Hamima yang Urakan versus Bapak yang Konservatif

by - Juli 24, 2017

    Judul postingan kali ini bisa kita refleksikan langsung pada persoalan krusial yang mendera hampir semua anak perempuan di rumah; jam malam, jam yang mana kita sudah harus berada di rumah.
  
    Bapak adalah tipe yang sangat konservatif. Dia akan mencekoki saya –anak perempuannya– dengan tatanan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat untuk membentuk saya menjadi perempuan yang benar –benar menurut standar beliau. Tidak urakan, tidak begajulan, tidak sembrono, tidak ngawur, dan salah satunya adalah tidak pulang terlalu malam.

    Dulu jaman saya ketika masih SMA, baru sampai di rumah saat maghrib saja, bapak sudah bertanya macam-macam. Habis dari mana, ngapain saja, kenapa baru pulang, kenapa hapenya mati, sampai terheran-heran karena melihat kaki saya yang berbalut sandal japit –padahal yang ini hanya soal kebiasaan, saya yang nggak betah pakai sepatu selalu bawa sandal japit ke mana-mana. Tapi hanya sebatas pertanyaan tadi, bapak nggak akan memperpanjang masalah, lalu kami akhirnya sama-sama lupa.

    Itu biasa, soalnya setiap saya pulang maghrib –entah karena urusan ekskul, tugas, atau main– pertanyaan bapak selalu jadi langganan. Tapi satu hal yang perlu dicermati, bahwa bapak sama sekali nggak menolerir segala bentuk keterlambatan pulang, apalagi di atas jam sembilan malam. Dan parahnya, saya beberapa kali, mungkin sering, melewati jam malam aturan bapak tersebut, bahkan sampai masih mengenakan seragam sekolah alias nggak pulang sedari pagi. Lalu kalian bisa menebak bagaimana kelanjutan ceritanya, iya, saya dimarahi habis-habisan.

    Pernah juga, saat proses pembuatan buku tahunan di sekolah yang menyita waktu sampai larut malam, saya berulang kali ditelpon bapak untuk pulang, mungkin saat itu sudah jam sebelas atau duabelas –lupa, dan sesi pemotretan di kelas saya belum rampung. Saya terus-terusan mendesak bapak untuk mencoba mengerti situasi, tapi bapak juga nggak habis-habisnya memaksa saya untuk pulang. Bahkan saya nego, akan menginap di kost teman yang lokasinya di belakang sekolah, tapi bapak bersikeras menolak. Kami sama-sama keras kepala dan nggak mau mengalah. Puncaknya bapak beneran marah dan berniat akan menjemput ke sekolah, saya sampai harus ke luar kelas dan menuju lapangan karena mata saya sudah merah menahan tangis. Satu jam berikutnya, saya betulan disamper orang rumah, sedikit lega karena itu bukan bapak melainkan abang saya. Sambil mengemasi barang bawaan, saya lalu pamit pada teman-teman karena sudah harus pulang, lalu di perjalanan menuju rumah, saya terisak hebat, tersedu-sedu, sampai mata kering karena tersapu angin malam. Lalu teman-teman boleh menebak lagi bagaimana kelanjutan ceritanya, iya, lagi-lagi bapak tidak terima, beliau marah, tapi nggak berlangsung lama karena sepertinya kasihan melihat saya yang sudah sembap dan bengkak duluan.

    Kejadian pulang terlambat lalu kena marah itu akhirnya jadi makanan sehari-hari saya selama SMA. Soalnya saya memang nggak bisa menahan diri untuk tidak pulang terlambat. Pasti selalu ada urusan, selalu ada kerjaan, selalu ada hal-hal yang memaksa saya untuk tinggal lebih lama di sekolah. Dan herannya, bapak juga sama sekali nggak pernah berhenti memarahi saya tiap saya pulang terlambat. Jam malam yang dibuatnya seolah-olah hanya kamuflase, saya nggak menganggap aturan tersebut ada untuk ditaati, saya cuma perlu berhati-hati saja. Kadang harus menggunakan akal cerdik untuk mengelabui bapak, membuat keadaan di mana beliau tidak akan tahu kalau saya pulang larut malam, entah dengan cara apapun. Beberapa berhasil, dan beberapa hancur lebur, lalu ya begitu, kena marah lagi.

