Minggu, April 29, 2018

Kena sihir 'Cerita Anak' milik Papermoon

Rasanya kalau mengingat-ngingat konsep pertunjukan yang dihelat oleh Papermoon pada akhir april kemarin, perasaan saya langsung jadi bergemuruh; karena senang, takjub, sekaligus merinding. Saya pernah bilang sebelumnya, menonton teater sama dengan membantumu untuk berefleksi, tapi kalau konsep teater itu bagus, kamu bukan hanya bisa berefleksi saja, tapi kamu juga akan dihantarkan pada banyak perasaan-perasaan yang meluap, meluber, sampai kamu sendiri kesulitan menampungnya.

“Cerita Anak” adalah bentuk teater interaktif yang didesain untuk anak usia 2-8 tahun (tentu dengan dampingan orangtua). Pementasan ini digawangi oleh Papermoon Puppet Theatre (komunitas teater boneka dari jogja) dan Polyglot Theatre dari Australia sebagai bagian dari pembukaan pameran seni ArtJog 2018. Cerita Anak juga ternyata pernah dipentaskan di Melbourne, tentunya dengan versi yang berbeda. Jalan cerita di dalam pertunjukan ini sebenarnya sangat sederhana. Seorang anak TK yang menonton pasti bisa dengan mudah menceritakannya di hadapan teman-teman mereka. Tapi bagaimana kemudian alur tersebut dieksekusi dan dibungkus dengan sedemikian indah, adalah poinnya.

Cerita Anak berlatar di sebuah perairan laut luas. Dilansir dari website ArtJog, tema pertunjukan ini mengenai sejarah maritim dan kisah nyata seorang anak Srilangka yang menjadi salah satu pencari suaka di Australia. Panggung teaternya dibuat berkelambu, dan ada kapal besar sebagai properti utama yang ditaruh di tengahnya. Tiga orang dewasa yang berperan sebagai awak kapal kemudian masuk dan memulai petualangan, disusul rombongan anak-anak manis bersama orang tua mereka yang juga memainkan cerita. Menariknya, anak-anak tadi benar-benar diterjunkan tanpa arahan sutradara, mereka bebas bermain dengan berbagai properti laut yang ada di panggung. Ketika air ombak yang divisualkan lewat kain biru tipis saling bergulung, mereka langsung lompat dan ikut bergelung di dalamnya. Ketika awak kapal menyuruh mereka untuk masuk ke dalam kapal karena air ombak semakin tinggi, mereka kemudian menjerit-jerit dan langsung menaiki kapal. Ketika kapal masuk ke wilayah laut lepas dan mulai muncul banyak ikan-ikan, mereka kemudian diajak untuk memancing dengan alat pancing mainan. Ketika kapal tenggelam setelah menerjang badai ombak yang liar, mereka lalu mencengkeram tangan orang tua mereka karena ketakutan. Sepanjang pertunjukan, anak-anak kecil itu tertawa, terperangah, kaget, berteriak, menggumam, dan berbagai emosi mereka ikut saya rasakan, membuat saya tersenyum lebar melihatnya. Sangat lebar sampai saya sendiri nggak sadar kalau saya sedang tersenyum.

Semua adegan dalam Cerita Anak tentu sangat emosional, dan saya tidak bisa menuliskan detil bagaimana perasaan-perasaan tersebut menguras saya. Ada pula beberapa adegan yang saking emosionalnya, mata saya langsung berkaca-kaca menahan tangis.

Salah satunya adalah ketika melihat properti teater berbentuk hewan laut super besar yang diperagakan menggunakan lampu warna-warni, saat itu saya refleks mencengkeram tangan Pije (teman nonton saya waktu itu) dan kami memekik bersama. This is just so beautiful, mata saya berair dan menghangat. Saya nggak punya kosa kata lagi untuk menggambarkan betapa ‘Cerita Anak’ ini begitu indah. Saya seperti disihir, oleh anak-anak yang bermain dengan polos (spontan dan tanpa skrip), tata lampu, proyeksi video, properti panggung, setting suara, plot cerita, dan semua kombinasi yang membuat pertunjukan itu sangat kontemplatif. Cerita Anak seperti menghidupkan kembali imajinasi dan dinamika anak-anak yang sederhana dan begitu menyenangkan, pada kami orang-orang dewasa yang menonton.

magissssss

Malam itu saya berterimakasih banyak pada Mbak Ria Papermoon dan seluruh kru yang telah menyajikan pentas teater seapik itu. Saya pulang dengan perasaan bahagia berkali-kali lipat, sambil menyeka mata dan bertepuk tangan tak habis-habis.


sumber foto: instagram papermoon puppet theater

Minggu, April 01, 2018

Self-healing abad kontemporer: duduk di kursi teater

    Jadi sudah belakangan ini saya merasa nggak enak badan, pikiran, dan juga perasaan. Hawanya jadi uring-uringan melulu. Mungkin efek tugas-tugas kuliah yang sangat membebani pundak kali ya. Tapi selain itu, saya sebenarnya sadar satu hal akan kondisi saya sekarang ini; saya lagi bosan banget! Semester enam ini saya sudah lepas dari segala bentuk penyematan jabatan, saya nggak lagi rapat sehabis kelas, nggak lagi ngevent di fakultas tiap malam minggu (saking seringnya fib bikin acara), nggak lagi nongkrong di hall teater ngomongin proyekan sampai jam dua pagi, nggak lagi ribet ngurusin keuangan dan bikin proposal program kerja, nggak lagi cari-cari kerjaan di luar kampus (magang, ikut kepanitiaan, cari duit), nggak lagi wara-wiri cari penghidupan di seantero jogja sampai lupa kuliah lupa makan lupa mandi lupa harus tetap tenang.

