Semalam di Widodaren

by - Oktober 28, 2018

    Rencana perjalanan ke Solo mendadak saya batalkan demi menggebu-gebunya keinginan saya untuk pergi ke sesuatu yang berair dan jauh dari pusat kota; pantai (setelah lama sekali tidak menyambangi dataran paling selatan Jogja tersebut). Maka pada 2 jam sebelum keberangkatan ke Widodaren, saya langsung mengemasi beberapa barang ke dalam ransel dan meminjam kompor lapangan ke teman karib saya. Ba’da ashar, saya, Isna, Moyo, dan Nabila, langsung tancap gas menuju arah Gunungkidul. Naik motor dan berboncengan, padahal plat motor saya bautnya lepas, klakson mati dan lampu depan sudah mulai sakit-sakitan (nyalanya redup). Tetapi dengan mengantongi niat baik dan harapan bisa sampai di lokasi sebelum hari menggelap, kami tetap berangkat dan saya tak begitu ambil pusing hahaha. Sebelumnya, perkenalkan mereka adalah segelintir dari teman-teman KKN saya di Kalimantan. Agenda liburan untuk pergi ke pantai sebenarnya diinisiasi oleh saya dan Isna, yang memang sedang butuh udara segar (dalam konotasi; kami sedang mumet), sampai kemudian teman-teman yang lain ikut bergabung meskipun pada akhirnya kami cuma berjumlah empat orang. Tidak apa-apa, kesehatan jiwa tetap nomor satu, oleh sebab itu kami sangat antusias dalam perjalanan tersebut!

    Doa saya betulan dikabulkan! Tepat sebelum magrib mengudara, kami sudah sampai di lahan parkir dekat Widodaren, tentunya setelah melalui perjalanan darat kurang lebih dua jam karena berulangkali mandek di tengah-tengah. Dari tempat parkiran tersebut, ternyata kami masih harus jalan kaki melalui tegalan milik warga selama 20 menit karena akses jalan untuk kendaraan belum tersedia. Kami melalui pematang sawah yang kering, kandang-kandang kambing yang mengembek saat kami lewat, tebing yang naik turun, rerumputan liar yang tinggi di kanan-kiri, serta melalui pantai Ngrenehan pula yang sore itu sangat lengang. Di saat langit mulai gelap, kami terus memfokuskan langkah dan penglihatan kami pada papan petunjuk ke arah Widodaren, sambil lirak-lirik sekitar barangkali ada hal-hal yang perlu diwaspadai, hahaha.

    20 menit berjalan kaki ternyata tidak begitu terasa karena tiba-tiba saja kami sudah mendengar debur ombak berisik dari arah pantai. Sesampainya di lokasi, matahari sudah tenggelam, dan pantai dalam keadaan sangat sangat sangat sepi. Untuk menuju pasir pantai, kami masih harus turun dari sebuah bukit setinggi tiga meteran menggunakan tangga kayu yang sengaja dibuat pengelola wisata. Berbekal senter hape (karena tidak membawa penerangan apapun), kami lalu mendirikan tenda di bibir pantai. Selesai itu, kami mulai berbenah barang-barang pribadi, memasukannya ke dalam tenda, menggelar tikar di depan tenda, menyiapkan peralatan masak, menyetel lagu dari musik player, dan Alhamdulillah saya masih sempat untuk magrib dan isya setelah bertayamum, hahaha. Malam itu juga saya sok ngide memberikan kejutan ulangtaun untuk Isna yang awal bulan kemarin bertambah usia. Saya punya keyakinan, kalau kejutan (dalam bentuk apapun) adalah cara saya mengapresiasi keberadaan teman sekaligus ungkapan kasih sayang yang tersirat. Gila sihhhhhh, I'm such a sweet kid, indeed!

    Mendekati jam delapan malam, tanpa disangka-sangka, ternyata air laut semakin naik ke atas, semakin dekat dengan batas tenda kami didirikan. Baru jam delapan loh! Karena tidak mau menanggung resiko aneh-aneh, dengan terpaksa kami lalu memindahkan tenda, tikar, kompor dan barang-barang kami naik ke atas bukit, tepat di atas air laut yang meninggi tersebut, daripada kenapa-napa. Setelah itu, mulai banyak pengunjung yang datang, berkelompok dan menggendong carrier yang besar. Karena kondisi laut yang sedang pasang, mereka pun jadi ikut mendirikan tenda di samping kami. Kami berkenalan dengan sekelompok mas-mas berjumlah tujuh orang dari Karanganyar tersebut. Saya nggak tahu siapa-siapa saja namanya, nggak begitu memperhatikan, nggak penting juga haha. 

