Sabtu, Februari 27, 2021

Putih #3


Apakah hidup akan menyisakan sepotong kecil, seukuran kuku kelingking, sedikit saja, keinginanku yang bisa kutanam dan kusimpan sendiri? Hyang Widhi, apakah sebagai perempuan aku terlalu loba, tamak, sehingga Kau pun tak mengizinkanku memiliki impian? Apakah Kau laki-laki? Sehingga tak pernah Kau pahami keinginan dan bahasa perempuan sepertiku?
(Oka Rusmini, 2001)

*

     Rasanya membaca kutipan dari novel Sagra dalam keadaan pikiran yang mengawang itu ternyata sungguh semenyakitkan ini. Hampa sekali. Bulan ini sudah mau habis dan saya berkali-kali meyakinkan diri bahwa semua hal yang terlintas dalam penglihatan nyata maupun yang cuma di kepala adalah upaya-upaya yang membuat hidup terus bergulir. Kata orang, masalah kecil adalah latihan hidup, masalah besar juga demikian, bedanya ia memberikan tekanan lebih besar pada hatimu. Kalau kamu tak punya daya hidup yang bagus, tentu saja kamu bisa membusuk dan berakhir sia-sia; dengan kata lain adalah mati. Saya berkali-kali meyakinkan diri bahwa... kejenuhan hidup, perasaan-perasaan sedih yang menggerogoti tulang, semangat-semangat semu dan omong kosong ini ternyata selalu dibarengi dengan ketangguhan hati, welas asih yang meskipun nampak putus asa, dan barangkali juga kepasrahan diri untuk menyerahkan hidup yang seada-adanya. 

    Hari-hari kesepian dan berjalan amat lambat. Perjalanan di usia dewasa ini terasa kering sekali.

Sabtu, Februari 13, 2021

Putih #2

    Kenapa ya kita selalu merasa amat sangat bersalah kalau sedang tidak bisa menjadi produktif? Minggu ini saya meliburkan diri dari tempat saya mengambil kerja paruh waktu, lalu meminta ijin pada teman-teman projekan untuk istirahat dan tidak melanjutkan pekerjaan selama beberapa hari, juga menghindari perjumpaan dengan teman-teman yang padahal punya niat baik untuk bertemu. Di satu sisi rasanya seperti kosong dan sepi yang mengiris pelan-pelan, tetapi di sisi yang lain pula, saya tak pernah punya cukup kekuatan untuk menghadapi itu semua, interaksi-interaksi yang demikian entah kenapa rasanya begitu menyulitkan untuk dilakukan. Ketakutan itu seperti menggumpal dan tumbuh menjadi mahluk besar yang mendominasi kesadaran saya. Lalu yang saya lakukan berikutnya adalah menelan diri dan hidup melambat... dan saya tak tahu apa ini sesuatu yang destruktif saya lakukan atau tidak? Kesendirian yang mematikan sekaligus menyembuhkan. Kesendirian yang meniadakan sekaligus menguatkan. Kemudian jadi punya banyak sekali waktu dan hal untuk dirapikan; menenangkan diri, mengademkan diri, menjernihkan diri. Tetapi di saat yang bersamaan pula rasanya jadi seperti memanggil peristiwa-peristiwa buruk di masa lalu, lantas membenturkannya secara lembut dengan kondisi yang sekarang. Rasanya hidup orang lain seperti terus berjalan, tapi hidup saya terasa macet dan berhenti. Rasanya kesedihan yang teramat besar ini sampai tak bisa muat di dalam tubuh saya yang kecil. Rasanya apa-apa yang terjadi ini terlalu kompleks, tapi di saat yang bersamaan, ternyata juga sehambar ini.

