemudian ada political labeling. Saat masuknya agama Kristen ke daerah tersebut, missionaries menganggap hal-hal yang terlalu supranatural itu hanyalah sebagai imajinasi. Ekpo juga dianggap mengandung kekerasan sehingga praktik pertunjukan yang menggabungkan ritual adat itu kemudian dilarang oleh pemerintah dan menjadi ilegal. Menyiasati hal tersebut, pertunjukan Ekpo akhirnya dilakukan secara diam-diam dan jauh dari daerah pemerintahan. Tapi meskipun begitu, pelaku Ekpo masih sering dicari, karena anggotanya dianggap sebagai dukun (penyembuh dan peramal).

    Ada tiga hal lain yang ditekankan penulis dalam pergeseran Ekpo performance ini, di antaranya adalah Ekpo sebagai end of year parade, karena dilangsungkan pada saat Natal dan menjelang akhir tahun dan diikuti oleh anak-anak muda dari masing-masing desa. Selain itu ada pula praktik Vigilante punishment atau legitimasi kekerasan main hakim sendiri terhadap pelaku tindak kriminal. Setelah ditangkap atau dinyatakan bersalah oleh vigilante groups, pencuri dilucuti dan digosok dengan campuran arang dan minyak sawit (minyak menjadi penanda umum adanya tranforming the self). Pencuri kemudian diikat di pinggang dengan tali penyadap palem dan diarak di sekitar desa, biasanya ke pasar dan di kompleks kepala desa. Orang banyak yang berkumpul akan bernyanyi, "wooo ino adia nnok" (the thief is eating shame/si pencuri sedang memakan rasa malu/aibnya sendiri). Pencuri dalam hal ini dianggap sebagai antisosial, yang memiliki kekuatan non-manusia seperti roh jahat yang direpresentasikan oleh Ekpo.

    Secara simbolis, praktik vigilante di Ekpo performance itu memberikan penafsiran dan menghasilkan legitimasi, untuk melakukan bentuk kekerasan aktual terhadap pencuri, yakni adanya penyimpangan pada tubuh. Praktik ini masih berlanjut meskipun ada kritikan karena dianggap menghubungkan kekuatan hukum dengan sesuatu yang menyenangkan yang dilarang oleh pihak berwenang (mengarak pencuri ke hadapan publik dianggap sebagai hal yang menyenangkan oleh masyarakat Annang).

    Hal terakhir yang menarik adalah mengenai munculnya geng jalanan perkotaan atau disebut juga Agaba (a youth gang) yang berarti kenakalan suatu kelompok muda yang mengandung kekerasan. Kehadiran mereka juga dianggap sebagai ancaman terhadap struktur moral masyarakat. Tidak seperti masyarakat inisiasi tradisional Ekpo, Agaba adalah sebuah masyarakat tanpa tetua-tetua, di mana proses/konsep inisiasinya dipisahkan dari hal-hal seputar leluhur/nenek moyang. Transformasi pertunjukan Ekpo yang tradisional kemudian diwakili oleh kelompok Agaba yang lebih kontemporer. Ketika bentuk-bentuk pertunjukan topeng kontemporer tersebut oleh masyarakat lokal dianggap telah merusak makna ritus dan prestise/martabat nenek moyang, serta dituduh mendevaluasi makna dan pesan dari Ekpo performance, contoh lain justru menunjukan hal itu sebagai ungkapan (idiom) sosial yang kuat.

    Sebagai konklusi, penulis melihat adanya ‘juxtaposition’ dari Ekpo performance antara sebagai hiburan dan transgesi (transgressive aspects of the performance). Meskipun Ekpo performance hanyalah sebuah ekspresi atau simbol dari masculinity and youth di Afrika , di satu sisi, pertunjukan ini menguatkan identitas kelompok Annang dan menjaga tradisi lokal tersebut, tapi pihak-pihak seperti pemerintah dan misionaris Kristen justru menentang karena menganggap Ekpo sebagai hal yang sangat imajinatif dan mengandung banyak kekerasan.

