Tujuh Hal; Bicara yang Baik-Baik

by - Juni 17, 2017

Saya dulu pernah berdoa, “Tuhan, kapan-kapan ijinkan saya untuk hidup di Jogja.” lalu saya betulan ke sana dan tinggal di Caturtunggal kecamatan Depok. Saya juga dulu pernah berdoa, “Tuhan, kalau cocok waktunya nanti, ijinkan saya belajar antropologi di sana.” lalu Tuhan betulan kasih jurusan tersebut dan saya sungguh-sungguh jadi anak antro. Betapa Tuhan sangat murah hati menjadikan alam raya Jogja seperti sesak oleh kebaikan-kebaikan.

Kebaikan-kebaikan.

Ramadhan di Jogja pun dilalui dengan menjalankan ibadah UAS, hal yang konkrit untuk mengakhiri tetek-bengek kuliah semester empat. Saya nggak cukup semangat untuk menjelaskan prosesi itu, tentang bagaimana saya lembur tiap malam sampai sahur untuk bikin paper, ke sana-sini cari tinjauan pustaka untuk bahan artikel (dan ketakutan baca jurnal akibat topik paper adalah tentang hantu), baru tidur sehabis subuh dan kelabakan pukul sepuluh pagi karena harus ke ruang ujian, ya apalagi kalau bukan soal itu-itu terus, kalian saja bosan dengarnya, lah gimana saya yang ngejalanin?

Lalu terbayang masa tua…

Bagaimana dengan ide bersantai bersama cucu-cucu, merajut di teras rumah sambil mendengarkan lagu-lagu keroncong? Atau mencari danau-duduk di tepian-memberi makan kucing ketika akhir pekan, lalu menanam jeruk di sepetak lahan kecil belakang rumah ketika sore hari, sisanya membuat kue dan mengundang tetangga-tetangga untuk mampir dan mencicipi?

Tapi belum tahu juga sih, mungkin tua nanti saya masih melakukan proyek penelitian di komunitas pedalaman tertentu, hidup berbulan-bulan bersama penduduk lokal di sana, tidak merayakan lebaran bersama, tidak ada perayaan ulang tahun, tidak mengenal malam tahun baruan, tidak menyentuh sinyal seluler dan alat elektronik (kecuali mungkin perekam suara dan radio antena) serta tinggal sangat jauuuuuuuuuuuuuuuuuuuh dari tempat keluarga berada.


Menarik...

Ketika Jogja sungguhan jadi alam raya yang baik, dan datang bulan Ramadhan yang penuh kebaikan, rasa-rasanya selama hidup itu saya nggak perlu deh bersedih-sedih dan menjadi murung. Tagline hidup saya ‘jangan lupa bersedih’ kemudian saya pause sejenak, buat kapan-kapan lagi saja, pikir saya habis itu. Soalnya sayang sekali kalau dua kombinasi kebaikan itu enggak saya hayati dan resapi baik-baik. Jadi selama awal Ramadhan saya di Jogja, saya baptiskan diri untuk terus hidup dengan hal-hal baik, apapun itu, meski sebenarnya kening saya sedang minta terus-terusan dipijat karena pusing kepala sebelah, hahaha.

Apa salah bersama malam dan menolak pagi?

Yang pertama adalah saya jadi sering bersentuhan dengan dini hari, mulai pukul dua belas malam hingga adzan subuh menggema. Penyebab satu adalah UAS, penyebab dua adalah saya kadang-kadang nggak suka suasana sepi di kostan, jadinya saya selalu mencari orang dan keramaian untuk mengobati diri, dan gelanggang adalah ke mana saya kemudian parkir motor. Teman-teman TGM (Teater Gadjah Mada) khususnya, seperti mematri jiwa mereka pada pondasi-pondasi, semen dan lantai ubin, langit-langit, hall teater, asbak rokok, komputer berpentium dan pes player, koneksi wifi ugm yang menakjubkan, dan obrolan-obrolan liar yang menyimpang, tapi selalu membuat hati kami kenyang. Menjelang malam mereka selalu hadir bersama jiwa-jiwa tadi dan hidup bersama semalam suntuk sampai udara berubah jadi dingin pukul tiga, lalu mencari makan sahur di jalan-jalan kaliurang dini hari yang ramai, dan kembali pada dunia mereka yang sebenarnya (kost-kostan) ketika imsak. TGM menjadi lengang ketika matahari pagi bersinar dan akan padat merayap lagi menjelang malam. Dan di sana, saya nggak perlu mengkhawatirkan soal perasaan sepi yang suka pelan-pelan mengendap di sanubari.

