Sabtu, Juni 17, 2017

Tujuh Hal; Bicara yang Baik-Baik

Saya dulu pernah berdoa, “Tuhan, kapan-kapan ijinkan saya untuk hidup di Jogja.” lalu saya betulan ke sana dan tinggal di Caturtunggal kecamatan Depok. Saya juga dulu pernah berdoa, “Tuhan, kalau cocok waktunya nanti, ijinkan saya belajar antropologi di sana.” lalu Tuhan betulan kasih jurusan tersebut dan saya sungguh-sungguh jadi anak antro. Betapa Tuhan sangat murah hati menjadikan alam raya Jogja seperti sesak oleh kebaikan-kebaikan.

Kebaikan-kebaikan.

Ramadhan di Jogja pun dilalui dengan menjalankan ibadah UAS, hal yang konkrit untuk mengakhiri tetek-bengek kuliah semester empat. Saya nggak cukup semangat untuk menjelaskan prosesi itu, tentang bagaimana saya lembur tiap malam sampai sahur untuk bikin paper, ke sana-sini cari tinjauan pustaka untuk bahan artikel (dan ketakutan baca jurnal akibat topik paper adalah tentang hantu), baru tidur sehabis subuh dan kelabakan pukul sepuluh pagi karena harus ke ruang ujian, ya apalagi kalau bukan soal itu-itu terus, kalian saja bosan dengarnya, lah gimana saya yang ngejalanin?

Lalu terbayang masa tua…

Bagaimana dengan ide bersantai bersama cucu-cucu, merajut di teras rumah sambil mendengarkan lagu-lagu keroncong? Atau mencari danau-duduk di tepian-memberi makan kucing ketika akhir pekan, lalu menanam jeruk di sepetak lahan kecil belakang rumah ketika sore hari, sisanya membuat kue dan mengundang tetangga-tetangga untuk mampir dan mencicipi?

Tapi belum tahu juga sih, mungkin tua nanti saya masih melakukan proyek penelitian di komunitas pedalaman tertentu, hidup berbulan-bulan bersama penduduk lokal di sana, tidak merayakan lebaran bersama, tidak ada perayaan ulang tahun, tidak mengenal malam tahun baruan, tidak menyentuh sinyal seluler dan alat elektronik (kecuali mungkin perekam suara dan radio antena) serta tinggal sangat jauuuuuuuuuuuuuuuuuuuh dari tempat keluarga berada.

Menarik...

Ketika Jogja sungguhan jadi alam raya yang baik, dan datang bulan Ramadhan yang penuh kebaikan, rasa-rasanya selama hidup itu saya nggak perlu deh bersedih-sedih dan menjadi murung. Tagline hidup saya ‘jangan lupa bersedih’ kemudian saya pause sejenak, buat kapan-kapan lagi saja, pikir saya habis itu. Soalnya sayang sekali kalau dua kombinasi kebaikan itu enggak saya hayati dan resapi baik-baik. Jadi selama awal Ramadhan saya di Jogja, saya baptiskan diri untuk terus hidup dengan hal-hal baik, apapun itu, meski sebenarnya kening saya sedang minta terus-terusan dipijat karena pusing kepala sebelah, hahaha.

Apa salah bersama malam dan menolak pagi?

Yang pertama adalah saya jadi sering bersentuhan dengan dini hari, mulai pukul dua belas malam hingga adzan subuh menggema. Penyebab satu adalah UAS, penyebab dua adalah saya kadang-kadang nggak suka suasana sepi di kostan, jadinya saya selalu mencari orang dan keramaian untuk mengobati diri, dan gelanggang adalah ke mana saya kemudian parkir motor. Teman-teman TGM (Teater Gadjah Mada) khususnya, seperti mematri jiwa mereka pada pondasi-pondasi, semen dan lantai ubin, langit-langit, hall teater, asbak rokok, komputer berpentium dan pes player, koneksi wifi ugm yang menakjubkan, dan obrolan-obrolan liar yang menyimpang, tapi selalu membuat hati kami kenyang. Menjelang malam mereka selalu hadir bersama jiwa-jiwa tadi dan hidup bersama semalam suntuk sampai udara berubah jadi dingin pukul tiga, lalu mencari makan sahur di jalan-jalan kaliurang dini hari yang ramai, dan kembali pada dunia mereka yang sebenarnya (kost-kostan) ketika imsak. TGM menjadi lengang ketika matahari pagi bersinar dan akan padat merayap lagi menjelang malam. Dan di sana, saya nggak perlu mengkhawatirkan soal perasaan sepi yang suka pelan-pelan mengendap di sanubari.