*

Jujur, artikel ini susah banget. Kosakata yang dipakai penulis nggak langsung mengarah ke artinya, tapi perlu dicocokkan lagi ke dalam konteks. Banyak istilah lokal yang pemaknaannya nggak disertakan di tulisan, jadi, saya harus mencari definisinya lewat mesin pencari di kanal lain. Literasi yang terkait dengan ritual Ekpo ini juga sedikit diteliti oleh ahli, padahal kalau mau browsing tentang topeng di Nigeria (khususnya pada masyarakat Annang) akan ada banyak sekali referensi gambar, tapi ya gitu, nggak ada penjelasan sosio-kulturnya. Pokoknya, untuk tipikal anak seperti saya –yang sebentar-sebentar suka bingungan– artikel ini jadi tantangan baru, tapi juga sekaligus menyusahkan, soalnya perlu waktu berhari-hari untuk menyelesaikan satu bacaan. Prosesnya pun nggak berjalan dengan lancar macam jalanan jakal pukul empat pagi, sekali duakali ketika saya coba garap di gelanggang dan beberapa tempat, saya sampai stress karena terdistrak banyak hal, rasa-rasanya susah sekali untuk fokus dan memahami isi bacaan, sampai semua orang yang saya temui selama satu pekan itu selalu saya banjiri dengan sambatan-sambatan soal artikel ini. Kenapa bisa sampai selebay itu? Begitu kali ya anggapan teman-teman? Saya saja nggak ngerti, kenapa cuma masalah artikel pusingnya kelimpungan nggak karuan. Tapi saya mengakui sih kalau minggu kemarin adalah minggu yang hectic bagi saya, kayak segala urusan di dunia ini tumpah dan ruah pada satu minggu itu,. Saya nggak punya cukup waktu untuk leren dan bernapas tenang, rasanya seperti diburu-buru sesuatu, mungkin kespanengan inilah yang kemudian menjalar ke urusan-urusan yang lain, termasuk bahan bacaan tentang ritual masking pada Annang performance ini.

Sampai artikel ini selesai dipresentasikan di kelas Kajian Transgresi Sosial kemarin siang pun, saya masih merasa ada beberapa hal yang belum saya mengerti soal ritus sakral tersebut. Ini lagi-lagi jadi bahan refleksi saya, betapa sebenarnya susah juga mencoba paham dan menyelami sistem kebudayaan kelompok lain, apalagi kalau tinjauan pustakanya pakai literatur-literatur asing dan punya sistem bahasanya sendiri yang kompleks. Artikel tadi mungkin cuma selebar daun kelor, soalnya scopenya masih bisa saya jamah dan saya diskusikan bersama teman dan dosen di kelas, tunggu saja sampai saya dapat literatur bahasa ibrani dan pakai aliran pemikiran partikularisme historis, evolusionisme klasik, materialism dialektik, etnosains, antropologi kognitif, strukturalishasyyyyyyyyy uopo wi. Makasih juga deh untuk Saras, Sekar, dan Galuh yang sudah jadi satu kelompok dan membedah-bedah artikel ini bersama di perpus antro, entah akan jadi apa kepingan pengetahuan saya soal Ekpo kalau nggak disatukan dengan kalian, hihi.

Kamis, November 16, 2017

Ah, sedih itu kan bukan hal yang buruk!

"orang merasa sedih itu bukan karena dirinya lemah, tapi karena dia sudah terlalu lama menjadi kuat."

perempuan paruh baya itu bicara sambil menepuk-nepuk punggung tanganku, mencoba menenangkan sekaligus membuat keadaanku lebih baik. dia menggeser cangkir hitam yang berisi penuh kopi ke hadapanku, sampai asapnya yang mengepul panas itu memapar ke wajahku.

"obat sedihmu?" perempuan itu menawarkan kopi tadi sambil tersenyum. ia duduk di depanku sambil melipat tangan di meja.

"makasih, bu." ujarku pelan sambil menyentuh gagang cangkir. hangat, dan bau kapal api.

dia juga menatapku hangat, lalu bicara sambil menyenderkan badannya ke kursi kayu yang ia duduki, "boleh sedih, tapi harus keren lho mbak."

aku tersenyum lebar sampai telinga mendengar ucapannya. betul juga, kenapa pula aku jadi semenyedihkan ini ketika sedang bersedih? kenapa terlihat begitu putus asa kalau sebenarnya aku pun masih bisa jadi srampangan dan berkoar-koar dengan kesedihanku ini? aku menyeruput isi cangkir perlahan, meresapinya diam-diam. ah, sedih itu kan bukan hal yang buruk!

