The Seen and Unseen: 'Magical Belief' yang Menyihir

by - Desember 13, 2017

Tantri yang artistik

    Berbekal penasaran karena melongok trailer film ini dan membaca beberapa review menarik di internet, sore harinya saya memutuskan untuk bertandang ke JAFF yang digelar di Empire, menuju meja media center dan menuliskan nama beserta instansi saya, lalu mendapat satu tiket masuk tanpa mengocek uang lima belas ribu dan susah payah ikut antrian penonton. Enak kan uripku?

    Ketika saya selesai mengurus registrasi dan menerima bonus kartu pers, salah seorang teman yang juga menjadi panitia divisi ticketing berseru sebelum saya berlari ke ruang bioskop (karena pemutaran sudah mau dimulai), “Bikin liputan yang bagus ya!” Hehe, iya, saya datang sebagai orang media partner untuk liputan screening. Kan lumayan, ya, bekerja sambil bersenang-senang.

    ‘The Seen and Unseen’ yang diputar dalam program Asean Feature Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2017 menyoroti kisah Tantra dan Tantri, kembar buncing yang memiliki relasi khusus dan saling melengkapi. Mereka hidup di sebuah pedesaan Bali yang religius dengan latar berupa hamparan sawah dan ladang-ladang hijau. Kembar buncing adalah istilah Bali untuk mendefinisikan anak kembar dengan jenis kelamin yang berbeda, yakni seorang laki-laki (Tantra) dan seorang perempuan (Tantri). Kembar buncing oleh masyarakat lokal Bali dianggap sebagai simbol keseimbangan dalam hidup.

    Simbol keseimbangan tersebut diwakilkan lewat beberapa adegan seperti Tantra yang hanya mau makan kuning telur dan Tantri yang juga menyukai putih telur. Keduanya merekah beriringan sebelum Tantra kemudian jatuh sakit dan dirawat inap selama berhari-hari. Kondisi tersebut membuat Tantri menjadi layu dan dihinggapi perasaan kosong. Tantri sering melongok saudara laki-lakinya di rumah sakit, memandangi Tantra yang tergolek lemas di atas ranjang dengan tatapan menerawang. Tantri seperti diselimuti banyak pertanyaan, tentang mengapa tubuh Tantra ada di sana dan mengapa ia tak kunjung bangun. Mengapa Tantra terus diam?

    Kamila Andini selaku penulis dan sutradara film dalam sesi Q&A menuturkan bahwa The Seen and Unseen merupakan sebuah filosofi Bali yakni Sekala Niskala, yang berarti sesuatu yang terlihat (Sekala) dan tidak terlihat atau gaib (Niskala). “Hidup itu terdiri dari 2 hal tadi, antara yang kasat mata maupun tidak, dan ini mendefinisikan bukan hanya pada masyarakat Bali, tapi juga masyarakat di Indonesia. Kita tahu bahwa masyarakat kita sangat mempercayai hal-hal seperti itu.” imbuhnya.

    Ayu Laksmi yang berperan sebagai Ibu dari Tantra dan Tantri juga ikut menjelaskan tentang kepercayaan masyarakat Bali terhadap hal-hal yang tidak tampak. “Setiap hari ketika kita terjaga dari tidur, hal yang kita lakukan adalah berupa penghormatan kepada Yadnya untuk Tuhan, maupun Yadnya untuk Bhuta atau alam semesta. Karena masyarakat Bali punya konsep Tri Hita Karana.” ujarnya dalam balutan kebaya Bali putih. Konsep Sekala Niskala, menurut Ayu Laksmi, diartikan sebagai wujud lain dari bentuk penghormatan kepada yang tidak tampak.

    Dia juga menambahkan, Bali dipilih sebagai setting tempat karena tradisi tersebut masih dirawat di kota-kota besar maupun di desa-desa yang terpencil, dan hal itu terlihat sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, film yang menjalani proses produksi selama 5 tahun ini juga mengangkat kepercayaan (deep connection) masyarakat Bali terhadap bulan, di mana mereka juga memakai siklus bulan untuk mengatur perhitungan kalendernya. Sistem kepercayaan itulah yang kemudian dijadikan elemen utama sekaligus kekuatan dalam film The Seen and Unseen ini.

    Bagi saya, film ini adalah film yang sungguhan merepresentasikan anak-anak sesuai porsinya mereka. Kita, orang-orang dewasa, diajak masuk menyelami dunia imajinernya anak-anak, membawa kita pada pengalaman spiritual dan hubungan emosional anak-anak, yang bagi kita mungkin terlihat sangat aneh dan mustahil, tapi entah kenapa rasanya jadi begitu magis. Sinematografinya saja cantik sekali, banyak unsur lokalitas Bali yang diusung, saya seperti sungguhan bisa menghirup aroma dupa dan menjejakkan kaki di lahan sawah di sana. Wardrobe yang dipakai Tantra dan Tantri, koreografi pada setiap adegan lekukan tubuh, pemilihan dialog, bahkan sampai hal-hal sedetil piring seng yang dijadikan properti, bagi saya semua itu terpampang sangat indah. Kamila Andini beserta teman-teman kru lain, saya kira sudah cukup berhasil mengemas The Seen and Unseen menjadi sajian yang manis dan hangat. Pantas saja kalau film ini berkesempatan diputar perdana di ajang Toronto International Film Festival (TIFF) 2017.

    Dunia anak selalu dicitrakan dengan hal-hal bernuansa menyenangkan dengan tone warna cerah dan ceria, tapi Kamila Andini menampik hal tersebut dalam menggarap filmnya. Kematian dan jam malam adalah dua topik yang asing dengan anak-anak, untuk itu, Kamila mencoba menuturkan hal-hal tersebut lewat visual yang menyihir. Melihat Tantra dan Tantri dalam The Seen and Unseen, rasanya seperti sedang merayakan kesedihan dengan cara yang begitu memikat. Perasaan itu larut seiring dengan geliat Tantri yang menyadari kehidupan kembarnya, Tantra, lama-lama memudar. Tantri bercengkerama dengan imajinasinya soal Tantra, melalui malam-malam dingin dan temaram purnama, lalu menjadi beku kembali ketika siangnya Tantri ternyata masih mendapati Tantra berbaring di kasur rumah sakit.

“This situation opens up something in Tantri’s mind: she keeps waking up in the middle of the night from a dream and seeing Tantra. The night becomes their playground. Under the full moon, Tantri dances—about her home, about her feelings. As the moon dims and is replaced by the sun, Tantri’s becoming a woman eclipses Tantra’s fading life.” - JAFF 2017.

    Terima kasih sekali mbak Kamila Andini, untuk perspektif baru mengenai hidup yang sangat segar! Sukses untuk pemutaran di bioskop komersil 2018 mendatang!

Ibu dan Tantri

You May Also Like

0 Comments