Hal kedua adalah saya juga mulai rutin konsumsi jamu, meski nggak serutin setiap hari, sih, tapi paling enggak selama Ramadhan di Jogja ini saya sudah minum beras kencur beberapa kali (langganan di raminten dan tukang jamu keliling di dekat pasar), temulawak meski rasanya enggak enak, sedikit jahe, dan sedikit kunir asem. Mungkin kapan-kapan saya perlu mencoba jamu dengan bahan tanaman lain, atau meracik sendiri jamu yang tinggal diseduh menggunakan air panas –soalnya ibu di rumah punya jamu rebus berupa dedaunan kering dan beberapa tanaman jamu. Jamu adalah minuman yang baik, ia tidak jahat, sebab khasiatnya sangat menyembuhkan. Dan menenangkan kalau teman-teman mau coba.

Hal ketiga adalah saya masih menyempatkan diri untuk datang ke pameran seni dari skala kecil seperti di Bentara sampai sebesar Art Jog yang temanya saja pakai bahasa Inggris –Changing Perspective, dengan harga tiket yang naik drastis dari tahun kemarin, yakni lima puluh ribu rupiah, bonus tiga ribu untuk parkir sepeda motor dan dua puluh ribu lima ratus untuk mengisi tangki bensin sampai penuh –soalnya lokasi Art Jog ada di JNM (Jogja National Museum) yang lumayan jauh dari Jakal tempat saya hidup. Seenggaknya dengan saya mengunjungi art exhibition macam-macam di Jogja, saya jadi bisa melek soal seni dan belajar memahami mereka. Syukur-syukur paham, tahu artwork-nya saja sudah bagus banget, apalagi kalau bisa sekalian berefleksi, ya tho.

Hal keempat adalah mencari menu buka puasa gratisan. Dan memelihara kekaguman tentang berapa total banyak rupiah yang dikeluarkan untuk membiayai persoalan gratisan ini. Takjil, makanan berat, belum lagi kalau lauknya adalah daging sapi yang harga sekilonya di pasar saja mencapai seratus sepuluh ribu (sekarang naik enggak sih?), ditambah kalau jumlah jamaahnya mencapai ratusan seperti di Masjid Jogokariyan daerah Krapyak. Kemarin-kemarin saya sempat ke sana bersama salah satu teman antro menjelang adzan maghrib untuk ikut menyantap menu buka gratisan. Dari jalan depan pelataran masjid saja, orang-orang sudah berbondong-bondong menggelar tikar dan menyanding piring serta gelas berisi, belum lagi yang berada di dalam masjid, di depan halaman masjid, dan di depan rumah-rumah warga sekitar masjid. Saya nggak bisa membayangkan ada berapa banyak kebaikan yang menyalur dari satu orang ke satu orang yang lain lewat piring dan gelas-gelas. Apalagi saat itu ketika saya menengok lauknya, adalah ayam broooooo yang disandingkan, dan lumayan banyak untuk ukuran menu buka puasa. Piring-piring serta gelas-gelas itu juga terus berdatangan seiring diambil satu per satu oleh orang-orang di sana. Masya Allah! Ada berapa ayam yang dipotong ya? Siapa yang nanti mencuci piring gelas bekas kami makan? Tuhan, tolong lingkupi masjid itu dan orang-orang di dalamnya dengan kebaikan selalu. Baik banget mau bantu perut saya kenyang dengan modal nol rupiah alias gretong. Mahasiswa memang hidupnya enak terus!

