Kaleidoskop 2017: perempuan di perantauan (bagian 2)

by - Januari 19, 2018

    April dan Mei rasanya menyenangkan kalau diingat-ingat. Selain menyibukkan diri dengan ikut organisasi, jadi relawan sosial, ikut demo di depan kantor gubernur, bikin screening sama klub film di kampus, nyempet-nyempetin diri ke hall teater karena sedang ribet pementasan, saya juga melakukan kegiatan internship alias magang pada sebuah proyek film yang sewaktu itu akan dirilis pada bioskop komersial. Film ini adalah jalur alternatif yang digarap secara militan oleh filmmaker lokal, keluar-masuk berbagai festival film di luar negeri dan menyabet banyak piala penghargaan, dua kali diputar di JAFF hingga tiket penonton ludes berkali-kali, lalu akhirnya berhasil mendapat ruang yang lebih populer untuk disajikan ke penonton, yakni bioskop komersial. Film Ziarah! Saya pernah menulis pengalaman berharga saya ini pada postingan panjang sekitar bulan Juni tahun lalu, silakan langsung ditengok saja dengan menilik lewat arsip blog! Periode magang saya berlangsung antara bulan April- Juni bareng temen-temen Distribusi Film.

    Ah ya allah sampai lupa! Di bulan Mei ini saya juga diberi kesempatan baik untuk riset kecil-kecilan di sebuah panti wredha daerah Giwangan untuk tugas mata kuliah Etnovideografi. Sebenarnya sudah dari bulan-bulan yang lalu sih persiapan saya bersama tim untuk ke sana, tapi seingat saya memang kunjungan rutin kami berakhir pada bulan Mei. Kami sering sekali berkunjung ke panti tiap weekend atau menyempatkan di hari-hari sebelum kami berangkat kuliah. Simbah-simbah di sana sangat ramah, dan juga pencerita yang baik. Saya bisa duduk berjam-jam di samping mereka hanya untuk mendengarkannya bercerita, soal masa mudanya, soal cerita keluarganya, dan hal tersebut bisa mereka ulang sampai berkali-kali, sampai saya hafal dialognya. They were really nice, dan saya selalu punya perasaan magis tiap kali bertemu dengan para lansia. Saya suka sekali kalau sudah menjabat tangan rentanya dan melihat kerut di wajahnya ketika tersenyum. I think I have talked about it many times, soal kecintaan saya pada tiyang-tiyang sepuh. Apalagi saya dipertemukan dengan tokoh Mbah Sri di Film Ziarah, wuih, semakin besar lah tingkat kekaguman saya pada kaum mereka.

    Juni masih sibuk merayakan Ziarah, ngampus untuk kuliah dan organisasi, ke hall teater meski cuma sekadar nongkrong dan ikut latihan, juga wara-wiri ngajar secara sukarela pada komunitas tertentu. Bedanya, Juni jadi bulan yang istimewa karena sedang Ramadhan vibes! Banyak hal baru yang saya lakukan pada bulan baik ini, seperti mencoba merajut, nonton pertunjukan Sisir Tanah di Teater Garasi, nonton kolaborasi indah antara Mbak Lani dan Sekar Sari (dua seniman Jogja yang saya kagumi), belajar meracik jamu, wisata religi ke masjid-masjid besar (dan kuno) di Jogja, serta banyak hal lain. Saya juga pernah merangkum ragam aktivitas saya selama bulan Ramadhan tahun lalu, silakan diintip saja dengan menuju ke arsip blog!

    Juli sangat menenangkan karena saya diberi kesempatan untuk merayakan Hari Raya di rumah, bersama keluarga dan orang-orang baik di kampung saya. Alhamdulillah dan bersyukur sampai pol. Karena rasanya begitu nyaman kembali ke sangkar setelah menjadi capek berbulan-bulan di kehidupan luar. Akhirnya saya pulang, akhirnya rumah.

