Senin, Desember 31, 2018

Kaleidoskop 2018: pesan kecil

Sebuah catatan pendek

Saya cuma mau bilang:
2018 telah jadi tahun saya dalam mengenali diri sendiri. Bahwa ternyata, dalam perjalanan menuju usia 21, ada bagian-bagian dalam diri yang baru saya ketahui dan pahami. Bahwa ternyata, saya punya emosi-emosi lain yang baru saya kenali dan rasakan, yang meskipun cuma setitik dan riaknya kecil tetapi sangat berdampak pada perkembangan diri saya.

2018 telah jadi tahun saya mengalami peristiwa-peristiwa besar, begitu pula hal-hal kecil yang langsung membawa saya pada perubahan drastis. Bahwa ternyata, saya bertemu dengan kejadian-kejadian yang sebelumnya tak terbayangkan akan terjadi pada hidup seorang Hamima. Bahwa kemudian, saya dibawa pada garis-garis takdir yang bahkan memikirkannya saja tak pernah. Bahwa kemudian, saya mendapati kalau saya jadi sejengkal lebih kenal dengan anak perempuan bernama Hamima sampai seakan bisa larut ke dalamnya.

2018 telah jadi tahun yang penuh dengan kejutan. Beberapa hal pernah melesak masuk sampai membuatnya pecah, tapi beberapa hal pula pernah tumbuh merekah dan jadi berkah. Untuk setiap kekalahan, untuk setiap kesukacitaan, untuk setiap penderitaan, untuk setiap riuh tawa, untuk setiap perasaan yang hanyut dan larung; terima kasih karena Hamima telah hidup sebaik ini. 

Semua perlu proses, semoga dalam perjalanannya, Hamima tak tumbang dan jatuh terperosok.

Semoga.

menonton pertunjukan teater di Taman Budaya Yogyakarta, 2018

Senin, Desember 24, 2018

Perjalanan-perjalanan di sore hari (episode Jogja)

      Sore itu waktu yang tepat untuk jeda dan berhenti sesaat. Waktu yang tepat untuk mengambil jarak dari aktivitas sehari-hari; yang bikin pusing, yang bikin tenaga kekuras, yang bikin energi habis karena harus menghadapi banyak hal. Sore adalah suasana lembut yang nggak begitu bising dan berisik. Karena se-dalam itu saya memaknai sore, saya jadi suka merencanakan perjalanan dan bepergian saat-saat sore sampai jelang magrib, cuma untuk merasakan hal-hal batiniah yang nggak saya dapat di waktu-waktu lain, cuma untuk meredakan capek dan kembali bikin alarm bagi diri sendiri; untuk selalu bersyukur dan memenuhi diri dengan perasaan baik.

       Beberapa tempat di bawah ini adalah daftar kunjungan saya ketika di Jogja, akan terus diperbaharui selama saya masih dikasih kesempatan untuk jalan-jalan dan ketemu tempat-tempat baru. Untuk edisi di kota lain, mungkin akan saya buat di postingan terpisah. Shalom!

Candi Abang
Sejauh ini, Candi Abang masih jadi tempat yang paling favorit untuk menghabiskan sore. Selain karena lokasinya yang jauh dari riuh ramai kota (ada di desa Jogotirto, Berbah), di sana kita juga bisa lihat pemandangan magis yang bisa bikin perasaan kamu meluruh, ialah matahari tenggelam, dan lenskep Jogja yang mengecil di ketinggian candi. Tiket masuknya murah meriah, cuma perlu bayar uang parkir seharga dua ribu. Jam tutupnya juga fleksibel, tapi karena di Candi Abang masih minim penerangan dan infrastruktur, biasanya ketika sudah sandekala pengunjung di sana langsung berbondong-bondong untuk turun. Hm, nggak berbondong-bondong juga sih, soalnya lingkungan di sana termasuk sepi. Biasanya saya datang sekitar pukul tiga, sama anak-anak antro yang butuh ibadah rohani modal hemat, atau anak-anak teater yang butuh plesiran karena sedang mumet. Candi yang konon bekas peninggalan Mataram Kuno ini bentuknya gundukan tanah yang ditumbuhi rerumputan hijau, dinamai Candi Abang karena bahan bangunannya adalah batu bata berwarna merah (biasanya bangunan candi menggunakan batuan andesit). Btw, kalau mau naik ke Candi Abang harus hati-hati ya, akses di sana lumayan sulit, belum dibangun jalan aspal dan fasilitas yang memadai. Kita harus tracking menuju puncak bukit dengan melewati pepohonan rimbun dan semak belukar lebat, jadi jangan pakai flatshoes yang licin atau sandal japit yang tipis ya, guna meminimalisir hal yang tidak-tidak. 

Kotagede
Kalau kalian suka wisata sejarah dan religi, pasti mengunjungi Kotagede bakal jadi hal yang sangat menyenangkan. Kotagede adalah kecamatan kecil yang masih menyisakan jejak-jejak dan peninggalan kerajaan Mataram Islam di masa lalu. Dulu, Kotagede adalah ibukota kerajaan yang dipimpin oleh raja pertama bergelar Panembahan Senopati. Lokasinya juga nggak jauh-jauh amat soalnya Kotagede masih ada di kabupaten Bantul, ya kira-kira tujuh kiloan lah dari kampus UGM. Biasanya saya drop kendaraan di parkiran Masjid Gedhe Mataram (bayar seribu rupiah saja), terus numpang Ashar di sana, lalu jalan kaki untuk melihat sekeliling; mengitari kompleks masjid, lihat-lihat sendang seliran (tempat pemandian keluarga raja), ke pasar legi, mampir rumah pesik, masuk ke pelosok gang-gang sempit di kompleks pemukiman, ke sentra cokelat monggo, bisa juga beli es doger atau jamu kunir asem di depan masjid. Lalu baru pulang ketika sudah jam tujuh malam.

Hamzah Batik
Saya suka banget belanja di sini! Beli masker tradisional, bedak dingin, sabun-sabun organik, minuman seduh dan wedang-wedangan, obat-obat herbal, sandal lepek yang cuma duapuluh ribuan, tas-tas etnik model totebag, dupa murah dan wangi, lilin-lilin aromatik, dompet-dompet kulit atau batik yang lucu, aksesoris-cinderamata khas Jogja, atau pun sekadar lihat sandang-sandang berbahan batik di lantai satu. Kadang-kadang, Hamzah Batik juga buka fasilitas membatik dengan bayar ongkos limabelas ribu. Terus kadang kita juga bisa lihat proses Nglawong (penempelan lilin dengan canting pada pola) di lantai satu, tapi jamnya agak nggak tentu. Ada juga pertunjukan ketoprak modern setiap hari kamis mulai pukul tujuh hingga delapan malam di lantai tiga. Ada pertunjukan siter di lantai satu dan suka banget bawain tembang-tembang jawanya Gesang atau Ki Narto Sabdo. Ada Cabaret di lantai tiga yang tampil setiap hari jumat dan sabtu, pukul tujuh sampai setengah sembilan. Serta pertunjukan-pertunjukan lain yang mungkin saja ada, tapi belum saya temui. Ke Hamzah Batik nggak bawa duit juga aman kok, soalnya saya sering banget dateng sore-sore dan cuma cuci mata di dalamnya. Tapi seru! Oiya, Hamzah Batik ada di Jalan Malioboro ya, posisinya di seberang Pasar Beringharjo tapi agak ke selatan sedikit. Jangan bingung cari parkir, soalnya di samping Hamzah Batik ada gudang tua yang dijadikan ruang parkir untuk kendaraan motor, pokoknya temuin plang penandanya aja!

Raminten
Biasanya kalau pingin cari wifi dan lagi butuh nongkrong sendirian, saya suka ke Raminten's Kitchen sore-sore, terus beli kunir asem dingin yang rasanya enak banget. Menu favorit lain adalah ayam saus madu yang lembut dan menggiurkan. Btw, Raminten’s Kitchen masih merupakan bagian dari Raminten Group. Tempat ini terbilang cukup baru, lokasinya nggak jauh-jauh amat dari the House of Raminten, saudara kandungnya yang masih tradisional banget itu, tepatnya ada di Jalan Sabirin, Kotabaru. Raminten's Kitchen punya konsep yang lebih segar, tempat ini jauh terlihat modern dan chic, selera anak muda banget, tapi tetap dengan nggak meninggalkan unsur-unsur vintage, jadul, dan sedikit 'klenik' ala Raminten, soalnya keliatan banget dari dekorasi tempatnya. Bau dupanya juga masih tercium jelas. Saranku sih, jangan ke tempat ini kalau siang-siang, soalnya bakal penuh dan berisik sama anak berseragam dari sekolah depan, Raminten's Kitchen baru kondusif kalau sudah sore dan jelang malam. Tapi kalau mau datang ke the House of Raminten juga bisa. Bagi saya, dua tempat itu sama-sama menyajikan eksotisme makanan Jogja dalam balutan tradisional maupun kekinian.

Lempuyangan (sembari menunggu kereta)
Saya paling semangat naik kereta sore-sore dari Lempuyangan menuju Purwokerto. Selain murah, di jam-jam ini kondisi di dalam stasiun juga nggak begitu ramai, tetap ada aktivitas naik-turunnya penumpang sih, tapi kalau sudah sore suasananya jadi agak lengang dan bikin tenang. Saya bisa duduk di depan peron sambil makan Roti 'O (saya suka banget sama roti ini!!!), sambil baca buku atau dengerin lagu, sambil ngobrol sama orang asing kalau ada yang bisa diajak ngobrol, atau cuma bengong dan nggak ngapa-ngapain. Lalu ketika kereta tujuan saya tiba, saya bisa menikmati sore dengan cuma ngalamun dari balik jendela kursi. Lihat langit yang pelan-pelan menguning, lihat matahari yang pelan-pelan meredup.

Undak-undakan di lapangan GSP
Gara-gara diajakin salah satu teman ke sini, saya jadi suka banget nongkrong di undak-undakan lapangan GSP tiap jelang Magrib. Nggak jogging, nggak olahraga, tapi cuma duduk di sana dan bengong, sambil ngobrol sama teman, sambil lihat aktivitas banyak orang dari ketinggian, sambil lihat langit Jogja yang terbentang lebar-lebar, sambil ngerasain semilir angin sore yang lembut dan sepoi-sepoi (yang bikin ngantuk), sambil lihat lampu-lampu tiang di sekitar kampus yang mulai menyala kuning redup, sambil lihat mas-mas ganteng yang barangkali lewat di depan mata. Begitu doang.

Hall Teater Gadjah Mada
Meski sudah jarang banget nongkrong di TGM, saya nggak akan menghilangkan fakta kalau tempat ini pernah jadi tongkrongan terfavorit saya sejak jaman jaya-jayanya main teater. Dari yang kalau siang ada kelas kosong, larinya ke sini, terus sore-sore sebelum latihan, larinya ke sini, sampai larut malam dan baru pulang pagi. Pagi, siang, sore, malam adalah waktu-waktu terbaik untung datang ke TGM, alias nggak ada alasan untuk nggak nongkrong di sana. Wifinya yang kenceng, orang-orangnya (sumpah kangen banget), makanan di cafetaria atau foodcourt, hall teaternya, rokok-rokok yang nyecer di mana-mana, lagu-lagu dangdut, organ tunggal, pisuhan dan makian, latihannya, pentasnya, dan sunggggguuuuuhhhh massssssssihhhhh banyyyyyyyakkkkkkkk yang lainnya!

