Journal 3: modar o

by - Januari 11, 2023

sedih rasanya, terkadang, aku punya hari-hari yang seperti tai kucing ketika sedang bekerja di museum… 


misalnya seperti yang terjadi di beberapa hari yang lalu. ada seorang bapak-bapak tua, yang sepanjang tur museum selalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana —gestur yang kurang sopan dan bossy sebenarnya. setiap kali aku bicara, laki-laki bongkotan kurang ajar itu selalu menyela percakapanku dan tak mendengarku bicara sampai utuh. dia tahu namaku (karena aku memperkenalkan diri dan menggunakan name tag) dan berulang kali ia mempermainkan namaku dengan sangat tidak sopan. ku dapati dalam beberapa kesempatan ia mendominasi ruang gerakku dan di saat itu pula aku akan mengambil langkah untuk menjauh dan terus bicara menerangkan koleksi kepada pengunjung yang lain.

laki-laki bongkotan kurang ajar ini terus melakukan hal-hal tersebut sambil tetap memasukkan tangan ke saku celananya dengan sangat angkuh. gestur tubuh yang sebenarnya sangat tidak aku suka karena terkesan sangat menyepelekkan (kecuali kalau tanganmu kedinginan dan kamu butuh menghangatkan tanganmu di dalam saku celana). 

beberapa perempuan yang juga mengikuti tur museumku tampak merasa tidak nyaman dengan gelagat si manusia tua sombong ini. dalam beberapa kesempatan ketika aku tengah menjelaskan koleksi, ia malah mengomentari sisi personalku yang sama sekali tidak berkaitan dengan materi turku. ketika hal itu terjadi, aku dengan keras langsung menegaskan bahwa komentar-komentarnya yang menyerangku secara personal adalah sebuah ketidaksopanan, dan segala pertanyaan di luar konteks (yang tidak berhubungan dengan koleksi dan juga museum) tidak akan aku layani. aku bisa lihat wajah laki-laki bongkotan itu mengeras dari balik maskernya, dan ketika aku menegurnya seperti itu, ia menatapku dengan pandangan galak. aku tidak begitu ambil pusing dan lanjut menerangkan koleksi kepada pengunjung lain yang lebih menghormati dan menghargaiku. energiku sia-sia sekali kalau harus mengurusinya.

aku sudah menyuruhnya untuk tetap kondusif dan menghargai pengunjung lain yang ingin mendengarkanku bicara, tapi sepertinya laki-laki bongkotan itu memang sombong dan begitu dungu. ia sepertinya cukup goblok untuk mengetahui bahwa hal paling dasar ketika sedang berada di tempat umum adalah sikap sopan santun —dan laki-laki bongkotan itu memang goblok untuk mengetahui hal itu.

60 menit tur museum yang menguras energiku kemudian selesai. ketika aku mengantar mereka ke area exit dan menyisakan diriku seorang diri, aku cukup muak sampai rasanya ingin muntah, dan perlu beberapa menit untuk aku kemudian bisa menenangkan diri.

berminggu-minggu yang lalu, aku juga pernah mengalami peristiwa yang sama. aku membawa rombongan anak sekolah dan beberapa guru ke dalam tur museumku. di pertengahan ketika sedang menerangkan koleksi, salah satu guru selama beberapa kali melontarkan candaan bernada sensual dan dengan sedih aku perlu memberi tahu bahwa perbuatannya mendapat sorakan dari murid-muridnya yang bukan hanya laki-laki, melainkan juga perempuan. si guru bajingan ini juga kerap kali menanyakan hal-hal di luar koleksi museum yang membuatku risih. selesai memandu mereka, aku menangis di hadapan teman-teman kerjaku, peristiwa kecil dan sepele ini (yang sebenarnya sering kami alami ketika sedang memandu) membuatku triggered dan tidak cukup kuat untuk memproses peristiwa itu. 2 hari setelahnya, aku masih menangis ketika sudah berada di kostan. sampai hari ini, ketika hal tersebut tiba-tiba terbesit di ingatan, aku pun masih gemetar dan kadang tak mampu menahan diri untuk tidak menangis. 

hari-hari berikutnya ketika aku menghadapi pengunjung dengan kekolotan dan ketidaksopanan yang sama, aku mulai pelan-pelan belajar untuk merespon dengan emosi yang berbeda. aku tidak lagi merasa ingin menangis (masih ada sih sebenarnya, tapi bisa aku kontrol), sekarang emosi yang lebih sering muncul adalah perasaan marah dan keinginan untuk memaki bangsat di hadapan laki-laki tua bongkotan itu. tapi tentu saja aku tidak bisa memaki seperti itu (atau aku bisa kena tegur bosku), tapi aku mulai bisa menghardik dan menyampaikan ketidaknyamananku secara asertif. aku juga biasanya langsung bermanuver dengan membombardir pengunjungku tentang unggah-ungguh, tata krama, dan adat-adat kesopanan yang memang menjadi nilai budaya Jawa. kalau orang tersebut masih tidak paham dan tidak menghormatiku, ya sudah, aku tidak mau berurusan banyak dengan mereka (tapi aku akan berdoa semoga kakinya terkilir atau kepalanya kejeduk sesuatu di dalam museum). aku sebenarnya tipe manusia yang sulit (dan hampir tidak pernah) mengekspresikan rasa marah, karena memang tidak terbiasa mengolah emosi ini. tapi kejadian-kejadian seperti itu kalau diakumulasikan memang lumayan berpengaruh terhadap caraku menghadapi emosi marah. di kehidupan alternatif yang lain, aku ingin sekali menghajar laki-laki tua bongkotan ini sampai dia babak-belur.

belakangan ini aku juga jadi sering berdoa, semoga aku dijauhkan dari sifat keangkuhan dan kesombongan yang memenjarakan diri, yang membuat orang lain merasa takut, tidak nyaman, tidak dihargai dan tidak dihormati. 

modar o. 

You May Also Like

1 Comments

  1. maaf kamu harus mengalami hal itu. semoga esok hari, kamu tidak perlu lagi berjumpa dengan manusia kurang ajar yang tidak menghormati sesamanya.

    BalasHapus