Hal kelima, salah satu favorit saya; saya sudah mulai merajut! Senang! Meski baru belajar dan jemari saya masih canggung untuk menyentuh jarum dan benang secara bersamaan, seenggaknya saya betulan melakukan hal ini –merajut dan membuat sesuatu, seni kerajinan yang sebenarnya saya idam-idamkan dari bulan-bulan lalu tapi baru terealisasi di Ramadhan yang baik ini. Saya belajar merajut di Poyeng Shop di daerah Palagan dekat Monjali dan bertandang ke sana saat sore hari sampai jelang waktu berbuka.

Hal keenam adalah, saya akhirnya bisa menyaksikan beberapa pertunjukan musik oleh musisi lokalan, yang namanya jarang disebut-sebut di televisi dan mungkin teman-teman juga nggak pernah mendengar, tapi lagu-lagu mereka syahdu dan menenangkan, dekat dengan hidup sehari-hari tanpa sesuatu yang dilebih-lebihkan. Di antaranya adalah Mbak Lani dari Frau (alumniku di antro wkwk) dan Sekar Sari (seniman cantik Jogja yang sepertinya bisa ngapa-ngapain; main film, teater, menari, nyanyi) yang waktu itu manggung secara sukarela alias kami datang dengan tidak membayar apa-apa di Rumah Budaya Siliran dekat Alun-Alun Kidul, lalu tiba-tiba kaget karena ada Mas Danto dari Sisir Tanah juga yang kemudian diminta untuk menyanyi, berduet dengan Mbak Lani dan membawakan Lagu Bahagia, lagu yang beneran bikin saya bahagia. 

Nyanyikanlah harapan, perjuangkan tujuan, bahagia kehidupan, bahagia kehidupan, begitu liriknya.

Lalu besoknya saya menonton Jono Terbakar (yang jadi soundtrack artist untuk film Ziarah) membawakan tiga lagu dari albumnya Dunya Akherat. Pernah kau berlari, mengejar mimpi malam tadi? Berlalu sangat cepat, terasa sungguh singkat, tak terulang lagi… salah satu lagu yang disandingkan kepada kami, puitis dan sangat sederhana. Besoknya lagi, saya kembali menonton pertunjukan dari Sisir Tanah yang dilangsungkan di Teater Garasi daerah Ngestiharjo, Bantul. Senang langung merayapi perasaan saya, begitu saya diberi kesempatan baik untuk singgah ke sanggar Teater Garasi –salah satu kelompok teater wangun di Jogja, sekaligus menyaksikan Sisir Tanah, yang sangat saya amin-amini belakangan ini karena rindu mendengarkan lagu-lagu yang bisa bikin tenang, and Sisir Tanah did it. Lagu-lagu mereka mengajak pada banyak kebaikan, tentang seruan untuk mencintai alam, mencintai diri sendiri, mencintai kesedihan, mencintai kebahagiaan, untuk berjalan, untuk bertualang. Siapakah kita ini, manusia, yang dalam diam, riuh, rapuh, dan tak mampu… dan saya tenggelam mendengar nyanyian mereka, hanyut dan terombang-ambing di permukaan.

Bertahankah kita ini, manusia
Yang dalam diam riang, ringkih, rumit, dan terhimpit
Ada bahagia, tidak bahagia
Ada di sini ada di sana
Ditikam-tikam rasa


Saya sempat jadi diam dan termenung sesuatu. Belakangan ini saya tahu kalau saya sedang dihinggapi perasaan malas pulang ke rumah, saya enggan bertemu dengan banyak orang dan hanya ingin berjalan ke sana-sini sambil meresapi banyak kehidupan. Ibu beberapa kali bertanya, ‘kapan pulang, mbak?’ dan saya selalu jawab ‘nanti bu, masih ada acara di sini.’ dan terheran-heran sendiri. Pulang dan liburan di rumah adalah hal yang ditunggu oleh teman-teman setelah bergetih-getih jadi capek selama kuliah di kota orang, tapi hal itu enggak berlaku untuk saya, saya seperti orang bingung, terus berputar-putar dan menolak segala jenis kepulangan.

