Rabu, Oktober 31, 2018

A Life Guided #CeritaPengalaman

    Ternyata, jadi seorang pemandu pameran itu seru juga!

    Hal penting pertama yang akan kamu dapat adalah tons of knowledge, yang kedua adalah relasi dan lingkaran orang-orang keren, hal ketiga keempat kelima dan seterusnya adalah things that are not unexpected at all.

    Karena memang sudah nge-plan bulan ini harus banyak menghabiskan waktu di luar (juga supaya lupa kalau lagi sakit :p), selama seminggu kemarin saya membaptiskan diri untuk ngevent di JIBB 2018 (Jogja International Batik Biennale), perhelatan akbar yang memang rutin diadakan dua tahun sekali, sekaligus menyambut momentum Hari Batik Nasional tanggal 2 Oktober lalu. Sebenarnya rangkaian acaranya sudah sejak September kemarin, diawali dengan roadshow di beberapa kota batik di Indonesia, terus baru deh puncak acaranya di tanggal 1-6 Oktober.

    Nah, kenapa kemudian perhelatannya ada di Jogja? Kenapa nggak Solo, atau Pekalongan? Kan kota batik juga tuh? Daerah saya di Sokaraja juga produksi batik anyway…

    Tahukah kamu? Kalau Jogja telah dinobatkan sebagai Kota Batik Dunia oleh World Craft Council (WCC –semacam organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang pengembangan ekonomi para pengrajin dunia), yang juga berafiliasi dengan UNESCO. Jadi ya Jogja lah yang kemudian dipilih, sebagai bentuk representasi kota batik dunia itu. Sangar kan!

    JIBB ini sendiri rangkaiannya ada banyak sekali. Simposium, workshop, heritage tour, fashion show, pameran batik, dan karnaval sebagai agenda penutup. Saya sendiri kebagian ngurus pameran, dan dipercaya untuk menjadi pemandu. Pameran batiknya pun digelar di 6 titik; Kraton, Benteng Vredeburg, Museum Bank Indonesia, Jogja Gallery, Taman Budaya Yogyakarta, dan saya dapat jatah di Museum Sonobudoyo. Tentunya tiap venue punya tema pamerannya masih-masing. Nah di Sonobudoyo, batik yang dipamerkan memiliki tema “Daur Hidup”. Jadi pemakaian batik dalam masyarakat Jawa (khususnya Yogyakarta dan Solo) itu dikaitkan dengan siklus hidup manusia di dunia. Setiap tahap kehidupan yang dialami manusia dari lahir sampai meninggal selalu punya representasi batiknya sendiri. Tentu, setiap motif batik punya cerita dan filosofinya masing-masing, serta mengandung pula harapan yang bagus. Seperti yang kita tahu lah, kalau ajaran-ajaran baik dalam masyarakat Jawa itu bukan hanya dijalankan dalam kehidupan sehari-hari saja, tapi juga diterjemahkan menjadi simbol-simbol. Jadi kalau ngomongin batik, kita memang akan lebih banyak menyinggung soal simbol itu sendiri sih. Budaya Indonesia kan budaya akan simbol-simbol, hihi.

    Batik-batik di Sonobudoyo ini merupakan koleksi milik Pak Afif Syakur, desainer sekaligus pengrajin batik dari Pekalongan, yang kemudian dihimpun pula oleh kelompok Sekar Jagad, sebuah paguyuban pecinta batik yang berdomisili di Jogja. Jadi proses kerja ngurus pamerannya itu secara kolektif, bersama Pak Afif, ibu-ibu dari Sekar Jagad (yang sangat necis dan tipikal ibu-ibu trendy), juga para panitia seperti saya ini. Pamerannya sendiri berlangsung sejak tanggal 1 sampai 6 Oktober, tapi persiapannya sudah jauh-jauh hari, dengan jam buka pukul 10 pagi sampai 9 malam. Dan selama jangka waktu tersebut, kami semua kerja dari pagi sampai malam terus (kecuali ibu-ibu Sekar Jagad yang memang ada shift siang dan malam). Kerjaan kami juga nggak cuma nemenin pengunjung muter-muter ruang galeri, kami harus pula membeberkan panjang lebar soal sejarah batik yang dipamerkan, menjelaskan ragam filosofi batik dari proses kelahiran, perawatan ari-ari, sampai nanti dia meninggal pakai batik jenis kawung atau slobog, tapi nggak sampai hal-hal di luar konteks sih (kecuali ada pengunjung yang bertanya aneh).