Jalan Kaliurang km 20an ke atas
Kalau lagi pingin pergi jauh sekalian (tapi tetap bisa pulang ke kost), biasanya saya langsung tancap gas ke arah utara menuju Jalan Kaliurang yang paling atas, yang paling dingin, yang paling tinggi. Menghabiskan empat puluh menit sampai satu jam di jalanan, lalu nongkrong di warung-warung kopi dekat villa, merasakan hawa dingin dan gemertak tapi tetap hangat disapu minuman, dan baru pulang ketika sudah malam, ketika badan sudah sempoyongan dan menggigil tak karuan. 

Wisata Museum
Jalan-jalan sore yang paling estetik adalah berkunjung ke museum-museum, apalagi Jogja merupakan gudangnya museum dan banyak sekali di antaranya yang punya koleksi bagus-bagus, serta worth to visit. Mulai dari museum Affandi yang berada di tepi sungai Gajah Wong, Ullen Sentalu yang ada di Kaliurang atas, Sonobudoyo atau Museum Kereta Keraton yang wilayahnya masih satu kompleks, Wayang Kekayon di Jalan Wonosari, museumnya Pura Pakualaman, museumnya Tembi Rumah Budaya, dan museum-museum lain yang tumpah ruah di kota ini. Tapi karena rata-rata museum enggak buka sampai malam (mentok-mentok jam lima sore), jadi mulailah dengan jalan pada pukul tiga, ya memang masih panas sih cuacanya, tapi dijamin seru dan menyenangkan kok!

Kebun Roti
Kebun Roti punya gerai tetap yang berlokasi di Jalan Bougenville, tepatnya di depan percetakan Mangrove, dekat selokan mataram. Toko roti ini menyediakan roti-roti berbahan organik, yang dibuat dengan ragi alami dan tanpa pengawet, istilah asiknya adalah roti vegan atau roti artisanal. Produk yang dijual Mbak Ane (pemilik toko) sangat beragam, dari mulai jenis pizza, cheesecake, sourdough, pastri, pie, brownies, sampai kue-kue kering model cookies. Di Kebun Roti, juga ada gerai gelato yang lagi-lagi dijuluki produk vegan, namanya Cono Gelateria, gelato yang juga dibuat dari bahan dasar organik, less sugar, tanpa essens, gelatin, premiks maupun bahan kimia berbahaya lain. Saya sering banget nongkrong di sini sore-sore sehabis pulang kelas. Untungnya tempat ini menyediakan fasilitas wifi, saya jadi bisa buka laptop sembari makan roti dan gelato sehat. Anyway, kalau mau bawa pulang roti juga boleh, tapi harus bawa kotak roti atau tas belanjaan sendiri ya, soalnya Kebun Roti tidak menyediakan plastik jenis apapun. ^^

Toko buku
Sebenarnya, main ke toko buku adalah pilihan terbaik untuk menghabiskan sore. Entah ya, tapi bagi saya, membaca buku (selain menonton film dan menulis) adalah hal paling ampuh sekaligus menyenangkan untuk membunuh waktu. Tahu-tahu sudah habis satu jam, tahu-tahu sudah malam hari, tahu-tahu sudah jam satu pagi. Untungnya Jogja punya banyak toko buku yang tersebar di mana-mana, dari yang sekelas Gramedia, yang banyak diskonan seperti Togamas atau Social Agency, yang bisa ditawar sepuas-puasnya seperti Shopping Center, sampai toko buku 'indie' seperti Berdikari Book, Warung Sastra, dan Buku Akik.


Sejauh ini, apakah ada saran dan rekomendasi tempat lain -yang sekiranya seru untuk dihabiskan saat sore hari?

Sandekala di Candi Abang

Minggu, Desember 23, 2018

tau apa anak kecil

malu banget aku ketahuan sama anak laki-laki kecil usia lima tahun
dia duduk di pangkuan ayahnya yang tertidur pulas, perutnya dilingkari tangan ayahnya
anak itu diam, lama sekali, anteng dan tidak berisik, sambil masih melihatku
sementara aku susah payah mengerjapkan mata dan tersenyum tipis padanya

paling-paling di kepalanya tumbuh pertanyaan-pertanyaan aneh, kenapa mata perempuan itu membesar seperti habis dipukuli, kenapa mata perempuan itu berair dan memerah, kenapa perempuan itu juga tampak menyedihkan dan tidak enak dilihat, perempuan itu tidak seperti perempuan kebanyakan yang merona cantik dan berseri-seri

perempuan itu aneh, anak kecil itu mengernyitkan dahinya kebingungan

laju kereta mulai melambat, suhu gerbong diatur rendah, jariku keriput dan ya sudahlah
mana tau menangis anak sekecil itu
hidup ini tahi, dia belum tahu saja


stasiun yogyakarta, menuju ke barat, 2018

Jumat, Desember 21, 2018

Sabtu, Desember 15, 2018

mantra untuk kakak perempuan


tahun lalu aku masih bisa mampir ke kostnya
sore-sore gerimis
sambil memberikan sebuket bunga
dan menulis surat cinta panjang
lantas saling mengumpat satu sama lain, seperti kebiasaan kami

sekarang sudah nggak bisa
ketika kita jadi dewasa
ternyata kita akan berhadapan dengan banyak hal
ternyata kita akan diantar pada peristiwa-peristiwa
besar, kecil, runyam, sepele
yang bikin senang yang bikin mau tenggelam
yang bikin menangis yang bikin seakan-akan langit mau jatuh
yang bikin merinding maupun
yang bikin kepala pusing seperti dihantam sesuatu yang berat
dan perempuan itu kini tengah di antaranya

aku mau bilang ini, berkali-kali
mungkin sampai telinga siapapun bosan
kalau nanti udara jadi terasa menyesakkan
kalau nanti malam jadi terasa dingin mencekam
kalau nanti pagimu kabur dan kamu seakan meluruh
ingat apa yang aku bilang;
hidup memang berat
tapi kita harus terus kuat

jangan berhenti
jangan surut
jangan mati
jangan padam
jangan tergilas
jangan mengabu

selamat merayakan hidup untuk kakak perempuanku, annarentika
selamat telah tumbuh dengan baik
jadi mekar dan merekah selalu
jadi harum dan berseri selalu
jangan biarkan binarmu redup
jangan biarkan pendarmu pudar
kita semua harus tetap menyala
meski kecil dan lirih 
meski rapuh dan sayup-sayup


—dari aku yang suka kamu pisuhi hahaha!

Kamis, Desember 13, 2018

Merawat ingatan: tempat-tempat paling intim di Kalimantan (bagian tiga dan post apresiasi)

Tulisan ini akan jadi sangat panjang, karena selain melanjutkan seri tulisan yang sebelumnya (bagian satu bisa dibaca di sini, bagian dua di sini), di akhir tulisan saya juga akan buat semacam apresiasi post untuk teman-teman yang telah membersamai saya selama di Kalimantan kemarin. Nggak begitu bertele-tele sih, tetapi cukup menguras waktu kalau kalian mau membaca tulisan ini secara utuh, serta ikut merasakan bagaimana saya melarungkan diri pada berbagai hal (ciailah). Tulisan ini (dan bagian sebelum-sebelumnya) adalah tulisan kontemplatif yang mewakili saya sepenuhnya. Untuk itu, selamat menikmati!


Halaman belakang rumah Bapak Syaiful
Rumah Bapak Syaiful termasuk rumah panggung khas Kalimantan berbahan pokok kayu, dengan tinggi lantai sekitar tinggi orang dewasa. Kata beliau, arsitektur yang demikian dibuat untuk memudahkan mereka ketika sedang membersihkan sampah. Kolong rumah yang tinggi itu juga sekaligus menjadi tempat serbaguna; menyimpan barang, kendaraan, dan perkakas rumah tangga lain. Bapak Syaiful, yang juga merupakan guru ngaji di RW 01 itu sering sekali menjamu kami dengan beragam makanan ketika kami berkunjung ke sana, atau ketika kami ikut ngaji di sana saat sore hari. Di bagian belakang rumah Bapak Syaiful tersebut, terdapat space kosong yang digunakan untuk menjemur pakaian, berhadapan dengan pekarangan yang ditumbuhi lebat pepohonan. Pernah di suatu sore saat itu, saya dan teman-teman satu subunit mendapat undangan makan siang bersama di rumah beliau, setelahnya kami bertujuh sok ngide duduk-duduk di halaman belakang rumah tersebut dan malah keterusan ngobrol ngalor-ngidul. Saat itu, saya langsung tercetus keinginan untuk membuat rumah seperti rumah Bapak Syaiful kelak, rumah panggung kayu yang tinggi dengan halaman di sekeliling yang rimbun. Tapi sumpah, di sana enak banget buat jagongan dan sirkulasi udaranya juga silir!


Es buah Panca Agung
Satu mangkuknya 7000 rupiah, varian buah dan esnya banyak, dan tempat ini juga jual gorengan yang enak-enak. Lokasinya ada di Panca Agung, di pinggir jalan poros persis, agak jauh dari Karang Agung tapi masih bisa dijangkau pakai motor lah. Saya lupa siapa yang duluan ngajak saya ke sini, bisa jadi Sheila, Rara, Yoga, Topik, atau Nur (terus baru dikasih tau Amri kalau ternyata dia yang ngajak saya duluan hahaha), tapi semenjak itu, es buah Panca Agung sukses jadi markas paling favorit untuk nongkrong ketika jenuh banget di lokasi KKN. Cuaca Kalimantan yang terik parah akan langsung meluruh kalau sudah disandingkan dengan semangkuk es buah nikmat yang bikin ngiler.


Bakso klenger Panca Agung
Nama baksonya memang aneh, tapi bakso klenger inilah yang berhasil menyelamatkan suasana hati buruk saya dan beberapa teman-teman. Saya masih inget banget, hari itu adalah hari di mana Rara lagi bete karena gagal dapet pinjeman drone dari orang pemerintahan. Kebetulan saya juga lagi merasa nggak enak dan hawa-hawanya pingin melarikan diri terus (kenapa ya saya bermasalah banget dengan apa-apa yang terjadi di sini). Saya spontan mengajaknya makan bakso di Panca Agung (karena di rumah nggak ada makanan juga), tapi karena kami berdua nggak punya uang, saya lantas melipir ke subunit 2 untuk berhutang pada Chusna dan dikasih lima puluh ribu rupiah. Setelah itu langsung tancap gas menuju Panca Agung, petang-petang menjelang magrib sambil beryes-yes ria karena bisa pergi jauh meskipun cuma ke desa sebelah. Bakso di tempat ini enak, porsinya besar, jual es cokelat juga, ya standar lah seperti bakso-bakso pada umumnya. Tapi perasaan yang didapati setelah menyantap satu mangkuk bulatan daging itu adalah perasaan yang menyenangkan sekaligus mengenyangkan. Kami senangnya tiada tanding!