Dan itu bukan hal yang baik…

Sebab ibu barangkali menginginkan saya untuk pulang.

Lalu setelah khusyuk beribadah mendengarkan Sisir Tanah, saya lalu menerpa diri dengan angin malam satu kali lagi, kemudian menelpon Ibu dan membuat keputusan, ‘Bu, aku pulang besok, ya.’

Kebaikan terakhir yang akan saya bicarakan –sekaligus jadi hal ketujuh, adalah saya bisa berbuka puasa sekaligus santap sahur bersama Bapak dan Ibu di kota Jogja, hanya kami bertiga, tidak ada kakak dan tidak ada adik. Setelah kemarin saya membicarakan perihal pulang dengan Ibu, besoknya sehabis subuh mereka berdua berangkat dari rumah untuk menjemput saya, sekaligus mengangkut beberapa barang di sini yang harus dibawa pulang. Ketika Jogja sungguhan jadi alam raya yang baik, dan datang bulan Ramadhan yang penuh kebaikan, kemudian muncul Bapak dan Ibu orang-orang yang baik, rasa-rasanya selama hidup itu saya nggak perlu deh bersedih-sedih dan menjadi murung, kutip saya lagi, mengulangi perkataan di atas.

Seumpama sedih
Hidup memang tugas manusia
Jangan ada benar
Takkan pernah ada
Tempat yang sungguh merdeka
Seumpama lelah
Masih tersisa banyak waktu
Menjelmakan mimpi, menggerakan kawan, hadirkan perubahan
Menjelmakan mimpi, menggerakan kawan, mendatangkan damai
Seumpama suka
Kau ambillah jantungku saja
Di situ ada kepastian meski degupnya tergesa,
Tapi bukan untuk bercumbu
Bakar petamu jejak baru
Bakar petamu jejak baru
Bakar petamu jejak baru
Panjang umur keberanian, mati kau kecemasan dan ketakutan
Panjang umur keberanian, mati kau ketidakadilan dan penindasan
Panjang umur keberanian, mati kau keberanian yang dipaksakan
Panjang umur…
Semangat baik… (26x)


saya dan dini hari 

mas danto dan sisir tanah 

Art Jog, ini adalah salah satu karya seni favorit saya 

TGM dan hal-hal yang lengang, empat pagi 

merajut, belajar mengendalikan diri untuk misuh 


subuh dan perjalanan pulang

Senin, Juni 12, 2017

Merayakan Ziarah (sebuah catatan reflektif yang sangat panjang)

    Seperti sudah satu windu saya hilang dan nggak menulis apa-apa lagi, pukul setengah dua pagi ini saya akhirnya datang membawa jamuan berupa pengalaman hidup saya mengarungi Ziarah selama beberapa bulan ke belakang. Mungkin hal tsb juga jadi alasan kenapa saya jadi diam cukup lama dan berhenti bicara aneh-aneh di sini. Saya sempat pilek yang amat hebat, sampai kepala rasanya pingin dilepas saja dulu, sempat kacau dengan beberapa hidup karena terlalu tergopoh-gopoh memikul banyak hal, sempat berhenti di depan stasiun dan terbengong lama untuk membeli tiket pulang meski akhirnya cuma jadi bengong karena terbentur jam rapat, sempat jadi bison selama semalam dan menolak segala bentuk kehidupan, tapi hamima tetap lah hamima, seenggaknya perempuan itu masih hapal jalan menuju pulang dan sisa-sisa perasaan jadi orang baik, akhirnya dia cuma bisa mengulum permen karet dan minum air es untuk mendinginkan kepalanya. Siap bernapas dengan oke lagi, toh hidup itu sebenarnya enak-enak saja kok.

