Tentang Cita-Cita Punya Gedung Pertunjukan

by - Desember 10, 2017

    Saat itu saya dan Mbak Devi sedang duduk di dalam ruang pertunjukan Societet Militair TBY (Taman Budaya Yogyakarta). Kami hanya berdua di ruang yang lengang tersebut, ngaso sebentar sambil menunggu teman-teman komunitas film yang tengah menyantap makan siang di teras luar.

   Saya dan Mbak Devi tengah menjalankan pekerjaan kami sebagai panitia divisi hospitality dalam suatu festival film yang digelar oleh Dinas Kebudayaan DIY. Sebuah divisi yang sekaligus menyublim menjadi LO. Kami melayani dan mengakomodasi seluruh kebutuhan peserta festival, dari transportasi sampai masalah penginapan di hotel, mengingatkan mereka untuk sarapan sampai menawarkan obat-obatan kalau-kalau ada yang sakit, mengabsen mereka satu-satu di setiap pergerakan menuju venue festival sampai hal-hal remeh seperti ditanyai peserta “apakah mbak seorang panitia?” saking tidak yakinnya melihat anak kecil seperti saya mengalungi co-card panitia, menenteng tumpukan kertas-kertas penting, dan hobi lari ke sana-sini untuk mengurus banyak hal. Dengan jumlah peserta yang hampir mencapai 100an orang, saya bersyukur saya ditemani oleh Mbak Devi, yang sabar dan mau bekerja bersama saya yang sedikit-sedikit suka panik. Nggak kebayang rasanya kalau hanya ada saya seorang, mungkin saya sudah jadi batu bata yang siap dilumuri adonan semen, memilih untuk dibuat tembok saja.

 Di dalam ruang pertunjukan yang melompong itu, saya mengangkat kaki ke atas kursi penonton berwarna merah dan menyenderkan badan saya dengan nyaman. Mbak Devi sedang bermain ponsel. Saya menyusuri ruangan lebar itu lekat-lekat lalu berujar lirih, “Aku pingin deh punya gedung pertunjukan alternatif, yang aku kelola sendiri, bukan milik pemerintah.”

 Mbak Devi melonjak dan tiba-tiba menyahut, “Iya sama, aku juga!”

   Saya lebih terkejut lagi menyadari kalau ternyata ada juga orang yang bercita-cita sama seperti saya; punya gedung pertunjukan sendiri. Entah sudah berapa kali saya bilang hal yang serupa kepada teman saya dan hanya ditanggapi dengan ah oh ah oh biasa, beberapa bahkan malah menyuruh saya kerja di XXI atau bioskop mall lain, kan bikin sebal. Padahal bukan seperti itu maksud saya.

    “Kalau bisa yang jumlah kursinya nggak banyak-banyak amat, kayak di sini juga nggak apa, 200an kursi.” saya bicara lagi, sambil menaikkan kaki ke punggung kursi di depan saya, mengikuti gaya duduk Mbak Devi. "Yang bisa dipakai untuk nonton beragam pertunjukan; teater, film, konser. Kalau bisa juga yang aksesnya mudah dan bisa dijangkau kelompok menengah ke bawah. Soalnya selama ini, bioskop, gedung teater, dan ruang pertunjukan sejenis selalu punya privilej untuk masyarakat kelas atas. Padahal hiburan pertunjukan itu kan harusnya jadi hak setiap orang.”

    “Dulu pas Ziarah diputar di tengah-tengah masyarakat Gunungkidul pakai konsep layar tancap, aku seneng banget bisa lihat antusias mereka nonton bergelar tikar anyam dan wedang hangat malam-malam. Dari situ jadi mulai punya keinginan untuk menghadirkan pertunjukan-pertunjukan lain kepada warga lokal, memberikan mereka akses semudah-mudahnya untuk mengonsumsi pertunjukan. Pasti bakal seru.”

    “Ah iya, poster-poster pertunjukan juga pinginnya dibuat secara manual, pakai cara-cara yang masih tradisional, kayak dilukis pakai tangan di atas kain belacu, dibikin spanduk sebesar gaban, atau dicetak di papan kayu kemudian ditempel di dinding gedung halaman depan. Begitu juga dengan tiket dan sistem promosinya. Pokoknya pingin buat konsep gedung pertunjukan yang ramah, semacam bioskop alternatif yang terjangkau, mudah untuk semua kalangan serta vibe-nya jadul sebelum era digital.”

    Tanpa sadar, saya bicara sendiri selama itu. Saya nggak nyangka rasanya semenyenangkan ini bicara soal cita-cita dengan orang yang juga bercita-cita hal yang sama. Cerita-cerita tadi kemudian jadi bayangan yang menarik, yang kadang bikin saya senyam-senyum sendiri.

    Kemarin-kemarin saya juga menemui satu orang lagi yang punya cita-cita sama; Sari di film A Copy of My Mind yang diperankan oleh Tara Basro. Di film tersebut, perempuan yang menggilai film sampai membuatnya berani mencuri kaset-kaset vcd itu menuturkan impiannya di depan kekasihnya, Alek (Chico Jericho), bahwa ia ingin punya home theatre yang layarnya besar dan audionya keras. Sari berbicara dengan yakin soal mimpinya sambil tersenyum lebar. Melihat adegan itu, saya seperti disuntik dopamin, saya senang dan langsung punya kepercayaan yang besar. Percaya kalau suatu hari nanti, saya pasti akan punya gedung pertunjukan itu, yang bisa menampung hajat orang banyak untuk beribadah seni pertunjukan; film, teater, tari, musik, atau ragam bentuk pertunjukan lain. 

    Selain itu, saya juga ingin sekali keliling ke berbagai tempat dan mencicipi gedung-gedung pertunjukan di sana. Merasakan atmosfir magis ketika duduk di kursi penonton dan menghadap ke  panggung besar. Saya ingin sekali jadi bagian pertunjukan-pertunjukan yang megah, meskipun lewat kursi penonton. Seperti di Jakarta, lewat Kineforum, Kinosaurus, Paviliun 28, Taman Ismail Marzuki, Gedung Kesenian Jakarta, Teater Salihara, Wayang Orang Barata, Ciputra Artpreneur Theatre, Miss Tjitjih Theatre, Sinematek Indonesia, sampai ke Teater Utan Kayu. Mungkin juga di Solo, Bandung, Semarang, dan kota lain yang punya gedung-gedung pertunjukan bagus. Soalnya hampir semua tempat di Jogja sudah pernah saya sambangi: Concert Hall di TBY, Societet Militair, IFI LIP di Sagan, Teaternya Garasi, PSBK, Kedai Kebun Forum, Ramayananya Prambanan, Sangkring Art, Pendopo Art, Langgeng Art, Auditnya kampus-kampus seperti ISI, UNY, UGM, PKKH, dan entah apalagi saking banyaknya Jogja menggelar banyak pertunjukan.

    Saya menyusuri sekali lagi ruangan lebar di depan saya itu dengan pandangan menelisik, lalu menghirup partikel udara banyak-banyak dan membungkusnya ke dalam paru-paru. Saya kemudian beranjak dari kursi dan berjalan ke arah depan. Meraih sebuah kursi yang lain, mendudukinya, lalu menghadap ke belakang, ke arah Mbak Devi. “Mbak, tolong fotoin aku dari situ dong.” ujar saya sambil meringis.

sistem promosi film bioskop dengan berkeliling menggunakan mobil pick up yang ditempeli penuh poster-poster, di kota saya Purwokerto.

gedung pertunjukan di Magelang jaman baheula. sumber: GNFI

difoto oleh Mbak Devi

You May Also Like

0 Comments