    Pertengahan Juli juga masih menjadi bulan yang menyenangkan. Sehabis lebaran, saya sempatkan kembali lagi ke Jogja meski waktu libur masih tersisa lama. Saya naik kereta dari stasiun Purwokerto menuju Lempuyangan pada pagi harinya, lalu menonton pertunjukan teater berjudul Gejolak Makam Keramat di PKKH UGM pada malam harinya. Iya, demi nonton pentasnya ibu-ibu penyintas 65 yang terhimpun dalam kelompok Teater Tamara (Tak Mudah Menyerah). Mereka adalah penyintas tahanan politik (tapol) peristiwa 1965 dari Plantungan, Ambarawa, Bulu, dan lain-lain. And guess what, ini adalah pertunjukan teater pertama yang mampu membuat saya terkesima, bahkan sampai menangis. Pengalaman menyaksikan ibu-ibu itu melakukan pertunjukan akan selalu menjadi pengalaman yang tak ternilai bagi saya, it was really a most heartwarming performance. Saya bersyukur sekali bisa diberi kesempatan untuk terlibat di dalamnya.

    Masuk ke bulan Agustus? Saya ngapain ya? Sepertinya bulan ini tergolong selo, karena saya nggak lagi turut serta dalam euforia penyambutan mahasiswa baru di kampus. Saya nggak jadi panitia ospek di fakultas maupun universitas, soalnya tahun lalu sudah pernah, begitu alasan saya ketika ditanyai teman-teman. Bulan ini juga merupakan bulan sakit hati teraneh saya. Kayaknya saya jadi sering banget bersedih pada bulan ini. Persoalannya kompleks; soal laki-laki, pekerjaan, dan juga keluarga. Selain itu saya juga masih mengurus kuliah, kegiatan organisasi kampus, volunteering di komunitas sosial (buka lapak jualan di pekan seni), juga jadi penanggungjawab expo kampus untuk ngurusin teater.

    September! Bulan ulangtahun Ibu saya! Bulan ini jadi bulan yang dipenuhi refleksi akan diri saya pribadi. Saya jadi sering melakukan perjalanan hanya untuk berkontemplasi dan mengarungi diri, memikirkan hidup yang sudah sembilan belas tahun dan berpikir macam-macam. Saya pergi ke pantai, ke bukit-bukit megah, ke jalanan entah yang kanan-kirinya cuma terpampang sawah, ke air terjun, ke museum, pasar tradisional, toko buku seorang diri, ke pertunjukan-pertunjukan teater, nonton konser, beragam pameran seni dan festival, hanya untuk mencari tahu diri saya sendiri, tapi saya masih belum juga pergi ke gunung. Nggak tahu ya, mungkin karena belum dipertemukan kesempatan untuk naik gunung, atau memang saya yang secara badan belum siap, meskipun jiwa saya sudah meraung-raung ingin sekali naik gunung.

    Bulan September juga membuat saya kembali aktif belajar gamelan bersama suatu kelompok karawitan bernama Sekar Jindra, yang isinya memang cewek-cewek Antropologi dari lintas angkatan. Ada mbak Lani Frau juga di kelompok gamelan kami.

    Selain itu saya juga bertemu banyak orang-orang keren di bulan September. Kayak misal ketemu Wregas dan Ghyan di sebuah talkshow perfilman, terus Kadekarini dan Febrian yang mencerahkan saya soal dunia travel blogging, terus saya juga sempat ikut workshop dari komunitas Lab Laba Laba soal pita film seluloid di Festival Arsip, nonton Mbak Lani manggung, juga band-band favorit saya konser. September kenyang lah!

    Masuk bulan Oktober giliran saya yang ulangtahun. Menyambut usia dua puluh, saya banyak ikut kegiatan baru, kayak Jogja Berkebun dan bertemu dengan pengetahuan soal urban farming, istilah-istilah pertanian, permakultur, healthy food lewat veganisme, pangan organik, dan lain sebagainya. Saya juga magang di salah satu media lokal Jogja, jadi reporter berita, belajar meliput dan bikin narasi yang bagus. Saya nggak paham, meski sudah masuk antro dan melupakan jurusan komunikasi sejak kelas 2 SMA lalu, saya masih selalu punya keinginan untuk mencicipi kerja jurnalistik. Selain itu, saya juga melibatkan diri pada acara inisiasi antro di Jakal atas (meskipun tidak begitu intens). Yang jelas, Oktober membuat saya punya banyak kawan baru yang baik.

