Rabu, Februari 27, 2019

Katarsis #MerangkumPerasaan

Februari, 2019.

        
        Di rumah sedang gerimis deras. Sore ini keadaan saya agak membaik setelah bertukar kabar dengan seorang kawan dan tidur siang selama dua jam. Hari ini sama sekali belum menangis dan saya menghabiskan banyak waktu dengan keluarga. Rasanya sungguh melegakan bisa mendengar suara ibu, bapak, adik-adik, dan kakak saling mengisi dan bertabrakan (meskipun hanya 3 hari karena setelahnya kami semua bubar –adik ke Jogja, kakak ke Sukabumi). Karena sedang ada hajatan besar di rumah, saya juga jadi ketemu dan ngobrol dengan banyak saudara, bisa tidur di kamar dalam keadaan nyenyak, serta bisa menjaga pola makan dengan menu-menu yang sehat. Melihat diri saya jadi jauh lebih stabil begini, sepertinya saya akan tinggal lebih lama di rumah.

        Anyway, karena sedang dalam kondisi yang baik, saya akan cerita saja deh bagaimana hidup saya berlangsung selama satu bulan ini. Bulan di mana hampir separuh dari energi saya habis di dalam perjalanan. Mulai dari mengakhiri proyek magang di sebuah LSM di kecamatan Gianyar yang fokus pada isu lingkungan, permakultur dan kebencanaan, lalu melakukan banyak perjalanan dari Bali ke Surabaya, Surabaya ke Jogja, lanjut Jogja ke Purwokerto, Purwokerto ke Bekasi, untuk merencanakan proyek riset di sebuah gudang arsip tua, lalu Bekasi ke Jakarta, Jakarta satu ke Jakarta yang lain selama beberapa minggu, Jakarta ke Bekasi lagi, Bekasi ke Purwokerto untuk pulang, dan perjalanan-perjalanan kecil lain mengitari banyak agenda dan kesibukan. Rasanya kaya jadi tua dan beruban di jalan, tapi saya jadi bisa memaknai dan meresapi banyak hal, terutama soal bagaimana saya jadi bisa mengenyahkan perasaan-perasaan buruk yang saya alami terhadap diri sendiri (selama beberapa hari belakangan). Melakukan perjalanan jadi seperti sarana minum obat, yang seringkali pahit, tetapi ternyata menyembuhkan juga.

        Bulan ini saya banyak curhat sama teman-teman terkait kondisi psikis saya yang belakangan ini jadi runyam dan gak jelas. Intensitas nangis saya sekarang jadi setiap malam. Kalau sudah kalut banget dengan diri sendiri, saya langsung mengubur diri, nggak mau ketemu dan ditemui oleh siapapun, pola makan dan tidur jadi berantakan (setiap malam selalu mimpi buruk), quit semua kehidupan virtual saya (nonaktif akun-akun sosial media), dan langsung mikir pengen kabur jauh, untuk menghilang dan lesap tanpa jejak. Rasanya kayak punya ketakutan yang besar terhadap diri saya sendiri, terlalu besar sampai saya nggak bisa menampungnya. Saya pernah minta saran pada seorang teman, tapi dia malah menuduh saya sebagai orang yang gemar mendramatisir suasana, dari situ saya sedih banget dan rasanya nggak mau cerita pada siapa-siapa. Kaya... tega banget sih dia bicara seperti itu? Padahal saya benar-benar pingin menolong diri saya sendiri. Saya jadi tak mau mempercayai siapapun.

        Dan saya juga punya kabar menyenangkan untuk dibagikan pada pembaca: saya telah melakukan seminar proposal skripsi! Risetnya sendiri saya lakukan di Sinematek Indonesia, sebuah lembaga independen yang mengurusi kerja pengarsipan film klasik Indonesia (saya juga ketemu dan ngobrol banyak dengan Pak Adisoerya Abdi, sutradara senior sekaligus mantan aktor yang sekarang jadi kepala Sinematek). Presentasi seminarnya saya lakukan tepat sehari sebelum kakak saya melangsungkan pernikahan. Karenanya, perasaan saya jadi campur aduk dan berantakan banget, kayak dikelilingi banyak hal serius tapi mendebarkan. Alhamdulillah, sekarang rasanya sudah lega dan senang sekali. Rentetan berita baik itu seperti menyihir saya ke dalam kondisi yang baik pula, sampai senyam-senyum dan jadi lebih banyak ketawa. Saya tahu ini masih awal sekali, masih satu langkah kecil yang harus terus saya perhatikan, supaya nantinya nggak kesandung dan terkilir di jalan. Untuk itu, tolong bantu doa dan dukungannya selalu yaaaa, supaya saya benar-benar bisa menuntaskan ini semua. Hm, saya juga masih nungguin pengumuman dosen pembimbing nih...

        Februari penuh hal-hal tak terduga. Besok enggak tahu akan jadi seperti apa. Mungkin nanti malam saya bakal nangis sesenggukan lagi, lalu berakhir tidur subuh dan mimpi buruk lagi. Enggak ada yang benar-benar tau.

