Annang Performance: antara Tradisi Lokal dan Transgresi Sosial

by - November 23, 2017

Masyarakat Annang


    Ketika membaca artikel berjudul Masking Youth: Transformation and Transgression in Annang Performance, saya kira, Annang yang dimaksud di situ adalah nama dari sebuah pertunjukan, tapi rupanya bukan. Annang merupakan kelompok etnis yang menghuni provinsi Calabar di Nigeria Tenggara, tepatnya di sebelah selatan Sungai Cross. Masyarakat Annang menggunakan bahasa Ibibio dalam komunikasinya sehari-hari, dan mereka dianggap sebagai orang-orang yang paling artistik di daerah Sungai Cross. Hal itu mereka wujudkan dalam kegiatan berkesenian dan budaya di lingkungan setempatnya.

    Kehidupan sosial masyarakat suku Annang diatur oleh organisasi bersifat rahasia (secret society), dianggap rahasia karena melibatkan unsur-unsur mistis, yang menggabungkan topeng ke dalam upacara ritual tahunan mereka. Upacara tersebut diwujudkan dalam bentuk pertunjukan masquearade, atau dengan istilah lain ‘pesta topeng’. Satu hal yang menarik dalam pertunjukan tersebut adalah adanya keikutsertaan roh leluhur (yang kemudian disebut Ekpo) yang kehadirannya diwakili sekaligus direpresentasikan oleh sebuah topeng.

    Pertunjukan tersebut dilakukan setelah masa panen ubi kayu dan menandai kunjungan roh leluhur (nenek moyang/ancestral spirits), atau Ekpo. Ekpo juga merupakan nama sebuah asosiasi pria yang pernah memiliki pengaruh besar di kalangan kelompok Ibibio. Asosiasi Ekpo ini hanya diperuntukkan bagi anggota masyarakat laki-laki yang beranjak dewasa, dan proses penerimaan anggota ini dilalui lewat rangkaian acara bernama inisiasi dengan melibatkan anak-anak muda suku Annang. Dalam hal ini, anggota masyarakat Ekpo dikatakan bertindak sebagai utusan leluhur dan hanya laki-laki yang bisa bergabung, yakni laki-laki yang masih dalam fase pubertas mereka. Perempuan sama sekali tidak diijinkan untuk bergabung ke dalam ritual pertunjukan tersebut. Ini juga menjadi alasan mengapa tatanan sosial pada masyarakat Annang itu kemudian menjadi sangat patriarkal.

    Kelompok suku Annang juga mengukir topeng dengan ciri aneh dan fantastis. Penulis artikel ini, David Pratten, menjelaskan bahwa setiap topeng itu unik karena diukir secara individual, meski karakteristik umum sering digabungkan; berwarna hitam atau warna-warna gelap, sering memiliki pipi menonjol, tanduk dan ciri-ciri yang menyimpang (dikatakan menggambarkan gangosa, penyakit wajah).

    Topeng dianggap sebagai perwujudan leluhur, dan oleh sebab itu, penggolongan jenis topeng pun dibagi menjadi 2, yakni mfon dengan sifat-sifat baiknya, yang mewujudkan semangat indah, dipakai pada pertunjukan di pasar, dan menggambarkan wajah dalam bentuk manusia yang menekankan kesuburan. Topeng ini juga memperlihatkan serangkaian wajah anak-anak kecil yang diukir di dahi. Jenis yang kedua adalah idiok sebagai perwujudan segala sifat yang buruk, dianggap berbahaya dan hanya bisa dilihat oleh anggota Ekpo, serta mewakili roh jahat. Ciri-ciri yang melekat seperti gigi bergerigi, dan terkadang mewakili penyakit menular.

Penggunaan topeng menyangkut transformasi yang menandai pergerakan dari satu alam ke alam lain melalui proses metamorfosis yang menegosiasikan hubungan manusia dengan alam dan orang mati (Kasfir 1989, Fardon 1991).

    Hal-hal yang dibahas dalam artikel ini berupa proses transgresi dan transformasi pertunjukan Ekpo masyarakat Annang yang terjadi pada masa misionaris dan kolonial. Unwelcomed, anchronistic, kemudian ada political labeling. Saat masuknya agama Kristen ke daerah tersebut, missionaries menganggap hal-hal yang terlalu supranatural itu hanyalah sebagai imajinasi. Ekpo juga dianggap mengandung kekerasan sehingga praktik pertunjukan yang menggabungkan ritual adat itu kemudian dilarang oleh pemerintah dan menjadi ilegal. Menyiasati hal tersebut, pertunjukan Ekpo akhirnya dilakukan secara diam-diam dan jauh dari daerah pemerintahan. Tapi meskipun begitu, pelaku Ekpo masih sering dicari, karena anggotanya dianggap sebagai dukun (penyembuh dan peramal).

    Ada tiga hal lain yang ditekankan penulis dalam pergeseran Ekpo performance ini, di antaranya adalah Ekpo sebagai end of year parade, karena dilangsungkan pada saat Natal dan menjelang akhir tahun dan diikuti oleh anak-anak muda dari masing-masing desa. Selain itu ada pula praktik Vigilante punishment atau legitimasi kekerasan main hakim sendiri terhadap pelaku tindak kriminal. Setelah ditangkap atau dinyatakan bersalah oleh vigilante groups, pencuri dilucuti dan digosok dengan campuran arang dan minyak sawit (minyak menjadi penanda umum adanya tranforming the self). Pencuri kemudian diikat di pinggang dengan tali penyadap palem dan diarak di sekitar desa, biasanya ke pasar dan di kompleks kepala desa. Orang banyak yang berkumpul akan bernyanyi, "wooo ino adia nnok" (the thief is eating shame/si pencuri sedang memakan rasa malu/aibnya sendiri). Pencuri dalam hal ini dianggap sebagai antisosial, yang memiliki kekuatan non-manusia seperti roh jahat yang direpresentasikan oleh Ekpo.