    Yang paling terasa bikin pegal sih tumit kaki ya, soalnya intensitas kita mengitari ruang pameran itu sering banget. Kalau venue lagi ramai (tapi posisinya pas ramai terus sih), kami tiap orang bisa nge-guide lebih dari 15an pengunjung sampai malam. Tiap pengunjung tentunya beda-beda; ada yang datang sendiri, berdua, mengajak keluarga atau rombongan anak sekolah, dan sekali kunjungan itu biasanya makan waktu yang lama, karena batik yang dipamerkan juga cukup banyak dan detail. Apalagi kalau yang berkunjung adalah orang-orang yang memang terjun di bidang batik, wah… bisa kali dua jam muter-muter ruangan doang. Selain harus terus stay sama pengunjung, kami juga diminta untuk selalu memasang wajah paling ramah, jadi harus senyum terus, performanya harus selalu seger, intonasi bicara juga harus yang enak. Sebenarnya sederhana sih, tinggal pasang senyum manis dan lembut-lembutin suara aja ya kan? Tapi kondisinya hari-hari kemarin itu saya lagi nggak cukup sehat dan mood juga lagi berantakan. Pernah sebelum masuk hari ketiga pameran, malamnya saya habis nangis cukup parah sampai pukul dua pagi dan kayaknya baru tidur di jam-jam subuh, paginya ketika sampai di Sonobudoyo, saya diserbu banyak orang, bahkan seorang mas-mas yang sempat saya guide pun sampai bertanya pada saya, “mbak, matanya kenapa?”, soalnya saya kalau sudah nangis lalu saya tinggal tidur, mata saya bakal jadi bengkak dan lebam kayak habis digebukin orang.

    Tentu… saya juga mendapat banyak hal menyenangkan lewat nge-guide. Bertemu dengan banyak pengunjung yang punya latar belakang beda-beda, dari yang tidak tahu apa-apa soal batik, sampai ekspert banget soal pewarnaan, jenis-jenis motif, sampai beliau transfer banyak pengetahuan ke saya (malah jadi saya yang di-guide-in). Dari anak-anak sekolah, turis asing yang datang karena nggak sengaja lewat, sepasang muda-mudi yang lagi pacaran di sekitar alun-alun, seleb-seleb lokal yang datang cuma untuk foto-foto, sampai simbah-simbah sepuh yang ternyata merupakan produsen batik di kampungnya. Saya senang banget rasanya, ternyata masih ada banyak orang yang punya interest dengan hal-hal yang pasti dianggap membosankan oleh kebanyakan orang, soal batik yang jadi identitas orang Indonesia ini. Apalagi saya dapat banyak ilmu dari pengunjung yang memang ahli batik, entah dia adalah konsumen atau produsen, rasa-rasanya di setiap pengetahuan yang dia bagikan pada saya, di setiap itu pula saya kagum dan mikir, gila ya, ada juga orang yang se-passion itu menggeluti batik.

    Pernah pada suatu sore, ada seorang ibu muda yang datang bersama anak perempuan kecilnya, saya lalu menawarkan diri untuk nge-guide mereka ke dalam ruang pameran. Si ibu ini tipikal orang yang antusias tapi pembawaannya cukup tenang, sedangkan si anak kecilnya itu sangat periang dan mobilisasinya cepat banget (lari-lari terus), nah ketika di dalam ruang wayang (jadi ada bilik pameran yang isinya batik-batik wayang, fungsinya cuma untuk interior doang), si ibu itu menarik anaknya dan menghadapkannya ke depan Bhagavadgita yang menjulang tinggi, lalu si ibu bicara pada anaknya, “Adik, kita harus belajar batik ya, kalau enggak nanti batiknya bisa hilang.” saya langsung meleleh dan tersenyum lebar mendengarnya. Kelak, kalau saya sudah jadi ibu-ibu, saya sudah tau saya akan jadi ibu seperti apa.

