hal-hal yang sepantasnya disyukuri

by - November 15, 2016

    jumat sore kemarin setelah mengikuti kelas etnografi nusa tenggara timur di lantai tiga margono, aku beserta teman-teman perempuan yang lain sebanyak 10 orang berkumpul di depan kolam kodok untuk melaksanakan ibadah sakral kami, yakni beach camp, gampangannya sih, bobo di pantai. segala kebutuhan hidup yang mendasar sudah aku kemas dan ringkas sesederhana mungkin hingga aku benar-benar cuma bawa satu ransel yang kugendong dengan bobot yang enggak berat-berat amat. sisanya, sandal 'lapangan' omiles merah hitam, korsa teater sebagai pengganti jaket karena jaket lagi dicuci, kaos tipis bekas kuliah seharian, serta jeans biru prada yang warnanya sudah berubah jadi abu-abu saking kumalnya. betapa sesungguhnya aku sangat senang ketika satu per satu teman-teman mulai terlihat dengan bawaan mereka, memenuhi pedestrian yang dipakai untuk jogging, dan pukul empat lebih sedikit kami memutuskan untuk berangkat melewati jalan imogiri. hehe maaf agak norakkkkk.

    pantai yang akan kami tuju adalah siung di gunungkidul, daerah itu terletak jauuuh dari kecamatan depok sleman tempatku tidur sehari-hari. jaraknya bisa sampai 75-80 kilometeran dengan waktu tempuh dua jam lebih sedikit, cukup untuk membuat tepos dan jari-jari pegalinu mencengkram stang motor, tapi aku sudah lumayan mahir dengan persoalan berkendara hehe, jadi ini aman dan justru akan menambah pengalamanku menghadapi 'ruang transportasi darat'. terus kalau dipikir-pikir, kontur jalan ke south mountain itu sudah oke kok, jalanannya aspal mulus meski berkelak-kelok dengan kemiringan yang curam, hawa daerah sana juga dijamin enak, rimbun hijau-hijauan lebat membuat kita enggak akan capek ketika naik motor, ya sisanya sugesti saja sih kalau memang benar enggak akan capek. :(

    tapi sedih mendadak ketika masih di jalan dan hujan gerimis tiba-tiba turun, langit juga mulai gelap dan harapan kami untuk sampai di tempat sebelum petang meleburrrr bersama rintik-rintik tadi. kami melanjutkan perjalanan lagi dan entah kenapa rasanya kok jadi semakin lama semakin lama semakin lama dan enggak sampai-sampai ya? faktor apa iniii? aku berdoa terus kepada Tuhan semoga kami dilimpahkan perasaan baik selalu sehingga perjalanan ini benar-benar berlalu baik. aku tak henti-hentinya menghirup udara jalanan dan memicingkan mata ke depan sementara hujan makin deras dan langit sudah gelapppp. dadah matahari sore...

    kami terus jalan entah ke mana aku enggak tahu rute, sampai pimpinan rombongan kami mulai sebentar-sebentar berhenti dan bertanya ke warga setempat soal keberadaan siung, beberapa memberi petunjuk sedang sisanya ada juga yang asal mengarah entah, mereka teman-temanku pusing karena sadar kalau kami semua telah t e r s e s a t di malam hari begini ketika hujan deras dan aku tetap mencoba untuk selow, soalnya kalau aku ikut-ikutan pusing, teman-teman tidak tahu kan kemungkinan apa yang mungkin terjadi pada seorang aku yang bisa saja tiba-tiba jatuh dan menjatuhkan diri dengan motorku, atau parahnya menangis tersedu-sedu karena tidak tahu harus bagaimana saking pusingnya. kami lalu lanjut jalan, menuju entah, dan hujan makin turun deras sederas-derasnya sampai air yang turun itu terasa seperti menghujani tangan dan wajahku, selain itu aku juga masih terus berpikiran baik sejak selesai kelas etnografi tadi sampai detik itu. pikiran baik itu yang jadi senjataku untuk tetap oke meski situasinya sudah nggak enak begini. 

