A Life Guided #CeritaPengalaman

by - Oktober 31, 2018

    Ternyata, jadi seorang pemandu pameran itu seru juga!

    Hal penting pertama yang akan kamu dapat adalah tons of knowledge, yang kedua adalah relasi dan lingkaran orang-orang keren, hal ketiga keempat kelima dan seterusnya adalah things that are not unexpected at all.

    Karena memang sudah nge-plan bulan ini harus banyak menghabiskan waktu di luar (juga supaya lupa kalau lagi sakit :p), selama seminggu kemarin saya membaptiskan diri untuk ngevent di JIBB 2018 (Jogja International Batik Biennale), perhelatan akbar yang memang rutin diadakan dua tahun sekali, sekaligus menyambut momentum Hari Batik Nasional tanggal 2 Oktober lalu. Sebenarnya rangkaian acaranya sudah sejak September kemarin, diawali dengan roadshow di beberapa kota batik di Indonesia, terus baru deh puncak acaranya di tanggal 1-6 Oktober.

    Nah, kenapa kemudian perhelatannya ada di Jogja? Kenapa nggak Solo, atau Pekalongan? Kan kota batik juga tuh? Daerah saya di Sokaraja juga produksi batik anyway…

    Tahukah kamu? Kalau Jogja telah dinobatkan sebagai Kota Batik Dunia oleh World Craft Council (WCC –semacam organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang pengembangan ekonomi para pengrajin dunia), yang juga berafiliasi dengan UNESCO. Jadi ya Jogja lah yang kemudian dipilih, sebagai bentuk representasi kota batik dunia itu. Sangar kan!

    JIBB ini sendiri rangkaiannya ada banyak sekali. Simposium, workshop, heritage tour, fashion show, pameran batik, dan karnaval sebagai agenda penutup. Saya sendiri kebagian ngurus pameran, dan dipercaya untuk menjadi pemandu. Pameran batiknya pun digelar di 6 titik; Kraton, Benteng Vredeburg, Museum Bank Indonesia, Jogja Gallery, Taman Budaya Yogyakarta, dan saya dapat jatah di Museum Sonobudoyo. Tentunya tiap venue punya tema pamerannya masih-masing. Nah di Sonobudoyo, batik yang dipamerkan memiliki tema “Daur Hidup”. Jadi pemakaian batik dalam masyarakat Jawa (khususnya Yogyakarta dan Solo) itu dikaitkan dengan siklus hidup manusia di dunia. Setiap tahap kehidupan yang dialami manusia dari lahir sampai meninggal selalu punya representasi batiknya sendiri. Tentu, setiap motif batik punya cerita dan filosofinya masing-masing, serta mengandung pula harapan yang bagus. Seperti yang kita tahu lah, kalau ajaran-ajaran baik dalam masyarakat Jawa itu bukan hanya dijalankan dalam kehidupan sehari-hari saja, tapi juga diterjemahkan menjadi simbol-simbol. Jadi kalau ngomongin batik, kita memang akan lebih banyak menyinggung soal simbol itu sendiri sih. Budaya Indonesia kan budaya akan simbol-simbol, hihi.

    Batik-batik di Sonobudoyo ini merupakan koleksi milik Pak Afif Syakur, desainer sekaligus pengrajin batik dari Pekalongan, yang kemudian dihimpun pula oleh kelompok Sekar Jagad, sebuah paguyuban pecinta batik yang berdomisili di Jogja. Jadi proses kerja ngurus pamerannya itu secara kolektif, bersama Pak Afif, ibu-ibu dari Sekar Jagad (yang sangat necis dan tipikal ibu-ibu trendy), juga para panitia seperti saya ini. Pamerannya sendiri berlangsung sejak tanggal 1 sampai 6 Oktober, tapi persiapannya sudah jauh-jauh hari, dengan jam buka pukul 10 pagi sampai 9 malam. Dan selama jangka waktu tersebut, kami semua kerja dari pagi sampai malam terus (kecuali ibu-ibu Sekar Jagad yang memang ada shift siang dan malam). Kerjaan kami juga nggak cuma nemenin pengunjung muter-muter ruang galeri, kami harus pula membeberkan panjang lebar soal sejarah batik yang dipamerkan, menjelaskan ragam filosofi batik dari proses kelahiran, perawatan ari-ari, sampai nanti dia meninggal pakai batik jenis kawung atau slobog, tapi nggak sampai hal-hal di luar konteks sih (kecuali ada pengunjung yang bertanya aneh).