    Satu bulan yang lalu, saya meng-attach CV saya menuju email film Ziarah yang saat itu sedang membuka lowongan internship untuk mencari tim distribusi film. Jujur, sesungguhnya saya belum pernah sama sekali menonton film besutan sutradara BW Purba Negara itu. Saya juga ketinggalan pemutaran Ziarah di festival film JAFF karena enggak kebagian seat, saking ramainya antusias penonton. Tapi saya sudah niat sekali ingin melamar ke sana dan punya keyakinan kalau Ziarah pasti akan membuat saya merinding. Tokoh utama film itu adalah Ponco Sutiyem, perempuan tua usia 95 tahun. Kabarnya, Mbah Ponco ini bukanlah seorang aktris atau pemain teater, beliau hanya petani dan penduduk asli Pagerjurang, Gunungkidul. Selain itu, saya sebenarnya juga punya kekaguman sendiri dengan nenek-nenek, siapapun mereka. Saya suka aura para lansia, kadang mereka punya karakter yang menghanyutkan meski cuma bertatapan sejenak. Mereka seperti punya magis yang bisa menarik saya untuk menjabat tangan rentanya serta berbicara banyak hal. Dan hal itu kemudian mengantarkan saya pada Ziarah, film alternatif yang membuat saya terbelalak ketika tahu dia akan dirilis ke bioskop pada tanggal 18 Mei 2017.

    Beberapa hari kemudian, saya dipanggil untuk interview di sanggar Ziarah, tempat para tim di balik layar bekerja dan menyalurkan energinya untuk Ziarah. Anak bawang dan bau kencur seperti saya ini kemudian berkunjung ke sana selepas ashar, membawa perasaan gugup dan cemas akan beberapa hal seperti takut salah bicara atau tiba-tiba jatuh tersandung kaki sendiri. Saya lalu bertemu dengan Mbak Ridla, co produser Ziarah yang pembawaannya sungguh ramah dan santai, membuat saya akhirnya ketularan jadi tenang, nggak berdegap-degup seperti sebelumnya.

    Mbak Ridla cerita banyak soal Ziarah, meski hanya di permukaan. Dia juga menambahkan beberapa hal tentang internship di Ziarah yang akan saya dan kawan-kawan lain jalani kurang lebih beberapa bulan ke depan. Soal para manusia yang bergotong-royong secara militan dalam proses Ziarah, mulai dari produksi hingga sampai pada tahap distribusi film ke bioskop. Semua yang terlibat di dalamnya sungguhan mencurahkan energi dan cintanya untuk Ziarah. Dari film alternatif yang hanya discreeningkan pada layar-layar tertentu dan terbatas, keluar masuk festival film dalam dan luar negeri sampai menyabet banyak penghargaan, hingga akhirnya bisa dinikmati di dalam ruang bioskop yang lebih popular.

    Lalu diijinkanlah saya jadi bagian mereka, menyublim jadi anak magang Ziarah yang mengurus promosi dan marketing film lewat sosial media. Saya nggak mengira ini akan mudah karena ketika saya menganggap ini mudah, justru bukan mudah betulan yang terjadi, kemungkinan besar adalah saya akan menyepelekannya. Jadi kemudian saya mendoktrin pikiran kalau ini akan jadi sangat menyenangkan, sehingga saya bisa merasakan perasaan senang betulan ketika menjalaninya, sebab senang diyakini dapat mengantarkan pada hal-hal yang baik. Saya juga enggak mungkin akan tenggelam ke dalam Ziarah kalau saya sendiri enggak menyukai hal-hal di dalam Ziarah, soal simbah-simbah yang saya kagumi dan bau-bau perfilman yang sedari kecil saya amini.

    Di Ziarah rasanya seru sekali. Saya dapat banyak pengalaman soal distribusi film dan hal-hal seputar bioskop, kalau ternyata lama enggaknya sebuah film tayang di bioskop itu ditentukan oleh penonton, apakah jumlah mereka memenuhi seat studio atau enggak, hal yang sebelumnya blasssssss nggak pernah saya ketahui (karena tahunya cuma antri tiket dan nonton doang). Kenal teman-teman dari Jogja belahan mana-mana yang ternyata juga temannya teman kita. Mas mbak produser yang ternyata juga mengurus publicist film lain kayak Filosofi Kopi dan Bukaan 8, mas mbak kru lain yang ternyata juga panitia dan orang-orang di belakang festival film jogja kayak JAFF, FFD, FKY, dan festival-festival di luar kota, serta masih banyak hal lain yang membuat saya sedikit-sedikit ber “hah? sumpah?” karena saking kagetnya mengetahui fakta baru.