    November super hectic dan lumayan kacau karena sepertinya kegiatan saya sangat padat di bulan ini. Saya masih kuliah (dan mulai masuk minggu UAS yang chaos), masih mengurus organisasi kampus (dan sedang spaneng LPJ-an), masih magang di media lokal jogja (dengan semangat yang naik turun karena kadang-kadang saya nggak suka sama penugasan dan topik liputannya), masih volunteering anak-anak (meskipun lebih suka menghilang), sedang menggarap proyek pementasan Teater Gadjah Mada yang dilangsungkan di Desember awal (silakan ditebak saya berkutat di bagian apa, ya jelas setting properti lah!), dan dapat kerjaan baru mengurus festival film yang digalakkan oleh Dinas Kebudayaan. Kerumitan itu sebenarnya masih belum semua, saya masih punya tetek-bengek kecil yang kalau dijabarkan nggak akan ada habisnya. Tapi senangnya, November jadi saksi di mana akhirnya saya bisa nonton penampilan Tetangga Pak Gesang yang saya cintai dan saya sayangi pada malam pembukaan Biennale, bonus nonton mas Jason Ranti juga.  Saya juga berkesempatan mengerjakan proker kementerian organisasi kampus saya yang terakhir yakni Sekolah Media! Rasanya sumpah, melegakan sekaligus meredakan. Kayak pingin nangis setelah proker tersebut terealisasi, pun dengan LPJ-LPJ yang sudah selesai di hari sebelumnya. I’m done with all, tapi belum tuntas sih, karena masih harus LPJ-an dengan internal organisasi dan fafifu pergantian jabatan. 

    Akhir tahun! Astaga nggak menyangka sama sekali 2017 berlalu secepat itu. Kalau November jadi bulan yang super hektik dan kacau, maka Desember berada di satu tingkat lebih parah dari November. Yup! Bulan ini saya digempur habis-habisan. Tapi saya tetap chill karena tahu itu semua pasti akan berlalu, saya cuma perlu melewatinya saja. Awal bulan semakin panas karena pementasan teater dengan tajuk ‘Kupu Kupu’ (reformasi naskah Kapai Kapai-nya Arifin C Noor) akan berlangsung pada tanggal 7 dan 8 Desember. Setiap hari pulang pagi, setiap hari rapat produksi, begitu terus sampai selesai pertunjukan dan kami semua bikin lingkaran evaluasi di depan panggung. Saya juga banyak datang ke JAFF untuk bikin liputan berita, menonton banyak screening film-film bergizi dan merenung sesudahnya. Garapan UAS yang tak kunjung usai juga menguras lumayan banyak tenaga saya, setelah selesai bepergian ke sana-ke mari, malam larutnya barulah saya mulai mencicil mengerjakan paper-paper tersebut, dan baru bisa tidur menjelang subuh. Literally subuh. Di sela-sela ujian tersebut, saya masih sempat ikut kepanitiaan di FFPJ (Festival Film Pelajar Jogja) divisi Program, untungnya festival tersebut hanya berlangsung selama dua hari, kalau sampai seminggu seperti JAFF maupun FFD, bisa tewas lah saya di tengah kespanengan mengurus banyak hal.

    Desember juga jadi bulan-bulan LPJ mewabahi semua kegiatan-kegiatan kampus yang saya ikuti. Kalau bentuk LPJ di November masih berupa masalah admnistrasi seperti laporan kegiatan dan keuangan ke pihak kampus, Desember berbentuk laporan kerja yang disampaikan kepada publik secara langsung, beserta evaluasinya sisan. Saya LPJ-an dua kali di bulan ini, satu urusan Teater Gadjah Mada (membawahi divisi PSDM), dan lembaga eksekutif saya di Kementerian Media. LPJ-an TGM juga dibarengi dengan mengkaji AD/ART dan pemilihan ketua baru, jadi agendanya menguras waktu dan tenaga banget dari malam sekitar pukul sembilan sampai keesokan harinya pukul tujuh pagi. Tewas? Jelas. Tapi perasaan lega yang didapatkan setelahnya sungguh tak tertandingi oleh apapun. 

    Tentunya saya juga punya banyak pengalaman penolakan di bulan ini. Saya nggak mau secara eksplisit menjelaskan detil ceritanya, tapi saya akan bilang kalau salah satunya adalah saya ketolak KKN, sampai dua kali. Menjelang semester 6 memang menjadi periode yang sengit untuk persoalan KKN. Semua orang nampak berlomba-lomba membentuk tim KKN yang yoi dengan mengagung-agungkan potensi daerah. Esensi bekerja untuk masyarakat jadi kelihatan hilang. Baru pertempuran awal saja saya sudah kedepak oleh sistem. Bagaimana rasanya? Wo, ya ndak perlu ditanya, saya sudah kebal sekali dengan hal-hal semacam ini. Saya sudah di luar batas muak dan sudah mencoba legowo sekali. Santai saja lah, penolakan bukan akhir segalanya. Saya masih bisa bersenang-senang setelah ini.