    terus kita benar-benar sudah enggak tahu lagi jalan menuju siung itu ke mana, sementara hujan terus turun deras, malam semakin larut, teman-teman mulai kelihatan capek dan perlu kita semua tahu, rombongan kami sebenarnya meninggalkan dua anak perempuan bernama linda dan alidza sejak di jogja tadi, alasan mereka kami tinggalkan karena mereka sedang otak-atik ban motor, sementara hari mulai sore, jadi pilihan untuk berangkat mendahului tanpa mereka kemudian disepakati bersama dengan pertimbangan: linda dan alidza tahu jalan menuju siung dan dua-duanya anak mapala yang nggak akan takut tersesat di jalan, jadi kami sama sekali tak khawatir kalau mereka benar-benar kami tinggal. tapi bodoh ya, kami sendiri yang justru enggak hapal menuju siung dan ketika rute kita berbelok menuju daerah saptosari tempat pantai kukup, slili, sundak, dan pantai-pantai lain berada, linda dan alidza itu tidak bisa dihubungi lantaran susah sinyal. kami lalu singgah sebentar di warung yang menghadap langsung ke arah pantai slili yang malam itu sedang dilanda angin kencang, sehingga kami bisa dengar debur ombak yang seperti marah dihantam angin dan hujan deras, aku enggak tahu kenapa rasa-rasanya takut dengan slili malam itu, hawanya terasa berbeda dan itu membuat aku enggan menoleh ke pantai tersebut. kami beristirahat di warung tadi dan menghangatkan diri dengan memesan kopi, lalu kembali menghubungi linda dan alidza yang mulai detik itu kami ubah statusnya menjadi 'menghilang'.

    telkomsel yang kaya raya, indosat, axis, aplikasi line, whatsapp, sms dan telepon sama sekali tak bisa digunakan untuk mencari tahu kabar dua anak itu. kami mulai resah dan aku cemasnya bukan kepalang. pasalnya ya teman-teman, mereka cuma berdua dan daerah yang sedang kami jejaki ini berbeda dengan depok sleman tempat kami semua hidup dan mencari kehidupan sehari-hari, bagaimana mungkin kami enggak khawatir ketika dua teman itu hilang di antah berantah ini? binguuuuung... kami kebingungan sampai ibu-ibu pemilik warung berkemas karena mau tutupan dan kami diusir dengan halus. betapa sedihnya kami ketika belum menemukan solusi tapi ibu itu malah ingin kami pergi. kami lalu menuju pantai terdekat yang beach-camp-able tak seperti slili tadi dan terus mencoba menghubungi linda alidza. kami akhirnya menuju ke pantai sundak karena sudah tidak tahu lagi harus belok ke mana kalau seandainya menuju ke siung. 

    pukul sebelas malam kurang sedikit ketika hujan sudah berhenti total, kami mendirikan tenda di bibir pantai yang menjorok ke luar dengan halim dan esti sebagai penanggung jawab karena mereka anak pecinta alam dan aku memegangi senter karena aku enggak bisa apa-apa, sedang sisanya memasak mi goreng sembilan bungkus (dua bungkus tersisa milik linda dan alidza) dengan nestingku, kompor lapangan milik agista, dan air mineral satu liter milik ryu. beberapa masih mencoba mengontak teman kami yang hilang itu, tapi semesta tampaknya lagi enggak mau kompromi, pesan-pesan kami kepada mereka terkirim, tapi tetap tak pernah ada balasan, sepertinya cuma mengambang di langit-langit yang mendung. aku merutuki sinyal seluler gunungkidul pelan-pelan sambil berdoa semoga Tuhan selalu jaga linda dan alidza di manapun anak itu berada, entah siung, entah mana.