Jalanan menuju Pimping
Beberapa sore sering saya habiskan dengan mengendarai motor menuju Pimping, sebuah desa adat yang dihuni oleh hampir seluruh masyarakat asli Dayak. Kalau sama Sheilla, biasanya kita akan berhenti di warung depan lapangan bola, duduk-duduk sambil merokok dan ngobrol sama pemilik warung. Kalau sama remaja-remaja lokal –Sune, Toha, Latief, biasanya berhenti di Balai Adat lalu cuma muter-muter di sepanjang jalan. Atau kalau sama Rara, ya juga tanpa tujuan, kadang sambil cari toko cat, lalu beli susu, dan sisanya ya cuma let it go doang sambil nyanyi-nyanyi berisik di atas motor. Di jalan raya menuju Pimping ini, suasana yang bisa kamu hayati adalah berupa: udara segar yang sayup-sayup diterpa angin, pemandangan hutan di kanan-kiri yang jelas terlihat (ada tanaman lain selain sawit kok), langit biru yang terbentang bersih dan cerah seperti habis dipel, rumah-rumah panggung milik penduduk asli Pimping, serta jalan poros yang meliuk halus dan enak banget buat ngebut sembari mbengak-mbengok. Tapi hati-hati, jangan sampai nabrak anjing, nanti kena denda!


Tribun Lapangan Garuda
Tribun adalah tempat paling aman untuk menangis dan merokok, sekaligus the warmest place ever se-jagat Kalimantan Raya. Di lapangan bola yang penuh oleh rumput liar itu, ada sebuah tribun penonton yang diletakkan di pinggir lapangan. Warnanya hijau dan undak-undakannya ada tiga. Tribun paling asik kalau ditongkrongi selepas magrib sampai malam jadi larut, sampai udara jadi dingin tapi nggak bikin menggigil, sampai langit jadi meriah karena ditumpahi bintang, sampai kamu nggak perlu mencemaskan hal lain karena di tribun semua keresahanmu akan lenyap dan menguap. Gila nggak sih, padahal cuma tempat duduk penonton doang, tapi bisa bikin saya bicara banyak begini. Kalau lagi senang, larinya ke tribun, terus rebahan di undakan paling atas sambil nontonin langit dan main sambung puisi sama anak-anak lain. Kalau lagi bingung karena nggak nemu ide buat ngonsep acara pesta rakyat, larinya ke tribun, terus duduk-duduk aja sambil bengong dan telpon orang-orang di Jogja. Kalau lagi capek seharian habis ngurusin lomba 17an, larinya ke tribun, terus tiduran sambil liatin anak-anak lain bersih-bersih lapangan, sambil sambat "kakiku rasanya kayak copot". Kalau lagi pusing, larinya ke tribun, terus ngobrol sama Sheila sampe tau-tau udah ngerokok aja. Kalau lagi kacau dan nggak punya tempat buat nangis, larinya ke tribun, terus duduk gelap-gelapan di bawah tiang bendera sambil misek-misek, padahal ada banyak anak lagi berburu foto bintang di tribun, tapi karena gelap jadi nobody's care gitu loh. Bikin lega banget lah tribun lapangan itu. Kunjungan terakhir saya di tribun ya pas malam pesta rakyat berakhir, saat itu rasanya lepasssssssss banget, terus habis dangdutan - joget-joget - foto bareng, saya langsung lari ke tribun, rebahan di undakan paling bawah, selimutan pakai jaket sambil batuk-batuk karena lagi radang tenggorokan, terus tiba-tiba tidur sekitar satu jam. Sampai tau-tau saya kebangun karena dikelilingi anak-anak yang berisik di tribun. Habis itu saya terjaga di lapangan sampai pagi, nemenin cowok-cowok beres-beres panggung dan ngangkut sound system (nemenin doang, nggak sanggup bantuin soalnya nggak punya tenaga lagi), sampai kemudian saya disuruh pulang biar bisa tidur. Lalu sekitar jam 3 pagi, barulah saya diantar Bang Jali naik motor kesayangan subunit 1, sambil kedinginan dan menyadari ternyata udara malam Kalimantan bisa bikin menggigil juga.


Pelabuhan Tanjung Selor
Pelabuhan ini jadi tempat terakhir saya meninggalkan jejak di Kalimantan, sebelum kemudian saya berlayar ke Tarakan untuk naik pesawat. Di hari terakhir sebelum kami diberangkatkan menggunakan speed, saya dan Rara sempat duduk-duduk di pinggir geladak. Bengong, nggak ngapa-ngapain, dan cuma melihat lalu lalang kapal. Kalau ditimbang, rasanya berat banget waktu itu. Kayak ditinggal orang mati, padahal Kalimantan akan terus hidup dan merekah, pun dengan orang-orang yang bernaung di sana, kehidupan bakal terus jalan dan berputar. Nggak ada hal yang beda, kecuali kami hilang dari dataran itu, sambil menyisakan perasaan-perasaan aneh terhadap tempat dan orang-orang di Kalimantan. Kalau dibilang sedih, ya sedih banget, bagi saya dua bulan itu bukan waktu yang sebentar untuk memaknai begitu banyak hal. Tapi kalau dibilang senang, ya senang banget, gila apa, Kalimantan adalah bentuk berkat dan kebaikan yang melimpah. Kapan lagi saya bisa belajar, menempa diri, berproses, dan mengenali banyak sekali hal (peristiwa, orang-orang, perasaan) kalau bukan karena Kalimantan? Yang jelas, ingatan-ingatan kolektif ini akan terus saya pupuk dan rawat, soalnya mengingat itu adalah hal mewah dalam hidup. Apa ya? Biar kita nggak lupa dengan diri kita sendiri, itu saja sih.


LALU tibalah saya pada seri terakhir tulisan ini, pada bagian di mana saya akan bilang terima kasih dan maaf pada teman-teman satu persatu. Tadinya saya mau skip saja, soalnya saya rasa ini hal yang sangat personal, tapi karena dari awal saya sudah cerita dan membeberkan banyak hal, maka nggak masalah deh kalau kemudian saya menuliskan ini semua, murni karena saya pingin bilang terima kasih dan maaf, sekaligus apresiasi saya setulus-tulusnya pada teman-teman semua. Perkara ada yang baca atau enggak, ya bodo amatlah.

Untuk Reza kormanit, yang disebelin banyak anak tapi I do believe kalau kamu sudah cukup stress dan pusing mengurus banyak hal, terimakasih sudah bekerja keras dan maaf kalau selama ini tim kita pernah merepotkanmu. Untuk Esa kormasit, yang nggak suka dengan hal-hal semacam bangun siang, keluyuran sampai pagi, atau bonceng tiga, terimakasih sudah mau kami panggil Papa ('kami' merujuk pada anak-anakmu di subunit satu) dan jadi sosok yang melindungi, maaf untuk tingkah laku kami yang seringkali ngawur. Untuk Zufar si kormater yang hobi belajar dan sangat well-prepared akan banyak hal, terimakasih sudah memperhatikan program-program soshum dan jadi kepala kluster yang baik, maaf kalau dalam beberapa kali merealisasikan program, kamu mendapati kalau aku banyak sekali punya kendala dan kena masalah, sorry ya.

Untuk teman-teman subunit 1 yang karakternya warna-warni: Bang Jali yang pendiam tapi enak kalau diajak ngobrol dan jago masak, terimakasih ya Bang sudah mau anterin pulang jam 3 pagi selesai acara pesta rakyat, maaf suka nggak bantuin masak kalau dapet jatah piket. Teti yang suka tiba-tiba joget dan panik at the same time, aku banyak belajar cara kamu manajemen waktu lho! Maaf ya Butet kalau pernah bikin kamu cemberut. Intan yang atletis dan paling rajin bangun pagi, aku kagum banget sama sikap sabarmu menghadapi kita-kita yang pemalas, maaf ya kalau suka serampangan dan nggak sopan selama kita tinggal bareng. Juga untuk Rara yang dikit-dikit nyanyi dan bisa killed her boredom dengan hal-hal menyenangkan, (gua akan ganti gaya bicara dan menulis panjang ya) Ra, kalau gua udah sama lu, gua jadi auto-tidak bersedih gitu, soalnya pembawaan lu menyenangkan. Elu sangat enerjik dan kayak punya warna sendiri yang memancar. Meski perkenalan kita terjadi secara struktural (karena ada KKN), tapi gua sama sekali nggak ngarep dan membayangkan kalau kita bakal deket begini. Jujur aja, kesan pertama gua pada elu adalah; jutek amat ini orang, jadi gua nggak membuat ekspektasi apapun. Trus, setelah kenal cukup lama, gua melihat bagian diri gua ternyata ada di dalam diri lu juga, dan dalam beberapa hal, kita punya kesukaan dan ketidaksukaan yang sama. Gua juga jadi punya temen nyanyi lagu band-band alternatif, karena selera musik kita lumayan mirip, seru banget. Terimakasih ya karena telah jadi partner gua melakukan segala bentuk perbuatan waton di Kalimantan; kelayapan, pulang malem, ngabisin rokoknya Sheila, bangun siang, gonjrang-ganjreng gitar, bikin kormasit dan kormanit marah, bonceng tiga, mengulangi kesalahan, menyalahkan diri sendiri, dan bikin tebak-tebakan di mana cuma gua dan elu doang yang tau jawabannya. Aneh banget sih pertemanan ini. Jangan ada lagi koe lungo pas aku sayang-sayange ya. Semoga konten jokes kita juga semakin kaya dan beragam.

Untuk teman-teman soshum yang sering banget rapat karena kormater kita emang rajin: Agus yang nyebelin tapi paling pinter ngomong dan berdiplomasi, terimakasih ya Gus sudah backup banyak di pesta rakyat, maaf ya kalau pernah bikin kecewa. Isna yang melankolis tapi punya keberanian yang meletup-letup, terimakasih sudah menemaniku nangis di teras rumahmu dan jadi teman yang selalu menguatkan, maaf banget ya kalau pernah bikin kamu sakit hati, aku tau kok pasti pernah hehe. Nabila yang sense of art-nya paling ku kagumi, tulisannya bagus, dan pintar bikin puisi, terimakasih udah bantu acara dengan pertunjukan wayangmu yang keren itu, maaf ya Bil kalau pernah nggak bantuin kamu pas program. Emre, yang juga mengingatkanku pada Thovan, terimakasih ya Mre sudah bekerja keras dan membantu lomba futsal dengan jadi wasit, maaf kalau di beberapa kegiatanmu aku jarang terlibat dalam prosesnya. Juga untuk Chusna, yang bosok tapi jadi peganganku paling kenceng di Kalimantan, 2018 jadi tahun kedekatan kita karena aku dan Chusna satu kelompok KKN. Nggak tau gimana, tapi selama di sana, aku banyak deep convo sama Chusna, terutama soal hal-hal yang terjadi pada kami di Kalimantan. Chusna baik banget meskipun dia suka marah-marah, dia banyak backup aku dan jadi sandaranku ketika aku bener-bener nggak tau lagi harus ke mana. Kita juga jadi saling pegangan satu sama lain, kenceng banget, takut-takut kalau kita jatuh dan berdarah meski pada akhirnya kita jatuh beneran. Cuma sama Chusna, aku berani bilang ‘pingin nangis’ atau ‘dadaku sesek nih’ tanpa harus takut ditanya kenapa. Cuma sama Chusna, aku nggak ragu buat membeberkan semua hal yang bikin resah dan cemas. Cuma sama Chusna, aku bisa ngobrol sampai mataku terasa merah dan berat. Chussssss, pokonya thanks a lot telah membersamaiku selama ini, terutama di masa-masa kritis selama KKN. Aku berdoa banyak untuk proses pemulihanmu, semoga tahun ini kita jadi kuat dan sehat selalu ya, semoga tahun ini kita sudah nggak kenapa-napa lagi, semoga kita memang beneran jadi sembuh. Tolong maafin kalau aku pernah bikin kamu sedih.