        Sebelum catatan pendek ini berakhir, saya mau ngasih tau; untuk teman-teman yang mungkin sedang lelah, jangan lupa untuk mengambil jeda dan rehat sebentar. Capek tau hidup dalam ketergesa-gesaan! Dan jangan lupa ngeteh. :)

Minggu, Februari 24, 2019

nanar (puisi sedih)

setelah orang-orang memberondongiku dengan ucapan "selamat ya"
malamnya aku justru histeris menjadi-jadi
aku terisak sampai jam empat pagi
menangis seperti tenggelam dan mau mati
menangis seperti ...inilah akhirnya
rasanya sedih sampai aku tak bisa bernapas
sedih sampai aku cuma bisa merendam diri
sedih sampai aku tak mampu cerita pada orang-orang
sampai aku tak mampu bilang aku ingin sekali dipeluk
sampai aku tak mampu bilang tolong bahwa aku ingin sekali menyudahi ini semua
dan selesai
dan berhenti

tapi aku selalu takut tiap saat-saat ini terjadi
saat-saat di mana aku selalu berakhir limbung dan jatuh
hamima itu sinonimnya periang, siapapun tahu; perempuan itu suka sekali terbahak
tapi aku takut aku tak akan jadi diriku lagi
aku takut aku tak bisa mengatasi ini semua
aku takut aku akan menjadi habis digerogoti
aku takut aku akan hilang dan mengabur
tak menemui orang-orang
tak menemui diriku sendiri

ibu, aku harus bagaimana
kenapa aku menulis ini



*
sabtu malam di Purwokerto, 2019

Rabu, Februari 20, 2019

Jakarta pereda demam

          Ekspektasi saya soal Jakarta yang runyam dan bikin pusing ternyata salah besar. Sebaliknya, saya justru menikmati setiap perjalanan saya menyusuri lika-liku ibukota, yang meski padat dan terik, tetapi nggak membuat saya penat dan dilanda kecemasan. Ini seperti... saya bisa larut dalam kekacauan yang lahir dari kota ini.

        Nggak seperti perjalanan saya di Jakarta yang sebelumnya, kali itu, untuk pertama kalinya, saya bisa sedamai itu melakukan perjalanan jauh seorang diri, tanpa mengenal dan dikenali siapapun, tanpa perlu merasa takut dan kesepian, tanpa perlu repot-repot berpikir soal hal buruk. Naik kereta lokal dan berdesak-desakkan, naik busway dan duduk di kursi paling belakang, berjalan kaki dan menyusuri petak-petak sempit di perkotaan, ke stasiun Jakarta Kota demi bisa menikmati sore di sekitar Kotu, turun di Cikini demi bisa mengambil gambar langit magrib dari ketinggian, berkunjung ke Sinematek dan dikenali oleh petugas perpustakaan setelah satu tahun berlalu (saya pernah main ke sana 2018 lalu), bikin janji temu dengan teman-teman yang tinggal di Jakarta, berhenti di sembarang kedai kopi untuk membaca buku dan menyusun outline, menyesatkan diri hanya untuk hal-hal remeh seperti duduk lama di kereta sambil menyetel lagu, atau keliling Jakarta dan melihat jalanan yang penuh.

       Saya juga jadi ngobrol dengan banyak orang asing, yang cuma niat basa-basi tapi malah jadi keterusan curhat panjang lebar. Ibu-ibu hamil, ibu-ibu kantoran, mbak-mbak necis, mbak-mbak yang salah naik kereta, bapak-bapak yang enggak tahu rute, anak kecil sehabis pulang sekolah, nenek-nenek yang suka meringis, juga seorang mas-mas yang mengembalikan kartu e-money saya yang jatuh ketika habis tap dari stasiun. Semuanya asing dan terjadi begitu saja.

magrib di Cikini

        Saya sungguh waras selama itu. Seperti dihempas dari Jogja yang penuh puja-puji akan wacana kota yang ramah, di sana saya justru mengalami banyak demam dan sakit kepala. Sedang Jakarta yang dimaki-maki malah bisa meredakan pusing dan bikin perasaan saya tenang. Saking tenang dan nyamannya, saya bahkan bisa nangis karena hal itu. Atau, ini cuma romantisme saya belaka? Saya menggumam, tapi nyatanya memang benar seperti itu. Yang jelas, Jakarta memberi kesan yang baik selama beberapa minggu saya hidup di sana. Saya jadi bertanya-tanya, apakah ini yang sebenarnya saya butuhkan –berada di tengah-tengah hidup yang asing?

Jatinegara

Selasa, Februari 12, 2019

kering dan layu


terhuyung-huyung
dan dilanda mendung
mungkin kita adalah anak-anak kesepian
yang menjelma bagai hantu-hantu muram
yang asing dan sayu
yang kering dan layu

meski nampak riang dan tumbuh liar
meski tawaku meledak dan lagakku berisik
meski serampangan dan begitu berantakan
sebenarnya aku pendiam dan sangat ringkih
warnaku redup dan aku tak banyak tersenyum
emosiku gelap dan aku diam-diam mengecil
mataku sembap dan sering sekali melamun

aku seperti bayangan hitam
yang terbang lamban dan bisa hilang
seperti selimut kabut
yang nampak buram dan kabur
seperti tempias gerimis
yang begitu lembut dan mudah tersapu
yang begitu halus dan mudah mengabu

sebenarnya,
aku pun begitu rumpang dan usang
begitu samar dan sia-sia



*
Surabaya, 2019