Putih #2

by - Februari 13, 2021

    Kenapa ya kita selalu merasa amat sangat bersalah kalau sedang tidak bisa menjadi produktif? Minggu ini saya meliburkan diri dari tempat saya mengambil kerja paruh waktu, lalu meminta ijin pada teman-teman projekan untuk istirahat dan tidak melanjutkan pekerjaan selama beberapa hari, juga menghindari perjumpaan dengan teman-teman yang padahal punya niat baik untuk bertemu. Di satu sisi rasanya seperti kosong dan sepi yang mengiris pelan-pelan, tetapi di sisi yang lain pula, saya tak pernah punya cukup kekuatan untuk menghadapi itu semua, interaksi-interaksi yang demikian entah kenapa rasanya begitu menyulitkan untuk dilakukan. Ketakutan itu seperti menggumpal dan tumbuh menjadi mahluk besar yang mendominasi kesadaran saya. Lalu yang saya lakukan berikutnya adalah menelan diri dan hidup melambat... dan saya tak tahu apa ini sesuatu yang destruktif saya lakukan atau tidak? Kesendirian yang mematikan sekaligus menyembuhkan. Kesendirian yang meniadakan sekaligus menguatkan. Kemudian jadi punya banyak sekali waktu dan hal untuk dirapikan; menenangkan diri, mengademkan diri, menjernihkan diri. Tetapi di saat yang bersamaan pula rasanya jadi seperti memanggil peristiwa-peristiwa buruk di masa lalu, lantas membenturkannya secara lembut dengan kondisi yang sekarang. Rasanya hidup orang lain seperti terus berjalan, tapi hidup saya terasa macet dan berhenti. Rasanya kesedihan yang teramat besar ini sampai tak bisa muat di dalam tubuh saya yang kecil. Rasanya apa-apa yang terjadi ini terlalu kompleks, tapi di saat yang bersamaan, ternyata juga sehambar ini.

    Kalau situasinya sedang aneh begini, saya jadi teringat dengan beberapa lagu menyenangkan yang biasa saya dengar dengan volume kencang. Taman Bunga Plantungan-nya Dialita, lagu keroncong mendayu-dayu yang secara kilat dapat membuat saya rileks, juga lagu mereka yang lain berjudul Ujian dengan liriknya yang kontemplatif “apa aku emas sejati atau imitasi?” yang dinikmati sambil menelan obat pereda nyeri kepala, atau paracetamol karena beberapa hari ini tubuh saya selalu mengalami demam. Saya jadi ingat dengan mimpi saya untuk menyaksikan Dialita secara langsung, di saat-saat seperti ini, mendengarkan Dialita sambil mengeluh kesakitan rasanya seperti sedang disuntik harapan. Ada juga Autumn Town Leaves-nya Iron & Wine, folk-folk gaya amerika yang sangat mendinginkan kepala. In this autumn town where the leaves can fall, on either side of the garden wall, we laugh all night to keep the embers blowing. Emosi yang sedang kalut dan memuncak bisa mereda secara perlahan kalau telinga disumpal dengan lagu tersebut.

    Lalu kadang-kadang saya juga menghibur diri dengan banyak kegiatan, jangan sampai saya mati membeku. Berbelanja sayuran ke pasar pakem yang dingin; membeli jus mangga dan buah pisang serta semangka; menjerang air untuk kemudian membuat jahe panas campur madu; memasak sayur sop, perkedel tahu, dan bakwan jagung; mengepel lantai kamar dan mencuci bersih sepatu-sepatu; menikmati sore di dekat balkon sambil memakan es krim; mengobrol dengan ibu kost soal kompor di dapur yang ngadat; menulis puisi-puisi kesepian dan juga menonton film. Sejauh ini saya belum bisa melakukan interaksi dengan banyak orang dan berpergian dalam waktu lama, jadi hal-hal yang terjadi selama beberapa hari ini hanyalah peristiwa kecil yang santai, tak banyak berisik, dan cukup untuk mengisi diri sendiri.