Untuk teman-teman acara pesta rakyat yang mau ku repoti mengurus ini-itu: Amri yang keren dan tipe teman yang rame, terimakasih ya sudah bantu jadi PJ lomba futsal, pokoknya tanpamu futsal nggak akan semeriah kemarin lah, maaf ya Mri kalau kerjaanmu jadi repot dan banyak begitu. Yoga yang serampangan tapi selalu tampil ceria dan menyenangkan, terimakasih banget Yog sudah bantu banyak di pesta rakyat, terutama jadi PJ jalan sehat, maaf ya kalau rentetan tanggung jawab itu pernah bikin kamu pusing dan capek. Mbak Vina yang baik hati dan murah sekali senyum, terimakasih ya Mbak sudah mau ku mintain jadi MC di berbagai acara dengan senang hati, maaf kalau pernah bikin tersiksa dan kesal akan ini-itu. Juga untuk Mbak Nur, (gua akan ganti gaya bicara lagi ya) gua kadang sebel gitu kalau elu tiba-tiba dateng sambil bilang; mim pingin nangis, mim gue lagi sedih nih, mim gue lagi galau nih, karena gue nggak suka gitu kalau seorang Nur Hasanah yang hobi banget ketawa dan goblok-goblokin diri sendiri tiba-tiba berubah jadi menye dan menyedihkan gitu. Jujur dari awal kita kenal, gua sebenarnya udah punya firasat kalau kayaknya kita bakal jadi temen deket, soalnya gua merasa ada banyak bagian dalam diri elu yang juga seperti bagian di diri gua (gak kayak first impression gua terhadap Rara), dan karakter kita lumayan-lumayan mirip, bedanya mungkin gua sedikit agak tertutup  ya. Terimakasih pokoknya sudah backup Mima dan jadi sandaran gua kalau capek, lu orang yang paling tahu banget lah ketika gua suka nangis-nangis nggak jelas dan jadi lebay sama perasaan sendiri, yang paling tahu titik lemah dan hancurnya gua kala itu. Inget gak elu pernah ngechat gua, lu nangis habis sholat gara-gara sedih liat gua tertekan, terus gua bilang sama elu ‘jangan sedih-sedih bah kak, ayo kita selesain ini dulu, biar bisa lepas, biar ga sesek lagi di dada, biar lega’? Itu asal elu tau aja ya, gua ngetiknya sambil gemeteran karena panik dan pusing rundown acara diacak-acak sama orang sana, hahaha. Tahun ini semoga banyak hal baik yang melimpah terjadi pada kita ya!

Untuk teman-teman yang lain: Mbak Masyi yang lucu dan menggemaskan, terimakasih ya sudah jadi teman yang baik dan suka mengingatkan pada hal-hal yang seharusnya, maaf kalau suka ngutang pulsa terus bayarnya lama huhu. Farah yang jadi idola tapi memang karena kamu baik dan menawan, terimakasih Far sudah bangunin dengan lemah lembut buat sholat shubuh, maaf ya kalau suka becanda nggak bener wkwkwk. Wawa si teknisi handal yang serbabisa, terimakasih ya Wawa sudah membantuku banyak hal, terutama di beberapa program yang memang butuh keahlianmu, maaf kalau pernah bikin marah ataupun kesel. Puput yang polos dan suka bikin terheran-heran, terimakasih Put untuk segala jasa (materi, sarana, perlengkapan) yang menunjang kebutuhan hidup kami semua di tanah Borneo, salam buat Pak Panji Agung ya Put, maaf kalau aku suka banget nggodain kamu, habisnya kamu polos sih!

Mas Aziz yang suka komentarin jidatku, terimakasih ya sudah pernah bilang kalau aku ini tipikal anak ceria yang bisa menghidupkan suasana hahaha belum tau aja dia, maaf ya Mas kalau pernah bikin marah. Fauzi yang agak pendiam tapi pintar mengaji, terimakasih sudah bantu ngurus keuangan tim kita dengan amat baik dan jujur, pasti pusing ya, maaf juga ya kalau suka goda-godain kamu, habisnya alim banget sih. Rheza WEB yang ekspresi mukanya selalu lempeng tapi diem-diem suka banget jail, terimakasih banget ya sudah bantu urus dokumentasi dan publikasi selama program, maaf banget pasti aku banyak ngerepotin dan nyuruh-nyuruh kamu bikin ini-itu. Moyo yang aku kira tipikal cewek yang straight tapi ternyata salah total, terimakasih sudah jadi teman yang seru dan selalu siap diajak main, maaf ya Jah aku pernah ikut nangis pas kamu nangis di dalam forum wkwkwkwk aku aja enggak paham. Tata perempuan paling lemah lembut dan penyabar, sekaligus cekatan dalam banyak hal, bakwan jagungmu enak banget Ta! Terimakasih ya sudah mau bantuin Mima bikin penilaian buat lomba kebersihan lingkungan, maaf kalau karenanya kamu jadi repot dan nambah-nambahin pekerjaan kamu.

Try Hart, orang kedua yang juga suka komentarin jidatku, terimakasih ya Try, saya tahu loh diam-diam kamu kadang memperhatikan dan mau peduli untuk hal-hal yang sering orang nggak aware, maaf kalau suara ketawaku keras banget sampe-sampe kamu sering melototin aku. Bote, teman paling seru dan berisik sekaligus partner paling sigap kalau diajak nongkrong di Joice, terimakasih ya sudah bikinin cilok, yang sambelnya langsung bikin diare, maaf juga ya kalau suka ngata-ngatain kamu dan bikin repot banyak hal, tapi kayaknya enggak pernah sih wleee. Dan terakhir untuk Sheilla (gua akan berganti gaya bicara dan menulis panjang lebar lagi ya): Sheil, pas jam tiga pagi lu minta gua nemenin lu minum dan setelahnya lu nangis-nangis, gua jadi bisa melihat sisi lu yang lain, yang hampir nggak pernah lu tunjukin pada orang-orang, yang bikin gua meluruh dan salut sama elu. Gila, cewek se-Kalimantan yang paling jago dan berani, yang tomboy abis, yang suaranya selalu terdengar lantang, yang seolah-olah nggak pernah merasa takut terhadap apapun, ternyata punya sisi lembut dan ringkih juga, bahwa elu juga punya masa-masa di mana beban lu udah cukup menumpuk dan bisa pecah kapanpun, masa di mana elu sudah kesulitan menahan segala yang berat dan yang bisa lu lakuin cuma nangis. Enggak papa Shel, nangis o, aku ono ning sampingmu selalu, bagi gua lu adalah orang terkeren se-Kalimantan, lu sudah bertahan dan berjuang dengan baik. Panggil gua selalu ya in case lu butuh seseorang untuk menemani lu. Terimakasih ya Sheil sudah jadi temen paling gokil. Tolong jangan berubah, gua suka banget sama gaya lu, sama cara lu ngata-ngatain gua, sama cara lu memaki semua hal, sama cara lu bilang goblok dan bangsat keras-keras. Maaf juga ya kalau pernah bikin lu kesel, ya ini pasti sering sih. Pergi lu jauh-jauh banget, asal inget jalan pulang mah gapapa deh. Tahun ini semoga kita dipertemukan dengan banyak keajaiban-keajaiban ya, terutama untuk kisah romansa lu yang itu, ampun lah nekat banget sih lu tong.


the hardest, but best thing in life

pelangi pertama di Kalimantan, difoto pas lagi sedih

Gengnya Mima


Akhirnya, saya akan bilang ini:
Terimakasih sekali kita pernah bersama-sama jadi seterpuruk dan sebahagia itu. Di Kalimantan dan setelah Kalimantan, semoga kita semua bisa terus tumbuh dan berkembang dengan baik. Semoga kita semua bisa selalu mekar dan merekah dalam berbagai peristiwa. Untuk itu, sampai jumpa dan selamat bertemu di kesempatan yang lain!

Rabu, Desember 12, 2018

Rinjani: Filosofi Potong Rambut

    Apa yang terlintas di pikiran kalian setelah beberapa bulan ke belakang ini kalian dilanda banyak hal lumayan pait dan lumayan getir? Semua itu terjadi secara beruntutan seperti mercon rentengan yang meretas satu-satu. Satu meledak, habis, satu meledak, habis, satu meledak, habis.

    Bagi saya adalah: potong rambut.

    Rinjani merupakan nama sebuah salon kecantikan yang berlokasi di Manggung, Jalan Kaliurang KM 5 (gang selatan Tempoe Gelato masuk, lurus terus sampai melewati perempatan, kira-kira rumah ke 2 atau 3 di kiri jalan). Salon khusus perempuan ini menyediakan jasa perawatan rambut dan make up dengan biaya yang amat murah! Mahasiswi Jogja pasti sudah akrab mendengar bagaimana Rinjani menjadi salon yang paling ramai dikunjungi karena; servis keramas, potong rambut, ngeblow, nyatok, yang hanya berkisar lima ribu rupiah! Betapa ajaibnya! Rinjani hadir bagai penolong di tengah-tengah hidup yang sedang babak belur –bukan secara harfiah, tapi Rinjani lumayan bikin psikis saya agak waras.

    Saya sebenarnya sudah jarang ke salon untuk potong rambut. Soalnya saya suka punya rambut yang panjang, yang bisa diiket atau diurai, sesuai mood. Dan belakangan ini saya jadi sadar kalau ternyata sudah lama sekali saya membiarkan rambut saya tumbuh sampai panjangnya sepunggung, tanpa pernah terpikir untuk memotongnya. Lalu baru kali ini, saya punya niat lain untuk potong rambut, bukan untuk memotong rambut saja, bukan cuma untuk membuatnya pendek, tapi karena saya lagi berantakan dan ingin buang sial.

    Klasik, ya?

    Saya jadi ingat bacaan soal tukang cukur yang dilansir oleh laman historia. Seorang pakar sejarah Asia Tenggara, Anthony Reid, menyebut rambut sebagai sesuatu yang suci bagi kebanyakan orang Asia Tenggara. Mereka percaya rambut mempunyai kekuatan. Jadi jika orang Asia Tenggara memutuskan untuk mencukur rambut, itu berarti dia sedang bersedih atas suatu peristiwa.