Hal kedua adalah saya juga mulai rutin konsumsi jamu, meski nggak serutin setiap hari, sih, tapi paling enggak selama Ramadhan di Jogja ini saya sudah minum beras kencur beberapa kali (langganan di raminten dan tukang jamu keliling di dekat pasar), temulawak meski rasanya enggak enak, sedikit jahe, dan sedikit kunir asem. Mungkin kapan-kapan saya perlu mencoba jamu dengan bahan tanaman lain, atau meracik sendiri jamu yang tinggal diseduh menggunakan air panas –soalnya ibu di rumah punya jamu rebus berupa dedaunan kering dan beberapa tanaman jamu. Jamu adalah minuman yang baik, ia tidak jahat, sebab khasiatnya sangat menyembuhkan. Dan menenangkan kalau teman-teman mau coba.

Hal ketiga adalah saya masih menyempatkan diri untuk datang ke pameran seni dari skala kecil seperti di Bentara sampai sebesar Art Jog yang temanya saja pakai bahasa Inggris –Changing Perspective, dengan harga tiket yang naik drastis dari tahun kemarin, yakni lima puluh ribu rupiah, bonus tiga ribu untuk parkir sepeda motor dan dua puluh ribu lima ratus untuk mengisi tangki bensin sampai penuh –soalnya lokasi Art Jog ada di JNM (Jogja National Museum) yang lumayan jauh dari Jakal tempat saya hidup. Seenggaknya dengan saya mengunjungi art exhibition macam-macam di Jogja, saya jadi bisa melek soal seni dan belajar memahami mereka. Syukur-syukur paham, tahu artwork-nya saja sudah bagus banget, apalagi kalau bisa sekalian berefleksi, ya tho.

Hal keempat adalah mencari menu buka puasa gratisan. Dan memelihara kekaguman tentang berapa total banyak rupiah yang dikeluarkan untuk membiayai persoalan gratisan ini. Takjil, makanan berat, belum lagi kalau lauknya adalah daging sapi yang harga sekilonya di pasar saja mencapai seratus sepuluh ribu (sekarang naik enggak sih?), ditambah kalau jumlah jamaahnya mencapai ratusan seperti di Masjid Jogokariyan daerah Krapyak. Kemarin-kemarin saya sempat ke sana bersama salah satu teman antro menjelang adzan maghrib untuk ikut menyantap menu buka gratisan. Dari jalan depan pelataran masjid saja, orang-orang sudah berbondong-bondong menggelar tikar dan menyanding piring serta gelas berisi, belum lagi yang berada di dalam masjid, di depan halaman masjid, dan di depan rumah-rumah warga sekitar masjid. Saya nggak bisa membayangkan ada berapa banyak kebaikan yang menyalur dari satu orang ke satu orang yang lain lewat piring dan gelas-gelas. Apalagi saat itu ketika saya menengok lauknya, adalah ayam broooooo yang disandingkan, dan lumayan banyak untuk ukuran menu buka puasa. Piring-piring serta gelas-gelas itu juga terus berdatangan seiring diambil satu per satu oleh orang-orang di sana. Masya Allah! Ada berapa ayam yang dipotong ya? Siapa yang nanti mencuci piring gelas bekas kami makan? Tuhan, tolong lingkupi masjid itu dan orang-orang di dalamnya dengan kebaikan selalu. Baik banget mau bantu perut saya kenyang dengan modal nol rupiah alias gretong. Mahasiswa memang hidupnya enak terus!

Hal kelima, salah satu favorit saya; saya sudah mulai merajut! Senang! Meski baru belajar dan jemari saya masih canggung untuk menyentuh jarum dan benang secara bersamaan, seenggaknya saya betulan melakukan hal ini –merajut dan membuat sesuatu, seni kerajinan yang sebenarnya saya idam-idamkan dari bulan-bulan lalu tapi baru terealisasi di Ramadhan yang baik ini. Saya belajar merajut di Poyeng Shop di daerah Palagan dekat Monjali dan bertandang ke sana saat sore hari sampai jelang waktu berbuka.

Hal keenam adalah, saya akhirnya bisa menyaksikan beberapa pertunjukan musik oleh musisi lokalan, yang namanya jarang disebut-sebut di televisi dan mungkin teman-teman juga nggak pernah mendengar, tapi lagu-lagu mereka syahdu dan menenangkan, dekat dengan hidup sehari-hari tanpa sesuatu yang dilebih-lebihkan. Di antaranya adalah Mbak Lani dari Frau (alumniku di antro wkwk) dan Sekar Sari (seniman cantik Jogja yang sepertinya bisa ngapa-ngapain; main film, teater, menari, nyanyi) yang waktu itu manggung secara sukarela alias kami datang dengan tidak membayar apa-apa di Rumah Budaya Siliran dekat Alun-Alun Kidul, lalu tiba-tiba kaget karena ada Mas Danto dari Sisir Tanah juga yang kemudian diminta untuk menyanyi, berduet dengan Mbak Lani dan membawakan Lagu Bahagia, lagu yang beneran bikin saya bahagia. 

