Merawat ingatan: tempat-tempat paling intim di Kalimantan (bagian dua, edisi Keluarga Joice)

by - November 01, 2018

(potongan bagian 1 bisa dibaca di sini)

    Awal pertemuan saya dengan keluarga Joice cukup menyenangkan kalau diingat-ingat: saya mau ketemu Bang Joni buat wawancara soal paguyuban kuda lumping, di waktu yang bersamaan, saya dan teman-teman KKN dapat undangan untuk berkunjung dan menyantap bubur di tempat Joice. Karena nggak mau melewatkan dua agenda itu, saya lalu bilang pada Bang Joni kalau saya mau ke Joice terlebih dulu, tapi ternyata beliau juga sedang ada di sana (sambil mengirim foto selfinya bersama keluarga Joice), saya dan beberapa anak cowok kemudian langsung berangkat menuju lokasi, jalan kaki malam-malam lewat jembatan kayu yang mitosnya banyak lelembutnya itu (kami sempat foto tak jauh dari jembatan itu –untuk membalas kiriman selfi Bang Joni, lalu heboh sendiri karena ada sesuatu yang janggal dalam foto, yang bikin kami langsung ketakutan paska malam itu, tapi ketika dicermati lebih, ternyata itu cuma efek flashlight hape saja, kebetulan hape yang dipakai untuk foto adalah hape saya, hahahahaha).

    Sampai di tempat Joice, kami semua langsung dijamu bubur ayam dan es sogem (soda gembira) yang segar –tentunya sambil mewawancarai Bang Joni. Begitu tau kalau beliau juga seorang pemain kuda lumping, mulai lah anak-anak cowok tadi melontarkan pertanyaan-pertanyaan berbau klenik pada Bang Joni (malah jadi ikutan wawancara). Nggak mandek sampai situ, setelah urusan saya dengan Bang Joni kelar dan beliau pamit pulang, giliran keluarga Joice lah yang menjamu kami.

    Kami dibawa ke meja panjang di halaman depan rumahnya, disuguhi makanan dan minuman lagi, dan dari sinilah saya pertama kali mengenal keluarga Joice yang hangat ini. Malam itu pertama kali saya duduk di samping Bude (yang langsung mengingatkan saya pada Ibu –karena perawakan dan gestur tubuh Bude), berkenalan dengan Pakde yang karakternya tenang, Mbak Wiwik yang suka bicara banyak, Joice yang waktu itu langsung curhat soal penyakit dan alasan kenapa dia berhenti sekolah (sampai langsung follow-followan akun instagram), Aira bermata bulat yang tak berapa lama kemudian tidur, dan Abi, si kecil bote (istilah Kalimantan untuk mendefinisikan tukang tipu) yang suka sekali menakut-nakuti saya soal setan di Kalimantan. Sepulang dari sana, kami bahkan diantar Joice naik mobil menuju pondokan, dan diwanti-wanti Bude untuk terus main ke tempatnya selama KKN.

    Rumah keluarga Joice ada di tepi jalan raya poros, berdekatan dengan pasar Karang Agung. Bude membuka usaha warung makan dibantu Mbak Wiwik, Pakde juga buka usaha isi ulang air galon, Joice juga jualan makanan-minuman ringan kayak es cokelat dan pisang cokelat, Aira yang suka menangis belum bersekolah, sementara Abi duduk di kelas 1 SD. Kalau habis pulang, biasanya Abi suka langsung ngeloyor ke sungai atau main ke sawah, beberapa kali juga saya sempat ditugasi oleh Mbak Wiwik untuk langsung membawa pulang Abi ke rumah seusai sekolah, biar anak itu nggak langsung kabur untuk main hahaha.

    Kedekatan saya dengan keluarga Joice sebenarnya karena hal sepele, yakni hobi saya yang suka sekali nongkrong di sana. Mbak Wiwik yang paling hafal lah kalau saya sering banget sebentar-sebentar ke sana bersama Hamima and the gang, ya siapa lagi kalau bukan Nur, Rara, dan Topik. Kami bisa nongkrong di Joice sampai tengah malam dan cuma haha-hehe sepanjang waktu. Biasanya kalau sudah masuk jam sepuluh ke atas, personil keluarga Joice itu akan langsung masuk ke dalam rumah, kecuali Mbak Wiwik dan Joice yang biasanya menemani kami duduk-duduk di depan sampai tengah malam. Karena keranjingan nongkrong di sana, Bude jadi suka sekali mencekoki saya dengan berbagai jenis makanan (masakan Bude enak-enak loh!), saya dapat banyak referensi tebak-tebakan karena Abi suka sekali melontarkan pertanyaan anehnya, saya juga jadi sering pergi-pergi bersama Joice untuk nganter pesanan katering, dan Mbak Wiwik juga jadi rajin banget bergosip soal hal-hal yang terjadi di desa –dari urusan Pak Kades sampai orang-orang yang jualan di pasar, karena seterbuka itu mereka pada kami, saya dan beberapa teman juga jadi nggak segan untuk bercerita soal dinamika kegiatan KKN kami (Mbak Wiwik hafal banget lah soal gosip KKN dan apa saja yang terjadi pada kami, hihihi).

