Jakarta pereda demam

by - Februari 20, 2019

          Ekspektasi saya soal Jakarta yang runyam dan bikin pusing ternyata salah besar. Sebaliknya, saya justru menikmati setiap perjalanan saya menyusuri lika-liku ibukota, yang meski padat dan terik, tetapi nggak membuat saya penat dan dilanda kecemasan. Ini seperti... saya bisa larut dalam kekacauan yang lahir dari kota ini.

        Nggak seperti perjalanan saya di Jakarta yang sebelumnya, kali itu, untuk pertama kalinya, saya bisa sedamai itu melakukan perjalanan jauh seorang diri, tanpa mengenal dan dikenali siapapun, tanpa perlu merasa takut dan kesepian, tanpa perlu repot-repot berpikir soal hal buruk. Naik kereta lokal dan berdesak-desakkan, naik busway dan duduk di kursi paling belakang, berjalan kaki dan menyusuri petak-petak sempit di perkotaan, ke stasiun Jakarta Kota demi bisa menikmati sore di sekitar Kotu, turun di Cikini demi bisa mengambil gambar langit magrib dari ketinggian, berkunjung ke Sinematek dan dikenali oleh petugas perpustakaan setelah satu tahun berlalu (saya pernah main ke sana 2018 lalu), bikin janji temu dengan teman-teman yang tinggal di Jakarta, berhenti di sembarang kedai kopi untuk membaca buku dan menyusun outline, menyesatkan diri hanya untuk hal-hal remeh seperti duduk lama di kereta sambil menyetel lagu, atau keliling Jakarta dan melihat jalanan yang penuh.

       Saya juga jadi ngobrol dengan banyak orang asing, yang cuma niat basa-basi tapi malah jadi keterusan curhat panjang lebar. Ibu-ibu hamil, ibu-ibu kantoran, mbak-mbak necis, mbak-mbak yang salah naik kereta, bapak-bapak yang enggak tahu rute, anak kecil sehabis pulang sekolah, nenek-nenek yang suka meringis, juga seorang mas-mas yang mengembalikan kartu e-money saya yang jatuh ketika habis tap dari stasiun. Semuanya asing dan terjadi begitu saja.

magrib di Cikini

        Saya sungguh waras selama itu. Seperti dihempas dari Jogja yang penuh puja-puji akan wacana kota yang ramah, di sana saya justru mengalami banyak demam dan sakit kepala. Sedang Jakarta yang dimaki-maki malah bisa meredakan pusing dan bikin perasaan saya tenang. Saking tenang dan nyamannya, saya bahkan bisa nangis karena hal itu. Atau, ini cuma romantisme saya belaka? Saya menggumam, tapi nyatanya memang benar seperti itu. Yang jelas, Jakarta memberi kesan yang baik selama beberapa minggu saya hidup di sana. Saya jadi bertanya-tanya, apakah ini yang sebenarnya saya butuhkan –berada di tengah-tengah hidup yang asing?

Jatinegara

You May Also Like

0 Comments