    Ada satu film yang terakhir saya tonton berjudul Romang (2019) dari Korea Selatan, menceritakan sepasang lansia yang keduanya mengidap penyakit demensia dan hidup bersama mengandalkan satu sama lain. Konfliknya intens, begitu pula dengan keputusasaan yang dirasakan si nenek maupun kakek sepanjang durasi film. Akhir ceritanya nggak menyenangkan, tentulah karena salah satu dari mereka kemudian mati lebih dulu, tapi saya nggak sedih, saya tahu realitas hidup memang kadang terasa seperti itu. Selain itu ada juga satu film pendek berjudul A Friday Noon (2016) yang barusan saya tonton. Berkisah soal kompleksitas transpuan yang cuma kepingin salat Jumat, tapi harus mengalami banyak masalah di perjalanannya mencari masjid untuk sembayang. Ceritanya juga nggak berakhir menyenangkan, dan saya nggak terkejut. Nggak ada yang kontradiktif, apa yang terjadi di dalam layar dengan kenyataan yang sesungguhnya memang seperti itu; hidup tidak selalu mujur. Diam-diam saya mengernyit, mungkin saya yang sedang berpasrah? Sampai sekarang saya bahkan belum bisa marah, dan entah kenapa tak bisa marah, di saat teman-teman saya sudah lebih dulu memaki sumpah serapah dengan brutal. Untuk menuju keadaan emosi yang seperti itu, lagi-lagi saya merasa nggak punya cukup kekuatan. Segala yang saya alami adalah kebalikan dari perasaan mendakik-dakik itu.

    Saya menghela napas sesaat. Dunia yang hebat dan serba cepat ini selalu diam-diam menikam kita. Harus meraih, harus mencapai, harus mendapat, harus mengejar, tanpa mau menyelami proses-proses merelakan, melepaskan, memberikan, menyerahkan… Padahal hidup ini cuma fase; ketika rasanya memuakkan, ternyata suatu saat akan membekas di hati jika mau diamati lebih dalam; ketika rasanya berat, ternyata itu bisa jadi pengingat bahwa kita pernah merasa lebih bahagia tanpa kita pernah pikirkan dan rasakan. Saya jadi ingat cita-cita saya terhadap banyak hal, mimpi-mimpi sepele yang membuat saya bersemangat, perasaan-perasaan ringan yang menyenangkan, kenangan-kenangan manis yang terputar berulang kali di kepala. Saya masih anak perempuan yang berharga meski punya kesedihan sebesar lautan di dalam hati.

    Saya jadi mengerti, ketika saya punya satu peristiwa tidak menyenangkan, yang kemudian sering saya lakukan adalah menyalahkan diri dan mengutuk keadaan yang seperti tahi. Pikiran saya dapat mengurutkan ketololan apa saja yang seharusnya tak saya lakukan pada saat itu. Saya nggak pernah benar-benar tulus menghargai segala keputusan yang sudah saya buat selama 23 tahun ini. Mungkin seharusnya saya nggak menyesali apapun yang telah terjadi di belakang, bagaimanapun hidup telah mengantar pada banyak sekali dinamika. Kemampuanmu menerjemahkan hidup dan pengalaman menjadi pengetahuan-pengetahuan yang bernilai adalah hal yang seharusnya dipelihara.

    Di sela-sela saya menghirup aroma bosan dari tubuh kecil saya, saya membuka kembali novel Laut Bercerita milik Leila Chudori yang kertasnya telah mengkerut dan menjadi kuning akibat pernah terendam banjir dua tahun lalu. Di sana, Laut menulis surat untuk adiknya, Asmara Jati, ketika dirinya dikabarkan menghilang pasca gejolak politik tahun 1998. Laut berpesan untuk adiknya, ayahnya, sekaligus ibunya, sebuah kalimat yang membuat saya dapat tercenung sejuta kali; jangan hidup di masa lalu, jangan terjebak pada kenangan yang membuat kalian semua tak bisa meneruskan hidup

    Mata saya berat. Malam ini saya akan tertidur tanpa menangis. Maaf kalau tulisan saya kali ini tidak runut dan rapi.

    Selalu selamat, selalu belajar.


*
dan hujan-hujan deras yang menggelayuti hati, Februari yang mengabu dan terhenti.

You May Also Like

0 Comments