Kaleidoskop 2017: perempuan di perantauan (bagian 1)

by - Januari 17, 2018

    2018 menjadi tahun ketiga saya hidup jauh di dataran provinsi DIY dan sekitarnya, although only 169 kilometers away dan dengan jarak tempuh 3 sampai 4 jam. Bagi saya hal itu sudah jadi pencapaian baik untuk saya bisa keluar dari zona paling nyaman; rumah, keluarga, tempat tinggal saya di desa yang tenang, dan juga orang-orang baik di sekeliling saya. Setidaknya saya sedang melatih diri untuk survive dengan mencebur ke dalam lingkungan yang multikultur, pada keadaan yang tidak segalanya berporos pada kita, pada dataran bumi yang lebih luas lagi. Karena kalau saya cuma berada di dalam tempurung, takut melongok ke luar, menutup diri dari kesempatan-kesempatan baik, saya jelas akan rugi banyak hal. Saya cuma akan diam dan berputar-putar dengan isi kepala, tanpa membebaskannya, tanpa menumpahkannya, tanpa mau melihat kalau sebenarnya kehidupan ini begitu kaya dan beragam, akan banyak hal. Lagi-lagi; banyak hal.

    Saya jelas masih mengingat alasan saya memutuskan untuk merantau setelah lulus SMA: saya ingin merasakan tinggal di luar rumah, dan cara untuk merealisasikannya kemudian adalah dengan kuliah. Karena SMA saja saya tidak punya keterampilan apa-apa, jadi ya begitu lulus kegiatan yang selanjutnya saya lakukan adalah sekolah lagi lebih tinggi. Untungnya, dengan saya kuliah, saya bebas pilih jurusan apapun yang saya mau, jadi saya tidak perlu lagi repot-repot belajar matematika, fisika, kimia, biologi, dan bidang-bidang lain yang sama sekali nggak menarik perhatian saya. Mata pelajaran - mata pelajaran yang cuma formalitas saya pelajari demi bisa dapat nilai yang layak di buku rapor.

    Pilihan jurusan kemudian jatuh kepada Antropologi Budaya (setelah semedi 1001 malam). Saya lalu membongkar banyak website dan platform di internet untuk mencari tahu di mana saya bisa kuliah Antropologi Budaya. Hasilnya adalah beberapa universitas keren; ada UI, UGM, Unpad, Udayana, UB, Unair, terus entah deh di mana lagi. Pilihan saya kemudian jatuh pada UGM yang berada di Jogja. Kalau tanya alasan, saya akan jawab dengan mantap; di Jogja kegiatan kesenian dan budayanya rame banget, nggak seperti di Purwokerto. Sudah itu saja cukup, silakan diinterpretasi sendiri-sendiri hahaha.

    Awalnya memang keinginan saya untuk kuliah di luar kota ditentang habis-habisan oleh keluarga, terutama Bapak. Saya pernah menulis di postingan sebelumnya kalau Bapak itu orangnya sangat konservatif, apalagi untuk urusan-urusan yang menyangkut dengan anak perempuannya. Tidak aman lah, bahaya lah, dan segala justifikasi dijadikan alasan Bapak. Tapi karena saya juga tidak mau mengalah dan merasa punya hak atas keputusan yang akan saya jalani (meskipun support dana masih ditanggung 100% oleh keluarga), lama-lama Bapak meleleh juga karena sepertinya beliau betulan sadar kalau step hidup setelah lulus SMA ini sepenuhnya ada di tangan saya. Voila, juga berkat doa Ibu yang manjur, saya kemudian kuliah antro di Jogja, ngekos dan hidup jauh dari lingkungan tempat tinggal saya di Purwokerto.

    Senangnya jadi perantau adalah saya bisa bertemu dengan manusia yang punya latar belakang budaya berbeda, keyakinan akan hal-hal yang berbeda, perspektif dan tata nilai yang berbeda, juga melihat dinamika hidup yang berbeda pula. Rasanya seru banget bisa berada di masyarakat yang majemuk, kita akan mendapat banyak pengalaman dan pemahaman yang baru, jadi terbuka dengan segala bentuk keragaman, lalu kita akan diantar pada sikap saling menghargai dan menyayangi sesama. Tidak ada kebencian dan kejahatan yang ditularkan, tidak boleh merasa paling-paling, tidak boleh merendahkan kelompok lain, no way. Pokoknya, merantau sama dengan melihat banyak hal yang akan memperkaya sudut pandang.

    Saya juga bersyukur, karena antropologi ternyata adalah bidang studi yang keren banget. Metode ilmu ini adalah etnografis, yang didapat dengan cara melakukan penelitian lapangan, terjun ke kelompok masyarakat langsung, live in selama beberapa waktu, menyelami sistem kebudayaan dan tatanan perilaku anggota kelompok, menjadi pengamat sekaligus ikut membaur. Sebuah observasi yang partisipatif; melihat dimensi sosial di luar lingkaran kita, melihat orang-orang saling bersinggungan antar sesama, melihat bahwa kita semua ternyata saling terkoneksi dan punya keterhubungan yang bisa dijelaskan secara kultural.

