Putih #1

by - Februari 11, 2021

    Hari ini masih menjadi hari yang mengerikan, sama seperti hari-hari kemarin. Hujan berisik sedari malam ternyata terus terbawa sampai pagi, tak ada habisnya. Alhasil, langit jadi berkabut dan tampak suram. Bagi seseorang seperti saya yang menyerap energi dari banyak hal, tentu saja suasana langit yang jelek itu pastilah ikut mengeruhkan suasana hati saya. Tapi entah kenapa, pagi itu saya tetap bangun, melepas kaus kaki dan melipat selimut, mengambil gelas lalu menuang air minum dan menghabiskannya dalam tiga kali tegukan, kemudian diam sebentar untuk mengumpulkan nyawa sambil mengamati keluar-masuknya napas, menghitung detak jantung, dan merasakan guna panca indera dengan seksama. Setelah punya kesadaran yang cukup, saya baru paham bahwa sedari tadi sebetulnya saya dijalari perasaan takut dan gugup, diam-diam suasana langit yang jelek itu ternyata sudah merasuki saya. Kegundahan yang menyusup itu sebenarnya punya akar yang rumit dan bercabang, tapi untuk pagi itu saya punya satu alasan yang jelas; hari ini saya punya janji untuk bertemu dengan psikolog guna melakukan sesi konseling.

    Saya lalu mandi sambil berpikiran macam-macam. Rasanya mendebarkan membayangkan kemungkinan-kemungkinan apa yang nanti akan terjadi. Selesai mandi, anehnya saya malah jadi ragu untuk berangkat. Sambil menyisir rambut, saya memperhatikan diri saya di depan cermin lalu bergumam banyak hal. Saya nggak yakin. Sepertinya saya belum siap. Saya nggak mau keluar. Sepertinya saya mau membusuk saja di dalam kamar. Kemudian memakai tabir surya dan membubuhkan gincu tebal-tebal, supaya tak tampak pucat, sambil terus memojokkan diri untuk menyerah. Sudahlah, saya mau tidur sampai besok saja. Lalu Nilna, teman SMA saya, tiba-tiba sudah muncul di depan pintu kamar ketika saya baru memilih jilbab. Tak lama setelahnya, kami berdua lalu turun ke lantai satu untuk mengambil motor dan mengenakan mantel, hari masih hujan, dan melesat menuju kantor UPTD PPA Sleman di Tridadi, lembaga pemerintah yang berdiri di bawah payung Kemenpppa. Rasanya saya mau menguap saat itu juga.

    Dan yang terjadi, kemudian terjadilah. Saya sudah duduk berhadapan dengan psikolog saya, Mbak Ulfah, di ruangan berdinding putih yang tak terlalu banyak menyimpan perabotan. Pertemuan pertama untuk sesi konseling tersebut kira-kira berjalan sekitar satu jam. Mbak Ulfah banyak sekali mengajukan pertanyaan yang anehnya membuat saya jadi bicara banyak terhadap apa-apa yang saya rasakan dan mengganggu saya, yang sebelumnya sama sekali nggak saya sadari. Saya jadi seperti dikenalkan kembali dengan kegelisahan, ketakutan, perasaan malu, kebingungan dan ketidaktahuan akan apa yang seharusnya saya lakukan, juga rasa-rasa lain yang menumpuk dan kalang-kabut menimpa saya. Di titik-titik ketika apa yang saya sampaikan itu terlalu personal, mata saya merembes dan jadi sesenggukan. Mbak Ulfah seperti membantu saya untuk pelan-pelan mengidentifikasi, merunutkan, sekaligus memetakan emosi saya, supaya saya punya sedikit kejernihan dalam menilik situasi. Satu peristiwa mengerikan dan sangat tidak menyenangkan yang saya alami ternyata sungguh mengacaukan seluruh kesadaran saya. Saya sampai takut membayangkan apa yang akan terjadi kalau saya tidak mencari bantuan.

    Menjelang akhir, Mbak Ulfah bertanya soal harapan. Sesuatu yang sejujurnya sama sekali tak saya bayangkan. Di keadaan saya yang sekarang, ternyata saya tak punya cukup keberanian untuk meyakini apa itu harapan. Tapi ketika beliau menanyakan apa yang sebenarnya dalam hati saya inginkan untuk terjadi, diam-diam saya merapalkan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Baiklah kalau mungkin ini rasanya begitu pahit, tapi apa salahnya dengan membuat permohonan?

