Mengkritisi Seni Rupa lewat Pertunjukan Teater ‘Gambar Kecu’

by - Oktober 30, 2017

    Jam setengah delapan lebih beberapa menit ketika saya dan Pije memadati pelataran PKKH yang malam itu sudah disesaki banyak orang. Untung belum mulai, ujar saya lega setelah melihat panggung pertunjukan yang masih melompong meski penonton sudah siap sedia di tempatnya masing-masing. Ada sebuah tonil yang dipasang menyerupai backdrop dan sepertinya dijadikan properti utama, tonil tersebut (yang mirip hasil lukisan manual) dipakai untuk memberikan suasana setting latar dan tempat pada sebuah lakon. Di atasnya, tertulis ‘Kelompok Sedhut Senut’, sebuah name tag untuk mengenalkan identitas pelaku pertunjukan kepada publik.

    Selang beberapa menit kemudian, seorang perempuan berkebaya memasuki panggung dan memulai pertunjukan dengan menjadi biduan. Dia menyanyikan lagu dangdut era kini dari grup musik hip hop campur dangdut bernama NDX –kalau saya nggak keliru. Sambil menikmati lelaguan, saya bisa menebak kalau konsep pertunjukan ini sepertinya akan diusung dengan sangat santai.

    Pertunjukan teater yang diberi judul “Gambar Kecu” tersebut disutradarai oleh Ibnu Gundul Widodo dan naskah yang ditulis oleh Elyandra Widharta. “Gambar Kecu” adalah upaya Kelompok Sedhut Senut membaca persoalan relasi antara seniman dan artisan di dunia seni rupa. Gagasan ini rupanya juga berkorelasi dengan salah satu tema yang dicetuskan oleh Festival Arsip (19 Sept-1 Okt) tentang wacana seputar praktik komodifikasi seni, dan mengenai apa yang sering disebut sebagai praktik pemalsuan lukisan.

    Pertunjukan dengan konsep sandiwara berbahasa Jawa ini bermula dari penampilan Mbah Gun, pelukis senior dan seorang guru seni rupa, dan istrinya yang tengah mengangkati jemuran di pelataran rumah. Istri Mbah Gun lalu sambat mengenai kondisi ekonomi mereka yang selalu melarat. Istri Mbah Gun bahkan meminta Mbah Gun untuk menjual lukisan-lukisan yang dikoleksinya, tetapi Mbah Gun dengan idealismenya menolak hal itu, Mbah Gun menganggap seni rupa yang dilakoninya bukan hanya sekadar persoalan materi, lebih dari itu, Mbah Gun menekankan nilai-nilai estetika dan ‘ruh’ kesenian itu sendiri. Istri Mbah Gun sampai kesal sendiri bicara pada suaminya, sebaliknya, Mbah Gun malah menuduh kalau istrinya itu tidak paham soal seni.

    Selain itu, ada pula tokoh Juragan Ngabdul, seniman lukis kondang dan kaya raya yang dulunya merupakan bekas murid Mbah Gun. Ngabdul juga membawahi beberapa artisan, satu di antaranya adalah Sugeng, yang telah berhenti dan beralih profesi menjadi tukang parkir karena merasa mendapat kekangan selama menjadi murid Juragan Ngabdul. Sugeng digambarkan sebagai laki-laki yang berpendirian dan idealismenya kuat, kehidupan yang bisa dibilang mapan karena menjadi artisan Juragan rela dia tinggalkan karena Sugeng tidak mendapatkan kemerdekaannya di sana, Sugeng tidak pernah bebas ketika melukis, selalu ada sekat-sekat dan intervensi dari Juragan ketika dia melukis. Baginya, menjadi artisan Juragan Ngabdul sama saja seperti menjadi babunya.

    Artisan yang lain adalah Jarno, yang justru masih setia kepada Juragan Ngabdul meskipun dirinya menyadari bahwa Juragannya itu kadang cukup pelit dalam hal memberikan upah. Konflik perlahan muncul ketika Yatmi, pembantu Juragan Ngabdul, berusaha menembak (dalam konteks asmara) Jarno, namun ditolak karena Jarno sudah menganggap Yatmi seperti adiknya sendiri. Jarno kemudian mengaku bahwa dirinya telah menyukai Retno, yang merupakan pacar Sugeng. Sugeng yang mencuri dengar kabar tersebut dari warung Bu Darmi (yang merupakan muara dari berbagai rerasanan antar tokoh) tidak terima dengan hal itu. Sugeng lalu mendatangi Jarno dan mengajaknya berkelahi. Yatmi, yang juga dirundung cemburu dan kemarahan akibat ditolak, kemudian merencanakan niat jahat bersama Sugeng. Mereka ingin memalsukan lukisan Nyai Roro Kidul milik Juragan Ngabdul yang akan dipamerkan di luar negeri, lalu menjualnya kepada makelar yang akan dijualnya kembali pada seseorang dengan harga selangit.

