Hari Radio dan Kenangan Saya Soal Radio

by - September 12, 2017

Hari ini, 11 September 2017, diperingati sebagai hari radio nasional. Momentum tersebut sekaligus juga jadi perayaan hari kelahiran Radio Republik Indonesia (RRI) yang didirikan pada 11 September 1945. Hal itulah yang mendasari mengapa peringatan hari radio kerap disebut sebagai harinya RRI. Sama seperti hari lahirnya saya yang bertepatan dengan hari hak asasi binatang, hehe. Serentak namun tak senada.

    Saya nggak akan berbicara soal sejarah radio nasional di tulisan kali ini, karena saya nggak punya kecakapan untuk menjelaskan hal tersebut, tapi teman-teman bisa lho membuka catatan sejarah radio lewat laman-laman terkait di internet. Bagaimana radio tersebut bisa muncul dan berkembang di Indonesia, menjadi media penyebaran informasi jaman paska kemerdekaan, ngetren seiring dengan usianya mengudara di tanah air; ajang titip salam dan request lagu, serta banyak hal lainnya.

    Awal perkenalan saya dengan radio adalah ketika saya masih mengenyam bangku taman kanak-kanak, mungkin sekitar usia lima tahun. Almarhumah Eyang putri saya yang tinggal bersama di rumah, suka menyetel lagu-lagu bertembang kenangan (atau mungkin yang genrenya lebih jadul lagi) dan mendengarkan siaran berita dari benda persegi panjang berwarna hitam-abu dengan tongkat antena yang panjang, yang ketika ditarik ke atas mungkin bisa menjulang hingga dua meter. Benda yang kemudian saya ketahui bernama radio itu masih menggunakan batu baterai sebagai penghantar energinya, cara supaya radio tersebut bisa menyala. Barulah ketika saya masuk SD, Bapak membeli radio kabel kira-kira selebar tangan orang dewasa, yang bisa dimasuki kaset pita, yang bisa ditancapkan mikrofon untuk karaoke, yang jumlah tombolnya ada banyak sekali, dan yang jelas, radio milik Bapak ini suaranya lebih jernih ketimbang radio milik Eyang yang harus geser-geser antena sampai tangan keram untuk mencari frekuensi radio yang bersih. Dari radio milik Eyang maupun Bapak yang seperti beda generasi itu, saya tetap menyukai satu hal menyenangkan dari media elektronik tersebut; radio nggak pernah tidur. Kalaupun ada satu dua saluran yang mati, pasti selalu ada saluran-saluran lain yang masih mengudara, entah sedang memutar lengger atau menyiarkan berita dunia, kita cuma perlu mengganti salurannya saja. Saya juga suka bagaimana radio bisa jadi teman ketika kita sedang bersama hal lain. Seperti Bapak yang sibuk membetulkan mesin rusak sambil mendengarkan radio berbicara soal pupuk kandang atau obat herbal tradisional. Ibu yang sedang memasak sambil menyanyi campur sari dari track list di radio. Atau semudah Eyang, yang cuma berbaring santai di tempat tidurnya sambil menunggu program favoritnya mulai di radio. Radio seolah-olah mengiringi sekaligus jadi teman berjalan.

    Tapi hal itu nggak berlangsung lama, sampai kemudian Eyang menghadap Tuhan dan radio milik Bapak dicuri maling karena keteledoran saya. Saya lupa tepatnya tahun berapa, tapi saya ingat saya masih SD saat itu. Bapak dan Ibu kebetulan sedang tidak ada di rumah, begitu pun dengan kakak dan adik saya yang entah sedang main ke mana. Sehabis ashar, saya diajak Nenek (dari garis keturunan Ibu, sedang Eyang dari garis keturunan Bapak) menonton pertunjukan wayang di lapangan bola dekat balai desa, saya melonjak senang dan langsung meluncur ke rumah Nenek menaiki sepeda, tentunya setelah mengunci pintu rumah dan memastikan semua telah aman. Malamnya sekitar pukul sebelasan, saya pulang dijemput Bapak dan Ibu karena sudah mengantuk berat. Sesampainya di rumah, kami semua terheran-heran karena pintu rumah dalam keadaan terbuka, dan ketika kami masuk ke dalam, tidak ada siapapun di sana. Ibu sampai ke rumah Nenek dan bertanya apakah Nenek sempat masuk ke dalam rumah dan lupa menutup pintu, dan bertanya pada tetangga sekitar kali saja ada yang bertamu. Semua jawaban adalah tidak, lalu Bapak menyimpulkan satu hal yang membuat Ibu berteriak saat itu juga: kami barusan dimaling. Radio kabel milik Bapak di ruang kamar hilang, semua pintu ruangan terbuka dan lemari-lemari milik Ibu juga menganga, beberapa baju dan kertas nampak berhamburan di lantai. Ibu berlari ke halaman depan rumah sambil berteriak ‘maling, maling’ berharap si tersangka masih di dekat jangkauan dan bisa tertangkap, meskipun kami semua tidak tahu pada jam berapa kami telah kecolongan. Saya menengok ke pintu depan dan tercenung, usia saya saat itu masih kecil tapi saya tau kebodohan apa yang baru saja saya lakukan; saya meninggalkan kunci rumah di gagang pintu. Malamnya saya menangis tersedu-sedu di kamar, tidak jadi tidur padahal mata mengantuk sekali. Tapi untung, sebab hanya radio yang dimaling, rupanya barang-barang berharga milik Ibu yang lain disimpan di tempat yang tidak tertebak, sehingga maling pun tidak akan bisa mengambilnya. Meskipun begitu, saya tetap merasa bodoh sewaktu itu, tingkat kebodohan paling tinggi di mana saya mengunci pintu tapi membiarkan kunci tersebut terus tercantel di gagangnya.