    “Kalau misalnya harapan itu bisa diberi tanda, Mbak Mima mau kasih tanda seperti apa?” Mbak Ulfah bertanya lagi. “Untuk menyimbolkan saja, tandanya bisa berbentuk apapun.” sambungnya yang seperti menangkap kebingungan saya.

    Saya diam sebentar untuk memikirkan jawabannya, saya tak punya pengetahuan yang baik soal visual bentuk. Tapi kemudian saya bicara sambil tersenyum simpul, “Mungkin bintang, tapi ukurannya kecil.”

    “Warnanya apa?”

    “Kuning.” saya masih tersenyum, “Itu warna kesukaan saya.”

    Mbak Ulfah ikut tersenyum, “Baiklah, dalam perjalanan Mbak Mima menelusuri ketidaknyamanan yang tengah dialami Mbak Mima sekarang, semoga Mbak Mima bisa selalu menghadirkan bintang kecil berwarna kuning itu di dalam diri Mbak Mima, ya.”

    Saya tersenyum lagi mendengar metafora yang digunakan oleh Mbak Ulfah, tentu saja sambil menyeka air mata dan hidung yang basah karena menangis. Perumpamaan yang manis dan sederhana. Diam-diam saya mengamini bintang kecil itu supaya bisa terus berpendar di dalam hati saya.

    Sebelum kemudian saya berpamitan pulang dan membicarakan sesi pertemuan yang selanjutnya, Mbak Ulfah, seperti teman-teman saya yang lain, ikut memberikan dukungan dan mengapresiasi keberanian yang saya punya sampai sejauh ini, meskipun sebenarnya saya sudah bilang kalau saya punya rasa takut yang besar berkali-kali selama sesi konseling. “Paling tidak Mbak Mima mampu bertahan di situasi yang menyulitkan ini, Mbak.” sambungnya.

    Dalam perjalanan pulang, saya menyadari kalau ternyata kami melewati rute yang berbeda dengan saat kami berangkat sebelumnya. Saya jadi menimang-nimang dan berpikir banyak hal lagi. Ada sesuatu yang sebenarnya tak begitu sulit tapi sungguh terasa sulit hingga rasanya tak ingin dirasakan. Di arah menuju pulang tersebut, ketika kami berhenti di persimpangan lampu merah yang akan menghubungkan ke ruas jalan di depan, saya lalu bicara pada Nilna yang menyetir di depan, “Dari kemarin sebenarnya aku nggak punya keberanian untuk lewat jalan itu, Nil.”

    “Mau lewat jalan lain apa?”

    “Gausah, muternya jauh. Lurus aja.”

    Dan begitulah, kami lantas melewati jalan bisu dan kelu itu. Saya menahan napas lima detik ketika honda beat Nilna melaju di antara pepohonan kering dan komplek pertokoan sepi yang menghinggapi jalanan tersebut, lalu di detik ke enam mengeluarkan perasaan kalut tersebut ke udara lepas. Saya mau pulih secepat mungkin, tapi kalau prosesnya harus lama dan perlahan seperti ini, semoga saya punya kekuatan yang cukup untuk bisa terus mengalami dan menghadapi apapun di depan mata nanti.

    Teman-teman, maaf kalau saya mungkin punya banyak waktu diam dan jadi lambat terhadap banyak hal, saya akan berusaha untuk tetap mengada (dan tidak menghilang). Sisa waktu yang saya punya untuk sementara ini sedang saya gunakan untuk memulihkan keadaan saya supaya bisa kembali membaik. Terima kasih dan sampai ketemu di catatan berikutnya…


*
Kaliurang yang beku, 2021.

You May Also Like

4 Comments

  1. peluk mima dari jauh. simpan bintang kecilmu dalam genggaman selalu, ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Echa, nanti aku chat kamu yaaa... makasih anyway 🙏💛

      Hapus
  2. Tetaplha bernafas mbak. Meski terkadang dibuat sesak sama hidup.

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih banyak anon baik utk dukungannya🙏

      Hapus