    Sanggar Ziarah sendiri lokasinya berada di kampung Minggiran, Jogja bagian utara daerah Jalan Bantul. Setiap selesai maghrib, saya dan teman-teman magang lain berkumpul di sana, duduk di meja bundar berhadap-hadapan, membuka laptop dan tenggelam pada pekerjaan kami masing-masing. Saya menyiapkan rencana konten dan revisi untuk sosial media berkali-kali dengan Mas Bagus yang juga co produser Ziarah. Teman-teman content writer sibuk mengirim pers rilis kepada ratusan media partner lewat email satu per-satu. Partnership sibuk mengurus merchandise dan tetek bengek penjualan, serta harus sabar dihubungi dan menghubungi banyak media partner untuk jadwal interview, airing radio, diskusi film, dan lain-lain. Bagian activation mengawal jalannya gala premier Ziarah di Gunungkidul bersama warga setempat. Distributor sibuk mondar-mandir mengirim DCP film ke berbagai bioskop dan memastikan semua hal terpasang oke (poster film di display bioskop, trailer film sebelum pemutaran regular, dsb). Desainer dan editor mendapat banyak orderan untuk membuat poster, rilis nobar, video testimoni, dddddsssbbbbb. Serta masih banyak lagi pekerjaan teman-teman di Ziarah dari hal besar seperti live streaming Mbah Ponco bersama stasiun-stasiun tv sampai sedetil menempel poster film di tembok-tembok perempatan lampu bangjo, hahaha. Hal-hal di atas kami lakukan bersama-sama, sampai suntuk pukul dua belas malam, lalu beramai-ramai memesan makanan karena kelaparan, dan baru menuju pulang sekitar satu atau dua pagi. 

    Karena saya siangnya masih harus kuliah dan berkegiatan di kampus, pekerjaan-pekerjaan di Ziarah baru bisa saya lakukan ketika petang sehabis maghrib. Sebelum pada malamnya saya meluncur menuju Minggiran, saya biasanya selalu mewanti-wanti diri untuk membawa; parka atau jaket tebal, kacamata, kaus kaki, dan masker. Benda-benda tersebut sama sekali tidak boleh saya lewatkan, karena Minggiran terlalu jauh, dan Jogja berubah jadi sangat dingin ketika malam hari. Saya menghabiskan kurang lebih setengah jam alias tiga puluh menit di perjalanan dari daerah tempat saya hidup, Jakal, menuju jalan Bantul di utara itu. Saya memang anaknya bandel soal ketertiban. Contoh saja untuk masalah berkendara, saya sering sekali cuma pakai sandal japit, nggak ada balutan kaus kaki apalagi dipakaikan sepatu, dan pakaian yang tanpa rangkapan jaket atau baju tebal. Hal demikian pernah saya coba selama dua hari saya bolak-balik Jakal-Minggiran, tapi ketika menuju pulang pukul dini hari, saya menggigil di jalanan karena udara sungguhan dingin, dan kalian perlu tahu Jogja ketika satu pagi itu mirip orang mati, senyap dan lengang, bikin kepala saya jadi pusing dan perasaan-perasaan ingin jatuh. Apalagi ketika muka saya terus-terusan dipapar angin malam, kalau tidak muntah, ya saya pasti akan menangis di sepanjang perjalanan. Tapi kemudian dengan saya mencoba jadi tertib pakai baju hangat, kacamata dan masker, serta alas kaki yang sedikit tertutup, saya bisa pelan-pelan mengurangi kekacauan hidup seorang hamima dan berkendara dengan tenang, sambil nyanyi kidung jawa supaya mata saya tetap melek di sepertiga malam saya menuju kost-kostan. Huhuhu.