    Di tengah kepelikan tersebut, Yatmi kemudian menuduh Jarno sebagai tersangkanya. Juragan Ngabdul semakin pusing dan hal itu memperparah keadaan tubuhnya yang sedang sakit-sakitan. Di situasi sekarat karena tidak mampu lagi menahan derita, Yatmi berlutut di depan Juragan dan mengakui kesalahannya sambil menangis. Juragan yang sudah kecewa dengan kasus pemalsuan lukisannya, ditambah sakit keras yang dialami dan pengkhianatan pembantunya itu akhirnya meninggal dunia. Mbah Gun dan istrinya yang saat itu datang ke tempat Juragan Ngabdul untuk menjadi dalang pertunjukan di pembukaan pameran pun kalut karena Juragan meninggal dan projeknya gagal.

    Pemain yang berperan dalam pertunjukan ini adalah Gundul, Nurul, Elyandra, Kukuh, Ninit, Nanik, Wawan, Haryo, Dafa, Joko, dan Teteh. Durasi yang dimainkan juga lumayan lama, yakni sekitar dua jam, tapi kok saya sama sekali nggak merasa bosan ya? Tebakan saya kalau pertunjukan ini akan diusung dengan santai ternyata betul juga. Alur cerita lakon ini bagus, semua tokoh mampu merepresentasikan karakternya sehingga konstruksi cerita bisa dibangun secara utuh, dan saya rasa, mereka telah menyampaikan lakon dengan baik. Satu hal lagi yang saya sukai dari pertunjukan yang dihelat untuk menutup rangkaian agenda di Festival Arsip ini adalah; bumbu-bumbu humor yang berlimpah tapi disajikan dengan porsi yang pas. Entah sudah berapa ribu kali saya dan penonton lain tertawa sampai pingin menangis ketika melihat adegan Mbah Gun dengan istrinya, Jarno dengan Yatmi, Sugeng dan Retno, percakapan-percakapan di warung Bu Darmi dan tokoh anak kecil yang juga menghibur (kabarnya dia sudah bermain lakon sejak umur tujuh tahun), serta beberapa adegan lain yang secara terangan-terangan mencoba satir terhadap kondisi hidup saat ini. Gambar Kecu menjadi ajang kritik sosial terhadap berbagai hal jelek di dunia; kesombongan, kebobrokan, kecurangan, dengki dan iri hati, kepalsuan, ambisi berlebih, kecacatan, keluh kesah, dan sejawatnya. Menyadari saya dan penonton lain tertawa sangat keras, rasanya seperti sedang menertawakan diri sendiri yang tak ayal juga dipenuhi hal-hal jelek tadi. Dari segi penokohan dan jalan cerita, saya sangat menikmati dari awal pengadegan hingga babak terakhir selesai. Permainannya halus, ada cacat sedikit langsung bisa diimprov.

    Setting propertinya sendiri sederhana dan realis. Tonil yang dipasang di belakang itu dipakai untuk mengganti latar tempat ketika cerita berganti ke babak selanjutnya, caranya adalah dengan menarik tali tonil di sisi panggung. Kendala mungkin terjadi di bagian teknis, di mana tali kerekan itu sempat macet sehingga kain tonil berlukiskan tempat-tempat tertentu tadi tidak bisa dibentangkan sempurna.

    Tata lampu yang digunakan juga oke, yakni halogen kuning redup dengan komposisi warnanya yang senada. Lampu-lampu tersebut diletakkan di atas tiang (atau apa ya namanya? Saya nggak tahu tapi pemasangan lampu teater ini keren juga, saya jadi bertanya-tanya bagaimana cara kerjanya) dan menyerong menghadap kanan-kiri panggung. Latar musik yang dipakai untuk mengiringi pertunjukan ini berupa tabuhan tradisional Jawa seperti gamelan (tapi nggak seperangkat, hanya kendang-kendangan, suling, dan sepertinya saron?), ada penyanyi sindennya juga kalau enggak salah. Konsepnya jadi mirip ketoprak Jawa gitu, ya?

    Oh ya, sekadar membagi pengetahuan, Kelompok Sedhut Senut merupakan grup teater atau sandiwara, yang menggunakan bahasa Jawa sebagai media komunikasi atau dialognya, dan sering melakukan aktivitas pentas keliling dari kampung ke kampung. Kelompok Sedhut Senut tersebut, merupakan nama baru dari grup lama Komunitas Sego Gurih. Kelompok ini selalu mencoba menghadirkan suasana baru dalam setiap pementasannya dengan menghindari jenis panggung konvensional dan menggunakan tonil sebagai properti utamanya. Dan sungguh, sehabis menonton pertunjukan mereka, rasanya saya lega sekali, seperti habis menimba banyak pengalaman baik. Gambar Kecu memberikan saya pemahaman soal hidup dan substansi di dalamnya, yang kemudian menjadi bahan reflektif dan kontemplasi saya sendiri.

    Wangun, mas, mbak! Kapan-kapan saya mau lihat kalian manggung lagi!


mengambil gambar setelah pertunjukan selesai, duh, habisnya pas masih main, saya serius nonton e jadi nggak sempat foto-foto. nda papa lah ya...

You May Also Like

2 Comments

  1. Maturnuwun sudah diresensi dan diapresiasi. Sipp jozz

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama-sama, Mas! suguhan yang mengenyangkan kalau bisa dibilang :D

      Hapus