    Kalau situasinya sedang aneh begini, saya jadi teringat dengan beberapa lagu menyenangkan yang biasa saya dengar dengan volume kencang. Taman Bunga Plantungan-nya Dialita, lagu keroncong mendayu-dayu yang secara kilat dapat membuat saya rileks, juga lagu mereka yang lain berjudul Ujian dengan liriknya yang kontemplatif “apa aku emas sejati atau imitasi?” yang dinikmati sambil menelan obat pereda nyeri kepala, atau paracetamol karena beberapa hari ini tubuh saya selalu mengalami demam. Saya jadi ingat dengan mimpi saya untuk menyaksikan Dialita secara langsung, di saat-saat seperti ini, mendengarkan Dialita sambil mengeluh kesakitan rasanya seperti sedang disuntik harapan. Ada juga Autumn Town Leaves-nya Iron & Wine, folk-folk gaya amerika yang sangat mendinginkan kepala. In this autumn town where the leaves can fall, on either side of the garden wall, we laugh all night to keep the embers blowing. Emosi yang sedang kalut dan memuncak bisa mereda secara perlahan kalau telinga disumpal dengan lagu tersebut.

    Lalu kadang-kadang saya juga menghibur diri dengan banyak kegiatan, jangan sampai saya mati membeku. Berbelanja sayuran ke pasar pakem yang dingin; membeli jus mangga dan buah pisang serta semangka; menjerang air untuk kemudian membuat jahe panas campur madu; memasak sayur sop, perkedel tahu, dan bakwan jagung; mengepel lantai kamar dan mencuci bersih sepatu-sepatu; menikmati sore di dekat balkon sambil memakan es krim; mengobrol dengan ibu kost soal kompor di dapur yang ngadat; menulis puisi-puisi kesepian dan juga menonton film. Sejauh ini saya belum bisa melakukan interaksi dengan banyak orang dan berpergian dalam waktu lama, jadi hal-hal yang terjadi selama beberapa hari ini hanyalah peristiwa kecil yang santai, tak banyak berisik, dan cukup untuk mengisi diri sendiri.

    Ada satu film yang terakhir saya tonton berjudul Romang (2019) dari Korea Selatan, menceritakan sepasang lansia yang keduanya mengidap penyakit demensia dan hidup bersama mengandalkan satu sama lain. Konfliknya intens, begitu pula dengan keputusasaan yang dirasakan si nenek maupun kakek sepanjang durasi film. Akhir ceritanya nggak menyenangkan, tentulah karena salah satu dari mereka kemudian mati lebih dulu, tapi saya nggak sedih, saya tahu realitas hidup memang kadang terasa seperti itu. Selain itu ada juga satu film pendek berjudul A Friday Noon (2016) yang barusan saya tonton. Berkisah soal kompleksitas transpuan yang cuma kepingin salat Jumat, tapi harus mengalami banyak masalah di perjalanannya mencari masjid untuk sembayang. Ceritanya juga nggak berakhir menyenangkan, dan saya nggak terkejut. Nggak ada yang kontradiktif, apa yang terjadi di dalam layar dengan kenyataan yang sesungguhnya memang seperti itu; hidup tidak selalu mujur. Diam-diam saya mengernyit, mungkin saya yang sedang berpasrah? Sampai sekarang saya bahkan belum bisa marah, dan entah kenapa tak bisa marah, di saat teman-teman saya sudah lebih dulu memaki sumpah serapah dengan brutal. Untuk menuju keadaan emosi yang seperti itu, lagi-lagi saya merasa nggak punya cukup kekuatan. Segala yang saya alami adalah kebalikan dari perasaan mendakik-dakik itu.

    Saya menghela napas sesaat. Dunia yang hebat dan serba cepat ini selalu diam-diam menikam kita. Harus meraih, harus mencapai, harus mendapat, harus mengejar, tanpa mau menyelami proses-proses merelakan, melepaskan, memberikan, menyerahkan… Padahal hidup ini cuma fase; ketika rasanya memuakkan, ternyata suatu saat akan membekas di hati jika mau diamati lebih dalam; ketika rasanya berat, ternyata itu bisa jadi pengingat bahwa kita pernah merasa lebih bahagia tanpa kita pernah pikirkan dan rasakan. Saya jadi ingat cita-cita saya terhadap banyak hal, mimpi-mimpi sepele yang membuat saya bersemangat, perasaan-perasaan ringan yang menyenangkan, kenangan-kenangan manis yang terputar berulang kali di kepala. Saya masih anak perempuan yang berharga meski punya kesedihan sebesar lautan di dalam hati.