Senin, November 13, 2017

bajingan

bajingan,
untuk beberapa hal yang menyesakkan

Senin, Oktober 30, 2017

Mengkritisi Seni Rupa lewat Pertunjukan Teater ‘Gambar Kecu’

    Jam setengah delapan lebih beberapa menit ketika saya dan Pije memadati pelataran PKKH yang malam itu sudah disesaki banyak orang. Untung belum mulai, ujar saya lega setelah melihat panggung pertunjukan yang masih melompong meski penonton sudah siap sedia di tempatnya masing-masing. Ada sebuah tonil yang dipasang menyerupai backdrop dan sepertinya dijadikan properti utama, tonil tersebut (yang mirip hasil lukisan manual) dipakai untuk memberikan suasana setting latar dan tempat pada sebuah lakon. Di atasnya, tertulis ‘Kelompok Sedhut Senut’, sebuah name tag untuk mengenalkan identitas pelaku pertunjukan kepada publik.

    Selang beberapa menit kemudian, seorang perempuan berkebaya memasuki panggung dan memulai pertunjukan dengan menjadi biduan. Dia menyanyikan lagu dangdut era kini dari grup musik hip hop campur dangdut bernama NDX –kalau saya nggak keliru. Sambil menikmati lelaguan, saya bisa menebak kalau konsep pertunjukan ini sepertinya akan diusung dengan sangat santai.

    Pertunjukan teater yang diberi judul “Gambar Kecu” tersebut disutradarai oleh Ibnu Gundul Widodo dan naskah yang ditulis oleh Elyandra Widharta. “Gambar Kecu” adalah upaya Kelompok Sedhut Senut membaca persoalan relasi antara seniman dan artisan di dunia seni rupa. Gagasan ini rupanya juga berkorelasi dengan salah satu tema yang dicetuskan oleh Festival Arsip (19 Sept-1 Okt) tentang wacana seputar praktik komodifikasi seni, dan mengenai apa yang sering disebut sebagai praktik pemalsuan lukisan.

    Pertunjukan dengan konsep sandiwara berbahasa Jawa ini bermula dari penampilan Mbah Gun, pelukis senior dan seorang guru seni rupa, dan istrinya yang tengah mengangkati jemuran di pelataran rumah. Istri Mbah Gun lalu sambat mengenai kondisi ekonomi mereka yang selalu melarat. Istri Mbah Gun bahkan meminta Mbah Gun untuk menjual lukisan-lukisan yang dikoleksinya, tetapi Mbah Gun dengan idealismenya menolak hal itu, Mbah Gun menganggap seni rupa yang dilakoninya bukan hanya sekadar persoalan materi, lebih dari itu, Mbah Gun menekankan nilai-nilai estetika dan ‘ruh’ kesenian itu sendiri. Istri Mbah Gun sampai kesal sendiri bicara pada suaminya, sebaliknya, Mbah Gun malah menuduh kalau istrinya itu tidak paham soal seni.

    Selain itu, ada pula tokoh Juragan Ngabdul, seniman lukis kondang dan kaya raya yang dulunya merupakan bekas murid Mbah Gun. Ngabdul juga membawahi beberapa artisan, satu di antaranya adalah Sugeng, yang telah berhenti dan beralih profesi menjadi tukang parkir karena merasa mendapat kekangan selama menjadi murid Juragan Ngabdul. Sugeng digambarkan sebagai laki-laki yang berpendirian dan idealismenya kuat, kehidupan yang bisa dibilang mapan karena menjadi artisan Juragan rela dia tinggalkan karena Sugeng tidak mendapatkan kemerdekaannya di sana, Sugeng tidak pernah bebas ketika melukis, selalu ada sekat-sekat dan intervensi dari Juragan ketika dia melukis. Baginya, menjadi artisan Juragan Ngabdul sama saja seperti menjadi babunya.

    Artisan yang lain adalah Jarno, yang justru masih setia kepada Juragan Ngabdul meskipun dirinya menyadari bahwa Juragannya itu kadang cukup pelit dalam hal memberikan upah. Konflik perlahan muncul ketika Yatmi, pembantu Juragan Ngabdul, berusaha menembak (dalam konteks asmara) Jarno, namun ditolak karena Jarno sudah menganggap Yatmi seperti adiknya sendiri. Jarno kemudian mengaku bahwa dirinya telah menyukai Retno, yang merupakan pacar Sugeng. Sugeng yang mencuri dengar kabar tersebut dari warung Bu Darmi (yang merupakan muara dari berbagai rerasanan antar tokoh) tidak terima dengan hal itu. Sugeng lalu mendatangi Jarno dan mengajaknya berkelahi. Yatmi, yang juga dirundung cemburu dan kemarahan akibat ditolak, kemudian merencanakan niat jahat bersama Sugeng. Mereka ingin memalsukan lukisan Nyai Roro Kidul milik Juragan Ngabdul yang akan dipamerkan di luar negeri, lalu menjualnya kepada makelar yang akan dijualnya kembali pada seseorang dengan harga selangit.