    Karena masih terlalu dini untuk pergi tidur, kami lalu menggelar tikar kami kembali di samping tenda, di atas bukit dan menghadap laut langsung. Menyemil makanan apa saja, melanjutkan putaran lagu yang sempat terhenti tadi, dan mulai melakukan kegiatan yang paling menyenangkan: bergosip! Pokoknya Moyo yang malam itu bercerita paling banyak soal bribikan-bribikannya, sejak dia masih pakai seragam sekolah sampai kisah kemarin sore dia beberkan semua. Nabila cuma merespon percakapan kami tanpa menyumbang cerita apapun, katanya dia bukan tipe orang yang bisa bercerita soal hal-hal personalnya di depan orang banyak (ahela, padahal kami cuma berempat). Saya dan Isna yang sepertinya kebagian jatah cerita sedih. Jadi saya nggak begitu cerita banyak dan detail, kecuali meminta saran how to healing my broken-self pada perempuan-perempuan ini. Alah persetan juga lah, saya lagi nggak ingin mengingat hal-hal yang bikin murung. Malam itu kami habiskan dengan mengobrol banyak hal, tanpa api unggun, tanpa penerangan apapun. Menuju pukul sebelas malam, ternyata air laut sudah melumat hampir seluruh pasir hingga menabrak dinding tebing, kami begidik ngeri, membayangkan bagaimana jadinya kalau tadi kami tidak aware dan memindahkan tenda, mungkin kami sudah tergulung ke lautan lepas.

    Pagi harinya, kami bangun agak kesiangan, itu saja karena gerombolan mas-mas di samping tenda sedang berisik. Waktu itu sudah pukul lima dan langit sudah sangat terang. Sebelum memutuskan untuk menghabiskan pagi yang segar di bibir pantai, kami melakukan ritual dulu; bersih-bersih muka, pakai toner, sunscreen dan sunblock, memasak air untuk bikin kopi, lalu turun ke bawah bukit!

pemandangan dari atas bukit, udaranya enak sekali! 

    Rupanya air laut sudah kembali surut sangat jauh. Karang-karang hijau dan besar terlihat sampai jarak sekitar 100 meter. Melihat debur dan suara ombak sepagi itu, saya mendadak jadi lega dan lebih tenang. Dalam kondisi itu, saya cuma duduk di pasir pantai sambil menenggak kopi saset, sementara Moyo, Nabila dan Isna sudah lalu lalang ke sana-sini, menyusuri karang-karang berbatu dan licin, mengintip hewan-hewan laut yang barangkali terselip di antara pasir dan karang, menyentuh riuh ombak yang kecil, atau sekadar berfoto.

    Pagi itu saya tanpa sadar memutar lagu terakhirnya Tangga dari ponsel, Tak Kemana-Mana, lagu yang ternyata tidak dirilis di mana-mana, tapi ada di Youtube. Lagu yang pada akhirnya membuat grup vokal favorit saya sejak SMP itu bubar dan menghilang.

    Awal cerita yang selalu bahagia adalah skenario yang ditawarkan cinta, namun hanya Tuhan yang tau ke mana perjalanan ini kan bermuara nantinya…

    Perasaan saya tiba-tiba menghangat. Di tengah-tengah laut lepas itu, saya sempat berkaca-kaca sebentar. Nggak ada satu menit sebelum saya segera menyeka mata dan kembali menghabiskan kopi, saya takut ketauan. Beberapa bulan belakangan ini saya masih agak kesulitan untuk mengontrol diri supaya tidak menangis. Hal-hal terus terjadi dan bertabrakan di kepala saya. Dalam keadaan carut-marut, saya selalu berusaha untuk menenangkan diri, apapun caranya. Pagi itu saya seperti dibisiki oleh seseorang, di hidup ini ada banyak hal yang tidak selalu segaris dengan kita, ada hal-hal di luar kuasa kita yang punya poros dan lajunya masing-masing, ada hal-hal yang tak perlu dipaksa dan didesak. Saya terhenyak dan begidik. Pelan-pelan bergumam pada diri sendiri, darimana pikiran tadi berasal?

     Ada hal-hal yang perlu kita sudahi dan relakan.

    Saya mengangguk cepat-cepat, lalu mematikan ponsel. Bagaimanapun juga, ini bukan saatnya untuk melarutkan diri pada perasaan-perasaan sesal. Biarlah pikiran-pikiran tadi akan saya urus belakangan. Lalu karena matahari sudah mulai naik, saya menggeser posisi duduk sampai ke bawah tebing yang lebih teduh. Setelah itu memutuskan untuk bergabung dengan yang lain, lalu malah jadi nyemplung dan melarungkan diri pada Widodaren yang hari itu menjelma seperti teman baik. Badan kami habis diterpa ombak sampai matahari semakin meninggi, tanpa peduli pada belang, kepala pusing, bahkan jemari yang bergetar kedinginan. Kami bermain air sepuas kami, seperti orang sinting, seperti tak punya kekhawatiran apapun, seperti Widodaren itu pula, lepas dan lantang…

    Diam-diam pikiran itu menjalari kepala saya lagi, “tidak apa-apa, kamu tidak apa-apa.”


*
Kanigoro,
14 Oktober

You May Also Like

0 Comments