    Saya jadi mengerti, ketika saya punya satu peristiwa tidak menyenangkan, yang kemudian sering saya lakukan adalah menyalahkan diri dan mengutuk keadaan yang seperti tahi. Pikiran saya dapat mengurutkan ketololan apa saja yang seharusnya tak saya lakukan pada saat itu. Saya nggak pernah benar-benar tulus menghargai segala keputusan yang sudah saya buat selama 23 tahun ini. Mungkin seharusnya saya nggak menyesali apapun yang telah terjadi di belakang, bagaimanapun hidup telah mengantar pada banyak sekali dinamika. Kemampuanmu menerjemahkan hidup dan pengalaman menjadi pengetahuan-pengetahuan yang bernilai adalah hal yang seharusnya dipelihara.

    Di sela-sela saya menghirup aroma bosan dari tubuh kecil saya, saya membuka kembali novel Laut Bercerita milik Leila Chudori yang kertasnya telah mengkerut dan menjadi kuning akibat pernah terendam banjir dua tahun lalu. Di sana, Laut menulis surat untuk adiknya, Asmara Jati, ketika dirinya dikabarkan menghilang pasca gejolak politik tahun 1998. Laut berpesan untuk adiknya, ayahnya, sekaligus ibunya, sebuah kalimat yang membuat saya dapat tercenung sejuta kali; jangan hidup di masa lalu, jangan terjebak pada kenangan yang membuat kalian semua tak bisa meneruskan hidup

    Mata saya berat. Malam ini saya akan tertidur tanpa menangis. Maaf kalau tulisan saya kali ini tidak runut dan rapi.

    Selalu selamat, selalu belajar.


*
dan hujan-hujan deras yang menggelayuti hati, Februari yang mengabu dan terhenti.

Kamis, Februari 11, 2021

Putih #1

    Hari ini masih menjadi hari yang mengerikan, sama seperti hari-hari kemarin. Hujan berisik sedari malam ternyata terus terbawa sampai pagi, tak ada habisnya. Alhasil, langit jadi berkabut dan tampak suram. Bagi seseorang seperti saya yang menyerap energi dari banyak hal, tentu saja suasana langit yang jelek itu pastilah ikut mengeruhkan suasana hati saya. Tapi entah kenapa, pagi itu saya tetap bangun, melepas kaus kaki dan melipat selimut, mengambil gelas lalu menuang air minum dan menghabiskannya dalam tiga kali tegukan, kemudian diam sebentar untuk mengumpulkan nyawa sambil mengamati keluar-masuknya napas, menghitung detak jantung, dan merasakan guna panca indera dengan seksama. Setelah punya kesadaran yang cukup, saya baru paham bahwa sedari tadi sebetulnya saya dijalari perasaan takut dan gugup, diam-diam suasana langit yang jelek itu ternyata sudah merasuki saya. Kegundahan yang menyusup itu sebenarnya punya akar yang rumit dan bercabang, tapi untuk pagi itu saya punya satu alasan yang jelas; hari ini saya punya janji untuk bertemu dengan psikolog guna melakukan sesi konseling.

    Saya lalu mandi sambil berpikiran macam-macam. Rasanya mendebarkan membayangkan kemungkinan-kemungkinan apa yang nanti akan terjadi. Selesai mandi, anehnya saya malah jadi ragu untuk berangkat. Sambil menyisir rambut, saya memperhatikan diri saya di depan cermin lalu bergumam banyak hal. Saya nggak yakin. Sepertinya saya belum siap. Saya nggak mau keluar. Sepertinya saya mau membusuk saja di dalam kamar. Kemudian memakai tabir surya dan membubuhkan gincu tebal-tebal, supaya tak tampak pucat, sambil terus memojokkan diri untuk menyerah. Sudahlah, saya mau tidur sampai besok saja. Lalu Nilna, teman SMA saya, tiba-tiba sudah muncul di depan pintu kamar ketika saya baru memilih jilbab. Tak lama setelahnya, kami berdua lalu turun ke lantai satu untuk mengambil motor dan mengenakan mantel, hari masih hujan, dan melesat menuju kantor UPTD PPA Sleman di Tridadi, lembaga pemerintah yang berdiri di bawah payung Kemenpppa. Rasanya saya mau menguap saat itu juga.

