Self-healing abad kontemporer: duduk di kursi teater

by - April 01, 2018

    Jadi sudah belakangan ini saya merasa nggak enak badan, pikiran, dan juga perasaan. Hawanya jadi uring-uringan melulu. Mungkin efek tugas-tugas kuliah yang sangat membebani pundak kali ya. Tapi selain itu, saya sebenarnya sadar satu hal akan kondisi saya sekarang ini; saya lagi bosan banget! Semester enam ini saya sudah lepas dari segala bentuk penyematan jabatan, saya nggak lagi rapat sehabis kelas, nggak lagi ngevent di fakultas tiap malam minggu (saking seringnya fib bikin acara), nggak lagi nongkrong di hall teater ngomongin proyekan sampai jam dua pagi, nggak lagi ribet ngurusin keuangan dan bikin proposal program kerja, nggak lagi cari-cari kerjaan di luar kampus (magang, ikut kepanitiaan, cari duit), nggak lagi wara-wiri cari penghidupan di seantero jogja sampai lupa kuliah lupa makan lupa mandi lupa harus tetap tenang.

    Kalau dipikir-pikir, semester enam ini sudah jadi bebas banget, dan saya kira saya bakal lega sampai paru-paru, tapi rupanya nggak lega-lega amat. Saya kira saya akan menjalani hidup dengan damai, tapi ternyata nggak damai-damai amat. Saya jujur aja, tapi kok rasanya malah pusing ya? Pusing karena saya nggak punya kehektikan apapun. Hidup saya sekarang jadi cuma perihal kuliah, dan kalian tahu lah kerjaan di antro itu ngapain; baca jurnal, review, baca jurnal, review, baca jurnal, dan sumpah kegiatan itu tuh sebenarnya sangat membosankan. Pengetahuan akan isu-isu baru di dalam artikel memang jadi nambah sih, tapi ya sudah cuma sampai itu, saya nggak punya banyak pengalaman di lapangan. Suka heran juga saya, kenapa jadi jarang riset ke lapangan ya? Padahal ini modalnya anak antro. Sudah tiga tahun ini saya melakoninya, tapi rasa-rasanya baru kali ini ngempet banget di pikiran, kaya muak sampai ubun-ubun tapi nggak bisa ngapa-ngapain setelahnya. Nggak paham lagi lah dengan hidup ini, kadang jalur lintasannya memang bisa bikin pingsan.

     Maaf saya jadi marah-marah satu paragraf panjang begitu. Intinya, di saat kondisi bosan saya sungguh-sungguh ingin meledak, saya mulai merutinkan kembali ibadah rohani yang dulu sering saya lakukan untuk menyeimbangkan hormon saya; cari festival, nonton screening film, ke pameran, naik kereta, jalan-jalan sore, dateng konser, dan salah satunya adalah menonton pertunjukan teater!

    Sebenarnya niat terselubung di balik nonton teater adalah; saya pingin banget duduk di kursi penonton sebuah gedung pertunjukan yang besar. Sebutlah kalau di Jogja itu berarti concert hall-nya TBY. Kalian boleh menyebut saya aneh atau nggak masuk akal, tapi saya memang akan jadi baik-baik saja kalau sudah duduk di kursi penonton itu. Senderan sambil menyangga dagu, melihat berderet-deret kursi lain di sekitar, merasakan atmosfir pertunjukan lewat lighting redup, panggung megah, aktor yang mungkin tiba-tiba muncul dari samping, setting musik yang disetel padu, tata artistik yang seolah jadi hidup ketika disorot lampu, dan segala komponen lain yang menyatu dalam sebuah pertunjukan.

    Kayak kemarin ini, ketika saya diajak teman untuk nonton teater lakon Jawa Barat di concert hall TBY, langsung menjerit-jerit mau lah saya, apalagi tiket masuknya gratis. Saya sih nggak berekspektasi apa-apa terkait konsep pertunjukannya, asal saya bisa duduk di kursi penonton concert hall aja saya sudah lega banget lah. Saya akan meluruhkan segala beban di kepala, pundak, maupun lutut kalau sudah duduk di kursi penonton. Rasa-rasanya jadi kaya sedang menjalani pengobatan altenatif, untuk menyembuhkan penyakit-penyakit yang mendera dalam kehidupan usia dua puluhan. Asli lah, nggak bohong saya.

    Tapi meskipun nggak berekspektasi apapun terhadap teaternya, saya akan tetap memperhatikan jalan cerita dan setting lain yang dibangun oleh kru. Soalnya kalau saya nggak serius nonton, ya nggak dapet lah atmosfirnya! Apalagi kalau selesai pertunjukan dan ada curtain call setelahnya, rasanya pingin banget tepuk tangan paling lama dan paling keras –yang mana adalah bentuk apresiasi ter melegakan di atas panggung. Pulang-pulang, bahagia lahir batin lah saya, dan kalau pas kebetulan konsep teaternya bagus parah, bahagia saya jadi berlipat bertingkat-tingkat, sampai kadang saya nggak bisa berkata-kata dan cuma mampu menangis. Contoh kasus yang ini adalah pertunjukannya teater Tamara (tak mudah menyerah) berjudul Gejolak Makam Keramat, yang dimainkan oleh ibu-ibu penyintas tragedi 65 yang pernah lalu-lalang masuk-keluar camp penahanan akibat peristiwa politik berdarah tersebut. Rasanya selesai menyaksikan pertunjukan mereka, saya seperti punya keberanian baru untuk hidup. Saya nggak pernah tahu sebelumnya kalau menonton teater bisa jadi semagis itu. Kalau dengan menonton teater, saya bisa berkontemplasi tentang banyak hal dan bersyukur karenanya.

    Teman-teman yang lagi pusing banget sampai pingin muntah, bilang saya ya, nanti saya ajak duduk di kursinya gedung teater.


prosesi curtain call setelah pertunjukan selesai

You May Also Like

1 Comments