    Pengunjung yang datang juga ada yang aneh. Selain ada yang ngasih duit, saya juga pernah diajak foto bareng (tentu saja saya menolak karena merasa kurang nyaman), ada yang malah bertanya "Tahu nggak kamu kalau nama Mima itu asalnya dari Jepang?", ada pula yang meminta nomor ponsel saya (saya mau dilibatkan dalam kegiatan pameran batik, orang yang meminta nomor ini adalah seorang produsen batik dari Jakarta), juga ada yang memberi cokelat dan minuman (kalau ini sih teman saya sendiri yang sengaja datang). Saya juga jadi sering nonton karnaval karena letak Sonobudoyo ini cukup strategis, jadi banyak kegiatan seni-budaya yang lalu lalang di depan kami. Dan jujur sih, saya jadi sadar, kalau bertemu dengan orang-orang keren ternyata adalah moodbooster terampuh saya. Saya jadi banyak bersyukur kalau sudah ketemu dengan orang-orang jenis ini.

    Btw, guys, saya mau mencerahkan kalian sedikit soal batik. Jadi, kalian harus paham bedanya batik tulis, batik cap, sama batik printing ya. Pokoknya, kalau kalian mau make batik, hindari sebisa mungkin batik printing, jadi minimal pakai batik cap, atau lebih bagusnya pakai batik tulis (meski batik yang ini harganya mahal-mahal sih). Batik itu sendiri kan seni kerajinan tangan, jadi memang ada pengrajin batiknya sendiri, jadi kalau enggak ditulis, ya tekniknya pasti dicap. Kalau batik printing, itu mah cuma motif batik yang dicetak pada kain tekstil, dan pengerjaannya dilakukan oleh mesin, kalau kayak gitu bukan batik namanya, tapi kerajinan pabrik, hahaha. Dan biasanya batik-batik printing inilah yang paling ramai tersebar di pasaran kita, dijual dengan harga murah dan meriah. Kalau orang-orang pada pakai batik printing, yang diuntungkan bukan pengrajin-pengrajin batik, tapi pabrik-pabrik tadi, wah, lama-lama bisa hilang tuh batik kalau sudah nggak ada lagi yang make.

    Untuk perbedaannya, teman-teman bisa langsung melihat pada motif. Contoh batik tulis, karena dikerjakan dengan manual (pakai canting itu lho), motif batiknya pasti nggak simetris, ukurannya pun bisa beda-beda. Jenis kain yang dipakai juga bahannya lembut, biasanya yang serat kapasnya banyak, soalnya kan batik itu pakai lilin cair, jadi memang harus pakai kain yang bahannya mudah menyerap lilin. Karena dicanting dan pakai lilin cair (atau disebut juga malam), biasanya akan ada retakan-retakan lilin yang pecah atau lumer di sela-sela motif (soalnya kan memang dikerjakan pakai tangan, jadi hal-hal seperti itu pasti ada). Selain itu, warna motif pada bagian depan dan belakang kain adalah sama, soalnya proses mbatiknya dilakukan di kedua sisi kain. Wangi kain batik tulis juga khas, dan harum, kan pakai pewarna alami kayak kulit kayu teger, daun tom, wah dan macam-macam saya nggak begitu hafal. Terus khusus untuk batik-batik yang sudah berusia tua, biasanya ada nama pembatiknya di ujung kain. Dan yang terakhir, jelas, harga batik tulis sangat sangat mahal. Kayaknya batik tulis model jarik begitu harganya bisa sampai empat ratusan ribu lebih deh, kurang tahu juga ya. Nah, untuk batik cap, proses pengerjaannya nggak pakai canting, tapi pakai lempengan besi dengan ukuran pola yang baku (tapi tetap pakai lilin cair), jadi ya modelnya dicap begitu secara simetris. Motifnya cenderung sederhana dan berulang (biasanya dipakai buat bahan seragam sekolah). Warna kain depan lebih terang dan pekat, kalau yang sisi belakang sudah agak tipis, tapi ada juga sih yang depan belakangnya sama. Yang terakhir adalah batik printing (aduh sebenarnya agak males menyebut batik printing, soalnya jelas-jelas ini bukan batik, cuma motif batik yang dicetak di kain tekstil aja), motifnya sangat rapi dan simetris, bahkan nggak kelihatan ada celanya. Bahan kainnya agak terasa kaku, dan nggak enak gitu kalau dipakai buat baju. Sama sekali nggak ada wangi-wangi pewarna alaminya, jadi baunya ya bau kain tekstil pabrikan gitu. Warna kain bagian belakangnya biasanya putih, kalau nggak ya samar-samar lah ada tembusan sedikit. Serta harganya murah banget dan beredar dengan begitu enaknya di pasaran. Kalau kamu beli baju batik dan dapat harga 50 ribu, halah, itu mah sudah jelas printingan pabrik. Sangat sangat tidak direkomendasikan. Bisa bangkrut itu pengrajin-pengrajin batik lokalan yang ada di kampung-kampung. Jangan sampai canting itu hilang dari tradisi membatik pokoknya.