    Yang paling terasa bikin pegal sih tumit kaki ya, soalnya intensitas kita mengitari ruang pameran itu sering banget. Kalau venue lagi ramai (tapi posisinya pas ramai terus sih), kami tiap orang bisa nge-guide lebih dari 15an pengunjung sampai malam. Tiap pengunjung tentunya beda-beda; ada yang datang sendiri, berdua, mengajak keluarga atau rombongan anak sekolah, dan sekali kunjungan itu biasanya makan waktu yang lama, karena batik yang dipamerkan juga cukup banyak dan detail. Apalagi kalau yang berkunjung adalah orang-orang yang memang terjun di bidang batik, wah… bisa kali dua jam muter-muter ruangan doang. Selain harus terus stay sama pengunjung, kami juga diminta untuk selalu memasang wajah paling ramah, jadi harus senyum terus, performanya harus selalu seger, intonasi bicara juga harus yang enak. Sebenarnya sederhana sih, tinggal pasang senyum manis dan lembut-lembutin suara aja ya kan? Tapi kondisinya hari-hari kemarin itu saya lagi nggak cukup sehat dan mood juga lagi berantakan. Pernah sebelum masuk hari ketiga pameran, malamnya saya habis nangis cukup parah sampai pukul dua pagi dan kayaknya baru tidur di jam-jam subuh, paginya ketika sampai di Sonobudoyo, saya diserbu banyak orang, bahkan seorang mas-mas yang sempat saya guide pun sampai bertanya pada saya, “mbak, matanya kenapa?”, soalnya saya kalau sudah nangis lalu saya tinggal tidur, mata saya bakal jadi bengkak dan lebam kayak habis digebukin orang.

    Tentu… saya juga mendapat banyak hal menyenangkan lewat nge-guide. Bertemu dengan banyak pengunjung yang punya latar belakang beda-beda, dari yang tidak tahu apa-apa soal batik, sampai ekspert banget soal pewarnaan, jenis-jenis motif, sampai beliau transfer banyak pengetahuan ke saya (malah jadi saya yang di-guide-in). Dari anak-anak sekolah, turis asing yang datang karena nggak sengaja lewat, sepasang muda-mudi yang lagi pacaran di sekitar alun-alun, seleb-seleb lokal yang datang cuma untuk foto-foto, sampai simbah-simbah sepuh yang ternyata merupakan produsen batik di kampungnya. Saya senang banget rasanya, ternyata masih ada banyak orang yang punya interest dengan hal-hal yang pasti dianggap membosankan oleh kebanyakan orang, soal batik yang jadi identitas orang Indonesia ini. Apalagi saya dapat banyak ilmu dari pengunjung yang memang ahli batik, entah dia adalah konsumen atau produsen, rasa-rasanya di setiap pengetahuan yang dia bagikan pada saya, di setiap itu pula saya kagum dan mikir, gila ya, ada juga orang yang se-passion itu menggeluti batik.

    Pernah pada suatu sore, ada seorang ibu muda yang datang bersama anak perempuan kecilnya, saya lalu menawarkan diri untuk nge-guide mereka ke dalam ruang pameran. Si ibu ini tipikal orang yang antusias tapi pembawaannya cukup tenang, sedangkan si anak kecilnya itu sangat periang dan mobilisasinya cepat banget (lari-lari terus), nah ketika di dalam ruang wayang (jadi ada bilik pameran yang isinya batik-batik wayang, fungsinya cuma untuk interior doang), si ibu itu menarik anaknya dan menghadapkannya ke depan Bhagavadgita yang menjulang tinggi, lalu si ibu bicara pada anaknya, “Adik, kita harus belajar batik ya, kalau enggak nanti batiknya bisa hilang.” saya langsung meleleh dan tersenyum lebar mendengarnya. Kelak, kalau saya sudah jadi ibu-ibu, saya sudah tau saya akan jadi ibu seperti apa.

    Pengunjung yang datang juga ada yang aneh. Selain ada yang ngasih duit, saya juga pernah diajak foto bareng (tentu saja saya menolak karena merasa kurang nyaman), ada yang malah bertanya "Tahu nggak kamu kalau nama Mima itu asalnya dari Jepang?", ada pula yang meminta nomor ponsel saya (saya mau dilibatkan dalam kegiatan pameran batik, orang yang meminta nomor ini adalah seorang produsen batik dari Jakarta), juga ada yang memberi cokelat dan minuman (kalau ini sih teman saya sendiri yang sengaja datang). Saya juga jadi sering nonton karnaval karena letak Sonobudoyo ini cukup strategis, jadi banyak kegiatan seni-budaya yang lalu lalang di depan kami. Dan jujur sih, saya jadi sadar, kalau bertemu dengan orang-orang keren ternyata adalah moodbooster terampuh saya. Saya jadi banyak bersyukur kalau sudah ketemu dengan orang-orang jenis ini.

