Greweng dan Perayaan Orang Hilang

by - Oktober 27, 2017


Sebelum ingatan saya soal Greweng yang baik memudar, mari kita bicarakan hal ini sebentar.

Beberapa minggu yang amat lalu, hari kamis sore, setelah mendengar bahwa kelas industri kreatifnya mas made libur, saya langsung mengepak beberapa kaos dan celana, sandal japit, perlengkapan mandi, kerudung paris, air minum literan tiga botol, kain-kain panjang dan hangat, serta printilan-printilan lain ke dalam ransel, lalu mengendarai motor menuju Janabadra untuk bertemu dengan teman-teman. Kami, orang-orang yang sedang merasakan krisis ketenangan, telah merencanakan perjalanan spiritual paling dinanti-nanti; menuju Gunungkidul, membangun tenda di dekat pantai, hidup santai sejenak sambil menghirup udara-udara yang masih enak.

Ide bagus. Kapan lagi saya bisa kabur dari sesaknya kota Jogja? Sudah lama juga saya nggak menjalankan ritual tiap akhir pekan saya untuk beribadah menyusuri alam semesta. Sudah lama sekali saya terus-terusan berkutat dengan hidup-hidup yang terkonstruksi tanpa membebaskan diri saya sendiri untuk mengambil jeda. Lalu berkat doa-doa baik yang mewujud, saya kemudian memutuskan untuk leren! Saya mau istirahat dan saya nggak mau diganggu orang-orang.

"Saya mohon, sampai akhir minggu saja." setidaknya begitu, saya bicara sendiri ketika melewati gang-gang berkelok di belakang PKBI.

Lalu sehabis ashar menguar dan matahari mulai menghangat, saya bersama kak galuh, kak aan, kak yuga, dan kak rara kemudian siap untuk melaju menuju arah selatan Jogja, arah paling selatan, menuju batas antara daratan dan perairan laut. Saya berdebar-debar sendiri memikirkan bagaimana rasanya ketika saya menyentuh mereka nanti. Laut adalah satu dari sekian banyak hal di alam ini yang membuat saya merinding. Tidak pernah tidak.

Langit sudah gelap ketika kami semua sampai di desa Jepitu, Gunungkidul. Motor-motor yang kami kendarai kemudian kami parkirkan di sebuah warung yang pada sekitar pukul tujuh itu masih menyala di antara warung-warung lain yang sudah tutupan. "Sedang ada wayangan di balai desa." kata bapak penjaga parkir ketika saya tanyai. Sambil mencekal senter, beliau lalu mengantar kami menuju jalan kecil yang akan kami lalui untuk menuju Greweng, kemudian melepaskan kami setelah menjelaskan rute singkatnya.

Kami melewati setapak-setapak di pinggir pematang sawah yang berbatu dan sedikit terjal, melewati lahan-lahan kebun dan kandang ternak milik warga. Tidak ada penerangan apapun selama kami berjalan, bahkan malam pun jadi ikut-ikutan gelap total karena bulan dan bintang sama sekali nggak terlihat —langit mendung kalau kata orang—, sehingga kami harus membuat penerangan sendiri dengan menyalakan senter di ponsel masing-masing. Udara saat itu juga untungnya terasa sangat enak, kami jadi nggak kelelahan karena harus menempuh jarak satu kilo dengan berjalan kaki, sementara di sana berlimpah udara-udara baik yang ketika dihirup langsung menciptakan perasaan tenang!

Malahan, anjing pedesaan yang sewaktu di parkiran tadi hanya glesoran di lantai semen juga mengikuti kami sekaligus jadi teman berjalan. Dia mengendus-ngendus di sisi rerumputan sambil berlagak mengarahkan kami. Begitu kaki kami memijak pasir-pasir pantai dan mulai terdengar debur ombak yang sayup-sayup, anjing tadi kemudian berhenti sebentar lalu berbalik dan pergi entah ke mana, mungkin kembali ke lantai semen yang dipakainya untuk berbaring tadi. Kami melanjutkan langkah dan mendekati bibir pantai dengan perasaan lega, akhirnya sampai. Saya mendesah senang sekali sambil melepaskan sepatu, mengganti alas kaki saya dengan pasir pantai yang lembut dan hangat. Uh, saya merinding lagi diterpa hawa dingin pukul delapan malam.