    Secara simbolis, praktik vigilante di Ekpo performance itu memberikan penafsiran dan menghasilkan legitimasi, untuk melakukan bentuk kekerasan aktual terhadap pencuri, yakni adanya penyimpangan pada tubuh. Praktik ini masih berlanjut meskipun ada kritikan karena dianggap menghubungkan kekuatan hukum dengan sesuatu yang menyenangkan yang dilarang oleh pihak berwenang (mengarak pencuri ke hadapan publik dianggap sebagai hal yang menyenangkan oleh masyarakat Annang).

    Hal terakhir yang menarik adalah mengenai munculnya geng jalanan perkotaan atau disebut juga Agaba (a youth gang) yang berarti kenakalan suatu kelompok muda yang mengandung kekerasan. Kehadiran mereka juga dianggap sebagai ancaman terhadap struktur moral masyarakat. Tidak seperti masyarakat inisiasi tradisional Ekpo, Agaba adalah sebuah masyarakat tanpa tetua-tetua, di mana proses/konsep inisiasinya dipisahkan dari hal-hal seputar leluhur/nenek moyang. Transformasi pertunjukan Ekpo yang tradisional kemudian diwakili oleh kelompok Agaba yang lebih kontemporer. Ketika bentuk-bentuk pertunjukan topeng kontemporer tersebut oleh masyarakat lokal dianggap telah merusak makna ritus dan prestise/martabat nenek moyang, serta dituduh mendevaluasi makna dan pesan dari Ekpo performance, contoh lain justru menunjukan hal itu sebagai ungkapan (idiom) sosial yang kuat.

    Sebagai konklusi, penulis melihat adanya ‘juxtaposition’ dari Ekpo performance antara sebagai hiburan dan transgesi (transgressive aspects of the performance). Meskipun Ekpo performance hanyalah sebuah ekspresi atau simbol dari masculinity and youth di Afrika , di satu sisi, pertunjukan ini menguatkan identitas kelompok Annang dan menjaga tradisi lokal tersebut, tapi pihak-pihak seperti pemerintah dan misionaris Kristen justru menentang karena menganggap Ekpo sebagai hal yang sangat imajinatif dan mengandung banyak kekerasan.

*

Jujur, artikel ini susah banget. Kosakata yang dipakai penulis nggak langsung mengarah ke artinya, tapi perlu dicocokkan lagi ke dalam konteks. Banyak istilah lokal yang pemaknaannya nggak disertakan di tulisan, jadi, saya harus mencari definisinya lewat mesin pencari di kanal lain. Literasi yang terkait dengan ritual Ekpo ini juga sedikit diteliti oleh ahli, padahal kalau mau browsing tentang topeng di Nigeria (khususnya pada masyarakat Annang) akan ada banyak sekali referensi gambar, tapi ya gitu, nggak ada penjelasan sosio-kulturnya. Pokoknya, untuk tipikal anak seperti saya –yang sebentar-sebentar suka bingungan– artikel ini jadi tantangan baru, tapi juga sekaligus menyusahkan, soalnya perlu waktu berhari-hari untuk menyelesaikan satu bacaan. Prosesnya pun nggak berjalan dengan lancar macam jalanan jakal pukul empat pagi, sekali duakali ketika saya coba garap di gelanggang dan beberapa tempat, saya sampai stress karena terdistrak banyak hal, rasa-rasanya susah sekali untuk fokus dan memahami isi bacaan, sampai semua orang yang saya temui selama satu pekan itu selalu saya banjiri dengan sambatan-sambatan soal artikel ini. Kenapa bisa sampai selebay itu? Begitu kali ya anggapan teman-teman? Saya saja nggak ngerti, kenapa cuma masalah artikel pusingnya kelimpungan nggak karuan. Tapi saya mengakui sih kalau minggu kemarin adalah minggu yang hectic bagi saya, kayak segala urusan di dunia ini tumpah dan ruah pada satu minggu itu,. Saya nggak punya cukup waktu untuk leren dan bernapas tenang, rasanya seperti diburu-buru sesuatu, mungkin kespanengan inilah yang kemudian menjalar ke urusan-urusan yang lain, termasuk bahan bacaan tentang ritual masking pada Annang performance ini.

Sampai artikel ini selesai dipresentasikan di kelas Kajian Transgresi Sosial kemarin siang pun, saya masih merasa ada beberapa hal yang belum saya mengerti soal ritus sakral tersebut. Ini lagi-lagi jadi bahan refleksi saya, betapa sebenarnya susah juga mencoba paham dan menyelami sistem kebudayaan kelompok lain, apalagi kalau tinjauan pustakanya pakai literatur-literatur asing dan punya sistem bahasanya sendiri yang kompleks. Artikel tadi mungkin cuma selebar daun kelor, soalnya scopenya masih bisa saya jamah dan saya diskusikan bersama teman dan dosen di kelas, tunggu saja sampai saya dapat literatur bahasa ibrani dan pakai aliran pemikiran partikularisme historis, evolusionisme klasik, materialism dialektik, etnosains, antropologi kognitif, strukturalishasyyyyyyyyy uopo wi. Makasih juga deh untuk Saras, Sekar, dan Galuh yang sudah jadi satu kelompok dan membedah-bedah artikel ini bersama di perpus antro, entah akan jadi apa kepingan pengetahuan saya soal Ekpo kalau nggak disatukan dengan kalian, hihi.

You May Also Like

0 Comments