    Hari itu adalah hari bersejarah karena sejak saat itu, Bapak nggak lagi membeli radio, dan kegiatan mendengar siaran radio yang selalu mengisi sayup-sayup udara di rumah kami jadi menghilang. Barang-barang elektronik lain kemudian masuk; televisi, komputer dengan CPU besarnya, salon speaker untuk menyetel musik, dan VCD player dengan kaset CD isi lagu-lagu rock alternative jamannya Bee Gees, Mr. Big, Offspring, The Beatles, dan lain-lain. Rumah tetap berisik dengan suara-suara yang menguar itu, hanya medianya saja yang sudah berganti. Nggak ada lagi radio seperti jaman-jaman dahulu kala.

    Tapi itu nggak membuat saya lantas berhenti mendengarkan radio. Masuk SMP, saya bisa mengakses frekuensi radio tersebut lewat hape nokia dengan menyambungkan kabel headset. RRI, Paduka, Yasika, dan stasiun lain bisa saya nikmati siarannya ketika saya pulang sekolah sampai malam hari ketika mengerjakan pr. Ketika ada program request lagu dan salam-salaman lewat fitur sms, saya langsung meminta diputarkan lagu-lagu tertentu (biasanya band-band keren jaman SMP; Letto, Peterpan, Naif, Sheila On 7) dan mengirim banyak salam entah untuk siapapun. Hal-hal kecil seperti itu ternyata membuat saya senang, dan kegiatan mendengarkan radio itu selalu mengantar saya sampai tertidur, sampai lengger-lengger jawa kemudian diputar di sisa acara sampai subuh menggema.

    Lewat radio juga, saya sempat punya cita-cita untuk jadi penyiar radio, bekerja di dunia penyiaran, dan kuliah di jurusan Komunikasi demi bisa belajar broadcasting. Di SMA pun, saya beberapa kali ikut pelatihan penyiar dan sempat juga merasakan atmosfir studio penyiaran secara langsung di Sonora FM Purwokerto. Saya dan Aini, teman duduk saya waktu itu, mengisi program acara mingguan bertajuk Putih Abu-Abu. Kami berdua mengudara lewat mikrofon radio dan suara kami didengar oleh teman-teman lewat frekuensi 99,8 fm. Satu impian saya terwujud saat itu; menjadi penyiar radio. Meski dengan durasi kurang lebih 60 menit dan saya hanya dua kali mengisi program acara tersebut. Setidaknya, I really did it, berbicara di balik mikrofon dan orang-orang mendengarnya.

    Tapi things change, people change, feelings change too. Saya bukan berarti nggak mencintai radio lagi, di Jogja pun ketika saya punya waktu selo, saya selalu menyempatkan diri untuk menyetel radio, mendengarkan lagu-lagu popular diputar di track list dan berita-berita terkini disiarkan oleh penyiar. Malahan, program-program acara di radio sekarang nggak kalah bagusnya dengan program-program di televisi, karena baik radio maupun televisi, mereka punya platformnya sendiri untuk menyampaikan informasi kepada audiens. Bahkan teman saya, si Aini itu, partner siaran di Sonora jaman SMA dulu, sekarang sudah jadi penyiar sungguhan di stasiun radio yang sama. Kecintaannya pada radio ternyata membawanya langsung menuju apa yang dia mimpikan. Saya turut senang banget, soalnya jaman masih sekelas, ketika sedang nganggur dan nggak ada kerjaan, kami berdua suka putar radio dari ponsel jadul kami pakai headset, sampai kirim-kirim salam sambil minta request lagu padahal sedang ada guru yang mengajar di kelas. Sekarang pun ketika saya punya waktu libur di Purwokerto, saya suka main ke kantor Sonora dan menemaninya siaran dari balik mikrofon. Sungguh pun, berada di sana selalu mengingatkan saya soal mimpi-mimpi yang dulu pernah saya amini, kalau dulu saya pernah lho punya keinginan untuk jadi seperti itu. Dan sekarang, cita-cita saya tersebut sudah nggak begitu saya idam-idamkan, mungkin keinginan untuk bekerja di radio masih ada, tapi rasanya sudah nggak begitu menggiurkan seperti jaman saya SMP-SMA dulu. Saya juga nggak kepingin lagi kuliah di jurusan Komunikasi, soalnya sekarang saya sudah di Antropologi Budaya dan kajian belajar saya sudah sangat luas –mungkin malah bisa juga merambah ke dunia broadcasting, pakai teori Antropologi Media Massa atau Antropologi Digital­–. Tapi kalau saya diberi kesempatan untuk bekerja dan belajar di bidang penyiaran, ngurusin iklan dan strategi pemasaran, operator atau teknisi radio, jadi programmer, atau jadi penyiar itu sendiri, saya akan merentangkan tangan selebar-lebarnya sebagai bentuk kemauan saya sih. Saya mau banget lah! Sama halnya seperti teater, film, antropologi –atau hal-hal baik lainnya, radio juga jadi hal baik yang akan selalu saya apresiasi.

    Selamat hari radio bagi seluruh pendengar di jagat Indonesia! Semoga media komunikasi dan informasi ini akan terus mengudara sampai akhir hayat nanti. 



hobi siaran radio jaman SMA (dokumentasi pribadi)

You May Also Like

0 Comments