Beberapa dari kami kemudian mendirikan tenda di dekat rimbunan pohon pandan laut. Saya yang sama sekali nggak punya kecakapan apapun soal aktivitas camping akhirnya cuma bisa menyalakan senter dan menerangi mereka, sebuah upaya alias supaya mereka nggak salah menancapkan atau melukai sesuatu. Setelah tenda berdiri, giliran saya untuk unjuk kecakapan saya yang lain; masak mi pakai kompor lapangan, campur kornet segar, dan butiran-butiran pasir yang kehadirannya tak ayal lagi —merupakan keniscayaan dan tak bisa ditampik—.

Selesai mengurus perihal perut, kami lalu membenahi tas-tas dan barang bawaan ke dalam tenda. Saya mengambil kain panjang untuk membalut tubuh saya sendiri. Lalu berbaring di atas pasir dan  bergabung bersama teman-teman, mengobrol banyak hal, percakapan-percakapan yang boleh dan tidak boleh, serta beberapa di antaranya yang cukup tabu, tapi bukan berarti dilarang, bukan?

Malam itu saya terjaga sampai pukul sebelas malam, kira-kira, karena ponsel saya sudah dalam keadaan mati. Saat itu saya sama sekali nggak mau menyalakan perangkat elektronik apapun, saya nggak mau nantinya momen ritus saya tersentuh intervensi dari hal-hal duniawi, malas banget. Orang-orang mungkin nggak tahu betapa sebenarnya saya ingin sekali leren dan bernapas pelan-pelan menyusuri hidup, betapa sebenarnya saya muak sekali diganggu dan dipaksa untuk bekerja dengan sistem. Saya ingin begini saja, dijalari perasaan-perasaan tenang dan senyap, merinding dan berdebar-debar, wujud-wujud kontemplasi yang nggak bisa saya dapatkan di sembarang tempat.

“Kalau besok saya dilahirkan kembali, saya mau minta dilahirkan sebagai malam saja deh.” bisik saya parau sambil mengubur telapak kaki di kedalaman pasir. Kalut sekaligus sebal.

Saya mengalihkan perhatian menuju arah laut yang dihempas angin dan berbunyi debur lirih. Udara jadi semakin dingin, saya merekatkan balutan kain dan terbengong seorang diri, satu hal karena saya lupa membawa sleeping bag, hal lain karena urusan-urusan memuakkan. Teman-teman saya masih bicara macam-macam, obrolan mereka entah sudah terbang ke mana, tapi saya mulai disergap kantuk sekaligus perasaan ingin melamun. Padahal kalau sedang di jogja, jam-jam itu adalah jamnya saya masih menggerayangi jalanan dan orang-orang kota, orang-orang proyek.

Saya kemudian beranjak menjauhi teman-teman, menghampiri hammock yang tadi dipasang di dekat tenda dan menaruh tubuh reyot saya di atasnya. Kain yang saya pakai lalu saya ulurkan sehingga seluruh tubuh saya tertutup. Sambil menggigil karena dirasuk hawa dingin, saya mulai memperhatikan langit malam yang mendung (cuma ada bulan yang terlihat samar-samar) dan mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati lingkungan saya tinggal. Kak aan dan kak yuga lalu mencari ranting pohon dan kayu-kayu bekas untuk dibakar menjadi unggun, saya nggak bantu apa-apa meskipun sebenarnya saya butuh sekali perapian untuk menghangatkan diri. Saya juga nggak mengerti kenapa selalu seperti ini, kenapa saya kedinginan tapi malah nggak beranjak ke mana-mana. Habis itu saya malah melamun mencari-cari jawabannya, sementara teman-teman yang tadi menyulut api sudah capek duluan karena kayu-kayu yang mereka kumpulkan dalam kondisi basah dan angin malam terus-terusan meniup usaha mereka untuk membuat api unggun. Saya tertidur di hammock sambil mendengarkan binatang-binatang aneh berbunyi brisik, sementara teman-teman yang lain entah, beberapa dari mereka mungkin malah sudah terlelap di atas pasir tadi. Beralas dan beratap semesta alam raya.

