19 tahun yang bikin bergidik

by - April 23, 2017

Setengah empat pagi. Hari kedua menstruasi.

Satu mangkuk sereal yang disiram susu panas. Perempuan itu sendiri tidak tahu kenapa di waktu sakral tersebut dia malah terkatup-katup sambil menyangga dagu di hadapan mangkuk plastiknya. Kenapa ia tidak tidur saja atau ibadah pagi sekalian karena sudah hampir subuh. Yang jelas, mata anak perempuan itu barusan melahirkan berkantung-kantung kesedihan di bawah mata yang dibuatnya dengan modal layar monitor laptop karena pekerjaan mendesain, jam tidur yang tidak pernah beres, tumpukan gelas kotor bekas kopi tubruk, dan hidup yang memang sudah aslinya berantakan.


HUHUHU.

Sebenarnya kepingin banget dari kemarin-kemarin-kemarinnya lagi untuk bikin postingan blog karena sudah sejak akhir maret saya nggak nulis apa-apa, tapi rasa-rasanya pekerjaan baru saya (bikin desain) yang berbukit-bukit itu seperti mencekik telak saya dan membuat megap-megap (ngapak: kesulitan bernapas) sampai kadang saya kepingin banget dirawat inap saja di rumah sakit umum daerah selama satu periode supaya hidup saya cuma tiduran doang isinya wkwkwkwkwkwkwk.

How’s life, teman-teman? Hidup saya masih berantakan, tapi oke soalnya saya sudah kebal. Dan kadang-kadang pada dini hari begini, saya suka keracunan tekad-tekad baik saya, yang kemudian membuat saya pada keesokan harinya langsung jadi anak perempuan yang meletup-letup kaya mercon cengis. Habis subuh harus olahraga! Makan pagi! Cuci piring dan baju! Menandai buku yang akan dibeli! Menandai pertunjukan-pertunjukan teater yang akan ditonton! Mengerjakan tugas-tugas desain! Membuka jendela kamar! Mengecek email! Keramas! Makan sayur! Beli jus! Intinya adalah hidup yang penuh dengan tanda seru! dan gairah-gairah yang menyenangkan. Tidak boleh merasa tiba-tiba sedih, ingin menghindari manusia, menolak segala agenda, menangis, melamun, dan begadang. Hal-hal yang saya sebutkan terakhir tidak punya nilai gizi dan cenderung membahayakan tubuh. Tapi mercon cengis tetaplah mercon cengis yang ada masanya akan berhenti meletup, terbakar dan gosong, lalu hancur. Saya masih kadang-kadang jadi demikian. Malah kalau dipikir-pikir, intensitasnya lebih sering akhir-akhir ini daripada hidup saya yang dulu, atau malah kebalikannya, atau malah sama saja antara dulu yang sekarang, ̶ hidup yang enggak ada bedanya, ha mbuh lah.

Jelang usia 19 tahun saya yang akan berakhir, saya jadi insecure sendiri kadang-kadang. Perasaan-perasaan soal ‘betapa sebenarnya hidup ini menuntut saya untuk jadi dewasa’ benar-benar menghujani seluruh partikel sel di tubuh saya, soal bagaimana kehidupan sosial yang terdikte ini terus menekan kami jiwa-jiwa muda untuk berhenti bersenang-senang dan menjalani hari-hari dengan serius, soal tanggung jawab dan beban-beban yang beruntun memangsa kami, soal tolak ukur bahwa kami harus jadi orang yang bergelimangan banyak uang sebagai tengara kesuksesan dan kesejahteraan kami. Agak tai juga ya.

Belakangan ini ibu saya sering sekali berkirim kabar kalau teman saya ada yang akan menikah, lalu saya disuruh pulang untuk datang ke hajatannya. Bukan cuma sekali, dua kali, tapi sampai tiga dan empat kali, benar-benar menyadarkan kalau semakin tahun kita semua bertambah tua dan usia 19 tahun saya ini benar-benar usia yang bukan main-main. Gusti allah, saya dan teman saya itu dulu masih suka ke langgar bersama dan bermain di kebon bambu sampai sandekala, saya bahkan sampai menunggunya mandi di sumur belakang rumah untuk berangkat ngaji sehabis ashar, kami dulu benar-benar anak kecil dan semua hal terasa sungguh mudah. Sekarang saya berada di kota orang, mengejar cita-cita saya yang diremehkan banyak orang, dan mereka satu per satu mulai memutuskan menikah, entah dengan harus mengubur mimpinya atau hidup yang memaksa mereka untuk begitu. Saya berdoa, semoga apapun jalan hidup yang teman-teman ambil, itu adalah murni keinginan mereka. Betapa hidup ini sangat membuat merinding, segalanya punya poros lajunya masing-masing. Ibu dulu menikah di usia 20, dan saya jadi penasaran satu tahun ke depan sedang apa dan di mana saya ini, mengingat betapa mblangsaknya hidup seorang hamima, teman-teman harus maklum kalau saya sangat mengkhawatirkan masa depan dan keberlangsungan hidup anak perempuan ini.

Sudah beberapa bulan juga saya nggak kunjung pulang ke rumah untuk melihat bapak ibu saling berteriak satu sama lain, padahal besar sekali perasaan kepingin saya untuk duduk di kereta dan menikmati perjalanan sore sambil syukur-syukur bertemu dengan ibu-ibu baik yang enak diajak ngobrol. Perasaan kepingin itu jelas merasuk sampai ke rongga dada karena saya sendiri sampai mual hidup lama-lama di kota orang. Saya kepingin sehari dua hari nggak dikejar-kejar tanggung jawab, kepingin sebentar saja nggak tidur pagi dan menenggak kopi akibat lembur, kepinginnnn sekali cuma menjalani hidup saya sebagai 'hamima' yang kerjaannya disuruh-suruh ibu, mengantar adik ke sekolah, menemani bapak bekerja ke luar kota, bukan hamima yang mahasiswa, anak teater, anak media, yang ngoyo dan tersengal-sengal karena dikejar hidup yang serius.

Tapi ya sudah lah! Bacot juga saya. Kalau hidup ini nggak berat, kita nggak akan jadi orang yang kuat. Toh, hal-hal itulah yang membuat saya jadi orang yang beneran 'hidup', yang bisa merasakan secara cuma-cuma pahit dan maniezzznya hidup di kota orang modal membawa diri usia 19. Toh lagi, sebenarnya apa sih susahnya hidup saya ketimbang hidup orang-orang di luar belahan bumi sana yang saya nggak tahu? Paling-paling saya cuma sebiji kenari yang kalau dilindas pun bakal habis dan selesai.

Yang jelas, hidup ini terus-terusan membuat saya begidik.

alam, alam, alam
saya ingin kamu sekali

You May Also Like

0 Comments