    Ziarah juga selalu hadir dengan kesederhanaan yang membuat perasaan saya selalu hangat. Dari penyebutan nama ‘sanggar’ ketimbang sebuah kantor kerja, ‘ziarawan dan ziarawati’ daripada para penonton, ‘teman-teman’ daripada anak magang, sampai gala premier yang bukan diselenggarakan di bioskop sekelas XXI, tapi justru di Pagerjurang Gunungkidul sebuah dataran tinggi paling selatan jogja, yang jauh dari hiruk-pikuk keriuhan kota. Lokasi tersebut dipilih karena tiga tahun yang lalu, Ziarah memulai karyanya di sana. Mbah Ponco merupakan warga asli dusun Pagerjurang, dan mas-mbak kru juga mengambil setting latar di wilayah tersebut. 
    
    Saya sendiri berangkat menuju Gunungkidul bersama rombongan media partner dari berbagai tempat (tidak hanya Jogja saja) dengan bus pariwisata berisi sekitar 60 orang. Menempuh perjalanan kurang lebih dua sampai tiga jam lalu ketika sampai, kami disambut sore serta hamparan hijau tanah Gunungkidul. Udaranya saja bikin mabuk, harum dan menenangkan, berbeda dengan udara sekitaran jakal tempat saya bernapas sehari-hari. Kami semua lalu diantar ke bukit Gunung Gambar, untuk dipersilahkan menyaksikan matahari terbenam sampai selesai maghrib. Sungguh baiknya Ziarah ini, membuat perasaan saya lagi-lagi meleleh.

    Pukul enam sore sepertinya, ketika saya dan teman-teman lain sudah sampai di sebuah pendopo tua yang berada di puncak bukit, menghadap langsung ke Gunung Gambar yang tengah merah merona diterpa matahari yang hendak tenggelam. Indah, terus saya kepingin menangis. Kapan terakhir kali saya melihat sesuatu seperti itu? Di sana dingin, sungguh, anginnya terbang dengan kencang. Satu lapis jaket tebal dan kerudung panjang yang saya kenakan sama sekali nggak bisa menepis perasaan menggigil itu. Di depan alam raya itu, saya menekuk lutut sambil masih terus bernapas pelan-pelan. Saya enggak berani sambat, suasana di sana sangat sakral, saya nggak berhak melumurinya dengan ucapan-ucapan tidak pantas. Lalu sedang khusyunya saya diam, mas mbak Ziarah kemudian menyajikan satu tremos teh hangat, kopi panas yang mengepul, sego kucing bersama ubi rebus, serta kudapan angkringan lainnya, yang jadi sesajen sebagai sarana menghangatkan sekaligus menyatukan teman-teman di sana. Mas BW kemudian datang, membawa serulingnya yang berjumlah beberapa dan sukarela memainkan alat tersebut di hadapan kami. Hening seperti beribadah, semua menjadi tenang di pendopo tua itu, seolah-olah sedang berziarah. Semburat warna merah itu kemudian hilang pelan-pelan, diganti warna biru gelap, dan lampu-lampu kecil mulai terlihat dari atas kami berada. Angin malam masih berhembus dengan brutal, sampai saya lalu digondol pilek dan dua minggu setelahnya, hidung saya masih bermasalah. Puji tuhan…

    Seusai romantisme dengan waktu maghrib tadi, kami semua lalu turun ke bawah menuju suatu halaman rumah warga untuk memulai premier film Ziarah bersama bapak-ibu mas-mbak adik-adik setempat. Sebelumnya diputar juga beberapa film pendek berbahasa jawa dari dinas kebudayaan seksi perfilman, dan ternyata antusias warga sangat meriah! Saya senang sekali hanya dengan melihat mereka menonton film beramai-ramai seperti sedang ada pasar malam, hal-hal yang sebenarnya sangat jarang mereka lakukan mengingat terbatasnya akses dalam mengonsumsi film. Terus saya jadi kepingin kapan-kapan membuka screeningan gratis di dusun-dusun bersama penduduk lokal. Menyediakan gorengan dan wedang hangat sebagai pengganti snack ala penonton masyarakat urban. Lalu mempersilahkan satu dua dari mereka untuk maju ke depan layar dan berbicara soal perasaan mereka setelah menonton film. Haduhai, membayangkannya saja saya sudah merasa terkesan!