    Nah, karena sudah saya kasih tahu, mulai sekarang, mari kita budayakan pakai batik tulis yuk. Atau minimal batik cap lah. Yang penting jangan beli batik printing. Kalau mau pakai kain tekstil mah nggak apa-apa, asal jangan yang ada motif batiknya, motif yang lain lah. Hih, soalnya batik printing itu merusak tatanan kerajinan batik di Indonesia, bahkan kabarnya batik-batik printing yang ada di pasaran itu diimpor secara massal dari China, parah kaaan. Begitu ya kira-kira, saya sudahi dulu. Dah!

gendong bayipun ada kain batiknya sendiri, nama motifnya adalah selendang paturan kawung dan selendang paturan parang rusak.

teman-teman satu nasib dan perjuangan

Minggu, Oktober 28, 2018

Semalam di Widodaren

    Rencana perjalanan ke Solo mendadak saya batalkan demi menggebu-gebunya keinginan saya untuk pergi ke sesuatu yang berair dan jauh dari pusat kota; pantai (setelah lama sekali tidak menyambangi dataran paling selatan Jogja tersebut). Maka pada 2 jam sebelum keberangkatan ke Widodaren, saya langsung mengemasi beberapa barang ke dalam ransel dan meminjam kompor lapangan ke teman karib saya. Ba’da ashar, saya, Isna, Moyo, dan Nabila, langsung tancap gas menuju arah Gunungkidul. Naik motor dan berboncengan, padahal plat motor saya bautnya lepas, klakson mati dan lampu depan sudah mulai sakit-sakitan (nyalanya redup). Tetapi dengan mengantongi niat baik dan harapan bisa sampai di lokasi sebelum hari menggelap, kami tetap berangkat dan saya tak begitu ambil pusing hahaha. Sebelumnya, perkenalkan mereka adalah segelintir dari teman-teman KKN saya di Kalimantan. Agenda liburan untuk pergi ke pantai sebenarnya diinisiasi oleh saya dan Isna, yang memang sedang butuh udara segar (dalam konotasi; kami sedang mumet), sampai kemudian teman-teman yang lain ikut bergabung meskipun pada akhirnya kami cuma berjumlah empat orang. Tidak apa-apa, kesehatan jiwa tetap nomor satu, oleh sebab itu kami sangat antusias dalam perjalanan tersebut!

    Doa saya betulan dikabulkan! Tepat sebelum magrib mengudara, kami sudah sampai di lahan parkir dekat Widodaren, tentunya setelah melalui perjalanan darat kurang lebih dua jam karena berulangkali mandek di tengah-tengah. Dari tempat parkiran tersebut, ternyata kami masih harus jalan kaki melalui tegalan milik warga selama 20 menit karena akses jalan untuk kendaraan belum tersedia. Kami melalui pematang sawah yang kering, kandang-kandang kambing yang mengembek saat kami lewat, tebing yang naik turun, rerumputan liar yang tinggi di kanan-kiri, serta melalui pantai Ngrenehan pula yang sore itu sangat lengang. Di saat langit mulai gelap, kami terus memfokuskan langkah dan penglihatan kami pada papan petunjuk ke arah Widodaren, sambil lirak-lirik sekitar barangkali ada hal-hal yang perlu diwaspadai, hahaha.

    20 menit berjalan kaki ternyata tidak begitu terasa karena tiba-tiba saja kami sudah mendengar debur ombak berisik dari arah pantai. Sesampainya di lokasi, matahari sudah tenggelam, dan pantai dalam keadaan sangat sangat sangat sepi. Untuk menuju pasir pantai, kami masih harus turun dari sebuah bukit setinggi tiga meteran menggunakan tangga kayu yang sengaja dibuat pengelola wisata. Berbekal senter hape (karena tidak membawa penerangan apapun), kami lalu mendirikan tenda di bibir pantai. Selesai itu, kami mulai berbenah barang-barang pribadi, memasukannya ke dalam tenda, menggelar tikar di depan tenda, menyiapkan peralatan masak, menyetel lagu dari musik player, dan Alhamdulillah saya masih sempat untuk magrib dan isya setelah bertayamum, hahaha. Malam itu juga saya sok ngide memberikan kejutan ulangtaun untuk Isna yang awal bulan kemarin bertambah usia. Saya punya keyakinan, kalau kejutan (dalam bentuk apapun) adalah cara saya mengapresiasi keberadaan teman sekaligus ungkapan kasih sayang yang tersirat. Gila sihhhhhh, I'm such a sweet kid, indeed!