    Saya mencoba memahami bapak, beliau begitu otoriter karena berusaha menjaga saya sebaik-baiknya. Apalagi jarak rumah ke sekolah yang terbentang cukup jauh –sekitar lima belas kiloan– yang saya tempuh dengan sepeda motor seorang diri, membuat bapak nggak punya alasan untuk nggak mengkhawatirkan anak perempuannya ini. Dan malam selalu disebut rawan untuk hal-hal berbau kejahatan. Dua alasan ini sepertinya yang dipakai bapak untuk kemudian mengatur saya dengan jam malam. Soalnya tiap bapak marah, bapak selalu bawa-bawa kasus penculikan, kecelakaan, begal, dan tindak kriminal lain yang diberitakan media, entah untuk menakut-nakuti saya, atau memang itu caranya mengontrol saya. Memang ngeri sih kalau sudah menyangkut urusan nyawa. Tapi seharusnya bapak juga mempercayai keberanian yang saya punya. Keberanian untuk pulang malam dan berkendara seorang diri. Betapa saya ingin sekali bapak menyambut saya setiap pulang terlambat dengan kalimat ‘wah mbak, kamu berani banget pulang jam segini,’ ketimbang marah-marah dan saling ngotot –soalnya kalau bapak sedang marah, saya suka ikutan jadi sewot. Tapi kalian tahu enggak? Kalimat ‘wah mbak, kamu berani banget pulang jam segini,’ itu selalu dicetuskan oleh ibu tiap melihat saya turun dari sepeda motor dan melepas helm, ibu sama sekali nggak pernah mengomentari kebiasaan saya pulang malam, habis bicara begitu, paling-paling ibu bertanya ‘habis main ke tempat siapa’ atau ‘sudah makan apa belum’, dan dari ibulah, saya kemudian merasa kalau beliau percaya dengan apa yang saya lakukan, ibu menaruh kepercayaan itu di kedua pundak saya, ibu percaya… kalau saya ini sudah cukup besar dan berhak menentukan apapun keputusan di dalam hidup, termasuk soal pekerjaan-pekerjaan saya yang membuat saya sampai harus pulang terlambat. Ibu melihat esensi dari pulang malam itu, hal yang tidak dilakukan oleh bapak.

    Sampai kemudian saya memasuki masa di mana saya harus pergi merantau untuk kuliah, di Jogja. Semakin terbentanglah jarak di antara saya dan bapak, beratus-ratus kilometer jauhnya. Saya bahkan sudah siap dengan segala resiko yang harus saya terima ketika bapak memilihkan saya kost-kostan, pasti yang ada jam malamnya, pasti yang ibu kosnya galak, pasti yang bersebelahan dengan rumah pak rt, pasti yang depannya poskamling, dan dugaan-dugaan lain yang mengarah ke sikap otoriter bapak. Saya sudah siap membayangkan kemungkinan itu, dan kemungkinan-kemungkinan lain yang akan saya gunakan untuk melawan aturan tersebut. Di SMA saja saya pulang sampai jam sepuluh, mana mungkin ketika sudah kuliah saya bisa ikut aturan jam malam di kost? Begitu pikir saya, agak sedikit licik tapi tetap tampil sopan.

    Yang mencengangkan berikutnya adalah, saya salah banyak! Mungkin kalau sedang ikut ujian, belum dikoreksi pun saya langsung dinyatakan enggak lolos. Bagaimana bisa? Bapak yang sangat konservatif apalagi terhadap hidup seorang anak perempuan itu ternyata memilihkan kost-kostan tanpa aturan jam malam, tidak dijaga oleh siapa pun, rumah pak rt-nya lumayan jauh, dan bukan poskamling yang berada di depan, melainkan kost-kostan cowok! Seperti tersambar geluduk, saya menatap bapak heran, tapi bapak enggak bicara banyak dan seolah yakin pilihannya adalah yang terbaik. Ini mah bukan terbaik lagi, tapi sudah kategori keren bangettt.