    Tulisan ini akan jadi semakin panjang karena saya akan mengilas balik satu tahun kemarin, perjalanan selama di tanah rantau yang membuat saya sungguh-sungguh bersyukur untuk segala hal yang dihantarkan Tuhan di dalam hidup. Tahun kemarin saya cukup banyak menempa diri dengan berbagai kesempatan baik. Hal itu tentunya nggak semerta-merta saya dapatkan dengan bergelung selimut di kasur atau duduk manis di ruang kelas. Saya menghabiskan waktu dengan terus berpergian ke berbagai tempat untuk menemukan kesempatan-kesempatan baik itu. Saya lagi-lagi mencoba untuk melihat banyak hal dan menceburkan diri ke dalamnya, menjadi basah bersamanya.

    Januari, dan bulan-bulan sebelumnya di tahun 2016, menjadi bulan persiapan saya untuk mementaskan pertunjukan teater berjudul ‘Kemalingan’. Saya mengepalai bagian setting properti yang saya kerjakan bersama Hening, teman dari jurusan filsafat, dan hanya kami berdua –perempuan-perempuan cilik. Kegiatan padat tersebut saya selingi dengan menggarap projek sosial di salah satu komunitas kerelawanan yang bergerak di isu anak jalanan, dan hal ini sangat menyenangkan karena saya bisa bertemu dengan teman-teman kecil yang berani, punya daya juang yang hebat untuk bertahan hidup, serta orang-orang baik yang mau meluangkan waktunya untuk menengok kehidupan teman-teman kecil jagoan tadi. Para relawan dan anak-anak adalah kombinasi baik yang manis.

    Masuk bulan Februari dan mendekati tanggal pentas, saya semakin hectic mengurus ini-itu di hall teater bersama teman-teman satu tim, sampai seringkali harus pulang ke kos ketika sudah jam 1 atau 2 pagi. Kerja keras kami semua kemudian terbayar ketika akhir Februari kelompok teater kami sungguhan melakukan pertunjukan di gedung IFI-LIP Sagan, menghadirkan kurang lebih 400an penonton dalam waktu dua hari, mengantarkan kami pada tepuk tangan ramai dan riuh seusai pertunjukan. Lega! Perasaan yang didapati setelahnya sangatlah menyenangkan. Apresiasi teman-teman adalah semangat saya untuk bisa terus berkarya.

    Februari juga jadi kali pertama saya mengunjungi Solo (setelah sekian lama) bersama teman-teman teater untuk menghadiri sekaligus mengirimkan perwakilan kami dalam agenda festival teater yang dihelat oleh UNS. Saya bermain ke Pasar Klewer, mengitari kompleks keraton, mengunjungi ISI, mencicipi gedung pertunjukan di Taman Budaya Jawa Tengah, dan merasakan banyak perasaan senang. Tahun ini saya akan merencanakan perjalanan ke Solo lagi!

    Maret adalah bulan yang sangat mendebarkan, karena saya dititahi amanah besar untuk jadi Menteri Media dalam suatu lembaga eksekutif di kampus. Kaget jelas iya, selebihnya adalah perasaan bingung yang menjalar, mengingat saya belum pernah punya pengalaman organisasi lembaga. Mentok-mentok paling seperti forum komunitas atau kolektif seni begitu. Meski awalnya ragu dan pesimis karena saya cenderung nggak suka dengan sistem kerja mirip-mirip birokrat pemerintahan, tapi toh akhirnya saya mengiyakan ajakan Ibu Presiden yang sewaktu itu menelpon saya malam-malam lewat aplikasi line. Sisan saya nyemplung deh, nyambi belajar organisasi di lembaga yang ngampu fungsi eksekutif di wilayah kampus saya. Fyi, struktur kepengurusan organisasi di UGM memang mengadopsi seperti sistem pemerintahan di Indonesia, yang mana juga memegang kekuasaan eksekutif dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintah sehari-hari. Jadi jabatan resminya ada pada Presiden sebagai kepala tertinggi, lalu dibantu menteri-menteri dalam sebuah kabinet. Kalau eranya Jokowi dinamai Kabinet Kerja, maka di FIB, kampus saya, dinamai Kabinet Teman Dekat. Terdengar ramah dan akrab ya? Soalnya memang itu yang ingin diusung oleh kami-kami –pejabat eksekutif kampus, kami ingin jadi teman dekat bagi seluruh warga di fakultas yang merangkul dalam berbagai aspek, akademik maupun non akademik, pokoknya ranahnya di FIB begitu.
 
    Yang jelas, pengalaman satu periode mengarungi diri bersama organisasi mahasiswa tersebut membuat andil besar atas terbentuknya Hamima yang sekarang. I mean, that’s how I grew up. Saya lagi-lagi menerpa diri saya dengan banyak kesempatan baik supaya saya bisa terus tumbuh, berkembang dan menjadi mekar. Because you change as you get older, dan perubahan inilah yang harapannya akan selalu ke arah yang lebih baik, meskipun hanya setitik kebaikan.

    April dan bulan selanjutnya akan saya sambung di tulisan berikutnya! Sudah jam satu pagi dan saya mau istirahat dulu, hehe.

You May Also Like

0 Comments