    Di tengah kepelikan tersebut, Yatmi kemudian menuduh Jarno sebagai tersangkanya. Juragan Ngabdul semakin pusing dan hal itu memperparah keadaan tubuhnya yang sedang sakit-sakitan. Di situasi sekarat karena tidak mampu lagi menahan derita, Yatmi berlutut di depan Juragan dan mengakui kesalahannya sambil menangis. Juragan yang sudah kecewa dengan kasus pemalsuan lukisannya, ditambah sakit keras yang dialami dan pengkhianatan pembantunya itu akhirnya meninggal dunia. Mbah Gun dan istrinya yang saat itu datang ke tempat Juragan Ngabdul untuk menjadi dalang pertunjukan di pembukaan pameran pun kalut karena Juragan meninggal dan projeknya gagal.

    Pemain yang berperan dalam pertunjukan ini adalah Gundul, Nurul, Elyandra, Kukuh, Ninit, Nanik, Wawan, Haryo, Dafa, Joko, dan Teteh. Durasi yang dimainkan juga lumayan lama, yakni sekitar dua jam, tapi kok saya sama sekali nggak merasa bosan ya? Tebakan saya kalau pertunjukan ini akan diusung dengan santai ternyata betul juga. Alur cerita lakon ini bagus, semua tokoh mampu merepresentasikan karakternya sehingga konstruksi cerita bisa dibangun secara utuh, dan saya rasa, mereka telah menyampaikan lakon dengan baik. Satu hal lagi yang saya sukai dari pertunjukan yang dihelat untuk menutup rangkaian agenda di Festival Arsip ini adalah; bumbu-bumbu humor yang berlimpah tapi disajikan dengan porsi yang pas. Entah sudah berapa ribu kali saya dan penonton lain tertawa sampai pingin menangis ketika melihat adegan Mbah Gun dengan istrinya, Jarno dengan Yatmi, Sugeng dan Retno, percakapan-percakapan di warung Bu Darmi dan tokoh anak kecil yang juga menghibur (kabarnya dia sudah bermain lakon sejak umur tujuh tahun), serta beberapa adegan lain yang secara terangan-terangan mencoba satir terhadap kondisi hidup saat ini. Gambar Kecu menjadi ajang kritik sosial terhadap berbagai hal jelek di dunia; kesombongan, kebobrokan, kecurangan, dengki dan iri hati, kepalsuan, ambisi berlebih, kecacatan, keluh kesah, dan sejawatnya. Menyadari saya dan penonton lain tertawa sangat keras, rasanya seperti sedang menertawakan diri sendiri yang tak ayal juga dipenuhi hal-hal jelek tadi. Dari segi penokohan dan jalan cerita, saya sangat menikmati dari awal pengadegan hingga babak terakhir selesai. Permainannya halus, ada cacat sedikit langsung bisa diimprov.

    Setting propertinya sendiri sederhana dan realis. Tonil yang dipasang di belakang itu dipakai untuk mengganti latar tempat ketika cerita berganti ke babak selanjutnya, caranya adalah dengan menarik tali tonil di sisi panggung. Kendala mungkin terjadi di bagian teknis, di mana tali kerekan itu sempat macet sehingga kain tonil berlukiskan tempat-tempat tertentu tadi tidak bisa dibentangkan sempurna.

    Tata lampu yang digunakan juga oke, yakni halogen kuning redup dengan komposisi warnanya yang senada. Lampu-lampu tersebut diletakkan di atas tiang (atau apa ya namanya? Saya nggak tahu tapi pemasangan lampu teater ini keren juga, saya jadi bertanya-tanya bagaimana cara kerjanya) dan menyerong menghadap kanan-kiri panggung. Latar musik yang dipakai untuk mengiringi pertunjukan ini berupa tabuhan tradisional Jawa seperti gamelan (tapi nggak seperangkat, hanya kendang-kendangan, suling, dan sepertinya saron?), ada penyanyi sindennya juga kalau enggak salah. Konsepnya jadi mirip ketoprak Jawa gitu, ya?