    Kita juga jadi tahu lewat adegan-adegan di film, bagaimana potong rambut itu menjadi sarana sang tokoh film melepaskan emosi dan perasaan sedihnya. Lihat saja Tris (Beatrice Prior) di film Insurgent, setelah dihantui mimpi buruk, paginya perempuan itu langsung mematut diri di cermin dan menggunting rambutnya sendiri. Potong rambut really means a lot to those who feel worse.

    Rinjani cuma salon kecil dengan dua ruangan yang lebarnya tak lebih dari tiga meteran. Bangunannya berdiri di sekitar komplek rumah. Halaman parkirnya tak begitu luas dan pegawainya kebanyakan ibu-ibu muda. Tapi salon ini selalu penuh disesaki pengunjung, karena pemberlakuan tarif yang sangat ekonomis dan tentu saja servis yang bagus!

    Kayaknya saya agak kuno ya karena begitu meyakini dongeng tua soal potong rambut bisa buang sial? Meskipun nyatanya, sampai hari ini, saya masih dilanda beberapa kesialan dan kesedihan. Saya terima, dan saya nggak akan mengelaknya (soalnya semua hal di hidup kita pasti berkaitan dan punya maknanya masing-masing). Tapi potong rambut jadi cara saya untuk melepas hal yang sudah-sudah, memotong episode yang pait-pait, bagian yang dirasa apes, lantas membuangnya. Cuci piring yang kotor. Satu kesedihan telah selesai dan berakhir. Itu saja.

    Saya kemarin-kemarin janji, November adalah bulan saya menyudahi semuanya. Saya harus segera selesai dan damai dengan bagian hidup saya yang telah lewat itu, supaya saya bisa melanjutkan hidup dan bisa buat kesalahan kembali. Hidup adalah soal membuat kesalahan sebanyak-banyaknya bukan? Saya kira saya sudah terlalu lama jadi badmood dan merasa sedih melulu untuk kasus yang lewat itu –sampai saya bikin runyam banyak hal. Jumat itu, sore hari setelah potong rambut, saya langsung bilang pada diri sendiri; saya akan melakukannya dengan benar. Bukan berhenti bersedih, tapi memperbanyak rasa syukur dan cinta. Bukan melupakan, tapi merelakan. Bukan menghakimi, tapi menerima.

    Kata orang, hidup yang baik itu bukan hidup yang terbebas dari kesedihan dan penderitaan, tapi hidup di mana kesedihan itu berkontribusi terhadap perkembangan diri kita. Ini berat, tapi saya akan coba. Kita semua harus coba.

    Terima kasih banyak Rinjani, makasih juga pada Mbak Erna (pegawai yang waktu itu menangani saya). Hasil potong dan catokannya mampu memulihkan enerji saya berkali-kali lipat. Kini, tak hanya kepala yang terasa lebih enteng, namun hati juga.

    Semoga begini terus.

hal-hal waras


ke pasar tradisional
ke museum
ke festival
ke pameran
ke toko kue
toko kaset
toko buku
toko bunga
naik becak
sepedaan
sore hari
tidur siang
bermain tebak-tebakan
bangun subuh
gerimis pagi
mandi air hangat
mendengar lengger
membaca fabel
ayam panggang sambal kari
beras kencur
canai susu
bubur sum-sum
jus jeruk
bakwan jagung
jahe panas
nonton wayang
kaliurang atas
gondokusuman
prawirotaman
suryatmajan
creambath
maskeran
dipijat
pakai perona pipi
pakai selimut
pakai japit
ke luar kota
berendam di air terjun
tiduran di rumput
memancing
manjat pohon
ke kali
makan belimbing
jambu air
ketawa
menyapa orang asing
lari-lari
ayunan
selonjoran
ngobrol sama nenek
dipeluk
naik kereta api
bertemu ibu

Selasa, Desember 11, 2018

ngalamun di kereta

hari yang indah untuk melarikan diri

Kamis, November 22, 2018

sulit

tolong kepalaku pusing dan berisik 
aku pingin banget dipeluk


Senin, November 19, 2018

Kejutan: Kos Saya Banjir!

    Butuh waktu sekitar 15 detik bagi saya untuk benar-benar sadar kalau air yang perlahan masuk ke dalam kamar adalah air hujan yang meluap dari jalanan depan. Sepertinya gara-gara saluran air di samping kos mampet, dan bersamaan dengan itu juga, saya terkejut ketika mendengar mbak-mbak kos saling berteriak. “Banjirrr… Banjirrr…” pekikan dengan nada melengking itu memenuhi seantero kostan. Sampai sekarang kalau dengar kata itu, saya suka agak pusing setelahnya. 

    Saya beneran lagi linglung waktu itu. Saya nggak akan menyangka hujan deras siang itu benar-benar akan mengantarkan saya pada peristiwa tragis ini. Kamar saya lagi agak rapi, jadi saya bisa langsung menyelamatkan barang-barang yang tergeletak di lantai seperti laptop, charger, tas dan lain-lain. Tapi karena saya juga diserang panik, saya sampai bingung harus melakukan apa, sementara air yang masuk semakin tinggi. Tangan saya bahkan gemeteran dan nggak sengaja menjatuhkan buku-buku yang memang numpuk di meja, semua kena air dan basah, saya telat mengambil arsip-arsip di bagian kolong meja, akibatnya ijazah saya basah dan surat-surat lain sobek. Sumpah saat itu saya panik banget.

    Hujan terus menderas dan saya langsung nangis saat itu, ketakutan. Saya langsung menarik rak buku dan memindahkan isinya ke atas lemari, lalu menyeret rak tersebut ke belakang pintu untuk menahan air. Saya langsung masuk-masukin semua barang yang sekiranya bisa diselamatkan ke dalam lemari dan menutupnya rapat-rapat. Saya melakukan apa saja untuk menyelamatkan banyak hal –tapi ujung-ujungnya saya tetap kelimpungan dan berakhir dengan duduk lemas di atas rak kayu, air mulai naik sampai setinggi betis (20 cm-an), saya lalu menelpon bapak dan terisak, ini adalah pengalaman pertama saya menghadapi banjir, dan saya nggak tahu harus bagaimana. Di luar kamar, saya bisa dengar mbak-mbak kost lain juga saling memekik dan kalang kabut, tapi kami memang nggak bisa minta tolong sama siapapun, kami kejebak di kamar masing-masing, dan hujan makin deras sampai sekitar dua jam kemudian. Selama itu, saya cuma bisa atur napas supaya jadi tenang (meskipun lagi-lagi ujungnya saya nangis), saya mulai pasrah dan minta dengan sungguh-sungguh pada Tuhan untuk mengatur sisanya, saya ikhlas banget dibikin porak-poranda begini. Di tengah suasana kalut, kadang-kadang kita memang bisa jadi sangat relijius dan Tuhan bisa langsung dianggap seperti sahabat karib.

    Sekitar pukul empat, barulah hujan mulai agak mereda. Saya masih lemas dan kedinginan, tapi karena banjir nggak bisa diatasi hanya dengan memelas, saya dan mbak-mbak kost lain dibantu beberapa warga langsung melinting celana dan membersihkan kekacauan itu. Bapak kost langsung membenahi saluran air yang ternyata mampet dan memperbaiki macam-macam. Rara tiba-tiba datang (tujuannya untuk pinjam sepatu tapi ndilalah pas saya lagi kena musibah) dan langsung ikut bersih-bersih. Kamar saya jadi berantakan banget. Kasur saya kerendam, barang-barang di bagian pojok kamar luput saya selamatkan, bunga-bunga kering pemberian teman saya tenggelam, dan benda-benda kecil lain terapung di atas air banjir. Saya dan mbak-mbak kost lain seketika tertawa, kami agak satir dengan kejadian tragis ini, mana sempat kami berpikir kami akan kebanjiran di sela-sela kami sedang maskeran, makan siang, tidur, atau cuma layah-leyeh di kasur? Mata saya masih sembap, tapi anehnya saya juga yang paling kencang tertawa. Kepala saya mulai pusing, sehabis bersih-bersih sampai menjelang magrib (ngepel sampai sendi-sendi pegal linu), saya dan Rara langsung cabut ke Olive untuk makan. Se-berantakan apapun hidup, saya harus terus isi enerji biar nggak mati dan sia-sia, rapal saya diam-diam. Paha ayam sore itu tiba-tiba jadi terasa nikmat banget, entah kenapa.

    Malamnya setelah mengemasi beberapa pakaian, saya langsung ngungsi ke tempat teman. Kamar saya belum siap untuk ditiduri meskipun sudah surut dan bersih. Lagipula saya juga mendadak butuh banget teman tidur, jadi kemudian saya diantar Rara (btw thx a lot Ra sudah bantu banyak!) ke kostan Nur. Saya terkapar dan menggigil di kamarnya, kepala saya masih berat dan rasanya jadi ngantuk banget saat itu. Ponsel saya mulai berisik karena ternyata kabar bencana banjir yang menimpa kost langsung ditanggapi oleh banyak orang. Teman-teman antro bahkan dengan serentak mempublikasikannya ke instagram dan ikut berempati dengan macam-macam encouraging words, meskipun saya agak geli, saya lumayan jadi terhibur dan langsung feeling better.

    Saya nginep di kost Nur cuma sampai dua hari. Ketika paginya dia berangkat kuliah, saya akan pulang ke kost untuk membereskan dan menata ulang kamar. Jemur kasur, jemur buku-buku, jemur ijazah, melaundri pakaian dan sepatu, mengepel ulang lantai kamar, mencuci peralatan makan, membuang barang-barang yang hancur akibat disapu air, membersihkan rak buku dan rak piring, dan kalau sudah sore menjelang malam, saya akan kembali ke tempat Nur dan tidur di sana. Besoknya, saya pulang lagi dan mengurus semuanya. Capek, jelas. Pusing, banget. Karena ternyata barang saya di kamar ada banyak sekali –dan saya tipe orang yang suka mengoleksi banyak hal, bahkan arsip-arsip saat SMA pun masih saya simpan dan ikut diterjang banjir pula. Sambil beres-beres itu, saya masih sempat nangis. Sendirian dan ketakutan. Betapa sebenarnya saya ini posesif juga akan hal-hal tertentu, saya sedih dan nggak rela kalau beberapa hal harus jadi rusak, hilang bahkan terbuang.
    
    Sehabis tragedi banjir, saya yang memang sebelumnya lagi sering nangis, jadi tambah sering nangis dan cemas sendiri. Sekarang kalau dengar hujan deras saya jadi agak gemetar dan kuatir. Rupanya, banyak hal terjadi belakangan ini, saya terus-terusan diantar pada banyak peristiwa aneh selama beberapa bulan ini, saya nggak tahu sehabis ini saya akan mengalami apalagi. Hidup benar-benar nggak bisa ditebak akan jatuh seperti apa. Peristiwa banjir dan banyak hal lain yang terjadi rasanya seperti runtutan kejutan yang memaksa saya untuk menelan itu semua. Saya cuma bisa berharap, semoga saya akan baik-baik dan jadi kuat selalu.