    Btw, guys, saya mau mencerahkan kalian sedikit soal batik. Jadi, kalian harus paham bedanya batik tulis, batik cap, sama batik printing ya. Pokoknya, kalau kalian mau make batik, hindari sebisa mungkin batik printing, jadi minimal pakai batik cap, atau lebih bagusnya pakai batik tulis (meski batik yang ini harganya mahal-mahal sih). Batik itu sendiri kan seni kerajinan tangan, jadi memang ada pengrajin batiknya sendiri, jadi kalau enggak ditulis, ya tekniknya pasti dicap. Kalau batik printing, itu mah cuma motif batik yang dicetak pada kain tekstil, dan pengerjaannya dilakukan oleh mesin, kalau kayak gitu bukan batik namanya, tapi kerajinan pabrik, hahaha. Dan biasanya batik-batik printing inilah yang paling ramai tersebar di pasaran kita, dijual dengan harga murah dan meriah. Kalau orang-orang pada pakai batik printing, yang diuntungkan bukan pengrajin-pengrajin batik, tapi pabrik-pabrik tadi, wah, lama-lama bisa hilang tuh batik kalau sudah nggak ada lagi yang make.

    Untuk perbedaannya, teman-teman bisa langsung melihat pada motif. Contoh batik tulis, karena dikerjakan dengan manual (pakai canting itu lho), motif batiknya pasti nggak simetris, ukurannya pun bisa beda-beda. Jenis kain yang dipakai juga bahannya lembut, biasanya yang serat kapasnya banyak, soalnya kan batik itu pakai lilin cair, jadi memang harus pakai kain yang bahannya mudah menyerap lilin. Karena dicanting dan pakai lilin cair (atau disebut juga malam), biasanya akan ada retakan-retakan lilin yang pecah atau lumer di sela-sela motif (soalnya kan memang dikerjakan pakai tangan, jadi hal-hal seperti itu pasti ada). Selain itu, warna motif pada bagian depan dan belakang kain adalah sama, soalnya proses mbatiknya dilakukan di kedua sisi kain. Wangi kain batik tulis juga khas, dan harum, kan pakai pewarna alami kayak kulit kayu teger, daun tom, wah dan macam-macam saya nggak begitu hafal. Terus khusus untuk batik-batik yang sudah berusia tua, biasanya ada nama pembatiknya di ujung kain. Dan yang terakhir, jelas, harga batik tulis sangat sangat mahal. Kayaknya batik tulis model jarik begitu harganya bisa sampai empat ratusan ribu lebih deh, kurang tahu juga ya. Nah, untuk batik cap, proses pengerjaannya nggak pakai canting, tapi pakai lempengan besi dengan ukuran pola yang baku (tapi tetap pakai lilin cair), jadi ya modelnya dicap begitu secara simetris. Motifnya cenderung sederhana dan berulang (biasanya dipakai buat bahan seragam sekolah). Warna kain depan lebih terang dan pekat, kalau yang sisi belakang sudah agak tipis, tapi ada juga sih yang depan belakangnya sama. Yang terakhir adalah batik printing (aduh sebenarnya agak males menyebut batik printing, soalnya jelas-jelas ini bukan batik, cuma motif batik yang dicetak di kain tekstil aja), motifnya sangat rapi dan simetris, bahkan nggak kelihatan ada celanya. Bahan kainnya agak terasa kaku, dan nggak enak gitu kalau dipakai buat baju. Sama sekali nggak ada wangi-wangi pewarna alaminya, jadi baunya ya bau kain tekstil pabrikan gitu. Warna kain bagian belakangnya biasanya putih, kalau nggak ya samar-samar lah ada tembusan sedikit. Serta harganya murah banget dan beredar dengan begitu enaknya di pasaran. Kalau kamu beli baju batik dan dapat harga 50 ribu, halah, itu mah sudah jelas printingan pabrik. Sangat sangat tidak direkomendasikan. Bisa bangkrut itu pengrajin-pengrajin batik lokalan yang ada di kampung-kampung. Jangan sampai canting itu hilang dari tradisi membatik pokoknya.

    Nah, karena sudah saya kasih tahu, mulai sekarang, mari kita budayakan pakai batik tulis yuk. Atau minimal batik cap lah. Yang penting jangan beli batik printing. Kalau mau pakai kain tekstil mah nggak apa-apa, asal jangan yang ada motif batiknya, motif yang lain lah. Hih, soalnya batik printing itu merusak tatanan kerajinan batik di Indonesia, bahkan kabarnya batik-batik printing yang ada di pasaran itu diimpor secara massal dari China, parah kaaan. Begitu ya kira-kira, saya sudahi dulu. Dah!

gendong bayipun ada kain batiknya sendiri, nama motifnya adalah selendang paturan kawung dan selendang paturan parang rusak.

teman-teman satu nasib dan perjuangan

You May Also Like

0 Comments