    Oh ya, sekadar membagi pengetahuan, Kelompok Sedhut Senut merupakan grup teater atau sandiwara, yang menggunakan bahasa Jawa sebagai media komunikasi atau dialognya, dan sering melakukan aktivitas pentas keliling dari kampung ke kampung. Kelompok Sedhut Senut tersebut, merupakan nama baru dari grup lama Komunitas Sego Gurih. Kelompok ini selalu mencoba menghadirkan suasana baru dalam setiap pementasannya dengan menghindari jenis panggung konvensional dan menggunakan tonil sebagai properti utamanya. Dan sungguh, sehabis menonton pertunjukan mereka, rasanya saya lega sekali, seperti habis menimba banyak pengalaman baik. Gambar Kecu memberikan saya pemahaman soal hidup dan substansi di dalamnya, yang kemudian menjadi bahan reflektif dan kontemplasi saya sendiri.

    Wangun, mas, mbak! Kapan-kapan saya mau lihat kalian manggung lagi!


mengambil gambar setelah pertunjukan selesai, duh, habisnya pas masih main, saya serius nonton e jadi nggak sempat foto-foto. nda papa lah ya...

Jumat, Oktober 27, 2017

Greweng dan Perayaan Orang Hilang


Sebelum ingatan saya soal Greweng yang baik memudar, mari kita bicarakan hal ini sebentar.

Beberapa minggu yang amat lalu, hari kamis sore, setelah mendengar bahwa kelas industri kreatifnya mas made libur, saya langsung mengepak beberapa kaos dan celana, sandal japit, perlengkapan mandi, kerudung paris, air minum literan tiga botol, kain-kain panjang dan hangat, serta printilan-printilan lain ke dalam ransel, lalu mengendarai motor menuju Janabadra untuk bertemu dengan teman-teman. Kami, orang-orang yang sedang merasakan krisis ketenangan, telah merencanakan perjalanan spiritual paling dinanti-nanti; menuju Gunungkidul, membangun tenda di dekat pantai, hidup santai sejenak sambil menghirup udara-udara yang masih enak.

Ide bagus. Kapan lagi saya bisa kabur dari sesaknya kota Jogja? Sudah lama juga saya nggak menjalankan ritual tiap akhir pekan saya untuk beribadah menyusuri alam semesta. Sudah lama sekali saya terus-terusan berkutat dengan hidup-hidup yang terkonstruksi tanpa membebaskan diri saya sendiri untuk mengambil jeda. Lalu berkat doa-doa baik yang mewujud, saya kemudian memutuskan untuk leren! Saya mau istirahat dan saya nggak mau diganggu orang-orang.

"Saya mohon, sampai akhir minggu saja." setidaknya begitu, saya bicara sendiri ketika melewati gang-gang berkelok di belakang PKBI.

Lalu sehabis ashar menguar dan matahari mulai menghangat, saya bersama kak galuh, kak aan, kak yuga, dan kak rara kemudian siap untuk melaju menuju arah selatan Jogja, arah paling selatan, menuju batas antara daratan dan perairan laut. Saya berdebar-debar sendiri memikirkan bagaimana rasanya ketika saya menyentuh mereka nanti. Laut adalah satu dari sekian banyak hal di alam ini yang membuat saya merinding. Tidak pernah tidak.

Langit sudah gelap ketika kami semua sampai di desa Jepitu, Gunungkidul. Motor-motor yang kami kendarai kemudian kami parkirkan di sebuah warung yang pada sekitar pukul tujuh itu masih menyala di antara warung-warung lain yang sudah tutupan. "Sedang ada wayangan di balai desa." kata bapak penjaga parkir ketika saya tanyai. Sambil mencekal senter, beliau lalu mengantar kami menuju jalan kecil yang akan kami lalui untuk menuju Greweng, kemudian melepaskan kami setelah menjelaskan rute singkatnya.

Kami melewati setapak-setapak di pinggir pematang sawah yang berbatu dan sedikit terjal, melewati lahan-lahan kebun dan kandang ternak milik warga. Tidak ada penerangan apapun selama kami berjalan, bahkan malam pun jadi ikut-ikutan gelap total karena bulan dan bintang sama sekali nggak terlihat —langit mendung kalau kata orang—, sehingga kami harus membuat penerangan sendiri dengan menyalakan senter di ponsel masing-masing. Udara saat itu juga untungnya terasa sangat enak, kami jadi nggak kelelahan karena harus menempuh jarak satu kilo dengan berjalan kaki, sementara di sana berlimpah udara-udara baik yang ketika dihirup langsung menciptakan perasaan tenang!