    Kalau sebelumnya saya masih dalam tahap mencoba memahami bapak, sepertinya kali ini saya sudah memahami beliau dan terjun langsung ke dalam setiap pikirannya. Bapak, seperti ibu, menaruh kepercayaan yang beliau miliki di kedua pundak saya, berharap saya nggak akan menjatuhkannya dan membuatnya hancur. Mengekang saya ke dalam aturan bapak sementara si pembuat aturan tidak berada di sekeliling saya, nampaknya bukan solusi yang tepat untuk menjaga putri bapak ini yang akan hidup jauh di kota orang. Soalnya dengan sifat saya yang begini, bisa saja saya kabur dan tidur di jalan, membuat onar sampai bikin pusing semua orang, atau mungkin membawa masuk teman cowok ke dalam kamar di depan penglihatan ibu kost. Jadi akhirnya diculke (dilepaskan) sekalian saya sambil menenteng kepercayaan milik Bapak dan Ibu yang meskipun nggak berbentuk apa-apa, tapi terasa berat dan sungguh-sungguh, kepercayaan mereka lah yang kemudian menjadi kontrolku di Jogja. Kontrol untuk nggak bertindak srampangan dan membuat keributan. Padahal ya saya nggak akan gitu-gitu amat kok, lha wong perempuan lemah lembut begini masa ditakutkan akan membuat onar, hehe.

    Lalu setelah saya beneran jadi anak kuliah yang memang nggak bisa diatur dengan jam malam –soalnya urusan organisasi, tugas, kerjaan, dan tetek bengek lain sama sekali nggak bisa dikompromi– saya beneran jadi sering pulang larut malam bahkan sampai pagi. Dengan kondisi long distance relationship seperti ini, bukan berarti bapak jadi nggak pernah marah-marah terkait kebiasaan saya pulang larut ini, kadang kalau pukul sebelas atau duabelas saya masih di luar dan bapak menelpon, saya suka beranjak dari orang-orang lalu mencari tempat yang sepi dan bilang kalau saya sudah berada di kost, kurangajar memang, tapi kalau kadang-kadang pingin dengar bapak mengomel, ya sudah, tinggal bilang saja kalau saya masih di luar, berhahahehe bersama teman, pasti lah habis itu saya disembur habis-habisan. Saya memang kadang-kadang jadi kangen dimarahi bapak, soalnya makanan sehari-hari saya ketika di rumah itu mendadak berhenti dan hilang. Kini, semua tak lagi sama~

    Tapi sebenarnya apa yang membuat saya terus-terusan melawan aturan bapak itu? Bukankah jam malam memang baik untuk keberlangsungan hidup kita? Apalagi untuk perempuan yang melekat dengan stereotip kalau pulang pagi berarti perempuan yang nggak-nggak, yang nggak-nggak-nya itu gimana ya juga nggak ngerti. Jauh di dalam lubuk hati saya, saya kepingin sekali mengenyahkan stigma-stigma jelek tersebut yang selalu menggondol punggung-punggung perempuan. Kenapa harus dikata perempuan yang nggak-nggak sih alih alih bilang kalau di jalanan itu saat malam hari memang rawan kejahatan. Kenapa yang laki-laki nggak dikata laki-laki yang nggak-nggak kalau mereka juga pulang pagi? Bukannya sama-sama pulang pagi, lewat aturan jam malam yang diberlakukan masyarakat? Kadang, ada banyak pekerjaan yang memang nggak bisa dikompromikan dengan aturan-aturan tertentu. Coba, daripada meneriaki kami sebagai perempuan yang nggak-nggak cuma karena pulang larut malam, kenapa nggak mencoba mengantar kami pulang, membuat kami aman di perjalanan pulang, membuat kami selamat sampai di rumah, karena untuk menciptakan perasaan aman itu, kami perlu orang-orang yang mau membantu kami, bukan orang-orang yang meletakan stigma pada kami.

    Dan satu lagi yang ternyata luput saya perhatikan. Cara bapak membuat saya merasa aman, adalah dengan menjadi konservatif terhadap hal-hal tertentu, salah satunya jam malam. Saya mungkin nggak mengerti semua alasan bapak, kenapa beliau sampai harus marah-marah tiap kali saya pulang larut malam, pun tiap kali saya ngawur dalam bertindak. Tapi saya tahu betul, itulah cara beliau. Sama seperti ibu yang nggak banyak bicara dan mengalihkan masalah dengan hal lain –untuk membuatnya reda. Baik bapak maupun ibu punya caranya sendiri. Dan cara mereka adalah bentuk mereka menjaga saya, untuk tetap aman, untuk tetap hidup. Mereka adalah orang-orang itu, orang-orang yang membantu kami –kaum perempuan– untuk bisa terus aman di lingkungan kami tinggal.

    Duh, Gusti, semoga bapak ibuku sehat-sehat selalu.

You May Also Like

0 Comments