Nyanyikanlah harapan, perjuangkan tujuan, bahagia kehidupan, bahagia kehidupan, begitu liriknya.

Lalu besoknya saya menonton Jono Terbakar (yang jadi soundtrack artist untuk film Ziarah) membawakan tiga lagu dari albumnya Dunya Akherat. Pernah kau berlari, mengejar mimpi malam tadi? Berlalu sangat cepat, terasa sungguh singkat, tak terulang lagi… salah satu lagu yang disandingkan kepada kami, puitis dan sangat sederhana. Besoknya lagi, saya kembali menonton pertunjukan dari Sisir Tanah yang dilangsungkan di Teater Garasi daerah Ngestiharjo, Bantul. Senang langung merayapi perasaan saya, begitu saya diberi kesempatan baik untuk singgah ke sanggar Teater Garasi –salah satu kelompok teater wangun di Jogja, sekaligus menyaksikan Sisir Tanah, yang sangat saya amin-amini belakangan ini karena rindu mendengarkan lagu-lagu yang bisa bikin tenang, and Sisir Tanah did it. Lagu-lagu mereka mengajak pada banyak kebaikan, tentang seruan untuk mencintai alam, mencintai diri sendiri, mencintai kesedihan, mencintai kebahagiaan, untuk berjalan, untuk bertualang. Siapakah kita ini, manusia, yang dalam diam, riuh, rapuh, dan tak mampu… dan saya tenggelam mendengar nyanyian mereka, hanyut dan terombang-ambing di permukaan.

Bertahankah kita ini, manusia
Yang dalam diam riang, ringkih, rumit, dan terhimpit
Ada bahagia, tidak bahagia
Ada di sini ada di sana
Ditikam-tikam rasa


Saya sempat jadi diam dan termenung sesuatu. Belakangan ini saya tahu kalau saya sedang dihinggapi perasaan malas pulang ke rumah, saya enggan bertemu dengan banyak orang dan hanya ingin berjalan ke sana-sini sambil meresapi banyak kehidupan. Ibu beberapa kali bertanya, ‘kapan pulang, mbak?’ dan saya selalu jawab ‘nanti bu, masih ada acara di sini.’ dan terheran-heran sendiri. Pulang dan liburan di rumah adalah hal yang ditunggu oleh teman-teman setelah bergetih-getih jadi capek selama kuliah di kota orang, tapi hal itu enggak berlaku untuk saya, saya seperti orang bingung, terus berputar-putar dan menolak segala jenis kepulangan.

Dan itu bukan hal yang baik…

Sebab ibu barangkali menginginkan saya untuk pulang.

Lalu setelah khusyuk beribadah mendengarkan Sisir Tanah, saya lalu menerpa diri dengan angin malam satu kali lagi, kemudian menelpon Ibu dan membuat keputusan, ‘Bu, aku pulang besok, ya.’

Kebaikan terakhir yang akan saya bicarakan –sekaligus jadi hal ketujuh, adalah saya bisa berbuka puasa sekaligus santap sahur bersama Bapak dan Ibu di kota Jogja, hanya kami bertiga, tidak ada kakak dan tidak ada adik. Setelah kemarin saya membicarakan perihal pulang dengan Ibu, besoknya sehabis subuh mereka berdua berangkat dari rumah untuk menjemput saya, sekaligus mengangkut beberapa barang di sini yang harus dibawa pulang. Ketika Jogja sungguhan jadi alam raya yang baik, dan datang bulan Ramadhan yang penuh kebaikan, kemudian muncul Bapak dan Ibu orang-orang yang baik, rasa-rasanya selama hidup itu saya nggak perlu deh bersedih-sedih dan menjadi murung, kutip saya lagi, mengulangi perkataan di atas.

Seumpama sedih
Hidup memang tugas manusia
Jangan ada benar
Takkan pernah ada
Tempat yang sungguh merdeka
Seumpama lelah
Masih tersisa banyak waktu
Menjelmakan mimpi, menggerakan kawan, hadirkan perubahan
Menjelmakan mimpi, menggerakan kawan, mendatangkan damai
Seumpama suka
Kau ambillah jantungku saja
Di situ ada kepastian meski degupnya tergesa,
Tapi bukan untuk bercumbu
Bakar petamu jejak baru
Bakar petamu jejak baru
Bakar petamu jejak baru
Panjang umur keberanian, mati kau kecemasan dan ketakutan
Panjang umur keberanian, mati kau ketidakadilan dan penindasan
Panjang umur keberanian, mati kau keberanian yang dipaksakan
Panjang umur…
Semangat baik… (26x)


saya dan dini hari 

mas danto dan sisir tanah 

Art Jog, ini adalah salah satu karya seni favorit saya 

TGM dan hal-hal yang lengang, empat pagi 

merajut, belajar mengendalikan diri untuk misuh 


subuh dan perjalanan pulang

You May Also Like

0 Comments