    Mendekati jam delapan malam, tanpa disangka-sangka, ternyata air laut semakin naik ke atas, semakin dekat dengan batas tenda kami didirikan. Baru jam delapan loh! Karena tidak mau menanggung resiko aneh-aneh, dengan terpaksa kami lalu memindahkan tenda, tikar, kompor dan barang-barang kami naik ke atas bukit, tepat di atas air laut yang meninggi tersebut, daripada kenapa-napa. Setelah itu, mulai banyak pengunjung yang datang, berkelompok dan menggendong carrier yang besar. Karena kondisi laut yang sedang pasang, mereka pun jadi ikut mendirikan tenda di samping kami. Kami berkenalan dengan sekelompok mas-mas berjumlah tujuh orang dari Karanganyar tersebut. Saya nggak tahu siapa-siapa saja namanya, nggak begitu memperhatikan, nggak penting juga haha. 

    Karena masih terlalu dini untuk pergi tidur, kami lalu menggelar tikar kami kembali di samping tenda, di atas bukit dan menghadap laut langsung. Menyemil makanan apa saja, melanjutkan putaran lagu yang sempat terhenti tadi, dan mulai melakukan kegiatan yang paling menyenangkan: bergosip! Pokoknya Moyo yang malam itu bercerita paling banyak soal bribikan-bribikannya, sejak dia masih pakai seragam sekolah sampai kisah kemarin sore dia beberkan semua. Nabila cuma merespon percakapan kami tanpa menyumbang cerita apapun, katanya dia bukan tipe orang yang bisa bercerita soal hal-hal personalnya di depan orang banyak (ahela, padahal kami cuma berempat). Saya dan Isna yang sepertinya kebagian jatah cerita sedih. Jadi saya nggak begitu cerita banyak dan detail, kecuali meminta saran how to healing my broken-self pada perempuan-perempuan ini. Alah persetan juga lah, saya lagi nggak ingin mengingat hal-hal yang bikin murung. Malam itu kami habiskan dengan mengobrol banyak hal, tanpa api unggun, tanpa penerangan apapun. Menuju pukul sebelas malam, ternyata air laut sudah melumat hampir seluruh pasir hingga menabrak dinding tebing, kami begidik ngeri, membayangkan bagaimana jadinya kalau tadi kami tidak aware dan memindahkan tenda, mungkin kami sudah tergulung ke lautan lepas.

    Pagi harinya, kami bangun agak kesiangan, itu saja karena gerombolan mas-mas di samping tenda sedang berisik. Waktu itu sudah pukul lima dan langit sudah sangat terang. Sebelum memutuskan untuk menghabiskan pagi yang segar di bibir pantai, kami melakukan ritual dulu; bersih-bersih muka, pakai toner, sunscreen dan sunblock, memasak air untuk bikin kopi, lalu turun ke bawah bukit!

pemandangan dari atas bukit, udaranya enak sekali! 

    Rupanya air laut sudah kembali surut sangat jauh. Karang-karang hijau dan besar terlihat sampai jarak sekitar 100 meter. Melihat debur dan suara ombak sepagi itu, saya mendadak jadi lega dan lebih tenang. Dalam kondisi itu, saya cuma duduk di pasir pantai sambil menenggak kopi saset, sementara Moyo, Nabila dan Isna sudah lalu lalang ke sana-sini, menyusuri karang-karang berbatu dan licin, mengintip hewan-hewan laut yang barangkali terselip di antara pasir dan karang, menyentuh riuh ombak yang kecil, atau sekadar berfoto.

    Pagi itu saya tanpa sadar memutar lagu terakhirnya Tangga dari ponsel, Tak Kemana-Mana, lagu yang ternyata tidak dirilis di mana-mana, tapi ada di Youtube. Lagu yang pada akhirnya membuat grup vokal favorit saya sejak SMP itu bubar dan menghilang.