*

Jam-jam subuh, saya sudah sadar kembali dalam keadaan tersentak, nggak tahu karena apa. Udara sudah nggak begitu dingin tapi air laut malah terlihat semakin menjauh. Saya memicingkan mata untuk mencermati, kali saja pandangan saya yang kabur, tapi ternyata benar, sepertinya memang sedang surut. Saya lalu menyingkap kain, berjalan mendekati bibir pantai, lalu menyentuh permukaan air di sela-sela karang yang terlihat dari tepi dengan kaki telanjang saya.

Hangat, sekaligus dingin.

Uh, lagi-lagi saya merinding karena hal-hal semacam ini.

Saya nggak berniat untuk menceburkan diri saya ke dalamnya atau paling nggak membuat kaki saya basah, sehabis itu, saya justru kembali ke tenda, memasak makanan apa saja yang bisa dimakan, lalu kembali ke bibir pantai dan duduk di depannya. Menikmati sarapan di jagat kosmos penuh ketenangan, sambil menyaksikan langit yang menyongsong dirinya sendiri menuju pagi hari. Saya nggak bisa lihat matahari terbit karena Greweng ini dipeluk dua bukit tinggi di kanan kiri yang menghalangi datangnya sinar surya itu. Tep wangun sih pokoke.

Habis itu aktivitas kami sampai siang adalah layah-leyeh. Kami sama sekali terputus dari koneksi dunia digital. Segala jenis perangkat modern kami lenyapkan dan sebagai gantinya, kami menghilangkan diri di dataran Greweng ini. Saya mengucap syukur berkali-kali lipat karena bisa menghindari hiruk-pikuk kehidupan dan menolak dihubungi orang-orang, andai bisa seperti ini terus, seolah-olah kami jadi penduduk lokal Greweng betulan.

Terimakasih hidup, terimakasih hidup, saya mengulang kata-kata yang sama sampai posisi matahari tepat di atas kepala. Setelah itu cuma tidur-tiduran, membakar singkong, bermain pasir, mengobrol, melinting rokok, tidur lagi, sampai stok makanan habis dan kami kebingungan mencari cara untuk survive (setelah semua tanaman di sekitar tenda kami jadikan eksperimental pangan). Sore harinya, kami pun berkemas dan memutuskan untuk pulang. Nggak baik hilang lama-lama, saya mengangguk-ngangguk setuju meskipun dalam hati agak berat juga untuk melepaskan Greweng yang memabukkan.

Kami lalu pulang membawa energi baik sekaligus perasaan sedih. Lama saya menatap Greweng yang pada sore itu air lautnya sudah kembali naik. Kapan-kapan, saya mau berkunjung ke sini lagi untuk menikmati kesenyapan sekaligus jadi ajang perayaan orang hilang. Sambil mencekal satu kresek besar isi sampah milik kami, saya melambaikan tangan pada dataran Greweng kemudian meninggalkannya dengan mengheningkan cipta. Dengan seluruh angkasa raya memuji

Selesai.

*

p.s: sampai jogja saya langsung pusing lagi!!! ponsel saya menyala dan setelah itu saya langsung digilas habis-habisan oleh orang-orang. saya dimarahi, beberapa menelpon tapi nggak terjawab, dan pesan-pesan yang masuk ke aplikasi chatting saya ada banyak sekali! sampai teler saya lihatnya. betapa saya ingin berubah jadi tumbuhan saja kalau begini, jadi pohon jeruk atau bunga kamboja kuburan juga nggak apa-apa.

surut, seperti yang sudah saya bilang

ngopi dan ngelinting

Greweng dan hal-hal yang enggak masuk akal

ngalamun

You May Also Like

0 Comments