    Dan yang terjadi, kemudian terjadilah. Saya sudah duduk berhadapan dengan psikolog saya, Mbak Ulfah, di ruangan berdinding putih yang tak terlalu banyak menyimpan perabotan. Pertemuan pertama untuk sesi konseling tersebut kira-kira berjalan sekitar satu jam. Mbak Ulfah banyak sekali mengajukan pertanyaan yang anehnya membuat saya jadi bicara banyak terhadap apa-apa yang saya rasakan dan mengganggu saya, yang sebelumnya sama sekali nggak saya sadari. Saya jadi seperti dikenalkan kembali dengan kegelisahan, ketakutan, perasaan malu, kebingungan dan ketidaktahuan akan apa yang seharusnya saya lakukan, juga rasa-rasa lain yang menumpuk dan kalang-kabut menimpa saya. Di titik-titik ketika apa yang saya sampaikan itu terlalu personal, mata saya merembes dan jadi sesenggukan. Mbak Ulfah seperti membantu saya untuk pelan-pelan mengidentifikasi, merunutkan, sekaligus memetakan emosi saya, supaya saya punya sedikit kejernihan dalam menilik situasi. Satu peristiwa mengerikan dan sangat tidak menyenangkan yang saya alami ternyata sungguh mengacaukan seluruh kesadaran saya. Saya sampai takut membayangkan apa yang akan terjadi kalau saya tidak mencari bantuan.

    Menjelang akhir, Mbak Ulfah bertanya soal harapan. Sesuatu yang sejujurnya sama sekali tak saya bayangkan. Di keadaan saya yang sekarang, ternyata saya tak punya cukup keberanian untuk meyakini apa itu harapan. Tapi ketika beliau menanyakan apa yang sebenarnya dalam hati saya inginkan untuk terjadi, diam-diam saya merapalkan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Baiklah kalau mungkin ini rasanya begitu pahit, tapi apa salahnya dengan membuat permohonan?

    “Kalau misalnya harapan itu bisa diberi tanda, Mbak Mima mau kasih tanda seperti apa?” Mbak Ulfah bertanya lagi. “Untuk menyimbolkan saja, tandanya bisa berbentuk apapun.” sambungnya yang seperti menangkap kebingungan saya.

    Saya diam sebentar untuk memikirkan jawabannya, saya tak punya pengetahuan yang baik soal visual bentuk. Tapi kemudian saya bicara sambil tersenyum simpul, “Mungkin bintang, tapi ukurannya kecil.”

    “Warnanya apa?”

    “Kuning.” saya masih tersenyum, “Itu warna kesukaan saya.”

    Mbak Ulfah ikut tersenyum, “Baiklah, dalam perjalanan Mbak Mima menelusuri ketidaknyamanan yang tengah dialami Mbak Mima sekarang, semoga Mbak Mima bisa selalu menghadirkan bintang kecil berwarna kuning itu di dalam diri Mbak Mima, ya.”

    Saya tersenyum lagi mendengar metafora yang digunakan oleh Mbak Ulfah, tentu saja sambil menyeka air mata dan hidung yang basah karena menangis. Perumpamaan yang manis dan sederhana. Diam-diam saya mengamini bintang kecil itu supaya bisa terus berpendar di dalam hati saya.