    Kalau dipikir-pikir, semester enam ini sudah jadi bebas banget, dan saya kira saya bakal lega sampai paru-paru, tapi rupanya nggak lega-lega amat. Saya kira saya akan menjalani hidup dengan damai, tapi ternyata nggak damai-damai amat. Saya jujur aja, tapi kok rasanya malah pusing ya? Pusing karena saya nggak punya kehektikan apapun. Hidup saya sekarang jadi cuma perihal kuliah, dan kalian tahu lah kerjaan di antro itu ngapain; baca jurnal, review, baca jurnal, review, baca jurnal, dan sumpah kegiatan itu tuh sebenarnya sangat membosankan. Pengetahuan akan isu-isu baru di dalam artikel memang jadi nambah sih, tapi ya sudah cuma sampai itu, saya nggak punya banyak pengalaman di lapangan. Suka heran juga saya, kenapa jadi jarang riset ke lapangan ya? Padahal ini modalnya anak antro. Sudah tiga tahun ini saya melakoninya, tapi rasa-rasanya baru kali ini ngempet banget di pikiran, kaya muak sampai ubun-ubun tapi nggak bisa ngapa-ngapain setelahnya. Nggak paham lagi lah dengan hidup ini, kadang jalur lintasannya memang bisa bikin pingsan.

     Maaf saya jadi marah-marah satu paragraf panjang begitu. Intinya, di saat kondisi bosan saya sungguh-sungguh ingin meledak, saya mulai merutinkan kembali ibadah rohani yang dulu sering saya lakukan untuk menyeimbangkan hormon saya; cari festival, nonton screening film, ke pameran, naik kereta, jalan-jalan sore, dateng konser, dan salah satunya adalah menonton pertunjukan teater!

    Sebenarnya niat terselubung di balik nonton teater adalah; saya pingin banget duduk di kursi penonton sebuah gedung pertunjukan yang besar. Sebutlah kalau di Jogja itu berarti concert hall-nya TBY. Kalian boleh menyebut saya aneh atau nggak masuk akal, tapi saya memang akan jadi baik-baik saja kalau sudah duduk di kursi penonton itu. Senderan sambil menyangga dagu, melihat berderet-deret kursi lain di sekitar, merasakan atmosfir pertunjukan lewat lighting redup, panggung megah, aktor yang mungkin tiba-tiba muncul dari samping, setting musik yang disetel padu, tata artistik yang seolah jadi hidup ketika disorot lampu, dan segala komponen lain yang menyatu dalam sebuah pertunjukan.

    Kayak kemarin ini, ketika saya diajak teman untuk nonton teater lakon Jawa Barat di concert hall TBY, langsung menjerit-jerit mau lah saya, apalagi tiket masuknya gratis. Saya sih nggak berekspektasi apa-apa terkait konsep pertunjukannya, asal saya bisa duduk di kursi penonton concert hall aja saya sudah lega banget lah. Saya akan meluruhkan segala beban di kepala, pundak, maupun lutut kalau sudah duduk di kursi penonton. Rasa-rasanya jadi kaya sedang menjalani pengobatan altenatif, untuk menyembuhkan penyakit-penyakit yang mendera dalam kehidupan usia dua puluhan. Asli lah, nggak bohong saya.

    Tapi meskipun nggak berekspektasi apapun terhadap teaternya, saya akan tetap memperhatikan jalan cerita dan setting lain yang dibangun oleh kru. Soalnya kalau saya nggak serius nonton, ya nggak dapet lah atmosfirnya! Apalagi kalau selesai pertunjukan dan ada curtain call setelahnya, rasanya pingin banget tepuk tangan paling lama dan paling keras –yang mana adalah bentuk apresiasi ter melegakan di atas panggung. Pulang-pulang, bahagia lahir batin lah saya, dan kalau pas kebetulan konsep teaternya bagus parah, bahagia saya jadi berlipat bertingkat-tingkat, sampai kadang saya nggak bisa berkata-kata dan cuma mampu menangis. Contoh kasus yang ini adalah pertunjukannya teater Tamara (tak mudah menyerah) berjudul Gejolak Makam Keramat, yang dimainkan oleh ibu-ibu penyintas tragedi 65 yang pernah lalu-lalang masuk-keluar camp penahanan akibat peristiwa politik berdarah tersebut. Rasanya selesai menyaksikan pertunjukan mereka, saya seperti punya keberanian baru untuk hidup. Saya nggak pernah tahu sebelumnya kalau menonton teater bisa jadi semagis itu. Kalau dengan menonton teater, saya bisa berkontemplasi tentang banyak hal dan bersyukur karenanya.

    Teman-teman yang lagi pusing banget sampai pingin muntah, bilang saya ya, nanti saya ajak duduk di kursinya gedung teater.


prosesi curtain call setelah pertunjukan selesai