Malahan, anjing pedesaan yang sewaktu di parkiran tadi hanya glesoran di lantai semen juga mengikuti kami sekaligus jadi teman berjalan. Dia mengendus-ngendus di sisi rerumputan sambil berlagak mengarahkan kami. Begitu kaki kami memijak pasir-pasir pantai dan mulai terdengar debur ombak yang sayup-sayup, anjing tadi kemudian berhenti sebentar lalu berbalik dan pergi entah ke mana, mungkin kembali ke lantai semen yang dipakainya untuk berbaring tadi. Kami melanjutkan langkah dan mendekati bibir pantai dengan perasaan lega, akhirnya sampai. Saya mendesah senang sekali sambil melepaskan sepatu, mengganti alas kaki saya dengan pasir pantai yang lembut dan hangat. Uh, saya merinding lagi diterpa hawa dingin pukul delapan malam.

Beberapa dari kami kemudian mendirikan tenda di dekat rimbunan pohon pandan laut. Saya yang sama sekali nggak punya kecakapan apapun soal aktivitas camping akhirnya cuma bisa menyalakan senter dan menerangi mereka, sebuah upaya alias supaya mereka nggak salah menancapkan atau melukai sesuatu. Setelah tenda berdiri, giliran saya untuk unjuk kecakapan saya yang lain; masak mi pakai kompor lapangan, campur kornet segar, dan butiran-butiran pasir yang kehadirannya tak ayal lagi —merupakan keniscayaan dan tak bisa ditampik—.

Selesai mengurus perihal perut, kami lalu membenahi tas-tas dan barang bawaan ke dalam tenda. Saya mengambil kain panjang untuk membalut tubuh saya sendiri. Lalu berbaring di atas pasir dan  bergabung bersama teman-teman, mengobrol banyak hal, percakapan-percakapan yang boleh dan tidak boleh, serta beberapa di antaranya yang cukup tabu, tapi bukan berarti dilarang, bukan?

Malam itu saya terjaga sampai pukul sebelas malam, kira-kira, karena ponsel saya sudah dalam keadaan mati. Saat itu saya sama sekali nggak mau menyalakan perangkat elektronik apapun, saya nggak mau nantinya momen ritus saya tersentuh intervensi dari hal-hal duniawi, malas banget. Orang-orang mungkin nggak tahu betapa sebenarnya saya ingin sekali leren dan bernapas pelan-pelan menyusuri hidup, betapa sebenarnya saya muak sekali diganggu dan dipaksa untuk bekerja dengan sistem. Saya ingin begini saja, dijalari perasaan-perasaan tenang dan senyap, merinding dan berdebar-debar, wujud-wujud kontemplasi yang nggak bisa saya dapatkan di sembarang tempat.

“Kalau besok saya dilahirkan kembali, saya mau minta dilahirkan sebagai malam saja deh.” bisik saya parau sambil mengubur telapak kaki di kedalaman pasir. Kalut sekaligus sebal.

Saya mengalihkan perhatian menuju arah laut yang dihempas angin dan berbunyi debur lirih. Udara jadi semakin dingin, saya merekatkan balutan kain dan terbengong seorang diri, satu hal karena saya lupa membawa sleeping bag, hal lain karena urusan-urusan memuakkan. Teman-teman saya masih bicara macam-macam, obrolan mereka entah sudah terbang ke mana, tapi saya mulai disergap kantuk sekaligus perasaan ingin melamun. Padahal kalau sedang di jogja, jam-jam itu adalah jamnya saya masih menggerayangi jalanan dan orang-orang kota, orang-orang proyek.