    Hal yang paling berkesan sih, ketika Bude mengajak saya dan Rara untuk main ke pasar induk Bulungan dan belanja kebutuhan warung Bude. Kami dijemput subuh-subuh, diajak berkeliling ke Bulungan, melihat roda perekonomian paling sederhana lewat pasar, beli ikan dan hewan-hewan laut, bertemu dengan penjual-penjual ramah yang langsung mengenali kalau kami adalah anak KKN –Rara pakai topi biru ada tulisan UGM-nya, sarapan nasi kuning di pinggir jalan trans Kalimantan yang sudah beraspal bagus, lalu pulangnya membantu Bude di rumah membersihkan cumi, kepiting, dan udang sampai sore hari.

    Yang jelas, ketika suasana hati saya lagi nggak bagus, saya akan langsung lari ke tempat Joice dan bertemu Bude, atau Mbak Wiwik, atau melihat Aira dan Abi berantem, atau pergi bersama Joice ke manapun. Di sana, saya bisa merasakan energi baik yang menyalur lewat keluarga Joice. Cuma di tempat Joice, saya nggak perlu repot-repot memikirkan urusan KKN dan hal-hal struktural lain yang bikin pusing. Cuma di tempat Joice, saya nggak menganggap mereka sebagai informan atau mitra kerja, tapi ya murni orang-orang Kalimantan yang hangat dan menyenangkan.

    Namun ada hal yang sebenarnya masih saya sesali, kami pergi tepat di hari ulang tahun Joice, dan saya sebetulnya belum sempat pamit secara personal dengan Bude. Bude dan Pakde sempat berangkat menuju pelabuhan tanjung untuk menemui kami sebelum berlayar ke Tarakan, tapi persis di menit-menit terakhir kedatangan Bude, speed boat yang kami naiki sudah melaju terlebih dulu. Lewat sambungan telepon, Bude mengucapkan maaf dan kata-kata perpisahan. Kata Mbak Wiwik, Bude masih menangis sampai malam harinya. Saya agak ngilu dengernya, tapi saya cuma pasrah dan nggak bisa berbuat apa-apa. Dalam hati saya minta maaf pada Bude sebanyak-banyaknya, saya kepingin banget peluk Bude saat itu, Bude adalah orang terdekat saya di Kalimantan, saya paling suka suara Bude ketika manggil nama saya, dia seperti Ibu dalam wujud yang lain.

    Beberapa hari setelah kepulangan kami di Jogja, saya, Nur dan Rara sempat memberikan keluarga Joice bingkisan, sebagai bentuk ucapan terimakasih dan rasa sayang kami pada keluarga tersebut. Saya juga menulis surat untuk mereka, sampai agak tersentuh dan berkaca-kaca (because this little family is very kind!!!). Sampai sekarang pun, saya masih sering bercakap-cakap dengan Bude dan Joice lewat whatsapp, video-call dengan Aira dan merayakan ulangtahunnya secara virtual, dan masih suka ditelpon Mbak Wiwik untuk ngobrolin banyak hal (ngomongin Abi yang semakin bandel dan kelanjutan gosip KKN kami).

    Dalam hati saya berdoa sebanyak-banyaknya pada Tuhan untuk memuliakan keluarga itu selalu. Dalam hati saya berdoa, semoga kami bisa selalu berkirim kabar lewat sinyal seluler dan suatu saat saya bisa menemui mereka kembali. Saya bersyukur sekali bisa punya ikatan emosional yang kuat dengan keluarga Joice. Mudah-mudahan sehat dan sentosa selalu menyertai kita semua.

    Amin.

belanja ikan di pasar induk!

dibeliin jamu (kiri; Bude, kanan; Rara)

merayakan ulangtahun Joice, malam terakhir di Kalimantan


-
Saya masih punya daftar-daftar tempat yang akan saya masukan dalam seri tulisan ini, jadi beri saya waktu untuk menulis itu semua dan menumpahkan segala perasaan saya ya. Semoga enggak lama!

You May Also Like

1 Comments

  1. It’s good to read such interesting stuff on the Internet as I have been able to discover here. I agree with much of what is written here and I’ll be coming back to this website again. Thanks again for posting such great reading material!! To get new information

    Cara Meningkatkan Penjualan Dengan Promosi di Zoteromediacom


    BalasHapus