    Lalu berhari-hari kemudian tepat sebelum Ziarah mulai diputar di bioskop, mas mbak kru mengundang kami semua yang terlibat dalam proses ini untuk datang pada malam harinya dan membawa satu dua makanan untuk dibagi bersama. Pukul satu paginya kami terus duduk melingkar, mengumpulkan bahan makanan di tengah, dan menyalakan dupa. Bau itu langsung menguar di sekitar kami, menenangkan kepala dan penciuman saya yang saat itu masih diserang pilek sejak kembalinya saya dari Gunungkidul kemarin. Beberapa orang kemudian berbicara, seperti sedang refleksi proses Ziarah ini sendiri dari awal penciptaan sampai hari ini bisa tayang di layar bioskop. Banyak kalimat pasrah yang dituturkan, seperti tengara kalau kami semua memang sudah siap untuk melepas Ziarah ke hadapan penonton dan menerima apapun hasilnya nanti. Setelah itu, kami hening cipta sebentar sambil berdoa sesuai kepercayaan, berharap semoga Tuhan memberkahi Ziarah di beberapa bioskop pulau Jawa selama-lamanya, tidak hanya empat hari (sesuai jatah yang diberikan bioskop apabila penonton tidak memenuhi seat studio).

    Selama pemutaran Ziarah di bioskop, saya jadi rutin datang ke XXI atau Cinemaxx Lippo untuk mengisi konten di sosial media meski intensitas saya di sana tidak sesering Mas BW, Mas Bagus, maupun Mbak Ridla yang hampir tiap sore dapat ditemui di bioskop. Karena setiap selesai pertunjukan, Mas BW biasanya akan masuk ke dalam studio, menyapa penonton, dan meluangkan waktu untuk berdiskusi terkait film. 

    Ziarah hanya diputar di 22 bioskop 16 kota di Indonesia, di antaranya adalah masih berada di pulau Jawa. Tapi kemudian, semangat berziarah berjamaah ini menular ke kota-kota di luar Jawa seperti Bali, Makassar, Palu, dan beberapa kota yang bergotong royong secara militan untuk menghadirkan Ziarah di bioskop kotanya seperti Kediri, Jember, Kendari, dan kota lainnya. Hingga akhirnya sampai tiga minggu berlangsung sejak 18 Mei lalu, Ziarah kemudian diturunkan dari seluruh layar bioskop dan dengan ini menyatakan bahwa pemutaran film secara regular di bioskop sudah usai. 30ribu 100ratus 80puluh 9sembilan penonton telah merayakan dan memeriahkan Ziarah di berbagai kota. Jumlah ini adalah berkat dari Tuhan mengingat dulu Mbak Ridla hanya menarget total 10ribu penonton saja. Ziarawan dan ziarawati yang telah meluangkan waktunya untuk menyaksikan perjalanan panjang Mbah Sri sungguhan telah turut berkontribusi untuk perfilman Indonesia yang lebih baik, dan semoga, Tuhan ganjarkan kebaikan-kebaikan alam raya beserta semesta kepada para penonton di segala penjuru.

    Terima kasih Ziarah, terima kasih ziarawan dan ziarawati, terima kasih seluruh elemen dan partikel yang mengalir dalam darah Ziarah, dengan rendah hati saya sebenarnya pingin sekali salim sama kalian semua, menyalurkan perasaan syukur saya kalau saya telah jadi jauuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuh lebih hidup dengan berkutat bersama kalian, menyerap banyak energi positip dan menciumi banyak bau-bau kebaikan. Panjang umur dan sentosa, ya, amin!


alam raya dari pendopo tua Gunung Gambar. Tuhan memang maha romantis!

Ziarah masuk MetroTV

minus banyak. (di Prono Jiwo, Kaliurang)

malam tenang pukul satu pagi di sanggar Ziarah, tepat sebelum Ziarah diputar di bioskop pada pagi harinya. di tengah tersanding dupa dan sesajen untuk dibagi bersama. khusyuk dan adem.

Mbah Sri dan keluasan hatinya yang membentang seperti samudera.