Saya kemudian beranjak menjauhi teman-teman, menghampiri hammock yang tadi dipasang di dekat tenda dan menaruh tubuh reyot saya di atasnya. Kain yang saya pakai lalu saya ulurkan sehingga seluruh tubuh saya tertutup. Sambil menggigil karena dirasuk hawa dingin, saya mulai memperhatikan langit malam yang mendung (cuma ada bulan yang terlihat samar-samar) dan mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati lingkungan saya tinggal. Kak aan dan kak yuga lalu mencari ranting pohon dan kayu-kayu bekas untuk dibakar menjadi unggun, saya nggak bantu apa-apa meskipun sebenarnya saya butuh sekali perapian untuk menghangatkan diri. Saya juga nggak mengerti kenapa selalu seperti ini, kenapa saya kedinginan tapi malah nggak beranjak ke mana-mana. Habis itu saya malah melamun mencari-cari jawabannya, sementara teman-teman yang tadi menyulut api sudah capek duluan karena kayu-kayu yang mereka kumpulkan dalam kondisi basah dan angin malam terus-terusan meniup usaha mereka untuk membuat api unggun. Saya tertidur di hammock sambil mendengarkan binatang-binatang aneh berbunyi brisik, sementara teman-teman yang lain entah, beberapa dari mereka mungkin malah sudah terlelap di atas pasir tadi. Beralas dan beratap semesta alam raya.

*

Jam-jam subuh, saya sudah sadar kembali dalam keadaan tersentak, nggak tahu karena apa. Udara sudah nggak begitu dingin tapi air laut malah terlihat semakin menjauh. Saya memicingkan mata untuk mencermati, kali saja pandangan saya yang kabur, tapi ternyata benar, sepertinya memang sedang surut. Saya lalu menyingkap kain, berjalan mendekati bibir pantai, lalu menyentuh permukaan air di sela-sela karang yang terlihat dari tepi dengan kaki telanjang saya.

Hangat, sekaligus dingin.

Uh, lagi-lagi saya merinding karena hal-hal semacam ini.

Saya nggak berniat untuk menceburkan diri saya ke dalamnya atau paling nggak membuat kaki saya basah, sehabis itu, saya justru kembali ke tenda, memasak makanan apa saja yang bisa dimakan, lalu kembali ke bibir pantai dan duduk di depannya. Menikmati sarapan di jagat kosmos penuh ketenangan, sambil menyaksikan langit yang menyongsong dirinya sendiri menuju pagi hari. Saya nggak bisa lihat matahari terbit karena Greweng ini dipeluk dua bukit tinggi di kanan kiri yang menghalangi datangnya sinar surya itu. Tep wangun sih pokoke.

Habis itu aktivitas kami sampai siang adalah layah-leyeh. Kami sama sekali terputus dari koneksi dunia digital. Segala jenis perangkat modern kami lenyapkan dan sebagai gantinya, kami menghilangkan diri di dataran Greweng ini. Saya mengucap syukur berkali-kali lipat karena bisa menghindari hiruk-pikuk kehidupan dan menolak dihubungi orang-orang, andai bisa seperti ini terus, seolah-olah kami jadi penduduk lokal Greweng betulan.

Terimakasih hidup, terimakasih hidup, saya mengulang kata-kata yang sama sampai posisi matahari tepat di atas kepala. Setelah itu cuma tidur-tiduran, membakar singkong, bermain pasir, mengobrol, melinting rokok, tidur lagi, sampai stok makanan habis dan kami kebingungan mencari cara untuk survive (setelah semua tanaman di sekitar tenda kami jadikan eksperimental pangan). Sore harinya, kami pun berkemas dan memutuskan untuk pulang. Nggak baik hilang lama-lama, saya mengangguk-ngangguk setuju meskipun dalam hati agak berat juga untuk melepaskan Greweng yang memabukkan.

Kami lalu pulang membawa energi baik sekaligus perasaan sedih. Lama saya menatap Greweng yang pada sore itu air lautnya sudah kembali naik. Kapan-kapan, saya mau berkunjung ke sini lagi untuk menikmati kesenyapan sekaligus jadi ajang perayaan orang hilang. Sambil mencekal satu kresek besar isi sampah milik kami, saya melambaikan tangan pada dataran Greweng kemudian meninggalkannya dengan mengheningkan cipta. Dengan seluruh angkasa raya memuji

Selesai.

*

p.s: sampai jogja saya langsung pusing lagi!!! ponsel saya menyala dan setelah itu saya langsung digilas habis-habisan oleh orang-orang. saya dimarahi, beberapa menelpon tapi nggak terjawab, dan pesan-pesan yang masuk ke aplikasi chatting saya ada banyak sekali! sampai teler saya lihatnya. betapa saya ingin berubah jadi tumbuhan saja kalau begini, jadi pohon jeruk atau bunga kamboja kuburan juga nggak apa-apa.

surut, seperti yang sudah saya bilang

ngopi dan ngelinting

Greweng dan hal-hal yang enggak masuk akal

ngalamun