    Mim, ini cuma bad day, bukan bad life, kalem lah. Saya menenangkan diri meskipun sambil bergidik.

Minggu, November 04, 2018

Usai

aku pernah bilang
kamu seperti langit lepas pukul dua pagi, atau
udara dingin yang menekan pelan-pelan, atau
tanya-tanya yang tercekat dan hampir tumpah,
atau hal-hal rumpang dan membingungkan

kamu telah menjelma menjadi canopus di rasi carina
atau sirus yang menghalau bulan
atau geluduk yang pecah berserakan
atau tempias hujan yang melayang dan hilang
atau malah aku, yang jatuh, tersesat, lalu meredup

maaf, aku akan berhenti dan menyerah
lagipula aku sudah kalah


Kamis, November 01, 2018

Merawat ingatan: tempat-tempat paling intim di Kalimantan (bagian dua, edisi Keluarga Joice)

(potongan bagian 1 bisa dibaca di sini)

    Awal pertemuan saya dengan keluarga Joice cukup menyenangkan kalau diingat-ingat: saya mau ketemu Bang Joni buat wawancara soal paguyuban kuda lumping, di waktu yang bersamaan, saya dan teman-teman KKN dapat undangan untuk berkunjung dan menyantap bubur di tempat Joice. Karena nggak mau melewatkan dua agenda itu, saya lalu bilang pada Bang Joni kalau saya mau ke Joice terlebih dulu, tapi ternyata beliau juga sedang ada di sana (sambil mengirim foto selfinya bersama keluarga Joice), saya dan beberapa anak cowok kemudian langsung berangkat menuju lokasi, jalan kaki malam-malam lewat jembatan kayu yang mitosnya banyak lelembutnya itu (kami sempat foto tak jauh dari jembatan itu –untuk membalas kiriman selfi Bang Joni, lalu heboh sendiri karena ada sesuatu yang janggal dalam foto, yang bikin kami langsung ketakutan paska malam itu, tapi ketika dicermati lebih, ternyata itu cuma efek flashlight hape saja, kebetulan hape yang dipakai untuk foto adalah hape saya, hahahahaha).

    Sampai di tempat Joice, kami semua langsung dijamu bubur ayam dan es sogem (soda gembira) yang segar –tentunya sambil mewawancarai Bang Joni. Begitu tau kalau beliau juga seorang pemain kuda lumping, mulai lah anak-anak cowok tadi melontarkan pertanyaan-pertanyaan berbau klenik pada Bang Joni (malah jadi ikutan wawancara). Nggak mandek sampai situ, setelah urusan saya dengan Bang Joni kelar dan beliau pamit pulang, giliran keluarga Joice lah yang menjamu kami.

    Kami dibawa ke meja panjang di halaman depan rumahnya, disuguhi makanan dan minuman lagi, dan dari sinilah saya pertama kali mengenal keluarga Joice yang hangat ini. Malam itu pertama kali saya duduk di samping Bude (yang langsung mengingatkan saya pada Ibu –karena perawakan dan gestur tubuh Bude), berkenalan dengan Pakde yang karakternya tenang, Mbak Wiwik yang suka bicara banyak, Joice yang waktu itu langsung curhat soal penyakit dan alasan kenapa dia berhenti sekolah (sampai langsung follow-followan akun instagram), Aira bermata bulat yang tak berapa lama kemudian tidur, dan Abi, si kecil bote (istilah Kalimantan untuk mendefinisikan tukang tipu) yang suka sekali menakut-nakuti saya soal setan di Kalimantan. Sepulang dari sana, kami bahkan diantar Joice naik mobil menuju pondokan, dan diwanti-wanti Bude untuk terus main ke tempatnya selama KKN.

    Rumah keluarga Joice ada di tepi jalan raya poros, berdekatan dengan pasar Karang Agung. Bude membuka usaha warung makan dibantu Mbak Wiwik, Pakde juga buka usaha isi ulang air galon, Joice juga jualan makanan-minuman ringan kayak es cokelat dan pisang cokelat, Aira yang suka menangis belum bersekolah, sementara Abi duduk di kelas 1 SD. Kalau habis pulang, biasanya Abi suka langsung ngeloyor ke sungai atau main ke sawah, beberapa kali juga saya sempat ditugasi oleh Mbak Wiwik untuk langsung membawa pulang Abi ke rumah seusai sekolah, biar anak itu nggak langsung kabur untuk main hahaha.

    Kedekatan saya dengan keluarga Joice sebenarnya karena hal sepele, yakni hobi saya yang suka sekali nongkrong di sana. Mbak Wiwik yang paling hafal lah kalau saya sering banget sebentar-sebentar ke sana bersama Hamima and the gang, ya siapa lagi kalau bukan Nur, Rara, dan Topik. Kami bisa nongkrong di Joice sampai tengah malam dan cuma haha-hehe sepanjang waktu. Biasanya kalau sudah masuk jam sepuluh ke atas, personil keluarga Joice itu akan langsung masuk ke dalam rumah, kecuali Mbak Wiwik dan Joice yang biasanya menemani kami duduk-duduk di depan sampai tengah malam. Karena keranjingan nongkrong di sana, Bude jadi suka sekali mencekoki saya dengan berbagai jenis makanan (masakan Bude enak-enak loh!), saya dapat banyak referensi tebak-tebakan karena Abi suka sekali melontarkan pertanyaan anehnya, saya juga jadi sering pergi-pergi bersama Joice untuk nganter pesanan katering, dan Mbak Wiwik juga jadi rajin banget bergosip soal hal-hal yang terjadi di desa –dari urusan Pak Kades sampai orang-orang yang jualan di pasar, karena seterbuka itu mereka pada kami, saya dan beberapa teman juga jadi nggak segan untuk bercerita soal dinamika kegiatan KKN kami (Mbak Wiwik hafal banget lah soal gosip KKN dan apa saja yang terjadi pada kami, hihihi).

    Hal yang paling berkesan sih, ketika Bude mengajak saya dan Rara untuk main ke pasar induk Bulungan dan belanja kebutuhan warung Bude. Kami dijemput subuh-subuh, diajak berkeliling ke Bulungan, melihat roda perekonomian paling sederhana lewat pasar, beli ikan dan hewan-hewan laut, bertemu dengan penjual-penjual ramah yang langsung mengenali kalau kami adalah anak KKN –Rara pakai topi biru ada tulisan UGM-nya, sarapan nasi kuning di pinggir jalan trans Kalimantan yang sudah beraspal bagus, lalu pulangnya membantu Bude di rumah membersihkan cumi, kepiting, dan udang sampai sore hari.

    Yang jelas, ketika suasana hati saya lagi nggak bagus, saya akan langsung lari ke tempat Joice dan bertemu Bude, atau Mbak Wiwik, atau melihat Aira dan Abi berantem, atau pergi bersama Joice ke manapun. Di sana, saya bisa merasakan energi baik yang menyalur lewat keluarga Joice. Cuma di tempat Joice, saya nggak perlu repot-repot memikirkan urusan KKN dan hal-hal struktural lain yang bikin pusing. Cuma di tempat Joice, saya nggak menganggap mereka sebagai informan atau mitra kerja, tapi ya murni orang-orang Kalimantan yang hangat dan menyenangkan.

    Namun ada hal yang sebenarnya masih saya sesali, kami pergi tepat di hari ulang tahun Joice, dan saya sebetulnya belum sempat pamit secara personal dengan Bude. Bude dan Pakde sempat berangkat menuju pelabuhan tanjung untuk menemui kami sebelum berlayar ke Tarakan, tapi persis di menit-menit terakhir kedatangan Bude, speed boat yang kami naiki sudah melaju terlebih dulu. Lewat sambungan telepon, Bude mengucapkan maaf dan kata-kata perpisahan. Kata Mbak Wiwik, Bude masih menangis sampai malam harinya. Saya agak ngilu dengernya, tapi saya cuma pasrah dan nggak bisa berbuat apa-apa. Dalam hati saya minta maaf pada Bude sebanyak-banyaknya, saya kepingin banget peluk Bude saat itu, Bude adalah orang terdekat saya di Kalimantan, saya paling suka suara Bude ketika manggil nama saya, dia seperti Ibu dalam wujud yang lain.

    Beberapa hari setelah kepulangan kami di Jogja, saya, Nur dan Rara sempat memberikan keluarga Joice bingkisan, sebagai bentuk ucapan terimakasih dan rasa sayang kami pada keluarga tersebut. Saya juga menulis surat untuk mereka, sampai agak tersentuh dan berkaca-kaca (because this little family is very kind!!!). Sampai sekarang pun, saya masih sering bercakap-cakap dengan Bude dan Joice lewat whatsapp, video-call dengan Aira dan merayakan ulangtahunnya secara virtual, dan masih suka ditelpon Mbak Wiwik untuk ngobrolin banyak hal (ngomongin Abi yang semakin bandel dan kelanjutan gosip KKN kami).

    Dalam hati saya berdoa sebanyak-banyaknya pada Tuhan untuk memuliakan keluarga itu selalu. Dalam hati saya berdoa, semoga kami bisa selalu berkirim kabar lewat sinyal seluler dan suatu saat saya bisa menemui mereka kembali. Saya bersyukur sekali bisa punya ikatan emosional yang kuat dengan keluarga Joice. Mudah-mudahan sehat dan sentosa selalu menyertai kita semua.

    Amin.

belanja ikan di pasar induk!

dibeliin jamu (kiri; Bude, kanan; Rara)

merayakan ulangtahun Joice, malam terakhir di Kalimantan


-
Saya masih punya daftar-daftar tempat yang akan saya masukan dalam seri tulisan ini, jadi beri saya waktu untuk menulis itu semua dan menumpahkan segala perasaan saya ya. Semoga enggak lama!

Rabu, Oktober 31, 2018

A Life Guided #CeritaPengalaman

    Ternyata, jadi seorang pemandu pameran itu seru juga!

    Hal penting pertama yang akan kamu dapat adalah tons of knowledge, yang kedua adalah relasi dan lingkaran orang-orang keren, hal ketiga keempat kelima dan seterusnya adalah things that are not unexpected at all.

    Karena memang sudah nge-plan bulan ini harus banyak menghabiskan waktu di luar (juga supaya lupa kalau lagi sakit :p), selama seminggu kemarin saya membaptiskan diri untuk ngevent di JIBB 2018 (Jogja International Batik Biennale), perhelatan akbar yang memang rutin diadakan dua tahun sekali, sekaligus menyambut momentum Hari Batik Nasional tanggal 2 Oktober lalu. Sebenarnya rangkaian acaranya sudah sejak September kemarin, diawali dengan roadshow di beberapa kota batik di Indonesia, terus baru deh puncak acaranya di tanggal 1-6 Oktober.

    Nah, kenapa kemudian perhelatannya ada di Jogja? Kenapa nggak Solo, atau Pekalongan? Kan kota batik juga tuh? Daerah saya di Sokaraja juga produksi batik anyway…

    Tahukah kamu? Kalau Jogja telah dinobatkan sebagai Kota Batik Dunia oleh World Craft Council (WCC –semacam organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang pengembangan ekonomi para pengrajin dunia), yang juga berafiliasi dengan UNESCO. Jadi ya Jogja lah yang kemudian dipilih, sebagai bentuk representasi kota batik dunia itu. Sangar kan!

