Journal 1: hari-hari normal di museum

by - Maret 24, 2022

aneh tidak, kalau aku bilang, bahwa rutinitas kerjaku di museum saat ini membuatku dapat merasakan sebuah ritme kehidupan? aku tidak menyangka, punya rutinitas itu rasanya sangat normal. aku sampai lupa kapan terakhir kali mengalami perasaan senormal ini, sebab yang selalu aku rasakan bulan-bulan belakangan kemarin adalah perasaan kosong, muram, kosong lagi, lalu muram lagi. kalaupun aku merasa senang, perasaan senang itu masih ku lalui dengan kekosongan yang mengendap di hatiku. tapi, ternyata, aku begitu menikmati kenormalan ini sampai tidak sadar kalau aku telah mengalami banyak perubahan dari cara berpikir hingga caraku merespons situasi. perasaan normalnya adalah perasaan yang akan membuatmu mengerti, kalau hidup memang hanya terus berputar dan berjalan, tak peduli medannya seperti apa, lalu kita sendiri yang pada akhirnya menentukan arahnya akan ke mana dan jadi seperti apa.


perasaan yang sangat normal ini nyatanya bisa membantuku melatih fokus. beberapa pikiran yang berserakan akan sedikit lebih tertata kalau aku mulai mengerjakan hal-hal yang menjadi rutinitasku. aku juga jadi jarang menangis, kalau aku punya hari-hari sulit yang membuatku ingin menangis, aku akan memprosesnya dengan sadar dan tak lagi berlarut-larut menghadapinya seolah kesedihan itu akan tertanam selama-lamanya. selain itu, yang menarik dari semua kenormalan ini adalah; aku jadi lebih sering makan (meski porsi makanku masih sedikit) dan menikmati aktivitas makan itu dengan kesadaran penuh, aku sudah jarang merasa mual dan tiba-tiba ingin muntah tanpa sebab, mulai sering tidur nyenyak (karena sudah terlampau capek di museum), dan mulai lebih responsif terhadap tubuh sendiri, salah satunya respon-respon terhadap rasa sakit yang aku alami secara fisik maupun psikis.

sekarang juga jadi lebih bisa menikmati hal-hal kecil dan sepele, yang sebenarnya tidak banyak orang perhatikan, seperti udara pagi atau udara malam, biru langit atau langit keruh, riuh pasar atau pasar lengang, matahari terik atau matahari hangat, hujan gerimis atau hujan badai, jalanan macet atau jalanan kosong, suasana ramai maupun suasana sepi, dan semua momen-momen yang berlawanan. secara perlahan, aku dapat menikmati beberapa peristiwa itu dan tak begitu ambil pusing.

teman-teman kerjaku di museum juga sangat menyenangkan dan ada kalanya (tanpa mereka sadari) mampu menghibur hatiku yang sering sedih. masing-masing dari mereka punya latar historis dan ‘bagasi’-nya masing-masing yang membuat mereka tampak menarik. di satu sisi, mereka juga yang paling sering menyuruhku untuk lebih banyak makan supaya tidak mudah sakit, paling sering menghardikku kalau tahu aku habis keluyuran sampai larut malam, paling sering menertawaiku karena aku suka sekali melakukan hal-hal bodoh. sebenarnya, ada banyak sekali pekerjaan-pekerjaan di museum yang rasanya berat dan runyam, tapi teman-temanku itu selalu menolong dan mengurai kerumitan-kerumitan itu. masih terasa berat sih, tapi paling tidak beban itu bisa kami pecahkan bersama-sama.

kenormalan ini tentu saja juga membuatku jadi gampang sakit. lokasi museum yang berada di bawah lereng gunung mengakibatkan curah hujan di sana tinggi sekali, hampir setiap hari kami menghabiskan waktu di museum dengan kedinginan dan kehujanan, porsi matahari hangat paling-paling hanya sampai setengah hari. aku selalu mengantongi minyak gosok, minyak telon, minyak angin, aromaterapi, koyo, obat batuk, obat pilek, demam, sakit kepala, pegal linu, vitamin, suplemen makanan, sampai hansaplas. karena terpapar kondisi yang demikian, perasaan yang sering aku alami sepulang kerja kebanyakan adalah perasaan lesu dan ketidakberdayaan, seolah-olah energiku telah tersedot habis karena seharian bertemu dengan ratusan manusia di museum. bahkan seringkali aku sampai muak kalau harus membuka mulut untuk bicara dan mengeluarkan kata-kata. maka ketika sampai di kos, lebih sering aku akan menenggelamkan diri (seperti mode shut down) dan mengisi baterai dengan mengerjakan rutinitas harian. sendirian, tidak ada interaksi, tidak ada kebisingan. 

sepulang dari museum biasanya aku akan melakukan beberapa pekerjaan domestik seperti merapikan kamar, memilah sampah daur ulang dan organik, mencuci kotak bekal makan siang, memasak makan malam, mengangkat jemuran dan melipat pakaian-pakaian, stretching ringan di balkon kostan, lalu mandi, memakai serum dan pelembap, mengerjakan beberapa tulisan, menelpon orang rumah, membaca buku, menonton satu-dua episode film sampai tidak sadar kalau sudah tertidur. kalau aku punya janji temu dengan teman, aku akan mengesampingkan pekerjaan domestik itu dan menemui temanku sampai pukul sepuluh, atau sebelas malam, lalu pulang dan bergegas mandi tanpa sempat membersihkan isi tas kerja, biasanya itu akan ku lakukan keesokan paginya (dengan tergesa-gesa).

di hari libur kerja, yaitu Senin, aku akan bangun sedikit lebih siang sekitar pukul sembilan atau sepuluh (terkadang aku capek harus bangun pagi-pagi untuk bekerja dan kangen sekali menikmati momen bangun siang tanpa gangguan), sambil tetap melakukan beberapa pekerjaan domestik yang bisa dilakukan. ketika sudah siang menjelang sore hari, aku akan menemui Yoga dan menghabiskan waktu bersama laki-laki itu sampai kadang baru pulang pukul duabelas malam. di hari-hari yang berjalan sangat normal itu, seringkali aku berpikir kalau kenormalan-kenormalan ini adalah suatu kemewahan yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. tentu saja aku masih punya hari-hari di mana aku merasa sangat oleng dan mletre, seperti ada benda tumpul yang menimpuk kepalaku dengan keras atau seperti terjerembap ke lubang besar menganga di tengah-tengah perjalanan. tapi peristiwa-peristiwa itu masih bisa aku nikmati dengan santai. sekarang segala sesuatunya terasa lebih tenang, lebih kalem, dan tentu saja semuanya itu terasa lebih normal. rasanya enak juga dipikir-pikir.

satu lagi yang membuatku terharu, ini agak klise sih, tapi kenormalan ini ternyata membuatku punya ‘sedikit’ tujuan hidup yang ingin aku capai; aku ingin jadi bermakna dan bisa memberikan ‘sedikit’ arti pada kehidupan orang lain, dan karena itu juga, keinginanku untuk melenyapkan diri jadi semakin jarang belakang ini. i love seeing myself doing better.








*aku menulis ini sambil menikmati jahe panas karena tenggorokanku sedang sakit; malam hujan di bulan Maret 2022.

You May Also Like

0 Comments