    Bersenang-senang itu saya wujudkan dengan melakukan perjalanan ke Jepara bersama teman-teman cewek antropologi menaiki kendaraan motor! Menyusuri Jogja, Semarang, Demak, Jepara, dan melipir ke perbatasan Pati. Perjalanan ini tentunya menjadi penutup 2017 saya yang sangat crowded dan melelahkan. Saya bersyukur sekali akhirnya saya selesai dengan banyak hal. Saya sudah menyelesaikan banyak hal. Dan Jepara jadi reward yang paling menyenangkan. Saya banyak melihat lalu-lalang kapal dan perekonomian nelayan di sini, merasakan kehidupan kota kartini yang masih asri dan elok, mengalami banyak pengalaman seru, menemukan hal-hal baru yang membuat saya bisa berefleksi dan merenungi diri.

    So, this is why I called my self as ‘perempuan yang merdeka’. Saya merasa di tahun 2017 lalu, I can do anything that I want. Tidak ada paksaan dari siapa-siapa, tidak ada tekanan untuk mengerjakan hal lain yang tidak saya suka (kalaupun ada, biasanya saya memilih untuk hengkang). Saya murni jadi diri saya sendiri, murni karena memang ingin belajar banyak hal. Jatuh tersungkur, sakit, putus asa, pasti ada, karena itulah hidup. Tapi memacu diri untuk terus bergerak dan melakukan kebaikan adalah tantangannya. Melakukan kilas balik setahun kemarin seperti ini rasanya sungguh melegakan, saya nggak sadar telah melewati itu semua. Teman-teman mungkin hanya membaca part-part yang memang menyenangkan saja, tanpa tahu kalau sebenarnya saya pun banyak merasakan kesedihan di tahun kemarin. Dua hal itu yang kemudian membentuk diri saya lebih baik lagi, untuk terus belajar dan berkarya, tanpa membenci dan menyakiti orang lain.

    Saya juga bersyukur karena bisa tumbuh di lingkaran orang-orang dengan kegemaran terhadap hal-hal yang sama, rasanya menyenangkan. Saya punya banyak teman yang saling mendukung dan mendengarkan, meski saya berada di kondisi terjelek sekalipun. I am really grateful for these blessing. Hidup ini enak sekali, Tuhan.

    Mendiang Ibu Anna, dosen antropologi saya yang awal Januari lalu menghadap Tuhan, pernah berkata, dalam suatu kelas gender. “Selamat untuk kalian, perempuan-perempuan yang sekarang berada di kota orang untuk kuliah. Kalian ini sedang merayakan kemerdekaan kalian sebagai perempuan. Merdeka dari stigma tentang peran domestik, juga merayakan kesetaraan hidup.”

    Perkataan itu sangat menyentuh. Saya mendadak seperti punya keberanian baru untuk hidup.

    Saya sadar karena kata-kata itu bukan hanya berdampak pada saya saja, tapi pada seluruh teman-teman perempuan di bumi ini yang menggunakan waktunya untuk belajar di luar lingkungan tempat tinggalnya, jauh dari keluarga dan saudara, melepas diri di tanah asing lalu membaur dan mencoba hidup di lingkungan barunya. Perempuan-perempuan di perantauan, saya salut dan menaruh kagum untuk kalian di manapun kalian berada, yang sedang berjuang dan menjadi harapan baik untuk orang-orang yang disayangi. 

    Peluk hangat,
    Hamima 

bentuk kebahagiaan: volunteering!

ngegig dulu sob (Silampukau, 2018)

mengobrol dengan mantan srimulat jawa timur di panti wredha. saya sempat diberinya cincin akik warna merah. nuwun, mbah :)

dialog dini hari menuju pementasan teaterrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr

temen-temen LEM habis selesai rapat

ibadah nonton teater dulu sob

konser terbaik saya!!!!!!! (sheila on 7 with luv) 

You May Also Like

0 Comments