    JIBB ini sendiri rangkaiannya ada banyak sekali. Simposium, workshop, heritage tour, fashion show, pameran batik, dan karnaval sebagai agenda penutup. Saya sendiri kebagian ngurus pameran, dan dipercaya untuk menjadi pemandu. Pameran batiknya pun digelar di 6 titik; Kraton, Benteng Vredeburg, Museum Bank Indonesia, Jogja Gallery, Taman Budaya Yogyakarta, dan saya dapat jatah di Museum Sonobudoyo. Tentunya tiap venue punya tema pamerannya masih-masing. Nah di Sonobudoyo, batik yang dipamerkan memiliki tema “Daur Hidup”. Jadi pemakaian batik dalam masyarakat Jawa (khususnya Yogyakarta dan Solo) itu dikaitkan dengan siklus hidup manusia di dunia. Setiap tahap kehidupan yang dialami manusia dari lahir sampai meninggal selalu punya representasi batiknya sendiri. Tentu, setiap motif batik punya cerita dan filosofinya masing-masing, serta mengandung pula harapan yang bagus. Seperti yang kita tahu lah, kalau ajaran-ajaran baik dalam masyarakat Jawa itu bukan hanya dijalankan dalam kehidupan sehari-hari saja, tapi juga diterjemahkan menjadi simbol-simbol. Jadi kalau ngomongin batik, kita memang akan lebih banyak menyinggung soal simbol itu sendiri sih. Budaya Indonesia kan budaya akan simbol-simbol, hihi.

    Batik-batik di Sonobudoyo ini merupakan koleksi milik Pak Afif Syakur, desainer sekaligus pengrajin batik dari Pekalongan, yang kemudian dihimpun pula oleh kelompok Sekar Jagad, sebuah paguyuban pecinta batik yang berdomisili di Jogja. Jadi proses kerja ngurus pamerannya itu secara kolektif, bersama Pak Afif, ibu-ibu dari Sekar Jagad (yang sangat necis dan tipikal ibu-ibu trendy), juga para panitia seperti saya ini. Pamerannya sendiri berlangsung sejak tanggal 1 sampai 6 Oktober, tapi persiapannya sudah jauh-jauh hari, dengan jam buka pukul 10 pagi sampai 9 malam. Dan selama jangka waktu tersebut, kami semua kerja dari pagi sampai malam terus (kecuali ibu-ibu Sekar Jagad yang memang ada shift siang dan malam). Kerjaan kami juga nggak cuma nemenin pengunjung muter-muter ruang galeri, kami harus pula membeberkan panjang lebar soal sejarah batik yang dipamerkan, menjelaskan ragam filosofi batik dari proses kelahiran, perawatan ari-ari, sampai nanti dia meninggal pakai batik jenis kawung atau slobog, tapi nggak sampai hal-hal di luar konteks sih (kecuali ada pengunjung yang bertanya aneh).

    Yang paling terasa bikin pegal sih tumit kaki ya, soalnya intensitas kita mengitari ruang pameran itu sering banget. Kalau venue lagi ramai (tapi posisinya pas ramai terus sih), kami tiap orang bisa nge-guide lebih dari 15an pengunjung sampai malam. Tiap pengunjung tentunya beda-beda; ada yang datang sendiri, berdua, mengajak keluarga atau rombongan anak sekolah, dan sekali kunjungan itu biasanya makan waktu yang lama, karena batik yang dipamerkan juga cukup banyak dan detail. Apalagi kalau yang berkunjung adalah orang-orang yang memang terjun di bidang batik, wah… bisa kali dua jam muter-muter ruangan doang. Selain harus terus stay sama pengunjung, kami juga diminta untuk selalu memasang wajah paling ramah, jadi harus senyum terus, performanya harus selalu seger, intonasi bicara juga harus yang enak. Sebenarnya sederhana sih, tinggal pasang senyum manis dan lembut-lembutin suara aja ya kan? Tapi kondisinya hari-hari kemarin itu saya lagi nggak cukup sehat dan mood juga lagi berantakan. Pernah sebelum masuk hari ketiga pameran, malamnya saya habis nangis cukup parah sampai pukul dua pagi dan kayaknya baru tidur di jam-jam subuh, paginya ketika sampai di Sonobudoyo, saya diserbu banyak orang, bahkan seorang mas-mas yang sempat saya guide pun sampai bertanya pada saya, “mbak, matanya kenapa?”, soalnya saya kalau sudah nangis lalu saya tinggal tidur, mata saya bakal jadi bengkak dan lebam kayak habis digebukin orang.

    Tentu… saya juga mendapat banyak hal menyenangkan lewat nge-guide. Bertemu dengan banyak pengunjung yang punya latar belakang beda-beda, dari yang tidak tahu apa-apa soal batik, sampai ekspert banget soal pewarnaan, jenis-jenis motif, sampai beliau transfer banyak pengetahuan ke saya (malah jadi saya yang di-guide-in). Dari anak-anak sekolah, turis asing yang datang karena nggak sengaja lewat, sepasang muda-mudi yang lagi pacaran di sekitar alun-alun, seleb-seleb lokal yang datang cuma untuk foto-foto, sampai simbah-simbah sepuh yang ternyata merupakan produsen batik di kampungnya. Saya senang banget rasanya, ternyata masih ada banyak orang yang punya interest dengan hal-hal yang pasti dianggap membosankan oleh kebanyakan orang, soal batik yang jadi identitas orang Indonesia ini. Apalagi saya dapat banyak ilmu dari pengunjung yang memang ahli batik, entah dia adalah konsumen atau produsen, rasa-rasanya di setiap pengetahuan yang dia bagikan pada saya, di setiap itu pula saya kagum dan mikir, gila ya, ada juga orang yang se-passion itu menggeluti batik.

    Pernah pada suatu sore, ada seorang ibu muda yang datang bersama anak perempuan kecilnya, saya lalu menawarkan diri untuk nge-guide mereka ke dalam ruang pameran. Si ibu ini tipikal orang yang antusias tapi pembawaannya cukup tenang, sedangkan si anak kecilnya itu sangat periang dan mobilisasinya cepat banget (lari-lari terus), nah ketika di dalam ruang wayang (jadi ada bilik pameran yang isinya batik-batik wayang, fungsinya cuma untuk interior doang), si ibu itu menarik anaknya dan menghadapkannya ke depan Bhagavadgita yang menjulang tinggi, lalu si ibu bicara pada anaknya, “Adik, kita harus belajar batik ya, kalau enggak nanti batiknya bisa hilang.” saya langsung meleleh dan tersenyum lebar mendengarnya. Kelak, kalau saya sudah jadi ibu-ibu, saya sudah tau saya akan jadi ibu seperti apa.

    Pengunjung yang datang juga ada yang aneh. Selain ada yang ngasih duit, saya juga pernah diajak foto bareng (tentu saja saya menolak karena merasa kurang nyaman), ada yang malah bertanya "Tahu nggak kamu kalau nama Mima itu asalnya dari Jepang?", ada pula yang meminta nomor ponsel saya (saya mau dilibatkan dalam kegiatan pameran batik, orang yang meminta nomor ini adalah seorang produsen batik dari Jakarta), juga ada yang memberi cokelat dan minuman (kalau ini sih teman saya sendiri yang sengaja datang). Saya juga jadi sering nonton karnaval karena letak Sonobudoyo ini cukup strategis, jadi banyak kegiatan seni-budaya yang lalu lalang di depan kami. Dan jujur sih, saya jadi sadar, kalau bertemu dengan orang-orang keren ternyata adalah moodbooster terampuh saya. Saya jadi banyak bersyukur kalau sudah ketemu dengan orang-orang jenis ini.

    Btw, guys, saya mau mencerahkan kalian sedikit soal batik. Jadi, kalian harus paham bedanya batik tulis, batik cap, sama batik printing ya. Pokoknya, kalau kalian mau make batik, hindari sebisa mungkin batik printing, jadi minimal pakai batik cap, atau lebih bagusnya pakai batik tulis (meski batik yang ini harganya mahal-mahal sih). Batik itu sendiri kan seni kerajinan tangan, jadi memang ada pengrajin batiknya sendiri, jadi kalau enggak ditulis, ya tekniknya pasti dicap. Kalau batik printing, itu mah cuma motif batik yang dicetak pada kain tekstil, dan pengerjaannya dilakukan oleh mesin, kalau kayak gitu bukan batik namanya, tapi kerajinan pabrik, hahaha. Dan biasanya batik-batik printing inilah yang paling ramai tersebar di pasaran kita, dijual dengan harga murah dan meriah. Kalau orang-orang pada pakai batik printing, yang diuntungkan bukan pengrajin-pengrajin batik, tapi pabrik-pabrik tadi, wah, lama-lama bisa hilang tuh batik kalau sudah nggak ada lagi yang make.

    Untuk perbedaannya, teman-teman bisa langsung melihat pada motif. Contoh batik tulis, karena dikerjakan dengan manual (pakai canting itu lho), motif batiknya pasti nggak simetris, ukurannya pun bisa beda-beda. Jenis kain yang dipakai juga bahannya lembut, biasanya yang serat kapasnya banyak, soalnya kan batik itu pakai lilin cair, jadi memang harus pakai kain yang bahannya mudah menyerap lilin. Karena dicanting dan pakai lilin cair (atau disebut juga malam), biasanya akan ada retakan-retakan lilin yang pecah atau lumer di sela-sela motif (soalnya kan memang dikerjakan pakai tangan, jadi hal-hal seperti itu pasti ada). Selain itu, warna motif pada bagian depan dan belakang kain adalah sama, soalnya proses mbatiknya dilakukan di kedua sisi kain. Wangi kain batik tulis juga khas, dan harum, kan pakai pewarna alami kayak kulit kayu teger, daun tom, wah dan macam-macam saya nggak begitu hafal. Terus khusus untuk batik-batik yang sudah berusia tua, biasanya ada nama pembatiknya di ujung kain. Dan yang terakhir, jelas, harga batik tulis sangat sangat mahal. Kayaknya batik tulis model jarik begitu harganya bisa sampai empat ratusan ribu lebih deh, kurang tahu juga ya. Nah, untuk batik cap, proses pengerjaannya nggak pakai canting, tapi pakai lempengan besi dengan ukuran pola yang baku (tapi tetap pakai lilin cair), jadi ya modelnya dicap begitu secara simetris. Motifnya cenderung sederhana dan berulang (biasanya dipakai buat bahan seragam sekolah). Warna kain depan lebih terang dan pekat, kalau yang sisi belakang sudah agak tipis, tapi ada juga sih yang depan belakangnya sama. Yang terakhir adalah batik printing (aduh sebenarnya agak males menyebut batik printing, soalnya jelas-jelas ini bukan batik, cuma motif batik yang dicetak di kain tekstil aja), motifnya sangat rapi dan simetris, bahkan nggak kelihatan ada celanya. Bahan kainnya agak terasa kaku, dan nggak enak gitu kalau dipakai buat baju. Sama sekali nggak ada wangi-wangi pewarna alaminya, jadi baunya ya bau kain tekstil pabrikan gitu. Warna kain bagian belakangnya biasanya putih, kalau nggak ya samar-samar lah ada tembusan sedikit. Serta harganya murah banget dan beredar dengan begitu enaknya di pasaran. Kalau kamu beli baju batik dan dapat harga 50 ribu, halah, itu mah sudah jelas printingan pabrik. Sangat sangat tidak direkomendasikan. Bisa bangkrut itu pengrajin-pengrajin batik lokalan yang ada di kampung-kampung. Jangan sampai canting itu hilang dari tradisi membatik pokoknya.