    Sebelum kemudian saya berpamitan pulang dan membicarakan sesi pertemuan yang selanjutnya, Mbak Ulfah, seperti teman-teman saya yang lain, ikut memberikan dukungan dan mengapresiasi keberanian yang saya punya sampai sejauh ini, meskipun sebenarnya saya sudah bilang kalau saya punya rasa takut yang besar berkali-kali selama sesi konseling. “Paling tidak Mbak Mima mampu bertahan di situasi yang menyulitkan ini, Mbak.” sambungnya.

    Dalam perjalanan pulang, saya menyadari kalau ternyata kami melewati rute yang berbeda dengan saat kami berangkat sebelumnya. Saya jadi menimang-nimang dan berpikir banyak hal lagi. Ada sesuatu yang sebenarnya tak begitu sulit tapi sungguh terasa sulit hingga rasanya tak ingin dirasakan. Di arah menuju pulang tersebut, ketika kami berhenti di persimpangan lampu merah yang akan menghubungkan ke ruas jalan di depan, saya lalu bicara pada Nilna yang menyetir di depan, “Dari kemarin sebenarnya aku nggak punya keberanian untuk lewat jalan itu, Nil.”

    “Mau lewat jalan lain apa?”

    “Gausah, muternya jauh. Lurus aja.”

    Dan begitulah, kami lantas melewati jalan bisu dan kelu itu. Saya menahan napas lima detik ketika honda beat Nilna melaju di antara pepohonan kering dan komplek pertokoan sepi yang menghinggapi jalanan tersebut, lalu di detik ke enam mengeluarkan perasaan kalut tersebut ke udara lepas. Saya mau pulih secepat mungkin, tapi kalau prosesnya harus lama dan perlahan seperti ini, semoga saya punya kekuatan yang cukup untuk bisa terus mengalami dan menghadapi apapun di depan mata nanti.

    Teman-teman, maaf kalau saya mungkin punya banyak waktu diam dan jadi lambat terhadap banyak hal, saya akan berusaha untuk tetap mengada (dan tidak menghilang). Sisa waktu yang saya punya untuk sementara ini sedang saya gunakan untuk memulihkan keadaan saya supaya bisa kembali membaik. Terima kasih dan sampai ketemu di catatan berikutnya…


*
Kaliurang yang beku, 2021.

Rabu, Februari 03, 2021

takkan ada tenang di tengah-tengah gelisah

mengapa kamu selalu terbangun di pagi buta dalam keadaan hati yang gusar? seperti ada sesuatu di dalam kepala yang berkelit dan mengikatmu begitu erat, sewaktu-waktu hal itu dapat menjeratmu dan kamu dibuat kebingungan setengah mati 

seharian kamu kosong dan merasa hambar, pikiranmu mengawang dan berkunang-kunang, tenang... tenang... ucapmu pesimis bersama pereda nyeri yang ditenggak dengan gugup, padahal sesungguhnya tak pernah ada tenang di tengah-tengah gelisahmu, semua asumsi yang berlarian di tempurung otakmu sebenarnya hanya hal-hal semu belaka, sudah seharusnya kamu merasa palsu 

menjelang malam semua hal jadi kabur, seperti ada yang menekanmu dengan brutal, rasanya sesak sampai kamu hampir tumpah, rasanya muak sampai kamu ingin muntah, lalu yang terjadi berikutnya adalah dirimu pecah berserakan dan susah payah kamu memunguti kembali bagian-bagian dari dirimu yang secara perlahan ternyata telah menciut... kamu kalap, sementara matamu mengering, sudah tak bisa menangis. segala kesakitan yang datang menimpamu rasanya cuma seperti menghunus lubang besar di dalam dadamu, kamu tak tahu betul sedang merasakan apa.

yang kamu tau kamu menyusut, menjadi sekecil abu
kamu putus asa, dan sudah hampir lenyap
kamu buntu, sekaligus tergilas dan habis
kamu tau kamu akan selesai, yang kamu lakukan cuma menunggu kapan kamu akan tenggelam
dan terhempas jadi pupus



*
mengingat bulan-bulan kekeringan belakangan ini, 2020-2021.