    Awal cerita yang selalu bahagia adalah skenario yang ditawarkan cinta, namun hanya Tuhan yang tau ke mana perjalanan ini kan bermuara nantinya…

    Perasaan saya tiba-tiba menghangat. Di tengah-tengah laut lepas itu, saya sempat berkaca-kaca sebentar. Nggak ada satu menit sebelum saya segera menyeka mata dan kembali menghabiskan kopi, saya takut ketauan. Beberapa bulan belakangan ini saya masih agak kesulitan untuk mengontrol diri supaya tidak menangis. Hal-hal terus terjadi dan bertabrakan di kepala saya. Dalam keadaan carut-marut, saya selalu berusaha untuk menenangkan diri, apapun caranya. Pagi itu saya seperti dibisiki oleh seseorang, di hidup ini ada banyak hal yang tidak selalu segaris dengan kita, ada hal-hal di luar kuasa kita yang punya poros dan lajunya masing-masing, ada hal-hal yang tak perlu dipaksa dan didesak. Saya terhenyak dan begidik. Pelan-pelan bergumam pada diri sendiri, darimana pikiran tadi berasal?

     Ada hal-hal yang perlu kita sudahi dan relakan.

    Saya mengangguk cepat-cepat, lalu mematikan ponsel. Bagaimanapun juga, ini bukan saatnya untuk melarutkan diri pada perasaan-perasaan sesal. Biarlah pikiran-pikiran tadi akan saya urus belakangan. Lalu karena matahari sudah mulai naik, saya menggeser posisi duduk sampai ke bawah tebing yang lebih teduh. Setelah itu memutuskan untuk bergabung dengan yang lain, lalu malah jadi nyemplung dan melarungkan diri pada Widodaren yang hari itu menjelma seperti teman baik. Badan kami habis diterpa ombak sampai matahari semakin meninggi, tanpa peduli pada belang, kepala pusing, bahkan jemari yang bergetar kedinginan. Kami bermain air sepuas kami, seperti orang sinting, seperti tak punya kekhawatiran apapun, seperti Widodaren itu pula, lepas dan lantang…

    Diam-diam pikiran itu menjalari kepala saya lagi, “tidak apa-apa, kamu tidak apa-apa.”


*
Kanigoro,
14 Oktober

Selasa, Oktober 16, 2018

#21 love letter

have you ever wondered, why do we often sink into daydream?
why are there so many worrying things in life?
do you still cry often at night?
do you sleep well?
do you still have nightmares?

mima, calm down and listen,
i'm sorry if i often hurt you
i'm pretty weak and have trouble holding you back
i'm emotional and often curse yourself
it's been hard as of late, you're losing hope
and disappointed

but i love you
you are awesome and have a good heart
slowly, we'll face it and go through it all

mima, you are allowed to make mistakes
you are allowed to learn and grow
thank you for being brave and so strong
i appreciate your heart and your stubbornness

and also, happy birthday
if you need to stay up crying all night long, i will stay with you.


Yogyakarta, 15th October

Selasa, Oktober 09, 2018

buat ibu

bu, belakangan ini aku sakit-sakitan
kalau ibu sedang telpon dan bertanya kabar
kadang aku cuma ketawa-ketawa sambil balik menanyai ibu
menanyai adik, tanaman di rumah, kambing-kambing milik bapak
lalu diam-diam mataku pasti merah
kenapa ya bu, jadi sering sekali menangis begini
tiap malam dadaku sesak dan bergetar
kepalaku pusing dan berdentum
kemarin-kemarin hidungku sempat berdarah
perutku melilit menahan nyeri
aku mau bilang kalau aku sedang jatuh dan terjerembab
aku mau bilang pada ibu, kalau aku sedang patah dan terseok
aku sedang tenggelam bu,
tapi mendengar suara ibu saja darahku berdesir
aku takut menyakiti ibu
soalnya perasaan sakit itu sungguh ngilu

ibu semakin berumur, tapi semoga tetap cantik dan harum
aku pingin terus bisa melihat ibu
aku pingin terus ada di sekitar ibu,
aku suka bau ibu dan dengkuran napas ibu kalau lagi tidur
bu, tau nggak… sewaktu aku tiba-tiba meminta jemput di stasiun?
dan yang pertama dilontarkan ibu adalah “ada apa kok tiba-tiba pulang?”
ibu seperti tangan Tuhan yang terulur 
dan di situ aku sudah pingin teriak bu,
cuma karena sedang ada banyak orang, aku cuma mengusap pipi
soalnya mataku sudah basah dan hatiku gusar sekali
sebenarnya, aku butuh ibu untuk meredakan sakitku

ibu, selamat ulang taun
maaf karena aku masih sering menangis
aku akan pelan-pelan mengatasi ini semua, bu
jangan khawatir