    selesai menikmati mi bungkus ramai-ramai di pinggir pantai, kami lalu membuat api unggun dengan lagi-lagi halim dan esti sebagai penanggung jawab dan aku yang cuma bisa memegangi senter. api menyala, kami merasakan dingin yang hangat sambil mendengar debur ombak sundak yang ku akui, terdengar tenang. aku melepas korsa teaterku dan menggelarnya di atas pasir sundak untuk ku jadikan alas berbaring. 

    sundak malam itu terasa sepi. mungkin karena mendung, dan terlampau larut sehingga aku seolah merasakan sepi yang amat dalam. tapi teman-teman terus bicara banyak sambil mengelilingi unggun dan aku terselamatkan dari perasaan tadi. aku lalu bangun dan berjalan sambil agak pusing mendekati bibir pantai, diam di sana sebentar dan menunggu ombak lembut menyapu kaki telanjangku.

    suara ombak, halus tapi terdengar jelas. aku terpejam dan merasakan air laut itu menyentuh kulit kaki,

    lalu aku bergidik.

    dingin.

    aku kembali berbaring di atas korsa dan mendengar lagu-lagu folk ringan yang diputar dari musik player di hape sampai mencoba tertidur dengan terpejam selama satu jam. tapi enggak bisa tidur, karena terusik suara debur ombak yang terus-menerus dan terus-menerus, dan aku tiba-tiba takut entah untuk alasan apa dan kenapa, sepertinya cuma gejala pusing saja hehe.

    dini hari sekitar pukul tiga lebih sedikit aku sudah terjaga karena teman-teman mulai berisik berbicara soal langit yang dihampar sesuatu indah; bintang, yang jumlahnya tak kuasa oleh manusia hitung. aku terpana, takjub, dan bersyukur sekali bisa menyaksikan langit sundak dini hari itu. kapan terakhir kali aku lihat bintang? seperti apa itu rasanya? aku merasakan perasaan yang menghangat selagi api unggun masih menyala. linda dan alidza, yang kami tidak tahu keberadaannya, semoga juga turut merasakan apa yang sedang aku dan teman-teman rasakan ketika melihat langit. bahwa sebenarnya, hidup ini sangatlah indah. lalu dengan alasan apa kalian merutuki hal-hal sampai merasa benci? kalian taruh mana kebaikan-kebaikan yang Tuhan beri dan semesta ajarkan?

   lalu kami melihat bintang kejora menjelang matahari terbit. terang dan indah sekaliiiii. rasanya ingin kubingkai dan kubawa pulang ke kos. melihatnya saja sudah membuatku hangat dan terpesona. 

  lalu pelan-pelan sekitar pukul setengah lima pagi, langit yang tadinya gelap dan dipenuhi benderang bintang mulai berubah jingga keemasan karena sesuatu tiba-tiba muncul dari arah timur.

    itu sunrise

    matahari terbit!

    aku menuju bibir pantai lagi dan melihat langit lebih lekat. dadaku lagi-lagi menghangat untuk perasaan entah hanya karena melihat langit kemuning subuh itu. aku tidak pandai menyulam perasaanku menjadi puitis layaknya matahari terbit saat itu, tapi aku tahu betul mataku berkaca-kaca dan aku menahan untuk tidak menangis menyaksikan keindahan yang terpampang gratis itu. fakta bahwa hhhhhiiiidddduuuuuupppppppppppppppppp iiiiinnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnniiiiiiii, sssssssssssssssunggggggggggguuuuuhhhhhhhhhh... keren!

    pagi adalah cara Tuhan untuk mengingatkan kita semua, bahwa Tuhan selalu mengasihi kita, bahwa akan selalu ada harapan. aku seperti dibisiki sesuatu, lamat-lamat aku menyentuh air laut yang telah berubah menjadi hangat dan berkata lirih,

    "selamat pagi, semesta. aku mau hidup yang berbinar-binar!"

You May Also Like

0 Comments