    Nah, karena sudah saya kasih tahu, mulai sekarang, mari kita budayakan pakai batik tulis yuk. Atau minimal batik cap lah. Yang penting jangan beli batik printing. Kalau mau pakai kain tekstil mah nggak apa-apa, asal jangan yang ada motif batiknya, motif yang lain lah. Hih, soalnya batik printing itu merusak tatanan kerajinan batik di Indonesia, bahkan kabarnya batik-batik printing yang ada di pasaran itu diimpor secara massal dari China, parah kaaan. Begitu ya kira-kira, saya sudahi dulu. Dah!

gendong bayipun ada kain batiknya sendiri, nama motifnya adalah selendang paturan kawung dan selendang paturan parang rusak.

teman-teman satu nasib dan perjuangan

Minggu, Oktober 28, 2018

Semalam di Widodaren

    Rencana perjalanan ke Solo mendadak saya batalkan demi menggebu-gebunya keinginan saya untuk pergi ke sesuatu yang berair dan jauh dari pusat kota; pantai (setelah lama sekali tidak menyambangi dataran paling selatan Jogja tersebut). Maka pada 2 jam sebelum keberangkatan ke Widodaren, saya langsung mengemasi beberapa barang ke dalam ransel dan meminjam kompor lapangan ke teman karib saya. Ba’da ashar, saya, Isna, Moyo, dan Nabila, langsung tancap gas menuju arah Gunungkidul. Naik motor dan berboncengan, padahal plat motor saya bautnya lepas, klakson mati dan lampu depan sudah mulai sakit-sakitan (nyalanya redup). Tetapi dengan mengantongi niat baik dan harapan bisa sampai di lokasi sebelum hari menggelap, kami tetap berangkat dan saya tak begitu ambil pusing hahaha. Sebelumnya, perkenalkan mereka adalah segelintir dari teman-teman KKN saya di Kalimantan. Agenda liburan untuk pergi ke pantai sebenarnya diinisiasi oleh saya dan Isna, yang memang sedang butuh udara segar (dalam konotasi; kami sedang mumet), sampai kemudian teman-teman yang lain ikut bergabung meskipun pada akhirnya kami cuma berjumlah empat orang. Tidak apa-apa, kesehatan jiwa tetap nomor satu, oleh sebab itu kami sangat antusias dalam perjalanan tersebut!

    Doa saya betulan dikabulkan! Tepat sebelum magrib mengudara, kami sudah sampai di lahan parkir dekat Widodaren, tentunya setelah melalui perjalanan darat kurang lebih dua jam karena berulangkali mandek di tengah-tengah. Dari tempat parkiran tersebut, ternyata kami masih harus jalan kaki melalui tegalan milik warga selama 20 menit karena akses jalan untuk kendaraan belum tersedia. Kami melalui pematang sawah yang kering, kandang-kandang kambing yang mengembek saat kami lewat, tebing yang naik turun, rerumputan liar yang tinggi di kanan-kiri, serta melalui pantai Ngrenehan pula yang sore itu sangat lengang. Di saat langit mulai gelap, kami terus memfokuskan langkah dan penglihatan kami pada papan petunjuk ke arah Widodaren, sambil lirak-lirik sekitar barangkali ada hal-hal yang perlu diwaspadai, hahaha.

    20 menit berjalan kaki ternyata tidak begitu terasa karena tiba-tiba saja kami sudah mendengar debur ombak berisik dari arah pantai. Sesampainya di lokasi, matahari sudah tenggelam, dan pantai dalam keadaan sangat sangat sangat sepi. Untuk menuju pasir pantai, kami masih harus turun dari sebuah bukit setinggi tiga meteran menggunakan tangga kayu yang sengaja dibuat pengelola wisata. Berbekal senter hape (karena tidak membawa penerangan apapun), kami lalu mendirikan tenda di bibir pantai. Selesai itu, kami mulai berbenah barang-barang pribadi, memasukannya ke dalam tenda, menggelar tikar di depan tenda, menyiapkan peralatan masak, menyetel lagu dari musik player, dan Alhamdulillah saya masih sempat untuk magrib dan isya setelah bertayamum, hahaha. Malam itu juga saya sok ngide memberikan kejutan ulangtaun untuk Isna yang awal bulan kemarin bertambah usia. Saya punya keyakinan, kalau kejutan (dalam bentuk apapun) adalah cara saya mengapresiasi keberadaan teman sekaligus ungkapan kasih sayang yang tersirat. Gila sihhhhhh, I'm such a sweet kid, indeed!

    Mendekati jam delapan malam, tanpa disangka-sangka, ternyata air laut semakin naik ke atas, semakin dekat dengan batas tenda kami didirikan. Baru jam delapan loh! Karena tidak mau menanggung resiko aneh-aneh, dengan terpaksa kami lalu memindahkan tenda, tikar, kompor dan barang-barang kami naik ke atas bukit, tepat di atas air laut yang meninggi tersebut, daripada kenapa-napa. Setelah itu, mulai banyak pengunjung yang datang, berkelompok dan menggendong carrier yang besar. Karena kondisi laut yang sedang pasang, mereka pun jadi ikut mendirikan tenda di samping kami. Kami berkenalan dengan sekelompok mas-mas berjumlah tujuh orang dari Karanganyar tersebut. Saya nggak tahu siapa-siapa saja namanya, nggak begitu memperhatikan, nggak penting juga haha. 

    Karena masih terlalu dini untuk pergi tidur, kami lalu menggelar tikar kami kembali di samping tenda, di atas bukit dan menghadap laut langsung. Menyemil makanan apa saja, melanjutkan putaran lagu yang sempat terhenti tadi, dan mulai melakukan kegiatan yang paling menyenangkan: bergosip! Pokoknya Moyo yang malam itu bercerita paling banyak soal bribikan-bribikannya, sejak dia masih pakai seragam sekolah sampai kisah kemarin sore dia beberkan semua. Nabila cuma merespon percakapan kami tanpa menyumbang cerita apapun, katanya dia bukan tipe orang yang bisa bercerita soal hal-hal personalnya di depan orang banyak (ahela, padahal kami cuma berempat). Saya dan Isna yang sepertinya kebagian jatah cerita sedih. Jadi saya nggak begitu cerita banyak dan detail, kecuali meminta saran how to healing my broken-self pada perempuan-perempuan ini. Alah persetan juga lah, saya lagi nggak ingin mengingat hal-hal yang bikin murung. Malam itu kami habiskan dengan mengobrol banyak hal, tanpa api unggun, tanpa penerangan apapun. Menuju pukul sebelas malam, ternyata air laut sudah melumat hampir seluruh pasir hingga menabrak dinding tebing, kami begidik ngeri, membayangkan bagaimana jadinya kalau tadi kami tidak aware dan memindahkan tenda, mungkin kami sudah tergulung ke lautan lepas.

    Pagi harinya, kami bangun agak kesiangan, itu saja karena gerombolan mas-mas di samping tenda sedang berisik. Waktu itu sudah pukul lima dan langit sudah sangat terang. Sebelum memutuskan untuk menghabiskan pagi yang segar di bibir pantai, kami melakukan ritual dulu; bersih-bersih muka, pakai toner, sunscreen dan sunblock, memasak air untuk bikin kopi, lalu turun ke bawah bukit!

pemandangan dari atas bukit, udaranya enak sekali! 

    Rupanya air laut sudah kembali surut sangat jauh. Karang-karang hijau dan besar terlihat sampai jarak sekitar 100 meter. Melihat debur dan suara ombak sepagi itu, saya mendadak jadi lega dan lebih tenang. Dalam kondisi itu, saya cuma duduk di pasir pantai sambil menenggak kopi saset, sementara Moyo, Nabila dan Isna sudah lalu lalang ke sana-sini, menyusuri karang-karang berbatu dan licin, mengintip hewan-hewan laut yang barangkali terselip di antara pasir dan karang, menyentuh riuh ombak yang kecil, atau sekadar berfoto.

    Pagi itu saya tanpa sadar memutar lagu terakhirnya Tangga dari ponsel, Tak Kemana-Mana, lagu yang ternyata tidak dirilis di mana-mana, tapi ada di Youtube. Lagu yang pada akhirnya membuat grup vokal favorit saya sejak SMP itu bubar dan menghilang.

    Awal cerita yang selalu bahagia adalah skenario yang ditawarkan cinta, namun hanya Tuhan yang tau ke mana perjalanan ini kan bermuara nantinya…

    Perasaan saya tiba-tiba menghangat. Di tengah-tengah laut lepas itu, saya sempat berkaca-kaca sebentar. Nggak ada satu menit sebelum saya segera menyeka mata dan kembali menghabiskan kopi, saya takut ketauan. Beberapa bulan belakangan ini saya masih agak kesulitan untuk mengontrol diri supaya tidak menangis. Hal-hal terus terjadi dan bertabrakan di kepala saya. Dalam keadaan carut-marut, saya selalu berusaha untuk menenangkan diri, apapun caranya. Pagi itu saya seperti dibisiki oleh seseorang, di hidup ini ada banyak hal yang tidak selalu segaris dengan kita, ada hal-hal di luar kuasa kita yang punya poros dan lajunya masing-masing, ada hal-hal yang tak perlu dipaksa dan didesak. Saya terhenyak dan begidik. Pelan-pelan bergumam pada diri sendiri, darimana pikiran tadi berasal?

     Ada hal-hal yang perlu kita sudahi dan relakan.

    Saya mengangguk cepat-cepat, lalu mematikan ponsel. Bagaimanapun juga, ini bukan saatnya untuk melarutkan diri pada perasaan-perasaan sesal. Biarlah pikiran-pikiran tadi akan saya urus belakangan. Lalu karena matahari sudah mulai naik, saya menggeser posisi duduk sampai ke bawah tebing yang lebih teduh. Setelah itu memutuskan untuk bergabung dengan yang lain, lalu malah jadi nyemplung dan melarungkan diri pada Widodaren yang hari itu menjelma seperti teman baik. Badan kami habis diterpa ombak sampai matahari semakin meninggi, tanpa peduli pada belang, kepala pusing, bahkan jemari yang bergetar kedinginan. Kami bermain air sepuas kami, seperti orang sinting, seperti tak punya kekhawatiran apapun, seperti Widodaren itu pula, lepas dan lantang…

    Diam-diam pikiran itu menjalari kepala saya lagi, “tidak apa-apa, kamu tidak apa-apa.”


*
Kanigoro,
14 Oktober